Kamis, 18 November 2010

Contoh, Kritik Sastra & Analisis Cerpen

Cerpen Robohnya Surau Kami
Desember 20, 2008 — awan sundiawan

Latar Belakang Masalah

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.

Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.

Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.

Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).

Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.

Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?.

Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.

Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.

Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).

Identifikasi

Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?

2. Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan?

3. Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen tersebut?

4. Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan pemilihan bahan ajar itu efektif?

Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis

Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.

Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.

Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

Tinjauan atas Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:

Tema

Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.

Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.

“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

Amanat

Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.

Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:

(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.

“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”

dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.

(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:

“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).

Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:

(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.

(d) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:

“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).

(e) Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.

”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.

Latar

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

Latar Tempat

Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )

Latar Waktu

Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)

Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:

Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)

“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)

Latar Sosial

Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)

Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.

Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :

“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.

…………………………………………………………………………

“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.

“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)

Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.

Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”

Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”

“Kerja”

“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.

“ya.Dia pergi kerja.”

Alur (plot)

Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

Bagian Awal

Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….

Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

Bagian Tengah

Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.

… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik

Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.

“ Kenapa ? “

“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.

Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir

Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”

“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”

“Kerja.”

“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa

“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?

Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?” (hlm.16).

Penokohan

Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.

a. Tokoh Aku

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).

b. Ajo Sidi

Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.

….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)

.

Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek

Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.

Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:

“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).

d. Haji Saleh

Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6. Titik Pengisahan

Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.

Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).

Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).

Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.

“Engkau ?”

“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”

………………………………………………………………………

lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

Gaya

Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.

Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.

Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.

Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.

Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:

a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.

b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.

Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.

Kesimpulan

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.

1. Unsur-unsur Intrinsik

a. Tema

Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.

b. Amanat

Amanat cerpen ini adalah :

1) jangan cepat marah kalau diejek orang,

2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,

3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,

4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan

5) jangan egois.

c. Latar

Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

d. Alur

Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

e. Penokohan

Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.

1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.

2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual

3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.

4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.

f. Titik Pengisahan

Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

g. Gaya

Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.

1. Saran untuk guru

- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.

- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.

- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.

2. Saran untuk siswa

- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.

- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.

- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan

- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.

Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.

Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.

Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima.

Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.

Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.

Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.

Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.

Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.

Orkes Sebaskom Air Mata

Orkes Sebaskom Air Mata
Oleh; Midun Aliassyah

Rindung pilu memburu-buru,
Luka lara betah nian kemurkaan melumat kasih tiada haru,
Tak cukup sedetik, semenit, sejengkal tapi membabi buta memurka dalam balas kekufuran. Kekufuran yang dianggap perbuatan angin lalu, tanpa sadar, acuh jika ditanya itu hanya khilaf belaka.

Tapi tau kah kau binatang jalang, atas perbuatanmu itu? itu dosa. Dosa yang menghitamkan keputihan kepemilikanmu. Hitam menjadi batu sandungan dalam jiwa dan ragamu. Membuat hitamnya tambah hitam, lekat, pekat, seperti gendruwo beringas akan kenafsuan.

Kalau sudah begitu, celaka sudah, fatal sudah.
Kemurkaan akan memburu; keberkahan tak lagi kenikmatan, karunia tak lagi anugerah, doa menjadi tabu, kehidupan menjadi kematian, revolusi menjadi kebobrokan, moderenisasi menjadi kegagapan, globalisasi menjadi kegendengan pikir. Hingga akhirnya, terciptalah makhluk yang tak mampu mendeskripsikan SEMPURNA itu apa?!
Terciptalah makhluk berakal; tapi tak tau apa itu gunanya. Terciptalah makhluk mengaku beriman; tapi tak tau apa keyakinannya. Terciptalah makhluk berilmu; tapi tak tau pengatahuan, hingga tak mampu menglogikakan “duluan mana lahirnya ayam dengan sebutir telur?!” Terciptalah makhluk cendikiawan; tapi hanya mampu membual dalam keteroian, tak mampu mempraktekkan. Terciptalah makhluk nan rupawan; tapi tak tau apa itu kehormatan. Hingga ia menjual dan mengedarkan kemahkotaan secara cuma-cuma kepada siapa saja. Kepada penggelandang, pengemis keliaran, bahkan penyamunpun itu berlaku. Seperti orang jualan sayur bayam. Sewu telu, sewu telu, sewu telu….
Yang hanya mengejar keutungan, kenikmatan, kegairahan, kepuasan mengulup terong dan mengulekkan dalam cobek-cobek berongga. (Ahhh, sungguh biadab! Jaman edan!)

