Minggu, 19 Desember 2010

ASPEK MULTIKULTURALISME DALAM FILM LASKAR PELANGI (PROSES TRANSFORMASI NOVEL KE DALAM FILM)

ASPEK MULTIKULTURALISME DALAM FILM LASKAR PELANGI (PROSES TRANSFORMASI NOVEL KE DALAM FILM)

Oleh Kelompok:

1.MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2.DEWI INDAH FITRIANA (080210402006)
3.YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
4.LUSI AGUSTINI D (080210402021)
5.ISTI AINURRAHMA (080210402022)
6.ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
7.FERRY GUNAWAN (080210402027)
8.ARINI SUSANA (080210402031)
9.DIDIN DWI ERLIANI (080210402038)
10.INDRI (080210402042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realias sosial kemasyarakatan. Wellek (Suwardi Endraswara:2008) mengemukakan sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sedangkan karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang yang mampu menimbulkan imajinasi penikmat. Sebagai hasil imajinasi kreasi pengarang, karya sastra digali dari masalah-masalah kehidupan yang ada di lingkungan sekitar. Ketajaman daya pikir wawasan dan kepekaan daya imajinasi pengarang mempengaruhi kualitas dan daya estetik karya satra. Karya sastra adalah lukisan dan gambaran yang merupakan ungkapan segala aspek kehidupan yang fiktif maupun fakta.
Salah satu karya sastra yang difilmkan adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Era globalisasi ini menuntut adanya perubahan dalam segala bidang, salah studynya dalam bidang perfilman. Banyak karya sastra yang difilmkan tapi sedikit sekali karya sastra bertema pendidikan yang diperfilmkan. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia juga dijadikan kebutuhan pokok riil pada setiap keberadaan manusia dimuka bumi ini, baik pendidikan formal maupun non formal. Banyak orang yang lapar akan hal itu, oleh karena itu mereka menonton film yang bertemakan pendidikan akantetapi baru sedikit jumlahnya yang bertemakan tentang pendidikan yang berakhir bahagia dan yang tidak bahagia. Walaupun tidak seperti film-film cinta yang banyak diproduksi, film yang bertemakan tentang pendidikan masih sangat jarang sekali jika kita bandingkan dengan film-film yang bertemakan cinta, hal tersebut banyak dipengaruhi oleh pasar perfilman Indonesia yang para penontonnya lebih suka menonton film yang bertemakan cinta ketimbang film pendidikan.
Film Laskar Pelangi merupakan suatu film yang menceritakan kepada kita mengenai suatu kehidupan, baik tentang sosial, budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Melalui film, pesan-pesan yang berhubungan dengan tema film dan segi kehidupan dapat dituturkan dengan bahasa audio visual yang menarik sesuai dengan sifat film yang berfungsi sebagai media hiburan, informasi, promosi maupun sarana pelepas emosi khalayak.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah interaksi multikulturalitas antar tokoh yang terdapat dalam film Laskar Pelangi?
Bagaimanakah pesan nilai-nilai multikulturalitas dalam film Laskar Pelangi (solidaritas, moder nisasi)?
Bagaimanakah keterkaitan proses transformasi novel ke dalam film Laskar Pelangi?
Apakah manfaat pengembangan pembelajaran apresiasi sastra mengenai film Laskar Pelangi?

1.3 Manfaat Penilitian
Mengetahui interaksi multikulturalitas antar tokoh yang terdapat dalam film Laskar Pelangi.
Mengetahui pesan nilai-nilai multikulturalitas dalam film Laskar Pelangi (solidaritas, moder nisasi).
Mengetahui keterkaitan proses transformasi novel ke dalam film Laskar Pelangi.
Mengetahui manfaat pengembangan pembelajaran apresiasi sastra mengenai film Laskar Pelangi.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Dimensi Multikultural dalam Karya Sastra
Hakikat karya sastra multikultural, seperti yang dikemukakan Ratna (dalam artikel Ahmad Taufik: 263), merupakan karya sastra yang menghidupkan kembali sastra warna lokal, yang mencerminkan kebiasaan dalam hidup beragama, adat istiadat, dalam suatu etnik tertentu, dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang lain. Indonesia menurut Ratna (dalam artikel Ahmad Taufik: 263) merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat istiadat, dan pola-pola perilaku dan kebiasaan yang beragam. Oleh karena itu, karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural.
1.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Agama
Dimensi agama memiliki posisi urgens ketika fakta dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari wacana agama. Wacana agama bahkan menjadi wacana yang selalu menarik untuk dianalisis sekaligus diperdebatkan. Hal itu karena di dalam agama terdapat dua lapis yang sama-sama penting kedudukannya, yaitu lapis esensi yang memuat nilai-nilai fundamental dalam suatu agama dan lapis normatif yang berkaitan dengan refleksi normatif agama itu terhadap nilai fundamental yang dianut. Oleh karena itu, keyakinan dan upaya untuk merealisasikan aturan normatif agama menjadi isu yang selalu menggerakkan banyak orang, baik untuk menyetujui maupun menolaknya.
2.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal
Dalam dimensi etnisitas, wacana multikultural muncul berkaitan dengan proses interaksi yang melibatkan dua kelompok etnik atau lebih. Interaksi demikian mengidealkan terjadinya proses yang produktif dalam kehidupan kebangsaan. Keanekaragaman kelompok etnik, idealnya harus dapat dikelola dengan baik dalam bingkai masyarakat Indonesia yang multikultural. Dalam kerangka tersebut, toleransi dan solidaritas menjadi urgens untuk dikembangkan dalam konstruksi visional negara kebangsaan.
3.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Hubungan Antar Ras
Dimensi selanjutnya yang penting untuk dicermati adalah hubungan antar ras. Sebagai negara yang pernah mengalami proses kolonisasi, sangat memungkinkan terjadinya hubungan antarras, yakni ras Timur (berwarna) dan Barat (putih). Pola hubungan tersebut dapat saling menegasi atau sebaliknya, yakni saling membantu.
4.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Gender
Wacana multikultural yang selanjutnya perlu dideskripsikan ialah berkaitan dengan pola hubungan antar gender. Dimensi itu perlu dianalisis karena dalam perkembangan sastra Indonesia wacana tersebut selalu mengemuka. Dalam konstruksi masyarakat multikultural seperti Indonesia, wacana itu penting untuk mendapat kajian yang memadai.

2.2 Proses Transformasi Novel ke dalam Film Laskar Pelangi
Transformasi dari novel ke dalam bentuk film bukanlah hal baru. Di Indonesia, setidaknya pada tahun 1951 proses transformasi dari novel ke film ini sudah dimulai yaitu ketika sutradara Huyung memfilmkan novel karya Armijn Pane yang berjudul Antara Bumi dan Langit. Namun, gaung dari fenomena transformasi dari novel ke film ini bisa dikatakan baru akhir-akhir ini saja mulai menggema ke berbagai kalangan masyarakat. Sebut saja novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) sebagai salah satu proses transformasi ke dalam film yang banyak menyedot perhatian masyarakat.
Perbedaan antara sebuah cerita dalam novel yang diangkat dalam film seringkali menimbulkan gambaran imajinasi pikiran saat membaca novel menjadi sebuah tuntutan atas visual yang tampak di layar film. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi pembaca saat membaca novel, maka akan merasa kecewa. Secara tidak langsung membandingkan Novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar. Tentu, pemindahan dari novel ke film akan memungkinkan terjadinya banyak perubahan. Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi kita secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda.
Durasi sebuah film sangatlah terbatas, berbeda dengan novel yang lebih leluasa mengeksplorasi cerita. Artinya, hal ini sangat memungkinkan tidak semua hal-hal yang ada di novel bisa dilihat dalam film. Tentunya, urutan adegan dalam novel sangat memungkinkan mengalami perubahan ataupun pemotongan ketika dialihkan ke film. Barangkali, sedikit berbeda jika dari novel diangkat ke dalam sinetron. Durasi sinetron yang umumnya berseri panjang tentu lebih leluasa memberi ruang untuk menerjemahkan cerita dari novel.
Paparan di atas bukan semata sebagai alat untuk memaklumi kenyataan banyak film yang tidak sebagus novelnya. Namun, setidaknya bisa kita jadikan bingkai berpikir realis karena pada kenyataannya antara novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Novel adalah kerja individu penulis, sementara film adalah kerja gotong royong yang melibatkan banyak orang dalam tim produksi tersebut.
Pembaca novel tentu sudah mempunyai ekspektasi tersendiri ketika hendak menyaksikan filmnya. Ekspektasi ini tentu antarindividu berbeda-beda. Bahkan, ada pembaca yang tidak mau melihat film yang diangkat dari novel karena khawatir kualitas filmnya tidak sebagus dengan novel. Khawatir apa yang sudah ada di benaknya tentang gambaran novel tidak ia temukan di film dan bisa-bisa mengubah persepsinya tentang novel yang sudah melekat di kepala. Sebaliknya, hal yang menjadi alasan mengapa banyak pembaca yang berbondong-bondong bahkan rela antre di bioskop adalah rasa penasaran untuk membuktikan atau menyamakan ekspektasi mereka antara novel dan filmnya. Misalnya saja bagaimana kondisi SD Muhammadyah yang begitu detail dideskripsikan Andrea Hirata dalam novel LP ketika divisualisasikan ke dalam film, dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang bisa jadi menyebabkan penyikapan berbeda para penulis novel terhadap hasil film yang diadaptasi dari novel karya mereka. Di atas, sudah saya paparkan beberapa penyebab mengapa Kang Abik kurang begitu puas dengan hasil film AAC. Sementara, kondisi LP memang berbeda dengan AAC, sehingga wajar jika Andrea merasa puas dengan hasil film LP. Pemilihan pemain-utamanya anggota Laskar Pelangi-langsung dilakukan di lokasi yang memang menjadi latar cerita sesungguhnya yaitu di Belitong. Hal ini tentu sangat banyak manfaatnya, selain aksen dialog yang memang sesuai dengan kondisi cerita, deskripsi Andrea yang sangat detail dalam novel LP memang mempermudah untuk memilih pemain yang benar-benar mendekati dengan karakter yang ada di novel. Selanjutnya tentang setting, kondisi ini juga sangat berbeda dengan kasus yang dialami AAC. LP lebih mudah untuk mencari lokasi pembuatan filmnya karena sampai kini daerah Belitong masih ada, meski Riri Reza sebagai sutradara mengakui banyak tantangan karena apa yang terjadi di novel yaitu kurun waktu 1970-an dengan kondisi sekarang banyak yang berubah.












BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Analisis Interaksi Multikulturalitas antar Tokoh yang Terdapat dalam Film Laskar Pelangi
a). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Agama
Di dalam cerita film Laskar Pelangi terdapat adanya pola hubungan antar penganut agama yang berbeda. Nilai toleransi dalam bersikap antar umat beragama ditunjukkan oleh A Kiong yang beragama Kong Ho Cu dengan ke Sembilan temannya yang beragama Islam. Tetapi hubungan perbedaan keyakinan yang terjalin di antara kesepuluh anak kecil ini terjalin dengan baik, tanpa adanya rasa diskriminasi dan pengucilan di pertemanan mereka.
Keberadaan A Kiong menjadi salah satu siswa di SD Muhammadiyah, merupakan salah bukti bahwa perbedaan agama yang ada di lingkungan masyarakat Belitong menunjukkan betapa toleransinya hubungan antar umat beragama, sehingga menghasilkan suatu pola hubungan multikultural di dalam dimensi agama.
Bahkan di akhir cerita film LP, A Kiong atau yang memiliki nama ber-ras Cina, Chau Chin Kiong ini, menjadi seorang mualaf setelah ia menikah dengan salah satu teman perempuan sepermainnanya sejak kecil atau Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah. Bahkan setelah masuknya A Kiong menjadi umat muslim, ia rela menganti namanya yang melekat sejak lahir dengan nama Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman.

b). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal
Di dalam dimensi etnisitas, wacana multikultural muncul berkaitan dengan proses interaksi yang melibatkan dua kelompok etnik atau lebih. Sedangkan pola hubungan multikulturalitas yang terdapat dalam film LP ini dapat digambarkan, bahwa dalam masyarakat multikultural dapat terwujud proses interaksi yang damai dan toleran antar etnis yang ada. Hal ini terjadi dalam cerita, bahwa Chiong Si Ku atau sembahyang rebut setiap tahunnya diadakan oleh warga Tionghoa. Mereka merayakannya dengan warga sekitar atau warga lain yang berbeda agama. Biasanya mereka mengadakan aneka perlombaan dan hiburan yang boleh diikuti oleh semua warga, diantaranya lomba panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu. Dengan demikian kegiatan seperti ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampong Belitong; orang Tionghoa, Melayu, Pula bersarung dan warga Sawang berkumpul.
Hubungan keempat etnis tersebut menunjukkan proses sosial yang cukup toleran dan penuh kedamaian di dalam lingkungan bermasyarakat. Semua itu juga merupakan cerminan fakta masyarakat multikultural yang terjadi secara harmonis dan menyenangkan. Sehingga memunculkan rasa kebersamaan sebagai warga setanah air, berideologi sama, walaupun diantara keempatnya memiliki keimanan yang berbeda.

c). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Hubungan Antar Ras
Sebagai negara yang pernah mengalami proses kolonisasi, sangat memungkinkan terjadinya hubungan antar ras, yakni ras Timur (berwarna) dan Barat (putih). Pola hubungan tersebut dapat saling menegasi atau sebaliknya, yakni saling membantu.
Sedangkan dalam film LP dimensi hubungan antar ras begitu nampak dalam cerita, yaitu terjadi perbedaan dalam kesetaraan pola hidup dan jaminan antar ras warga asli Belitong dengan pegawai tambang PN Timah. Bahwasanya yang menikmati hasil tambang timah yang ada di tanah Belitong, kesemuanya hanya dirasakan oleh pegawai tinggi saja. Sedangkan warga Belitong asli yang hanya menjadi pegawai rendahan di penambangan tersebut hidupnya tidak mengalami kelayakan dalam sehari-harinya seperti orang-orang pegawai tinggi tambang PN timah yang berasal dari luar daerah bukan asli warga kelahiran tanah Belitong. Hal inilah yang menunjukkan perbedaan antar ras pendatang dengan warga asli begitu nampak terjadinya diskriminasi antar golongan yang tidak seimbang.
d). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Gender
Di dalam film LP terdapat fenomena konstruksi hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Bahwasanya perempuan harus berani mengambil peran dengan cara memajukan diri sesuai dengan kehendak atau egonya. Dengan begitu perempuan dapat berbuat atau bertingkah bebas, asalkan masih dalam kaidah kewajaran sebagai diri perempuan.
Kebebasan perempuan itu ditunjukkan pada karakter tokoh Flo. Kebebasan yang nampak baik dari penampilan atau cara berpakaian maupun dalam pilihan jalan hidup yang ia pilih sesuai kehendak dan kemauannya. Padahal Flo di dalam cerita digambarkan sebagai anak perempuan dari seorang pegawai kaya dari salah satu pekerja di perusahaan timah Belitong.
Flo melakukan suatu pemberontakan di dalam jalan hidupnya bersama keluarganya. Ia memilih keluar dari sekolah negeri, dan memutuskan untuk bersekolah di SD Muhamadiyah yang dianggapan keluarganya sebagai sekolah yang tidak mencerminkan masa depan para siswanya. Flo juga memilih untuk berteman dengan kesepuluh anak Laskar Pelangi. Karena dengan jalan demikian Flo merasa dirinya terasa longgar dalam menjalani hidup, dan berkawan dengan teman-teman yang suka akan tantangan dan kekonyolan ide kreativitas yang dihasilkan.

2.Nilai-nilai Multikulturalitas dalam Film Laskar Pelangi (Toleransi, Moderenisasi, Solidaritas)
Pesan nilai-nilai multikulturalitas yang terdapat dalam film LP yaitu:
a). Nilai Toleransi
Toleransi merupakan suatu sikap menghargai atas perbedaan-perbedaan yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Nilai toleransi yang terdapat di dalam film LP adalah adanya toleransi antar umat beragama, budaya, adat istiadat yang terjadi di dalam masyarakat Belitong.
Nilai toleransi yang terdapat dalam film LP diantaranya adanya nilai toleransi dalam antar umat beragama yang terlihat dari penerimaan A Kiong yang beragama Kong Hu Cu dapat bersekolah di SD Muhammadiyah yang berlandaskan islami. Sedangkan nilai budaya begitu nampak dalam cerita LP, bahwasannya masyarakat Belitong yang bersuku Melayu asli begitu terbuka menerima budaya Tionghoa yang berkembang di daerah tersebut.

b). Nilai Moderenisasi
Moderenisasi merupakan suatu upaya meninggalkan ketradisionalan dalam pola hidup beralih menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Hal ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan hidup yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan dunia.
Nilai moderenisasi yang terlihat dalam cerita film LP nampak pada penggunaan alat hitung berupa kalkulator yang merupakan dampak dari pemanfaatan tekhnologi yang digunakan di dalam proses pembelajaran menghitung. Hal ini nampak dialami para siswa SD PN Timah pada saat mengikuti proses pembelajaran di kelas. Berbeda dengan SD Muhamadiyah yang masih menggunakan alat tradisional, yaitu menggunakan potongan lidi sebagai alat penghitung.
Tidak hanya itu, moderenisasi juga nampak pada penggunaan mesin-mesin canggih sebagai alat pendulang timah. Diantaranya pemakaian mesin diesel sebagai alat penyedot air tanah, serta pemanfaatan pembangkit listrik sebagai alat penerangan dan sumber tenaga untuk mengoperasikan mesin yang berkekuatan listrik.

d). Nilai Solidaritas
Rasa kebersamaan dan perasaan satu dengan yang lain merupakan wujud dari sikap solidaritas. Hal ini mampu terjalin jika saling adanya rasa memiliki satu dengan yang lain. Dalam film LP nilai solidaritas ini nampak dialami pada persahabatan kesepuluh anak Laskar Pelangi dalam keseharian mereka.
Sikap kesolidaritasan ini terjalin sangat kuat, mereka selalu bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Hal ini nampak pada saat salah satu dari mereka mengalami kesedihan karena ditinggal sang pujaan hati. Teman yang lain berusaha untuk menghiburnya dengan menyanyi dan menari bersama hingga rasa kesedihan itu benar-benar hilang. Selain itu rasa kesolidaritasan antar sekawan ini nampak pula pada ending cerita, ketika Lintang beberapa hari tidak kelihatan datang mengikuti kegiatan di sekolah. Sehingga menimbulkan rasa kehilangan yang sangat mendalam di lubuk hati kesembilan sahabat Laskar Pelangi dan rasa kehilangan ini juga dialami oleh guru kesayangan Lintang yakni Bu Muslimah.

3.3 Keterkaitan Proses Transformasi Novel ke dalam Film Laskar Pelangi
Transformasi dari novel LP ke dalam bentuk film banyak menimbulkan perasaan kecewa karena merasa apa yang dilihat di film tidaklah sama dengan apa yang dibaca di novelnya. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi saat membaca novel, maka pembaca akan merasa kecewa. Secara tidak langsung pembaca membandingkan novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar.
Pemindahan dari novel ke film memungkinkan terjadinya banyak perubahan. Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi seorang pembaca secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa titik kritis yang dilihat masyarakat adalah cerita di film yang tidak selengkap di novel, alur yang berubah, pesan yang kurang sampai, keindahan novel tidak terlihat dalam film, adanya tokoh dalam novel yang tidak semua muncul di film, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat penikmat film merasa kecewa usai melihat film tersebut.
Di dalam transformasi novel LP pada dasarnya banyak hal yang berubah atau berbeda antara novel LP dan film LP, akan tetapi perbedaan-perbedaan itu menutupi kekurangan yang ada di film, dan hal ini jarang terjadi pada kasus transformasi novel ke film yang lain. Novel LP memiliki kelebihan utama pada teknik penceritaan yang berupa deskripsi detail baik dari segi karakter tokoh maupun setting, akan tetapi dari segi konflik dan pergulatan cerita bisa dikatakan kurang. Film LP terdapat beberapa tokoh baru yang muncul di film yang sebelumnya tidak ada di novel, misalnya tokoh Bakri yang merupakan guru SD Muhammadiyah dan juga Mahmud (diperankan Tora Sudiro). Kemunculan kedua tokoh tersebut tentu bukan tanpa maksud, saya melihatnya sebagai upaya untuk membuat cerita lebih hidup. Di film diceritakan Bakri mengundurkan diri sebagai guru di SD Muhammadiyah karena mendapat tawaran menjadi guru di sekolah Negeri 1 Bangka dan Mahmud jatuh hati pada ibu Muslimah.
Perbedaan lain selain pada tokoh, terjadi pula pada jalan cerita. Di novel, di ceritakan saat mengikuti karnaval peserta SD Muhammadiyah berjumlah 58 orang. Akan tetapi dalam film hanya berjumlah 8 orang. Setting dalam adegan karnaval belum optimal, padahal seharusnya bisa lebih dimaksimalkan untuk menyerupai cerita di novel. Reka kostum yang dipakai tim SD Muhammadyah saat karnaval masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan apa yang ada di novel. Begitu juga adegan tarian sewaktu anggota karnaval gatal-gatal akibat terkena getah buah aren, apa yang ada di film sangat belum maksimal. Padahal, justru hal itulah yang membuat tim SD Muhammadyah memenangkan karnaval. Tarian yang dihasilkan terlihat seolah-olah mengada-ngada dengan adanya ilustrasi suara dan gerakan-gerakan yang tidak sesuai dalam novel.
Terlihat juga pada tokoh Pak Harfan tidak diceritakan meninggal, tetapi di film diceritakan meninggal dengan tiba-tiba, sehingga Bu Mus begitu terpukul. Ada satu adegan mengharukan, ketika Bu Mus sempat mogok tidak mau mengajar, digambarkan bagaimana anggota LP tetap bersemangat belajar di sekolah dengan Lintang sebagai gurunya. Adegan ini tidak ada di novel, tetapi saat dimunculkan di film bisa dikatakan cukup berhasil mengaduk emosi penontonnya. Begitu juga adegan ketika Mahar menyayikan lagu Seroja sebagai backsound adegan Ikal jatuh cinta pada A Ling. Adegan yang ternyata cukup menyita perhatian penonton ini sebelumnya juga tidak ada di novel. Dalam novel hanya diceritakan bahwa Mahar mempunyai kelebihan dalam hal berkesenian dan ketika tampil di depan kelas menyayikan lagu Tenasse Waltz karya Anne Muray sambil memainkan alat musik ukulele.
Perubahan yang paling mencolok adalah pada saat adegan cerdas cermat. Perbedaan tidak saja terjadi pada perubahan tokoh yang ikut cerdas cermat, yang di novel semestinya adalah Sahara, akan tetapi di film justru Mahar. Ataupun di novel seharusnya regu SD Muhammadyah yang didebat oleh Drs. Zulfikar (diperankan Slamet Raharjo), tetapi di film justru SD Muhammadyah dibela oleh Bapak Mahmud, guru SD PN sebagai rival dalam cerdas cermat tersebut. Semua soal-soal yang diberikan pun tidak sesuai dengan yang ada di novel.
Pada satu sisi, film LP memang banyak memiliki kelebihan, pada sissi lain terdapat kakurangan dalam filmnya. Karena tidak semua adegan dalam novel dimunculkan dalam film, tentu saja hal ini bisa saja terjadi karena durasi film yang terbatas. Namun, semua sisi yang ada di novel pada dasarnya hendak ditampilkan dalam film, meskipun hanya sekilas. Misalnya saja tentang hilangnya Flo ataupun ekspedisi ke Pulau Lanun. Meski tidak lama, kedua adegan ini sempat ditampilkan. Kondisinya memang berbeda, misalnya pada sosok Mahar dan Flo yang gemar dengan dunia mistik, cerita itu dalam novel terjadi setelah mereka cukup dewasa, sementara secara garis besar cerita di flim terjadi dalam kurun waktu saat mereka masih di SD.


3.4 Manfaat Pengajaran Apresiasi Sastra Film Laskar Pelangi Bagi Pembaca
Pengalaman sastra mencakup dua hal, yakni pengalaman apresiatif dan pengalaman ekspresif. Pengalaman berarti jumlah keseluruhan sesuatu yang terjadi, yang menyenangkan dan kurang menyenangkan, yang diamati, yang dipikirkan, yang diprakasai, yang dikerjakan bersama-sama. Pengalaman menyebabkan manusia menjadi lebih arif, lebih mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang pelik. Segala kegiatan yang berkaitan dengan sastra disebut pengalaman sastra. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan penikmatan, penghargaan, dan pengenalan secara mendalam terhadap pengalaman manusia yang indah disebut pengalaman apresiatif. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan pengungkapan atau ekspresi diri manusia melalui sastra disebut pengalaman ekspresif (Ardiana dalam Aminuddin, 1990: 223).
a). Peningkatan kualitas kehidupan dan pembentukan watak positif,
Setelah melihat film karya Andrea Hirata yang berjudul LP, kita dapat memahami watak tokoh yang masing – masing mempunyai kualitas hidup yang pada zaman sekarang ini sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarakat perkotaan yang serbah canggih dan mewah.
b). Pengembangan Kepribadian
Dalam karya sastra yaitu LP yang berbentuk novel yang telah ditranformasikan dalam sebuah film, telah diceritakan banyak pembelajaran yang bisa di petik dalam setiap cuplikan film LP. Pada film tersebut diajarkan bagaimana berbagai ilmu pengetahuan tentang lingkup pendidikan dan ilmu agama yang dapat mengembangkan kepribadian kita sebagai pembaca.
c). Melatih Keterampilan Berbahasa
Sebagai seorang pendidik juga dapat memanfaatkan film LP sebagai salah satu bahan untuk kegiatan pembelajaran kepada peserta didik, contohnya:
Siswa mendiskusikan film LP karya Andrea Hirata untuk diapresiasi. Kegiatan siswa tersebut menggambarkan keterkaitan antara pengajaran apresiasi sastra dengan salah satu keterampilan berbahasa yaitu berbicara berbicara.


























BAB IV
KESIMPULAN

Proses transformasi dari novel ke film merupakan hal yang sudah biasa dilakukan dalam perfilman di indonesia. Dan seringkali menyebabkan reduksi terhadap gambaran imajinasi pembaca yang diubah menjadi lebih nyata atau visual. Seringkali gambaran imajinasi kita saat membaca novel menjadi sebuah tuntutan atas visual yang tampak di layar film. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi kita saat membaca novel, maka kita akan merasa kecewa. Secara tidak langsung kita membandingkan Novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar. Tentu, pemindahan dari novel ke film akan memungkinkan terjadinya banyak perubahan.
Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi kita secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda. Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata adalah salah satu film yang diangkat dari sebuah novel.
Di dalam cerita film Laskar Pelangi terdapat Interaksi Multikulturalitas antar tokoh, nilai-nilai multikulturalitas (toleransi, moderenisasi, inklusivitas, solidaritas) yang dapat kita kaji sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra. Manfaat yang diperoleh dari pengalaman apresiasi sastra antara lain: Peningkatan kualitas kehidupan dan pembentukan watak positif, pengembangan kepribadian, melatih keterampilan berbahasa.
DAFTAR RUJUKAN



Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Herata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
Film Laskar Pelangi (Sutradara; Riri Raza).
http://bensuseno.wordpress.com/ Film Adaptasi Karya Sastra. Diakses pada 12/12/2010. http://kamajayadalamkata.multiply.com/journal/item/18/Film_Laskar_Pelangi_Transformasi_Kritis_dari_Novel_Best-seller. Diakses pada 12/12/2010.
http://laskarpelangithemovie.blogspot.com/2009/03/film-laskar-pelangi-diluncurkan-dalam.html. Diakses pada 12/12/2010.
http://nunulines.blogspot.com/2010/02/dari-novel-hinggap-ke-layarkaca.html.Diakses pada 12/12/2010.

POTRET KREATIF IMAJINASI KARYA SASTRA AYU UTAMI

POTRET KREATIF IMAJINASI KARYA SASTRA AYU UTAMI


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

1.Lingkungan Sosial Ayu Utami
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara, pasangan dari Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP. Sosoknya dikenal tipe orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta.
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-
satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab ditulis oleh orangbanyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau di dalam novel Saman, terdapat adanya petikan-petikan ayat Alkitab yang diselipkan dalam cerita. (http://www.yoogee.com)
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami walaupun ia mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU, Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan orang tuanya, selai lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI (http://www.yoogee.com). Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah. Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak adagunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R (http://www.yoogee.com).
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional. Akan tetapi pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, ia akhirnya terbawa arus menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers.
Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di AliansiJurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak aparat (http:cyberman.cbn.net.id). Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter (http://www.yoogee.com).

2.Karya Sastra yang Dihasilkan Ayu Utami
Ayu Utami merupakan salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia. Hal ini terbukti bahwa karya Ayu Utami begitu fenomenal dan dianggap kepenulisannya membawa perubahan baru di dalam perkembangan sastra Indonesia. Selain dikenal akan karya-karya sastra yang dihasilkan, ia juga memiliki segudang pengalaman di dalam dunia jurnalistik Indonesia. Ayu Utami pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tapi sayangnya tidak lama kemudian sejumlah media masa mengalami penutupan. Diantaranya Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru. Ia juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan media masa pada masa itu. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ia juga ikut gabung dalam Teater Utan Kayu. Novel Ayu Utami yang pertama kali terbit berjudul Saman, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 1998. Novel yang kedua berjudul Larung, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 2001. Novel keempat berjudul Bilangan Fu, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 2008, dan yang novel yang terbaru berjudul Manjali dan Cakrabirawa, diterbitkan .

Novel ini mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salahnovel Saman malahmenjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka (http:cyberman.cbn.net.id).
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak. Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinankarena citra laki-laki gantengyang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang
bergaya militer (http:cyberman.cbn.net.id).
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan (http:cyberman.cbn.net.id).
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk Indonesia sekarang kan sudah padat sekali (http:cyberman.cbn.net.id).



LARUNG
Larung adalah novel kedua karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Novel ini adalah kelanjutan dari Saman yang pada awalnya dua novel tersebut direncanakan sebagai buku berjudul Laila Tak Mampir di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Pada akhirnya Saman dan Larung merupakan dwilogi yang berdiri sendiri. Pada buku ini bertambah lagi satu tokoh utama bernama Larung Lanang selain tokoh-tokoh sebelumnya Laila, Shakuntala, Saman dan Yasmin.
Pada novel ini, Ayu Utami mencerminkan ideologi dirinya pada salah satu tokoh yang bernama Tala, seperti yang tampak pada kutipan novel berikut ini:

“Di sini, di kota asing ini, malam hari ayahku mengikatku pada tempat tidur dan memberiku dua pelajaran tentang cinta. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberiakn tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak ketika dewasa, aku menganggap persundalan yang hipokrit (Larung, 120-121).”

Tala di usia remajanya melakukan sebuah perlawanan terhadap konstruk sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh perempuan, sementara lelaki sendiri tidak pernah dipersoalkan keperjakaannya. Pemikiran ini berlanjut ketika Tala menginjak dewasa, dirinya diberi wejangan tentang keperawanan dan perkawinan oleh ayahnya.
Novel 'Larung' dimulai dengan pembaca diperkenalkan kepada watak Larung, seorang manusia dengan sejarah hitam, yang mencoba mengarungi hidupnya dengan segala-galanya yang membelenggu jiwanya. Kisah hidupnya penuh liku-liku, ditambah lagi dengan kehadiran neneknya, seorang "makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar kotoran dan kekejian." Larung mempunyai seorang nenek dengan kuasa mistik luar biasa. Beliau menganggap neneknyalah yang telah menyebabkan kematian ibunya. Kematian neneknya sendiri menjadi misteri. Ayu Utami membuka novel 'Larung' dengan kematian nenek Larung (yang dilakukan secara euthanasia oleh Larung sendiri). Dari awal pembukaan novel ini saja sudah mampu membuat pembaca mengamati tulisan Ayu dengan penuh minat. Pada 'Larung', Ayu lebih menitik beratkan kepada soal deskriptif yang lebih visual dan berani. Ada kalanya erotis yang nampak pada bagian berikut ini:

“Dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga selalau terlambat tertawa-kadang sama sekali tak paham apa yang kami luconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan postorgasme yang menyenangkan. (Larung, 132)”
Pastinya novel 'Larung' ini lebih sesuai untuk pembaca-pembaca dewasa yang matang. Pada novel ini, Ayu juga banyak menceritakan tentang politik melalui apa yang terpaksa dilalui oleh watak-wataknya. Ungkapan liku-liku sejarah Partai Komunis Indonesia, sampai pada penyerbuan pejabat Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri yang dikenal dengan Peristiwa 27 Juli 1996 ada disebutkan sekali. Sesekali juga disebut nama-nama pemikir kiri kontemporari seperti Gramsci dan Chomsky, selain haluan ideologi komunisme dan sosialisme. Sedangkan adegan di atas ranjang yang terdapat dalam novel ini diselang-selikan dengan tema politik juga sosio-politik. Pendekatan Ayu terhadap watak-watak yang mendukung semangat feminisme progresif seperti Yasmin, Shakuntala, dan nenek Larung juga amat menyegarkan. Begitulah tokoh-tokoh fiksi Ayu Utami. Sesungguhnya novel Larung adalah sebuah upaya artistik untuk mengejek lembaga agama dengan segala perangkat dan ajarannya. Maka eforia reformasi ini memang mempunyai peluang untuk menyampaikan pikiran seperti itu, dan Ayu Utami memanfaatkan momen ini.