Jika dipertanggungjawaban nanti, dan ditanya ini semua perbuatan siapa dan atas dasar apa?? Jawaban yang berlaku pastinya; tak tau, ini perilaku siapa….!!!
Kita lihat saja diperadilan, adakah pahlawan sejati. Yang berani mengacungkan jarinya, mau mengakui semua perbuatan ini! Seperti para maha(siswa) yang kehausan pertanyaan akan ketidaktauhan. Dan merelakan rohnya menanggung semua hukaman kekal yang penuh kengerian dan kesakitan.
Tapi percuma saja, paling-paling yang ada hanya pahlawan kesiangan. Suka membusungkan dada, berkutat kedua tangan dipetetekan pada pinggang, dan tolah-toleh dalam kecongkakan. Sama saja itu, pahlawan yang pandai mengobral janji, di atas sumpah serapah basi. Suka membuat janji yang hanya untuk ia ingkari!! Ihhh, asumsinya pantaskah disebut bajingan….

Ingat dan sadar. Masih berlakukah jika itu dijadikan kebijakan akan perubahan diri?? Jika dalam keadaan tak memungkinkan seperti ini… (hehehe, hanya satu jawabannya. Biarkan takdir yang menjawab!)

Lihat dan tolehlah pandanganmu kepenjuru penderitaan! Sekarang sudah tidak ada kata; bahagia!? Tak ada frasa; kebahagiaan hakiki!? Tak ada klausa; selalu hidup berbahagia!? Sudah tidak ada lagi, koma, titik, seru, tanya, tanya dan tanya….
Tetapi yang ada hanya kesimpulan, banyak individu yang bahagia di atas penderitaan orang lain!!!!
Potret dalam baskom terpantul;
-Cecungok-cecungok berbusana compang camping, mengais-ngais rejeki seperti tikus dalam rimba kenistaan fana. -Seniman makin gencar melukiskan kemlaratan dan keglamoran dalam sketsa-sketsa kusam berona abu-abu komersial. -Permainan spekulasi menjadi-jadi dalam pengayoman atap makhluk kecil yang tak memiliki derajat di mata mereka. -Si petinyoel bebas melalang buana, tak tau malam ataupun siang, bermuslihat dalam tingkat berbintang-bintang dalam remang keteduhan selambu, -Tikus celurut bebas berkeliaran bertingkah serakah, rakus akan kelimpahan rempah-rempah hasil bumi. Sampai kenyang, perut gendut-gendut, tak mampu kentut, sekali buang hajat di sembarang sudut, tinjanya-pun berkleleran di emperan. Menyebabkan wabah beribu-ribu macam virus, menyerang, menggrogoti, menuai kebobrokan lapis langit-langit atsmofer. Menyebabkan atap Pertiwi gampang goyah diterpa angin, tiang penyangga Pertiwi gampang rapuh, pondasi Pertiwi mudah retak, hingga menimbulkan bunyi gelegar membahana dalam jagad alam raya. Menggelegar dalam telingga-telingga bersekala sempit ataupun lebar.

Jika sudah seperti itu, sidang darurat dilakukan. Siding-sidang para atasan yang seperti memasak kue instan; menu raciknya banyak, tapi tak mampu membedakan apa yang dimasak antara mana granat dengan lemper ketan. (hahaha, koplak!)

Banyak air keharuan tumpah, meleleh dari pelupuk mata. Kura-kura dalam perahu. Menangis hanya untuk kepamoran, resah dalam omongan kebasian mulut blaka.

Aahh percuma, percuma saja. Sekarang kondisinya sudah benar-benar parah!! Separahnya lumpur muncratan, banjir bandang, tsunami buatan Japan, Tornado buatan Pamansam. Yang asli produk dalam negeri; Guncangan akibat patahan pantat Depe, api-api buatan Petrok kademen turun gunung.