Bilangan Fu
Novel Bilangan Fu menceritakan persahabatan antara Yuda, Parang Jati dan Marja. Mereka terlibat dalam pengalaman-pengalamn spiritual. Yuda seorang pemanjat tebing yang sering bersifat skeptis dan sinis, bersama kelompoknya ia membuka jalur pemanjatan baru di daerah Sewugunung, sekitar Yogyakarta.
Parang Jati merupakan tokoh yang berperan sebagi mahasiswa Geologi berjari dua belas yang tinggal di Sewugunung. Parang Jati dan Yuda bertemu ketika Yuda pergi ke rumh Fulan, salah satu temannya. Keduanya lalu bersahabat.
Parang Jati sangat menghormati alam. Ia mengkritik semua perilaku manusia yang merusak alam, karena itulah ia menjadi vegetarian. Ia juga tidak nsetuju dengan pemanjatan yang dilakukan Yuda yang dianggapnya merusak alam. Parang Jati sangat menghormati kehidupan dan kepercayaan masa lalu saat manusia hidup selarasa denfgan alam. Ia berani bersikap kritis terhadap agama-agama langit yang menentang berlanjutnya pemujaan-pemujaan terhadap alam. Bahkan kemudian, ia berniat membuat agama baru ”Kejawen Anyar” yang mengusung sikap spriritualisme kritis. Dari sikap Parang Jati tersebut, ia mendapatkan musuh. Pemuda yang tiga tahun lebih muda bernama Kupukupu dan berganti nama menjadi Farisi. Ia adalah saudara kandung Parang Jati, tapi tidak seberuntung Parang Jati yang diangkat anak oleh Suhubudi yang kaya raya. Farisi mengagungkan agamanya dan menolak pemberhalaan apa pun selain Tuhan. Lalu mencullah konflik-konflik di Sewugunung. Tewasnya seorang dukun klenik oleh anjing gila dan kemudian mayatnya hilang dari kubur, adanya perusahaan pertambangan yang ingin mengeksplorasi batu kapur Watugunung. Isu pembunuhan dukun santet oleh Ninja, juga konflik lokal antara kepolisian dan tentara.
Kehadiran Marja sebagai kekasih Yuda yang kemudian juga dekat Parang Jati menjadikan mereka terikat dalam cinta segitiga. Namun, cinta segitiga tidak menjadi sorotan utama dalam novel Bilangan Fu. Novel ini lebih menekankan pada konsep spiritualisme kritis.

RANCANGAN PENILAIAN SISWA SMA KELAS 1 SEMESTER 2

RANCANGAN PENILAIAN SISWA SMA KELAS 1 SEMESTER 2


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010


RANCANGAN PENILAIAN
Jenjang SMA kelas X Semester 2
Standar Kompetensi : 16 Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen.
Kompetensi Dasar : 16.1 Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar dan konflik)
Tes Kemampuan Kesusastraan
Jenis Tes : Tes Kinerja
Instrumen :
1.Tentukan topik (ide) yang berhubungan dengan kehidupan diri sendiri untuk menulis cerpen.
2.Tulislah kerangka cerpen berdasarkan kelengkapan unsur cerita di dalamnya (tokoh, alur, seting, amanat, konflik).
3.Kembangkan kerangka yang telah dibuat ke dalam bentuk cerpen.
Kolom Penilaian :
No
Aspek yang Dinilai
Sekor
Bobot Nilai
1
Kerangka Cerpen

5

Sesuai
3


Kurang sesuai
2


Tidak sesuai
1

2
Daya Tarik Ide

5

Baik
3


Kurang baik
2


Tidak baik
1

3
Pengembangan Ide

5


Baik
3


Kurang baik
2


Tidak baik
1


4
Kelengkapan Unsur Cerita

5


Lengkap
3


Kurang lengkap
2


Tidak lengkap
1


Skor Pemerolehan



Keterangan Kolom Penilaian:
Skor maksimum= 4(3x5)= 60
Rumus penjumlahannya:
Skor pemerolehan
Nilai max = X 100 =6060 x 100 = 100
Skor maksimum

Contoh Penilaian:
Midun mendapatkan nilai penulisan cerpen; kerangka cerpen (3), daya tarik ide (3), pengembangan ide (3), kelengkapan unsur cerita (3).
= Jadi penjumlahan nilainya:
kerangka cerpen: 3x5=15
daya tarik ide: 3x5=15
pengembangan ide: 3x5=15
kelengkapan unsur cerita: 3x5=15
Jumlah keseluruhan: 15x 4= 60

Skor pemerolehan
=Nilai Midun: X 100 =6060 x 100 = 100
Skor maksimum


Contoh Kerangka Cerpen:














Contoh Cerpen:

Sang MAYAR (Memoar Pengakuan Luka Lara)

Oleh; Midun Aliassyah


Siapakah aku, sehingga diriku pantas diperebutkan?
Apakah aku adalah kehormatan. Aku adalah kecemburuan yang bersemayam di dada setiap insan! Apa aku adalah akal yang sehat. Kemuliaan, sehingga aku patut disebut kesucian. Dan apakah aku adalah kebaikan, serta membawa kehidupan yang bahagia. Apakah aku seorang bidadari yang dirindukan setiap kaum adam di akhirat nanti. Apakah semua itu seorang aku??
Sungguhpun itu benar seorang aku, mungkin aku tidak akan menjadi perempuan seperti sekarang yang aku alami. Hal ini, berbanding terbalik 99%. Tak tau satu persennya apakah benar-benar ada dalam cerminan diriku! Padahal kenyataanya, aku hanya seorang perempuan penyamun. Merebut paksa hak orang lain, yang sewajarnya itu bukan hak milikku. Melucuti uang mereka untuk saweran ku. Tiap malam kerjaanku melalang buana di kerumunan laki-laki hidung belang. Dan aku di maknakan sebagai perempuan idola. Maskot keramat yang boleh dijamahi mereka. Tetapi kaum ini, pantas disebut sebagai seorang raja nafsu, yang tak punya rasa malu kepada Tuhan, istri, bahkan anak-anaknya. Kaum ini memang pandai dalam mencari hal nafkah. Bahkan disandangkan oleh Tuhan sebagai sosok pemimpin dibandingkan kaum lawan jenisnya. Tetapi realitanya, ia hanya memburu nafsu!
###

POTRET DEWI SARTIKA DI DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME: TINJAUAN KRITIK SASTRA

POTRET DEWI SARTIKA DI DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME:
TINJAUAN KRITIK SASTRA


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

A.KAJIAN TEORI
1.Kritik Sastra: Psikologi Sastra, Karya dan Pengarang
Pengertian kritik sastra menurut Guntur Tarigan (Tarigan 1993 : 188) ialah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan atau penilaian yang adil terhadap karya sastra. Jadi secara sederhana, kritik sastra dapat diartikan sebagai penilaian terhadap mutu karya sastra berdasarkan kriteria dan pendekatan tertentu. Di dalam melakukan proses penilaian ini, pengritik setidaknya memiliki teori kajian dalam menelaah sebuah karya sastra. Pengritik bisa menilai sebuah karya sastra dapat dinilai dari bidang ilmu sastra, baik dari segi ilmu sosiologi sastra, psikologi sastra ataupun antropologi sastra.
Perihal mengenai definisi proses penilaian dan pengkajian terkait teori di atas, peniliti di sini akan melakukan penilaian terhadap karya sastra pada proses penilaian dari segi ilmu psikologi sastra. Baik dari psikologi karya dan juga psikologi pengarang. Peniliti melakukan penilaian karya sastra ini, mengambil novel Dadaisme sebagai obyek penilitian. Pengarang novel tersebut bernama Dewi Sartika. Novel Dadaisme ini adalah pemenang I sayembara novel 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sehingga sangat begitu menarik jika peniliti melakukan kritik sastra dari segi psikologi sastra baik karya ataupun psikobudaya pengarangnya.
Kekayaan jiwa yang ada dalam isi karya yang diciptakan pengarang merupakan pengalaman berharga yang menempa pengarang agar lebih dewasa. Atas dasar ini, orisinalitas karya akan lebih terjaga. Hal ini seperti telah dikemukakan oleh Suwardi Endraswara (Metode penilitian Psikologi Sastra. 2008:96), faktor budaya, pribadi, dan moral yang mengitari jiwa akan menjadi landasan pengarang di dalam menuangkan ide ke dalam bentuk cerita, baik berpengaruh dari segi internal maupun eksternalnya. Kebanyakan pengarang dalam menggambarkan proses kreatif pada dirinya mengakui bahwa menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu. Maka peneliti, juga perlu merunut budaya apa saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan.
2.Sinopsis Novel Dadaisme
Novel Dadaisme karya Dewi Sartika menceritakan tokoh-tokoh yang unik, dengan benang merah perselingkuhan dan anak-anak yang lahir darinya. Tiap tokohnya mempunyai konflik yang sedemikian rumit, namun mereka mempunyai cara sendiri untuk menyelesaikan permasalahannya masing-masing, misalnya dengan mengakhiri hidup orang lain atau dengan bunuh diri. Kekacauan tokoh dan alur dalam novel ini pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini, yakni tentang orang-orang yang sibuk menghadapi berbagai masalah tanpa sempat mendalami masing-masing masalahnya.
Tokoh utama bernama Nedena, anak berumur 10 tahun yang dianggap gila akan sikapnya yang aneh untuk anak seusianya. Sejak lahir Nedena tidak mempunyai ayah sedangkan Ibunya telah meninggal dunia tetapi ia mempunyai bibi yang bertanggung jawab mengasuhnya.. Ia sangat pendiam dan tidak dapat berbicara, bukan karena dia bisu namun kegembiraannya seperti tertelan oleh waktu. Ia sangat membenci warna biru, bahkan ia tidak tahu kenapa. Ia beranggapan bahwa warna biru itu warna yang jelek, sehingga setiap kali ia menggambar langit, ia mewarnainya dengan beragam warna kecuali warna biru. Setiap ia merasa kesepian, akan datang seorang malaikat kecil bernama Michail yang mempunyai satu sayap hitam tidak seperti malaikat pada umumnya yang memiliki dua sayap putih.
Malaikat itu seperti gambaran imajinasi antara ada dan tiada yang selalu datang mememani orang yang sedang dalam kesedihan. Karena dianggap gila dan aneh oleh orang-orang termasuk bibi dan gurunya di sekolah, ia dibawa dan di rawat oleh seorang Psikater bernama Dr. Aleda. Mereka mengharapkan agar Nedena kembali normal. Kebetulan Dr. Aleda tertarik untuk menyelidiki sikap aneh Nedena tersebut. Selama Dirawat, Michail selalu menemani Nedena kemanapun. Suatu hari Nedena menjalani terapi hipnosa, ia ditanya-tanya tentang masa lalunya, tetapi ia tidak ingat. Bahkan ingatannya seperti pembekuan waktu. Ketika ia di minta untuk menggambar kesukaannya, ia menggambar anak kecil dengan satu sayap hitam menyerupai malaikat.
Selain Nedena, hal serupa juga dialami seorang anak bernama Flo yang beusia 14 tahun. Gambar kesukaannya pun menyerupai gambaran yang digambar Nedena. Ia juga bersikap aneh, namun sikap anehnya tidak menonjol sehingga ia seperti anak normal lainnya. Suatu malam, ia membantai keluarganya, mulai dari ayah, ibu, kakak, dan adiknya. Setelah ia membantai keluarganya ia mengundang beberapa teman kelasnya ke rumahnya dengan alasan ada sebuah pesta. Anehnya ia tidak menyadari bahwa ia telah membunuh keluarganya. Bahkan saat ditanya tentang keluarganya, ia menjawab bahwa keluarganya sedang dirumah dan masih hidup.
Misteri terpecahkan saat Dr. Aleda melakukan hipnosa kepada Nedena, mula-mula Nedena menyebut dan memanggil-manggil nama “Michail”. Dia mulai bicara walau dalam keadaan tidak sadar. Lambat laun ia teringat masa lalunya yang entah berberapa tahun yang lalu, tampaknya saat Nedena berusia 6 tahun. Tanpa sadar ia menceritakan kejadian-kejadian yang mengunci pita suaranya. Pada saat itu Nedena ingin memiliki mainan yang bewarna biru, namun ibunya malah memarahinya. Nedena ingin main api yang baru menyala yang bewarna biru, tapi api itu membesar dan Nedena lari keluar rumah karena Nedena takut dimarahi ibunya. Kemudian api itu membakar rumah Nedena sedangkan Ibunya masih tertidur didalam rumah. Nedena merasa ia yang telah membuat ibunya meninggal. Saat ia kembali ke alam sadarnya, ia seperti kebingungan dan menangis.
Lama-kelamaan Dr.Aleda menyukai anak manis ini, ia ingin mengadopsi Nedena. Terlebih dahulu ia meminta izin pada suami dan madunya, dan merekapun setuju. Aleda sangat senang, ia ingin segera memberi tahu dan menjemput Nedena. Saat ia dalam perjalanan kembali ke kantor psikaternya, sepintas ia melihat sosok yang hanya ada dalam bayangan dan gambar-gambar Nedena, Aleda tampak bingung dengan apa yang dilihatnya. Saat ia kembali ke kantornya, perasaannya sangat tidak enak. Saat ia sampai di ruangannya, ia menjerit pilu bertapa tragisnya melihat Nedena yang menggantungkan leher kecilnya dengan seutas tali di ruang praktiknya.

3.Biografi Dewi Sartika Pengarang Novel Dadaisme
Dewi Sartika adalah pemenang I sayembara novel pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), melalui karyanya yang berjudul Dadaisme. Saat itu namanya mulai dikenal masyarakat atas prestasi yang diraihnya. Walaupun darah minang di keluarganya sangat kental, ia lahir di kota Cilegon pada tanggal 27 bulan Desember tahun 1980.
Dewi Sartika sudah aktif menulis sejak ia duduk di bangku SD. Bisa dibilang ia pertama kali memulai niatnya untuk benar-benar serius terjun ke dunia tulis-menulis ketika usia SMA. Hal ini terbukti cerpen pertamanya yang bertema remaja di muat di majalah sekolah dengan judul Kakekku Arjuna,dan menjadi pilihan favorit redaksi majalah.
Riwayat pendidikan Dewi Sartika, yakni ia lulusan dari SMPN 10 Bandung (angkatan 1995), dan melanjutkan di SMUN 7 Bandung (angkatan 1996), hingga ia melanjutkan kuliah dengan memilih Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai program pendidikannya di Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI Bandung (angkan 2000). Hingga ia menghasilkan beberapa novel Dadaisme, Natsuka, My Silly Enggagement, Numeric Uno, Dunia-Duniya dan novel yang terbaru berjudul Ranah Sembilan. Selain Dadaisme, karya Dewi Sartika yang pernah mendapat penghargaan yaitu Natsuko sebagai buku remaja terbaik IKAPI 2005, dan satu cerpennya masuk dalam antologi cerpen terbaik majalah Republika. Perempuan yang memiliki hobi membaca, menulis, makan, mendengarkan musik dan ngisengin adiknya ini, memiliki cita-cita sebagai seorang sutradara terkenal. Hal ini dirintisnya sejak usia dini dengan menulis skenario di salah satu TV swasta yang bertajuk The Coffee Bean Show. Di sela kesibukkannya, ia meluangkan waktunya untuk menyapa para penggemarnya yang tergabung (dewi.sartika@yahoo.com) dalam milis. (www.sembilan-publishing.com).

B.PEMBAHASAN
Representasi Psikobudaya Dewi Sartika dalam Proses Kreatif Novel Dadaisme: Tinjauan Kritik Sastra
Psikologi telah menyentuh semua aspek kehidupan. Psikologi juga mampu mempengaruhi kehidupan manusia melalui hukum dan peraturan yang berlaku di masyarakat. Sebagian besar karya sastra lahir dari adaptasi kehidupan masyarakat, bahkan bisa dikatakan karya sastra sebagai sejarah perjalanan kehidupan manusia yang hakiki. Menurut Max Milner dalam buku Freud dan Interpretasi Sastra yang diterjemahkan oleh Apsanti dkk, dalam sastra kita mengetahui apa yang tidak kita ketahui tentang diri kita sendiri. Seperti halnya dalam novel Dadaisme yang memunculkan pandangan dunia tragis. Pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Di dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan.
Salah satu ciri aliran Dadaisme adalah menempatkan sesuatu yang sifatnya kebetulan sebagai bagian penting dalam proses berkarya. Teknik bercerita yang digunakan oleh Dewi Sartika dalam novel Dadaisme-pun demikian. Dewi menempatkan sifat kebetulan melalui relasi antartokohnya.
Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi kemungkinan Dadaisme baru sebuah alternative. Belum ketahap menemukan cara, seperti rumah tampak jalan tak tahu karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh. Sehingga peniliti di sini dapat menyimpulkan gejala-gejala yang dialami Dewi Sartika di dalam proses kreatif novel Dadaisme, sebagai berikut.

1.Cara Berpikir Pengarang Terhadap Karya dan Paham Modernisasi
Banyak penikmat sastra terpukau, setelah membaca novel Dadaisme. Baik dari penikmat kalangan masyarakat biasa, ataupun sastrawan dan para kritikus sastra. Mereka tidak segan-segan mengatakan, bahwa Dadaisme ini novel luar biasa dan membawa pembaruhan tersendiri dikhasanah dunia sastra Indonesia. Hal ini terungkap dari pendapat ketua dewan juri sayembara novel DKJ tahun 2003, Prof. Budi Darma, memberikan catatan khusus untuk Dadaisme. Menurut novelis dan kritikus sastra Indonesia itu, kekacauan tokoh dan peristiwa, perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel ini pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini. Juga masa ketika masing-masing orang sibuk menghadapi masalah tanpa sempat mendalaminya.
Pendapat Prof. Budi Darma atas gaya tulisan dan tema yang diambil penulis novel Dadaisme, menunjukan bahwa penulis novel Dadaisme ini memiliki cara berpikir yang cerdas sehingga menghasilkan suatu karya yang menggugah realita kehidupan jaman sekarang. Bisa dibilang cara berpikir pengarang modern, hal ini nampak pada paragraph pembuka di halaman pertama.

Sebut saja kota ini sebagai Metropolis dan ada banyak alasan kenapa tidak pernah bisa disebutkan namanya sebuah kota yang bila disamakan layaknya kota-kota di belahan bumi, di manapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan layang membelah langit, mulusnya aspal yang berkilat disiram cahaya matahari.Tidak lupa lampu-lampu berkelip-kelip atau lebih mudah mengejanya: neon berwarna. (Dadaisme; 1)

Kutipan di atas merupakan alinea yang mengawali cerita. Metropolis yang tidak perlu dirujuk pada suatu ruang nyata, referensi yang jelas. Bila dilihat dari kode budaya, metropolis mengindikasikan wilayah rantau, nama yang tidak perlu merujuk ke suatu wilayah konkrit, tempat segala kegamangan dan ketidakpastian, harapan dan sekaligus kebebasan dapat diperoleh. Berarti dapat disimpulkan tokoh Nedena berada di wilayah rantau, dalam pengertian harfiah maupun filosofis. Pada paragaraf selanjutnya, pengarang mencoba memberikan gambaran umum kota metropolitan tersebut. Tetapi pengarang cara ganbaranya tidak mampu dipahami pembaca secara jelas, pengarang terlalu abstrak mengmbarkannya.

Seperti apa gambaran kota metropolis? Seperti seorang pelukis melukis gambar Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, ataupun lainnya. Ada banyak mobil entah mengapa benda padat berbentuk aneh itu dinamakan mobil? Bangunan-bangunan yang persegi empat memanjang ke atas, seakan hendak menarik langit dari peraduannya yang angkuh. (Dadaisme;1)

Dari kutipan di atas pembaca dipaksa mengikuti gambaran cerita yang membingungkan. Gambaran kota-kota besar disebutkan, walaupun sebenarnya tujuan pengarang ingin menyampaikan gambaran kota metropolitan itu seperti apa.
Selain itu pengarang juga memberikan cara berpikir modern, pada cerita tokoh Nedena, Bibi. Pengarang dalam memberikan solusi pada tokoh Nedena yang dicurigai guru di sekolahnya menderita gangguan kejiwaan. Guru memberikan menyarankan kepada Nedena dan Bibiknya, bahwa Nedena seharusnya dibawa ke psikiater. Bukan menyarankan ke dukun atau orang pintar seperti yang dilakukan orang-orang desa. Hal tersebut menunjukkan daya pikir masyarakat sekarang di era globalisasi.

“Saya pikir, sebaiknya Nedena dibawa ke psikolog saja. Saya memiliki kenalan di kota. Dia seorang psikolog ahli, dia bisa menangani masalah-masalah seperti ini.” Tawar Guru tersebut pada bibi Nedena. (Dadaisme; 3)

2.Pengarang dan Kebudayaan
Dewi Sartika lahir di Cilegon, tetapi darah Minangnya sangat melekat dalam diri dan keluarganya. Hal ini berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau. Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar belakang Dewi Sartika.
Dewi Sartika selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Ia bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik. Secara sosiologis dia dapat berada di mana saja, dan mampu beradaptasi dengan baik, tetapi mereka akan tetap mempertahankan ke Minangkabauannya secara ideologis. Terbukti di dalam isi novel ini ada beberapa percakapan antar tokoh yang disajikan pengarang dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Pengarang memanfaatkan bahasa ibunya tersebut tidak sedikit, ada 25 kali antar tokoh menggunakan bahasa Minang di dalam percakapannya.