Musibah sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan karena keseringan. Keseringan yang mampu terwadah dalam satu baskom yang hanya terisi butiran air mata-air mata. Air mata jernih, menggumpal butiran mutiara penderitaan dan kenistaan. Sebaskom air mata; mendendangkan bunyi gendang kebisuan, meniupkan seruling kedukaan, mendawaikan longlongan kelaparan dalam tiap sinar-sinar kesolidaritasan. Hingga bunyi-bunyian ini disebut nada, nada berirama, bernotasi, DoReMiFaSolLa… Akhirnya jadilah perpaduan Orkes Sebaskom Air Mata.

Ahhh, biarkan saja ia bernada dalam kebisuan. Tanpa jeda dan tanda berhenti. Hingga sampai kapan kah?? Ahhh, semua ini biarkanlah takdir yang menjawab…..


Ending: 02.00 (Malam Takbir, 10 Dzulhijah)

Kamis, 11 November 2010

Pengertian, Fungsi, & Manfaat Kritik Sastra

A.PENGERTIAN KRITIK SASTRA

Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.[1]

Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.[2]

Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.

Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.

Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami dan dimengerti, sebagaimana berikut:

Ilmu Sastra



Teori Sastra Sejarah Sastra Kritik sasra



1. Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:

a. pengertian-pengertian dasar tentang sastra,

b. hakekat sastra,

c. prinsip-prinsip sastra,

d. latar belakang, jenis-jenis sastra, dan

e. susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.

2. Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;

a. membicarakan tentang perkembangan sastra,

b. ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,

c. situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,

3. Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;

a. analisis,

b. interpretasi, dan

c. menilai karya sastra.

­ Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejaarah sastra.[3]

Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.

Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.[4]

Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya.[5] Seorang kritikus sastra mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.

Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra. Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.

Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan, memiliki peran penting karena stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik dipihak lain. Hubungan tersebut tercipta karena:

1. Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain).

2. Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.

3. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.

4. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan

5. Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.

Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah[6]

Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya sastra

B. Aktivitas Kritik Sastra

Dari pengertian kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai.

Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.[7]

Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:

1. penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.

2. penafsiran yang berusaha untuk meyusun kembali arti historik.

3. penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.

4. tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra

5. tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi

6. tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif. Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda, trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.

Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.

C. Fungsi Kritik Sastra

Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]

Setidaknya, ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, sebagaimana berikut;

* Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra

Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.

* Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra

Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.

­Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dll).

* Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri

Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya kualitas karya sastra.

Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam memanfaatkan kritik sastra tersebut.

Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.

Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra berfungsi apabila;

1) disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,

2) melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan

3) mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja sastrawan,

4) dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan

5) dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.

D. Esai Sastra

Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.



Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.

Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.[9]

Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis sambut dan selalu penulis harapkan.

”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)



















BIBLIOGRAFI



Baribin, Raminah. 1993. Kritik dan Peilaian. Semarang: IKIP Semarang Press.

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT Gramedia

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama.

[1] Raminah Baribin. Kritik & Penilain. hal. 1

[2] Panuti Sudjiman. Bunga Rampai Stilistika. hal. 2

[3] Raminah Baribin. Kritik & Penilain. hal. 2

[4] Partini Sardjono Pradotokusumo. Pengkajian Sastra. hal. 57

[5] Panuti Sudjiman. Bunga Rampai Stitistika. hal. 2

[6] Ibid. hal. 5

[7] Raminah Baribin. Kritik & Penilain. hal. 1

[8] Partini Sardjono Pradotokusumo. Pengkajian Sastra. hal. 58

[9] Raminah Baribin. Kritik dan Penilaian. hal. 11

* Sumber makalah; http://alhaqiir.multiply.com/journal/item/91/KRITIK_SASTRA

Rabu, 10 November 2010

TEORI BELAJAR BAHASA

TEORI BELAJAR BAHASA


Oleh Kelompok 9:

1. MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2. YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
3. ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
4. ITA NUR ANDRIANA (080210402052)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
1. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap pengajaran bahasa bertujuan agar siswa mempunyai keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa meliputi terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jadi, secara singkat keterampilan berbahasa itu mencakup empat segi yang keempat-empatnya saling berhubungan dan tidak bisa dipisah-pisah dengan sekat yang jelas.
Keempat keterampilan tersebut digunakan oleh manusia untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa. Bahasa ini diperoleh dengan menguasai empat keterampilan berbahasa. Salah satunya adalah melalui metode membaca. Membaca merupakan suatu kegiatan memahami teks bacaan dalam rangka memperoleh informasi atau pesan yang terkandung di dalam bacaan.
Menjelang tahun 1920-an, penggunaan metode membaca banyak mengalami refisi yang di pelopori oleh para pendidik Ingris dan Amerika. Salah satu pelopornya adalah West (1926), yang mengajar bahasa Ingris di India berpendapat bahwa belajar membaca jauh lebih penting dari pada orang India yang belajar bahasa Ingris ketimbang berbicara. West menganjurkan suatu penekanan pada membaca bukan hanya karena dia menganggap hal itu sebagai keterampilan yang paling bermanfaat yang harus diperoleh oleh bahasa asing, tetapi itulah yang paling mudah, suatu keterampilan dengan nialai tamabah yang paling besar bagi siswa yang paling mudah pada tahap- tahap awal siswa mempelajari bahasa.
Metode membaca pada tahun 1929-an di sekolah- sekolah menengah maupun di perguruan tinggi di Amerika Serikat mulai digunakan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajar atau mahasiswa kemampuan untuk memahami teks ilmiah yang mereka keluhkan dalam studi mereka. Metode membaca inilah yang kemudian terus digunakan dan dikembangkan hingga saat ini.
2. Tujuan dan Teknik
Tujuan dan teknik membaca secara tegas hanya untuk melatih para siswa dalam membaca pemahaman. Metode membaca merupakan suatu teoari pengajaran bahasa yang secara tegas membatasi tujuan pengajaran bahasa pada salah satu kegunaan praktis yang dapat dicapai. Metode membaca yang sekaligus merupakan ciri utamanya adalah sebagai berikut:
1. pemisahan fase aktif dan fase pasif pembelajaran bahasa
2. pendekatan analasis tata bahasa bagi tujuan membaca pemahaman
3. penekanan pada pengalaman menbaca intensif dan ekstensif
4. penundaan pelatihan berbicara dan menulis
5. perhatian kontinyu terhadap kata-kata lisan
6. perhatian terhadap pembelajar secara individual
Teknik-teknik yang dipakai dalam metode membaca tidaklah berbeda secara radikal dari teknik-teknik yang dikembangkan dalam metode-metode terdahulu:
1. penggunaan B1 tidak dilarang
2. penggunaan B2 diadakan secara lisan
3. ucapan dan inti ujaran sangat penting
4. beberapa teknik terampil dari pengajaran membaca bahasa asing
5. control kosakata dalam bacaan sangat penting
6. control kosakata merupakan pembeda membaca intensif dan ekstensif

3. Asumsi Teoritis
Metode membaca mempunyai dasar pragmatic yang kuat. Asumsi-asumsi educationalnya sam dengan kurikulum sekolah Amerika tahun 1920-an, misalnya menyesuaikan kegiatan-kegiatan pendidikan kepada penggunaan-penggunaan praktis yang sudah ditetapkan atau ditentukan. Dengan perkataan lain, dengan metode ini diharapkan agar para siswa mempunyai keterampilan berpragmatik. Kita harus menyadari benar-benar jika ada 7 faktor penentu dalam berkomunikasi dengan bahasa yaitu:
1. siapa yang berbahasa dengan siapa
2. utnuk tujuan apa
3. dalam situasi apa atau tempat dan waktu
4. dalam konteks apa
5. dengan jalur mana lisan atau tulisan
6. media apa
7. dalam peristiwa apa
Orientasi belajar mengajar bahas berdasarkan tugas dan funsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan komunikatif ini bentuk bahasa (kata, kalimat, ragam bahasa) yang dipakai selalu dikaitkan dengan factor-faktor penentu di atas. Kemampuan berbahasa yang demikian yaitu yang dapat menyesuaikan bentuk bahasa dengan factor-faktor penentu, disebut keterampila berpragmatik. Ilmu yang mengkaji hubungan bahasa (ragam dan bentuk bahasa) dengan faktor-faktor itu disebut ilmu pragmatik.
Metode pembaca timbul dari pertimbangan-pertimbangan pendidikan praktis. Hal ini sejalan denga teori eamerika tahun 1920-an. Metode itu memperkeranalkan kedalam pembelajaran bahasa beberapa elemen baru yang penting yaitu;
a) a.kemungkinan menemukan tehnik-tehnik pembelajaran bahasa yang sesuai dengan tujuan –tujuan tertentu. Dalam hal ini tujuan membaca .
b) b.pengaplikasian pengawasan kosakata pada teks-teks sebagai sarana penahapan teks-teks yang lebih baik.
c) c.penciptaan atau kreasi yang bertingkat
d) d. sehubungan dan sebagai jasa pengawasan kosa kata pengenalan dengan tehnik-tehnik membaca bagi kelas bahasa asing.

4. Kesimpulan
Metode pembelajaran direncanakan bagi sekolah-sekolah yang tujuan satu-satunya adalah untuk memperoleh pengetahuan memebaca mengenai bahasa. Teks dibagi menjadi seksi-seksi atau bagian –bagian pendek. Yang masing-masing didahului oleh suatu daftar kata yang akan di ajarkan melalui konteks trrjemahan atau gambar-gambar. Setelah suatu tahap atau disingkat kosa kata tercapai maka bacaan –bacaan tambahan dalam bentuk cerita atau novel yang di sederhanakanpun diperkenalkan untuk memudahkan sang pembelajar untuk menggabungkan atau mengkosolidasikan kosakatanya.






Daftar Pustaka


Guntur tarigan, henry.1991.metodologi pengajaran bahasa 2 .Bandung: penerbit Angkasa.
Utari subyakto,sri.1993.metodologi pengajaran bahasa. Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama.

PENGARUH ‘CINTA’ TERHADAP GANGGUAN KEJIWAAN PADA TOKOH QOIS DAN LAYLA: KAJIAN PSIKOLOGI PENOKOHAN (Novel LAYLA & MAJNUN)

PENGARUH ‘CINTA’ TERHADAP GANGGUAN KEJIWAAN PADA TOKOH
QOIS DAN LAYLA: KAJIAN PSIKOLOGI PENOKOHAN


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010




A. KAJIAN TEORI
1. Psikologi Penokohan
Sastra dalam pandangan psikologi sastra adalah cermin sikap dan perilaku manusia. Sikap dan perilaku hakikatnya adalah pantulan jiwa.jiwa yang khayal, akan dapat dimonitor lewat sikap dan perilaku. Oleh karena itu, membaca sikap dan perilaku dalam sastra, peneliti akan mampu memahami gejolak jiwa manusia. Peristiwa kejiwaan ketika menggerutu, meratap, melamun, menangis, menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan, berteriak histeris, membanting pintu dan menutup diri seharian di dalam kamar, mencabik-cabik baju, meremas kertas. Duduk berkhayal dan membunuh diri serta melukai orang lain, dan lain-lain, merupakan wujud perilaku eksternal yang tak dapat dirubah karena sudah terlanjur terungkap dan merupakan fakta empiris.
Pemahaman manusia dalam sastra akan lengkap apabila ditunjang oleh psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti bahwa teori penilitian psikologi sastra jelas merupakan gabungan dari teori sastra dan teori psikologi. Hukum-hukum psikologi dicocokkan dengan teori sastra, sehingga membentuk kerangka analisis. Namun yang perlu dicermati oleh peniliti sastra adalah yang paling dominan dari kajian karya sastra itu sendiri. Karena psikologi hanya sebagai alat bantu untuk mengungkapkan perilaku manusia yang ada di dalam karya sastra.
Secara spesifik, realita psikologi sebagai misal adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Tokoh yang menjadi tumpuan penelitian psikologis sastra, berarti perlu diidentifikasi. Jangan-jangan di dalamnya tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, sedangkan tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya, kurang mendapatkan penekanan. Pemahaman tokoh semacam ini terasa berat sebelah karena tokoh bawahan(periperial) pun memiliki watak dan sering kali juga dijadikan cermin diri. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu saja diperlukan psikologi khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wellek dan Warren (Metode Penilitian Psikologi: Suwardi Endraswara) bahwa untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori pasikologi. Teori ini disesuaikan dengan hal yang akan digali dai tokoh. Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.