“Wow! Rancanabana pengantin uni. Warnonyo aneh, bakilau dan suntingnyo gadang!” puji Issabella ketika Etek Is datang membawa sejumlah peralatan pengantin yang jadi.
“Etek indak mangarti. Yusna tu tak mau menjadi pengantin.” Sungut Yusna.
“Yo, Etek mengerti. Tapi Issabella kan indok tahu opo-opo. Janganlah tumpahkan kemarahanmu padonyo.” Nasehat Etek Is. (Dadaisme; 41)

Di dalam cerita Dadaisme pengarang juga mengambarkan bagaimana persiapan orang Minangkabau sebelum menyelenggarakan prosesi pernikahan sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka.

Rumah Datuk Malinda tampak ramai oleh para tetangga yang merapikan rumahnya. Hari sabtu besok ijab Kabul akan dilakukan dan pesta meriah akan dilangsungkan. Tulisan MOHON DOA RESTU dan SELAMAT DATANG sudah ditempel di beberapa temapt di rumah tersebut. Etek Is bangga akan pekerjaannya mengubah sudut ruang tamu menjadi tempat singgasana sang pengantin nanti. Tinggal tugasnya mendandani pengantin hingga secantik putri. (Dadaisme; 42)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakan sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat. Sehingga dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal, di sisi lain berhadapan dengan ideologi Minangkabau yang dipandang sakral. Bagi pengarang sendiri perantauan menjadi batu ujian membentuk diri menjadi pembentukan manusia Minangkabau sejati.
Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia. Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.

Sutan Bahri adalah seorang pengusaha Minang yang sukses di pulau Jawa. Usahanya bisa dihitung dari supermarket dan beberapa perhotelan yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Bukit Tinggi. Sutan Bahri adalah orang yang etguh memegang adat. Keinginannya untuk menikahkan putranya dengan gadis Minang pun menjatuhkan pilihan pada Yusna, putrid seorang datuk yang terkemuka bersuku Koto. Uang jemputan sudah ditetapkan, dan pakaian pengantin sudah dipesan. (Dadaisme; 41)

3.Kebebasan dan Daya Citra Pengarang
Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun, memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana kesehatan modern, pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau. Hal ini pengarang mencoba mengambarkan kebebasan globalisasi itu pada orang Minangkabau namapak pada cerita yang dialami anatar tokoh Yusna. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.
Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya, yang jelas-jelas di situ bahwa Sutan Bahri adalah orang yang sangat disegani di Minangkabau dan memegang adat istiadat nenek moyang yang sangat kuat ditentang oleh pengarang. Dalam cerita terbukti, Sutan Bahari berpikir melihat nilai ideal dalam relasi antar orang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah. Hal ini nampak saat prosesi pernikahan akan berlangsung, Yusna calon pengantin perempuan melarikan diri. Sehingga keluarga Yusna dan keluarga Rendi binggug akan ketiadaan pengantin perempuan. Tetapi adanya Issabella prosesi pernikahan tetap berlangsung, karena ia dengan terpaksa menyanggupi untuk menikah dengan Rendi. Adanya jalan keluar tersebut, Sutan Bahri menyanggupi tanpa pertimbangan yang matang dan tidak mempertahankan hal jodoh yang seperti diperhitungkan sebelumnya.

“Kau tahu, Nak. Mula-mula papa berharap kau menikah dengan Yusna. Tapi ketika papa melihat Isabella, dia tampak pantas untukmu. Kau tahu Nak, dia gadis yang kuat dan bias memberimu anak, berapa pun yang kau inginkan. Papa tidak sabar ingin menimang cucu…” suara Sutan Bahari terdengar gembira. Tawa riang anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki rapuhnya, memeluknya. Pipi bayi yang montok, ranum dengan tawa yang mengemaskan. Nafas kehidupan baru di dalam keluarganya. Dutan Bahari merindukan itu semua. (Dadaisme; 64)

4.Konsep Kreatif Pengarang dan Kombinasi Pikir yang Berbeda
Konsep kreatif pengarang nampak dari keseluruhan episode cerita. Pengarang membawa pembaca akan ketidak jelasan atau keruwetan alur di dalam setiap bagian episode di dalam ruang cerita yang sempit. Pembaca harus setia dan sabar membuntuti ke mana jalan cerita: dari Nedena ke Yossy, dari Kota Metropolis ke kampung (tidak disebut), ke kota lagi, ke Padang, ke Bandung, ke Jo dan Bim, ke Aleda, ke Magnos, demikian seterusnya sampai berakhir di ruang tempat Nedena gantung diri. Bisa saja semua tujuan kombinasi pengarang, yang menggambarkan keruwetan jaman modern di masa sekarang dan yang akan datang.
Proses kreatif yang ditampilkan Dewi Sartika dalam Dadaisme, bisa dibilang melampaui dari hal kewajaran seperti apa yang ditampilkan oleh pengarang lain. Seperti halnya gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena. Warna langit secara umum selalu digambarakan berwarna biru sesuai dengan warna kenyataanaya. Tetapi ketidak kewajaran dialami oleh tokoh Nedena. Ia tidak pernah memberi warna langit dengan warna biru, melainkan warna merah muda, kuning, ataupun ungu.
Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru. Tapi tidak selalu dengan lukisan anak itu. Dia tidak menggambarkan langit seperti warna angkuh itu.Dia menggambarkan langit dengan waran merah muda dan matahari berwarna oranye seperti jeruk. (Dadaisme; 6)
Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya. entah itu merah muda. Bahkan dia pernah mewarnai langit dengan warna kuning dan matahari berwarna hitam. (Dadaisme; 6)

Selain keanehan atau gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena, pengarang juga memberikan ketidakwajaran pada sosok malaikat yang seperti kebanyakan diyakini manusia di bumi. Secara harfiah malaikat adalah makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, bentuk dan keadaan malaikat pastilah sempurna. Tetapi itu semua berbeda dengan gambaran malaikat yang ditawarkan Dewi Sartika. Ia mencoba menggambarkan sosok malaikat pada tokoh Michail.

“Kaulihat kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku berwarna hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.” Jawab Michail kepada Nedena. (Dadaisme; 10)

Tidak hanya itu saja, cara berpikir Dewi Sartika terhadap kombinasi pikir dengan keilmuan juga jauh berbeda. Hal ini nampak dalam tokoh novel Dadaisme, di dalam mengartikan surga dan neraka itu seperti apa.
Gamabaran Surga:
“Michail…. Surga itu langitnya berwarna apa? Apa berwarna biru?” tanya Nedena kepada Michail.
“Tidak. Langit surga berwarna perak. Terkadang berubah warna menjadi emas.” (Dadaisme; 5)

Gambaran Neraka:
Tokoh Nedena menggambarkan neraka itu dengan tidak sesuatu hal buruk, panas api, dan banyak siksaan yang menyakitkan, melainkan sebaliknya.
Tapi, aku juga tidak pernah mengaggap neraka itu buruk! Memang semua orang bilang, neraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan. (Dadaisme; 262)

C.KESIMPULAN
Dewi Sartika bisa dibilang, memang baru hadir di dunia kesusastraan Indonesia. Ia anak muda yang memiliki kemauan tinggi, bercita-cita menjadi seorang sutradara professional. Walaupun kemampuannya dibidang perfileman belum seberapa, tetapi ia memiliki kelebihan di bidang tulis menulis. Sehingga memungkinkan psikobudaya Dewi Sartika sangat menarik untuk diteliti, mulai dari kondisi kehidupan pengarang, aspek budaya pengarang, cara berpikir dan proses kreatif pengarang terhadap novel Dadaisme. Selain itu Dadaisme sendiri merupakan novel yang patut dikaji para peniliti sastra, baik memberikan penilaian ataupun menganalisis karya berdasarakan nilai intrinsic dan ekstrinsik yang ada di dalam karya.
Secara tinjauan kritik sastra, peniliti dapat menemukan keunggulan dan kekurangan yang ada di dalam novel Dadaisme ataupun keunikan dan kekreativitasan pengarang di dalam proses berkarya. Hal ini dapat dilihat dari tema novel Dadaisme yang memunculkan pandangan dunia tragis yang ada di dalam masyarakat. Pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi kemungkinan Dadaisme baru sebuah alternative.


D.DAFTAR RUJUKAN

Antara Dunia Kebingungan dan Pencarian Pegangan. Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. www.cermin-sastra.blogspot.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Biografi Singkat Dewi Sartika. www.sembilan-publishing.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.

ASPEK RELIGIUS PADA TOKOH UTAMA NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH 1

ASPEK RELIGIUS PADA TOKOH UTAMA NOVEL
KETIKA CINTA BERTASBIH 1

Oleh Kelompok:

1.MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2.YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
3.ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
4.ARINI SUSANA (080210402031)
5.DIDIN DWI ERLIANI (080210402038)
6.NANI FARAH FASICA (080210402041)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil pekerjaan kreatif pengarang yang memuat cerita-cerita tentang kehidupan. Ada tiga macam jenis prosa yang di dalamnya terdapat peristiwa kehidupan yang dialami para tokohnya. Menurut Sudjiman (1998; 53), novel merupakan proses rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar belakang secara teratur. Novel yang baik tidak hanya dituntut untuk mudah dipahami dan menarik bagi pembacanya, tetapi juga harus mengandung nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Novel merupakan perwujudan ide pengarang yang diungkapkan dalam bentuk karya sastra dengan menggunakan media bahasa. Pengarang menciptakan karya sastra tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.
Novel Ketika Cinta Bertasbih adalah salah satu karya seorang novelis muda, Haabiburrahman El-Shirazy. Ia lahir pada tanggal 30 September 1976 di Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAPK), lulus pada tahun 1995. Setelah itu, ia melanjutkan pendidiknya ke Universitas Al-Azhar di Kario, dan selesai pada tahun 1999. Pada tahu 2001, ia menyelesaikan Postgraduate Diploma (Pgd.) S2 di Kairo, Mesir.
Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo. Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Novel Ketika Cinta Bertasbih ditulis di antara tahun 2005-2006 dan diterbitkan pada tahun 2007. Novel tersebut mengisahkan kehidupan Khairul Azzam, seorang mahasiswa Indonesia yang berjuang menggapai gelar Master di Universitas Al Azhar, Kairo. Tokoh Azzam digambarkan sebagai sosok yang menjalani hari-harinya dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Azzam selalu berusaha menjunjung tinggi ajaran islam dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di Kairo, Azzam tinggal di sebuah apartement sederhana dengan lima mahasiswa Al Azhar yang berasal dari Indonesia pula. Hari-hari Azzam sendiri selain disibukkan oleh aktivitas kampus, ia juga disibukkan sebagai profesi tambahannya menjadi penjual bakso dan tempe di kalangan mahasiswa Indonesia ataupun orang-orang KBRI.

2.Rumusan Masalah
Bagaimanakah analisis keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius?
Bagaimanakah nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih?

3.Tujuan Masalah
Mengetahui keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius.
Mengetahui nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendekatan Pragmatik dan Nilai Religius dalam Karya Sastra
Pendekatan pragmatik memandang suatu karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan kepada pembacanya. Melalui teori tersebut, penikmat karya sastra dapat mengetahui ide atau maksud tertentu dari karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Analisis pragmatic dalam makalah ini difokuskan pada aspek religius.
Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusia memiliki sifat dan sikap religius.
Terdapat beberapa cerita yang dapat digunakan dalam menentukan kereligiusan seseorang. Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement).
a.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Seperti salat, puasa, zakat, bagi yang beragama islam (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14). Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77).
b.Keterlibatan ideological (ideological involvement)
Keterlibatan ideological (ideological involvement) adalah tingkatan sejauh mana orang menerima hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Seperti keyakinan adanya nabi, malaikat, surga, neraka, dan hari kiamat (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).
c.Keterlibatan intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual (intellectual involvement) adalah seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya dan seperapa jauh aktivitasnya dalam menambaha pengetahuan agamanya (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).
d.Keterlibatan eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental (experiental involvement), berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Keterlibatan ini berkaiyan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang (Ancok dan Suroso, 1994:78).
e.Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement)
Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement) yaitu tingkatan yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotifasikan oleh ajaran agamanya. Apakah itu menerapkan ajaran agamanya di dalam kehidupan social (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Dalam kehidupan manusia, religiusitas seseorang dapat mencakup lima keterlibatan tersebut. Setiap orang memiliki keterlibatan religius yang berbeda-beda.


BAB III
PEMBAHASAN

1.Aspek Religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 (satu)
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pembaca dan penilaian karya sastra ditantukan oleh pembaca selaku penyambut karya sastra. Pendekatan pragmatic berprinsip bahwa karya sastra yang baik adalah yang mengandung unsure dulce et utile (indah dan bermanfaat). Pendekatan ini menilai karya sastra menurut tingkat keberhasilan mencapai tujuan atau manfaat yang di peroleh pembaca. Analisis pragmatic dalam makalah ini dikhususkan pada aspek religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1.
Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusiamemiliki sifat dan sikap religius.
Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement). Berikut hasil analisis .
1.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77).
Perilaku pemujaan mengacu pada bentuk-bentuk ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek keagamaan (Ancok dan Suroso, 1994:77). Data dan analisis berikut menunjukkan adanya keterlibatan ritual ritual berupa perilaku pemujaan yang terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.
Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allahuakbar! Allahuakbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan siang di dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke perut siang. (KCB1:50)
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu jalan perpendaran Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kerlap-kerlip lampu kota yang mendapat julukan “Sang Pengantin Laut Medaterania” itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel. (KCB1:50-51)

Data tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan kepada Allah, diwujudkan dengan melaksanakan salat magrib. Setelah Azan magrib terdengar, Azzam menuju masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel yang Azam tempati untuk menginap. Pada data di atas disebutkan bahwa Azzam mengerjakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menunaikan ibadah salat.
Hamid (1995:111) mengemukakan, sholat menurut ahli fiqih adalah tindak ibadah disertai bacaan doa-doa yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada hakekatnya salat menghadapkan jiwa kepada Allah dan dapat menumbuhkan rasa takut kepada Allah, serta mengakui kegungan dan kesempurnaan-Nya. Salat lima waktu sehari semalamadalah ibadah wajib bagi setiap individu umat Islam jika telah memenuhi beberapa persyaratannya dan mempunyai tempat teratas dalam deretan ibadah wajib, kareana mempunyai kedudukan yang istimewa dan tidak ada yang mampu menandinginya (Basri, 2004:82).
Sholat merupakan bentuk perilaku pemujaan pemujaan kepada Allah. Hal tersebut tampak pada bacaan-bacaan waktu salat. Pada bacaan takbir, kalimat Allahu Akbar berarti ‘Allah Maha Besar’, dan pada saat rukuk membaca tasbih yaitu Subhaana Rabbiyal ‘Adlimi wa bihamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya’, kemudian bacaan iktidal ketika bangkit dari rukuk yaitu Sami’Allahu liman hamidah artinya ‘Allah mendengar pujian orang yang memuji kepada-Nya’ (MZ., 1993:21-24). Dilanjutkan dengan bacaan Rabbana wa lakal hamdu mil ussamaawaati wamil ul ardi wamil umaa syi’ta min syai’in ba’du, ‘Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji langit dan bumi, dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki sesudah itu’, pemujaan tampak pula pada bacaan ketika sujud yaitu Subbhaana Rabbiyal A’laa wa bi hamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi dan segala puji bagi-Nya’ (Hamid, 1995:117).
Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.

Azzam bangun dua puluh menit sebelum azan subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan untuk buang hajat dan sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu, ia teringat belum salat Witir. Ia sempatkan untuk salat Witir tiga rakaat. Selesai shalat ia sempatkan untuk menyebut-nyebut ibu dan adik-adiknya dalam munajat.(KCB1:79)

Data tersebut mennunjukkan adanya bentuk perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam. Hal tersebut tampak pada saat Azzam melakukan wudhu sebelum menunaikan ibadah salat Witir.
Wudhu merupakan bentuk ritual yang dilakukan untuk menyucikan anggota tubuh dari kotoran-kotoran ringan dengan menggunakan air yang dapat menyucikan (MZ., 1993:10). Salat adalah ibadah menghadap kepada Allah, Dzat yang Maha Suci, maka apabila hendak mengerjakan salat harus dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun hadas besar yaitu dengan berwudhu terlebih dahulu.
Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.

Orang-orang Mesir berdatangan. Ada dua puluhan orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang telah memutih sebagaian maju ke depan Shalat Subuh didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam larut dalam penghayatan.(KCB1:81)

Data tersebut menggambarkan tokoh Azzam melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid. Salat subuh terdiri dari dua rakaat dan dikerjakan diantara waktu fajar thaghib sampai fajar shodiq. Pada data diatas disebutkan bahwa Azzam larut dalam bacaan surat yang di baca oleh imam. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam.
Berikut data yang menunjukkan adanaya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.

Azzam bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid sholat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke tempat wudhu masjid.(KCB1:197)
Tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 digambarkan sebagai sosok yang sangat religius. Ia selalu berusaha menjunjung ringgi ajaran agamanya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada data di atas, Azzam sedang dalam perjalanan pulang setelah dari rumah sahabatnya dan setelah memesan daging pada penjual langganannya. Ia menyempatkan diri untuk menuju masjid di dekat pasar untuk menunaikan salat asar. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dialakukan oleh Azzam.


2.Keterlibatan Ideologikal (ideological involvement)
Keterlibatan Ideologikal yaitu sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatic di dalam agamanya masing-masing. Di dalam agama Islam keterlibatan ideoligikal menyangkut keyakinan tentang adanya kitab, nabi, malaikat, hari kiamat, surga dan neraka (Ancok: 14). Sedangkan di dalam novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) ini terdapat keterlibatan ideologikal keyakinan tentang adanya nabi dan keyakinan adanya kitab Allah yang terlintas dalam cerita kedua tokoh utama, yakni Azzam dan Ana. Hasil analisis dapat diketahui sebagai berikut.
Keyakinan Adanya Nabi
Keyakinan adanya nabi termasuk dalam keyakinan pandangan teologis agama Islam. Karena setiap muslim diwajibkan mempercayai nabi-nabi Allah. Seperti halnya keyakinan Azzam dalam novel KCB ini. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa nabi dan kisahnya dulu benar-benar ada. Berikut pengakuan Azzam dalam cerita.

Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu. "Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" (KCB; 7)

Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam sebagai seorang muslim meyakini adanya nabi, tepatnya ia mengakui bahwa kisah nabi Musa dan nabi Khidir telah terabadikan dalam kitab Allah atau Al-Quran. Yakni kisah semasa hidup nabi Musa dan nabi Khidir yang begitu fenomenal terjadi di pantai laut Mediterian.
Selain pengakuan Azzam mengetahui cerita nabi Musa dan nabi Khidir, Azzam dalam cerita juga meyakini dan mengetahui cerita nabi Muhamad sebagai sosok suritauladan bagi umat Islam. Berikut data yang mendukung.

Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolah-olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw hafal tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran kepada sahabat -sahabatnya yang selalu haus hikmah dan Ilmu pengetahuan. (KCB; 46)

Data di atas menunjukkan bahwa Azzam seolah-olah dirinya mampu merasakan dan mengalami serta hadir dalam kehidupan Rasulullah di zaman kenabian. Bahkan Azzam merasa ia juga mampu menyaksikan Rasulullah Saw menerima ayat-ayat suci Al-Quran, mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw melakukan proses penghafalan ayat-ayat suci Al-Quran.
Nabi dan rasul adalah utusan Allah yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang kebenaran. Keyakinan kepada nabi dan rasul berarti mempercayai bahwa nabi dan rasul adalah manusia yang diutus dan ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya, untuk dijadikan pedoman hidup. Maka apa yang dilakukan Azzam dalam bertindak dan bersikap merupakan cerminan dari sifat nabi yang diyakininya. Tapi tidak lain halnya dengan Ana. Ana sebagai kaum perempuan juga ikut serta menerapkan sifat-sifat dan kesunahan sang nabinya di dalam bertindak dan bersikap. Berikut kutipan yang mendukung dalam cerita.

Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan (KCB; 100)

Data di atas menunjukkan bahwa Ana sebagai seorang perempuan di saat ditimang oleh seorang laki-laki soleh untuk dijadiakan istrinya. Sebenarnya dalam hati Ana ingin melengkapi kesunahannya di mata Allah, seperti apa yang dilakukan sang nabi Muhamad Saw. Ketika akan mempersunting sang istri yang akan dipilihnya menjadi pendamping hidup. Ana memutuskaan jawaban yang akan dipilihnya sesuai dengan keadaan dan kemantaban Ana sendiri kepada sang lelaki. Apakah laki-laki itu memang calon pemimpin baik bagi diri Ana dan keluarganya nanti, atau laki-laki itu memiliki keimanan yang sepadan atau sosok yang selama ini diimpikannya.
Keyakinan Adanya Kitab Allah
Di dalam rukan iman yang diyakini umat Islam selama ini terdapat enam rukun iman yang salah satunya meyakini adanya kitab-kitab Allah. Meyakini dengan sepenuh hati dan menjadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab yang dimaksud tersebut adalah kitab suci Al-Quran. Kitab yang dibawa oleh nabi terakhir, atau nabi Muhamad Saw yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya.
Seperti halnya umat nabi Muhamad yang digambarkan pada sosok Azzam dan Ana Alfatunisa dalam cerita novel KCB. Azzam dan Ana dalam novel digambarakan sebagai umat yang taat dan berpegang teguh pada Al-Quran. Berikut kutipan mendukung yang terdapat dalam cerita.

Orang Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan. Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam.. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan.
Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. 5Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan diri dengan rupa yang asli. QS.An-Najm:1-6. (KCB; 45)

Data di atas menunjukkan bahwa Azzam selama berada di tanah Nabi atau Mesir menganggap kebanyakan orang pribumi mampu dan paham secara baik memaknai ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci Al-Quran. Azzam dalam hati dan pikirannya juga merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran dan mengabarkan kepada Azzam, bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan kepadanya.
Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran begitu besar juga tergambar di dalam novel KCB ini. Pengarang begitu piawai dalam mendeskripsikan keagungan Al-Quran dalam narasi novel. Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran pasalnya memang sudah seharusnya umat muslim di bumi ini tahu akan keagungan dan keberkahan kitab suci itu bila dibaca ayat demi ayatnya oleh seseorang. Sedangkan dalam novel KCB ini pengarang mencoba menggambarkan kebesaran dan keberkahan Al-Quran jika dibaca seseorang, begitu nampak pada apa yang dialami oleh tokoh Azzam. Berikut kutipan cerita yang mendukung.