2. Hakikat Cinta
Cinta merupakan istilah yang sulit untuk didefinisikan. Namun, cinta merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang fundamental. Secara sederhana cinta dapat diartikan sebagai rasa kasih sayang. Cinta juga dapat dikatakan sebagai paduan rasa simpati antara dua makhluk. Dengan demikian cinta memang sangat terikat dengan kehidupan manusia. Tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia, bahwa cinta itu tidak penting. Semua manusia pasti haus akan rasa cinta. Cinta diibaratkan seperti udara yang selalu dihirup manusia untuk bernafas. Tetapi anehnya, kendatipun demikian hampir manusia tidak pernah terlintas dalam benaknya tentang apa dan bagaimana cinta itu terjadi?
Cinta dalam bahasa Arab disebut dengan mahabbah. Sinonim dari kata cinta dalam bahasa Arab lebih dari 60 kosakata/mufradat. Hal ini menunjukkan cinta merupakan hal yang agung bagi mereka, selalu didendangkan oleh para penyair dan dilantunkan oleh para pujangga, disebut-sebut di pertemuan. Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. (www.akbarkurniawan.web.id)

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Cinta Bagi Qays dan Layla (Tinjauan Psikologi)
Novel Layla Majnun ini sangatlah menarik untuk dikaji dari bidang ilmu psikologi. Tentunya tetap dalam naungan teori sastra, bukan ilmu psikologi murni. Sehingga memungkinkan bagi peniliti untuk mengkaji lebih dalam psikologi yang ada dalam tokoh utama novel ini. Selain itu, novel Layla Majnun ini adalah novel terkenal di jagad Internasional. Bahkan bisa dibilang sebagai novel roman terlaris dan fenomenal sepanjang sejarah prosa. Kelebihan novel ini salah satunya terletak pada penderitaan batin yang dialami oleh tokoh Qays dan Layla sebagai dua tokoh utama.
Penderitaan batin yang dialami dua tokoh tersebut, menimbulkan perilaku yang menyimpang dari sifat manusia normal. Hal ini disebabkan karena rasa frustasi yang berkepanjangan yang dialami oleh Qays maupun Layla. Qays sangat mencintai Layla, dan sebaliknya. Rasa cinta Qays terhadap Layla tidak bisa disamakan dengan rasa cintanya kepada siapapun di dunia ini. Ia rela hidup menderita dan mati demi mempertahankan cinta tersebut. Begitu juga dengan Layla. Tapi sayanganya cinta mereka bertepuk sebelah tangan, karena atas dasar kesombongan dan rasa gengsi orang tua Layla kepada keluarga Qays. Sehingga orang tua Layla melarang dan tidak menyutujui hubungan mereka. Walaupun benih-benih cinta mereka terlarang, tetapi Qays tetap setia pada Layla. Namun karena Layla perempuan, ia tidak bisa berbuat apa-apa seperti yang dilakukan Qays dalam melampiaskan rasa cintanya.
Adat dalam masyarakat Arab melarang perempuan yang sudah baligh bermain-main di luar rumah adalah pantangan. Hal ini juga berlaku dalam keluarga Layla. Ia harus memasuki masa pemingitan. Ia anak perempuan satu-satunya dalam keluarganya. Hingga masalah jodoh sudah diatur oleh orang tuanya. Menyebabkan Layla menderita batin berat, atas kelakuan orang tuanya melarang berpacaran dengan Qays. Ia sudah dijodohkan dengan laki-laki saudagar pilihan ayahnya. Membuat rasa cinta Layla kepada Qays yang sudah lam tumbuh dalam hatinya kian beku, kering, hingga rasa cinta itu tidak tersampaikan sepanjang hidup.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh utama tersebut, akan sangat menarik bila dikaji secara psikologi penokohan. Psikologi penokohan akan memberikan gambaran tentang aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas secara motorik, kognitif, maupun secara emosional. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan perilaku sebagai manifestasi kejiwaan. Sehingga penilitian ini serasa tepat menelaah lebih dalam atas rasa cinta yang membelenggu kedua tokoh Qays dan Layla. Karena rasa cinta terlaranglah yang membuat mereka mati, tanpa merasakan kebahagian tiap hembusan nafas yang sebetulnya dapat mereka rasakan ketika masa hidup.