Apalagi jika ada order membuat bakso atau sate ayam dari bapak-bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh buku, termasuk buku muqarrar yang semestinya ia sentuh.. Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma sete-ngah halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa takzim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa. (KCB; 112)

Data di atas menunjukkan bahwa di mana Azzam mengalami kerinduan yang luar biasa terhadap Al-Quran. Bahwasannya Al-Quran tidak mungkin tidak akan tersentuh seharipun oleh Azzam. Ia merasa dalam kondisi dan sepenat apapun beban pikiran mendera, ia tidak akan jauh-jauh dari Al-Quran yang ia jadikan sebagai obatnya. Bahkan Azzam merasa dalam perjuangan beratnya di negeri rantauan (Mesir), Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa Azzam.

3.Keterlibatan Intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang memiki pengetahuan tentang ajara agama dan aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan ajaran agamanya (Ancok, 2002 : 14)
Pengetahuan tentang ajaran agama
Aspek keterlibatan intelektual ini berkaitan dengan pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Data dan analisis berikut menunjukka adanya aspek keterlibatan intelektual berupa pengetahuan mengenai hukum-hukum islam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
”Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran islam. Di antara ajaran islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan juga kesucian batin. Kenapa dalam buku-buku fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk islam senantiasa menjaga kesucian lahir dan batin. Diantara kesucian-kesucian yang dijaga oleh islam adalah kesucian hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak memperbolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita kecuali itu adalah suami istri yang sah. Dan ciuman gaya prancis itu bagi saya sudah termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Yang dalam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami istri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian kaum pria dan kaum wanita”.(KCB : 119)

Berdasarkan data tersebut, dapat kita ketahui adanya keterlibatan intelektual pengetahuan tokoh Azzam mengenai hukum-hukum islam. Azzam menjelaskan kepada Eliana tentang thaharah yaitu kesucian. Kesucian antara pria da wanita. Azzam menjelaskan bagaimana islam menyuruh untuk senantiasa menjaga kesucian lahir maupun batin. Juga Azzam menjelaskan dalam islam tidak diperbolehka antara pria dan wanita melakukan persentuhan intim kecuali suami istri yang sah. Dan ciuman ala prancis menurut Azzam termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Hal itu menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai hukum-hukum islam.

Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya saatnya shalat”. Lirihnya menuju lift. (KCB : 51)

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam sangat tinggi. Azzam tidak memperdulikan telpon yang berbunyi karena dia ingin shalat di masjid. Azzam merasa panggilan Sang Pencipta lebih penting dari pada panggilan apapun. Azzam berpikir jika benar-benar perlu pastilah selesai shalat dia telpon lagi. Hal itu menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam tentang ajaran agama sangatlah tinggi.
Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa pengetahuan agama yang dimiliki oleh tokoh Azzam.

“Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil. Tak usah kau besar-besarkan. Nanti semuanya akan baik-baik saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan beliau itu bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu adalah penyakit. Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan”.(KCB : 429)

Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan agama. Azzam menjelaskan kepada Fadhil bahwa masalah yang dihadapi Fadhil adalah masalah yang kecil. Dan azzam mengatakan bahwa cinta yang dimiliki Fadhil adalah penyakit.

”pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu kepada yang lain. Jika kau sibuk memikirkan Allah, kau tidak akan sibuk memikirkan yang lain”.(KCB : 429)

Data tersebut menunjukkan bahwa tokoh Azzam memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Azzam menjelaskan bahwa jika rasa cinta kepada Allah sangat besar, maka dengan sendirinya hal-hal lain akan terusir dan menjadi kecil.
Begitu juga dengan jika rasa rindu kepada Allah sangatlah besar, maka kita tidak mingkin merana jika rindu dengan yang lain. Hal ini merupakan aspek keterlibatan intelektual yang tampak pada pengetahuan agama tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Aktivitas Menambah Pengetahuan Ajaran Agama
Berikut ini data dan analisis yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa aktivitas menambah pengetahuan ajaran agama dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

Bakda shalat isya’ ia tetep di masjid untuk mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil Ramadhan. Malam itu ia mendapat pencerahan sangat berharga dari kitab Al Hikam tentang hal yang sangat penting baginya sebagai seorang penuntut ilmu. (KCB : 420)

Pada data tersebut tampak aktivitas tokoh Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya yaitu mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari kepada Adil Ramadhan.

Malam itu Azzam khataman. Ia telah selesai belajar tiga puluh juz. Oleh Adil Ramadhan ia diberi sanad qira’ah Hafs sampai ke Rasulullah SAW. Ia sangat bangga memiliki sanad itu. “Sanad ini aku dapat dari guruku Syaikh Farhat Abdul Majid, beliau mendapatkannya dari Syaikh Mahmud Hushari, dan seterusnya sampai ke Rasulullah Saw. Jelas Adil pada Azzam. (KCB : 463)

Data berikut menunjukkan aktivitas Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya. Azzam sudah selesai tiga puluh juz. Karena Azzam telah khatam maka ia diberi sanad qira’ah oleh Adil Ramadhan. Azzam sangat bangga memiliki sanad itu.
Aspek keterlibatan intelektual yang terwujud dengan adanya pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya dan aktivitas dalam menambah ajaran agamanya dapat memperdalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.

4.Keterlibatan Eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental berkaitan dengan pengalman-pengalaman unik dan spektakuler, perasan-perasaan. Sensasi-sensasi yang dialami oleh seorang tokoh dalam hal keagamaan (Ancok dan Suroso). Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan eksperiental berupa pengalaman unik dan spektakuler, perasaan-perasan, persepsi-persepsi , sensasi-sensasi, dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Perasan-Perasaan
Perasaan adalah rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi sesuatu. Data berikut menunjukkan adanya keterlibatan persaan-perasaan yang dialami oleh tokoh dalam KCB. Berikut kutipan dalam novel yang mendukung.

Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan mencium pasir-pasir pantai yang putih bersih. Terasa dami dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.” (KCB: 46).
Pada data di atas menunjukkan bahwa Azzam begitu terpesona akan keagungan kuasa Tuhan dalam menciptakan isi alam semesta ini. Ia Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.”
Sensasi-Sensasi yang Dialami Tokoh
Sensasi adalah rasa atau keadaan mental dan kesadaran yang ditimbulkan oleh rangsangan pancaindera; yang merangsang emosi (Rajasa, 2002:560). Data berikut menunjukkan adanya sensasi yang dialami oleh tokoh cerita dalam KCB.
Kali ini, ia shalat di imami oleh imam yang agaknya menganut mahzab imam Malik. Sebab sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh. (KCB : 221)
Azzam langsung sujud syukur. Berkali-kali Azzam mengumandangkan takbir. Sebuah senyum tersungging di bibir. Pikirannya langsung melayang ke Indonesia. Ke wajah ibunya, dan adik-adiknya tercinta. (KCB : 408)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam merasakan sesuatu hal yang ganjil, pada saat mengikuti salah jamaah sholat fardlu yang dipimpin seorang imam. Azzam merasa imam yang mengimaminya ini menganut mahzab imam Malik. Ia merasa kegajilan itu begitu nampak pada saat sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.

5.Keterlibatan Konsekuensial (cosequensial involvement)
Keterlibatan konsekuensial atau pengalaman mencakup sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya (Ancok,2002:15). Berikut adalah data-data yang menunjukkan adanya keterlibatan konsekuensisl dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
“Pemuda bernama Khairul Azzam itu masih menatap kearah laut. Matahari masih satu jengkal diatas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, “ Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (KCB:50)
Pada data tersebut tampak adanya perilaku Khairul azzam ketika di kota Alexandria, ia sedang menatap kearah laut dan meninkmati pemandangan matahari tenggelam yang begitu luar biasa indah. Kemudian ia teringat pada sabda Nabi bahwa sesengguhnya Allah itu indah dan Allah itu mencintai keindahan.
“Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memaggilnya itu lebih dahulu datangnya dari pada datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang dating lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang lebih dulu. Apalagi undangan yang lebih datang dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (KCB:51)
Pada data diatas tampak bahwa Azzam lebih mementingkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Perilaku Azzam ini pada dasarnya dimotivasikan oleh isi dari QS. Al A’la (Yang Paling Tinggi) [87]:17 yang berbunyi, “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.
“Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin…” (KCB:119)
Pada data tersebut jelas terungkap bahwa prinsip hidup Azzam didasarkan pada Islam. Dengan kata lain bahwa prinsip hidup yang merupakan pedoman dalam perilakunya dimotivasikan oleh ajaran Islam, yang salah satunya yaitu menjaga kesucian lahir dan kesucian batin.
“Ia begitu merasa kecil dan kerdil. Begitu tidak ada artinya. Ia baru merasa bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya. Manusia sama sekali tidak bisa sombong menentukan takdirnya. Kewenangan yang diberikan Tuhan untuk manusia hanyalah berikhtiar dan berusaha. Adapun takdir sepenuhnya adalah hak dan keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang berhak memutuskan segala-galanya. Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (KCB:384)
Data diatas menunjukkan perasaan Azzam yang merasa begitu kecil dan kerdil dan kerdil. Ia menyadari bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya, manusia hanya diberikan kewenangan untuk berikhtiar dan berusaha, sedang yang berhak memutuskan segala-galanya adalah Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut terungkap bahwa perasaan yang dirasakan oleh azzam dimotivasikan oleh QS. Saba’ (kaum saba’) [34]:26 yang berbunyi “Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”.
BAB IV
KESIMPULAN

Fenomena kereligiusan di dalam suatu karya sastra yang hadir dalam novel akan memiliki arti jika pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal tentang nilai religius yang mewadai pengetahuan pembaca. Hal ini sebenarnya sesuai dengan kepiawaian pengarang menciptakan karya sastra yang tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.
Begitu pula dalam novel fenomenal berjudul Ketika Cinta Bertasbih yang merupakan salah satu karya seorang novelis muda, yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo.
Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dalam cerita novel Ketika Cinta Bertasbih ini, pengarang sangat piawai mengambarkan nilai-nilai religius dalam Islam. Hal ini tercermin dari sikap tokoh utama novel ini yang bernama Azzam dan Ana Alfatunisa. Perilaku Khairul Azzam yang dimotivasikan oleh agamanya yaitu Islam tampak ketika ia sedang bertutur, dalam tuturannya tersebut banyak mengandung kosa kata dalam bidang agama Islam, begitu pula sikap dan akhlak baik yang tercermin dari tokoh Ana. Mereka berdua sering mengucapkan lafadz Allah di dalam hidup kesehariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuat Nashori. 1994. Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
El Shirazy, Habiburrahman. 2008. Ketika Cinta Bertasbih. Jakarta: Republika.
Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Unej Press.
Ratna, Nyoman Khuta. 2006. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.