2. Analisis Gangguan Kejiwaan yang Dialami Qays dan Layla Akibat Pengaruh Cinta
Pada tahap analisis ini, peniliti akan mencoba menelaah lebih dalam atas permasalahan kejiwaan tokoh Qays dan Layla yang disebabkan pengaruh cinta. Anilisis dilakukan mulai dari buih-buih cinta tumbuh pada hati mereka berdua; permasalahan ketidak setujuan orang tua Layla atas hubungan mereka berdua; gejolak jiwa akan frustasi, patah semangat, pesimis; penyebab gangguan kejiwaan kedua tokoh; hingga penyebab kematian kedua tokoh, hanya gara-gara cinta keduanya tidak tersampaikan.
Berikut hasil analisa yang dilakukan peniliti tentang gangguan kejiwaan tokoh, yang dapat diketahui dari beberapa perilaku gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Qays dan Layla.
a. Antara Pendidikan dan Cinta
Pada dasarnya pendidikan merupakan hal penting bagi manusia. Pendidikan adalah kunci masa depan, pegangan setiap orang baik itu di masa anak-anak, muda, dewasa ataupun tua. Tetapi kenyataanya pendidikan bagi kaum muda sekarang kebanyakan menganggap pendidikan bukan hal penting yang harus diutamakan. Bagi mereka pendidikan merupakan formalitas semata. Seperti halnya yang dialami tokoh Qays dan Layla dalam novel Layla Majnun.
Kedua tokoh tersebut mengalami seperti halnya permasalahan anak muda. Mereka yang seharusnya sibuk dengan belajar di sekolah, terganggu hanya gara-gara memikirkan cinta. Qais yang semula pandai, gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi majnun alias gila, karena ia jatuh cinta pada seorang gadis di kelasnya yang bernama Layla. Peristiwa ini terjadi saat proses belajar-mengajar di kelas. Hal ini bisa dilihat dari kutipan novel.
Qays sendiri sejak pertamakali melihat pancaran cahaya keindahan itu, jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi bergoncang dengan hebat, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu. Qays belum pernah melihat keindahan paras Layla. Dan Qays benar-benar telah jatuh cinta pada Layla, sang mawar jelita. Keharuman cinta telah menghancukan ketenangan pikirannya. Gejolak gairah cinta dalam jiwa membuatnya kehilangan akal sehat, hingga lupa belajar dan lupa makan. Setiap detik, tiada yang melintas di angannya kecuali mata indah Layla. Tiada suara yang lebih merdu daripada suara Layla. (Layla Majnun; 9)

Begitupula yang dialami tokoh Layla. Ia juga mengalami gejolak jiwa seperti yang dialami Qays. Waktu belajarnya terganggu karena memikirkan cinta, semenjak ia melihat sosok Qays yang dikenal pandai berbicara di kelasnya. Hatinya terpana ketika pertama kali melihatnya.
Sebenarnya Layla juga tipe anak yang berpikir cerdas di dari pada teman-teman perempuan lainnya. Namun gara-gara daya cinta ia terhasut dan terjatuh dalam kenistaan cinta.
Qays tidaklah menggantang asap, bertepuk sebelah tangan. Layla mawar jelita di taman nirwana itu sudah tertarik pada Qays sejak pertamakali berjumpa. Gadis itu melihat pesona yang memabukkan pada diri Qays. Baginya Qays seperti gelas minuman, semakin dipandang semakin haus. Sama seperti Qays, kekaguman Layla pada pemuda impiannya itu hanya mampu diungkapkan melalui syair. (Layla Majnun; 10)

b. Orang Tua dan Cinta
Secara psikologis peran orang tua bagi anak yakni mengarahkan si anak kepada perilaku atau moralnya, baik dalam bersikap kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Selain itu orang tua juga memiliki kewajiban mendidik si anak untuk memanfaatkan waktunya antara belajar dan bermain. Dan pastinya orang tua memiliki kewenangan menjamin pendidikannya maupun menentukan masa depan anaknya nanti seperti apa.
Seperti halnya yang dilakukan orang tua Layla. Di usia belianya Layla di sekolahkan di salah satu sekolah favorit yang ada di negerinya. Ia diberi kebebasan untuk mengenyam masa pendidikannya. Tetapi di sisi lain orang tua Layla juga memberikan rambu-rambu kepada putrinya, agar tidak terjerumus pada hal-hal pantangan yang ada dalam keluarganya. Salah satunya orang tua Layla, melarang dirinya untuk jatuh cinta kepada lawan jenis. Karena masalah jodoh-menjodoh sudah ada pilihan tersendiri di dalam keluarganya. Mangkanya saat orang tua Layla mendengar kabar bahwa putrinya sedang jatuh hati kepada salah satu pemuda di sekolahnya ia sangat marah. Bahkan apa yang dilakukan putrinya ini baginya sama saja perbuatan ternoda terhadap harga diri keluarga dan dirinya. Hal ini dapat diketahui dari kutipan novel sebagai berikut.

Angin berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat Bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada harus menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta daripada terus-menerus menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Layla.(Layla Majnun;13-14)

Atas perbuatan putrinya, ayah Layla mengalami beban mental atau frustasi berat. Bahkan ia sudah pasrah atas perbuatan yang dilakukan putrinya. Dan baginya untuk mengatasi permasalahan keluarganya ini, ia memutuskan untuk mengurung Layla dalam kamarnya dan melarang putrinya keluar rumah, ataupun pergi ke sekolah.

Kemarahan yang meluap sering membuat orang khilaf dan tidak berpikir panjang. Demikian pula hawa amarah yang telah menguasai pikiran ayah Layla. Mereka tidak peduli lagi pada nasib anak gadisnya. Keputusannya telah bulat, tiada yang bisa membantah. Hanya ada satu cara untuk menghilangakan rasa malu, yaitu mengurung Layla di dalam rumah. Tidak boleh pergi ke sekolah ataupun berjumpa dengan kawan-kawannya. (Layla Majnun; 14)

Perasaan ayah Layla, berbeda dengan apa yang dirasakan ayah Qays setelah mengetahui anaknya jatuh cinta. Syed Omri selalu gelisah dan mencemaskan keadaan jiwa putra sematawayangnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerita di bawah ini.

Kepergian Qays membuat Syed Omri gelisah. Lelaki tua itu begitu mencemaskan nasib putranya. Pukulan kesedihan yang bertubi-tubi membuat lelaki itu tampak semakin tua, kerut merut di wajahnya tidak lagi bersinar, seperti sudah kehilangan semangat.(Layla Majnun; 41)

c. Larangan dan Memperkuat Tali Kasih antar Kedua Tokoh
Sekeras apapun batu karang di lautan, sebegitu mudah sepasang kekasih yang menjalin ikatan menghadangnya. Seperti halnya kekuatan cinta yang terjalin antara Qays dan Layla. Walaupun orang tua Layla menghadang percintaan mereka, tetapi ikatan batin yang sudah terjalin kuat di hati mereka tidak dapat begitu saja diruntuhkan. Semakin mereka dilarang bertemu, semakin pula kuat ikatan cinta mereka membalut dalam jiwa. Berikut kutipan novel yang mendukung.

Setelah Qays menyadari bahwa Layla dipingit orang tuanya, muncul rasa penyesalan karena tidak mampu menyimpan rapat rahasia mereka. Begitu juga Layla, di rumah pikirannya selalu membayangkan Qays. Mereka sama-sama mengalami kesengsaraan karena berpisah, mereka mengisi nasib yang menimpa dan menyisakkan dada. Ibarat bayi yang belum puas menetek di sus ibunya kemudian dipaksa untuk berpisah, demikian jiwa Qays. Ia laksana bunga kembang tak jadi. Jiwanya menjerit, memanggil nama Layla kekasih yang direnggut dari tanggannya. Mimpi-mimpi indah di malam hari kini berubah menjadi badai yang memporakporandakan kalbunya. Jiwanya terguncang, dan akal sehatnya melayang ke udara, mengembara mencari Layla. (Layla Majnun; 14)

Selain kutipan di atas, yang mendukung bahwa kekuatan cinta antara Qays dan Layla juga diperkuat dari cuplikan isi novel di bawah ini.
Tiba-tiba pandangan Qays beralih ke salah satu sudut rumah, di sana nampak bayang-bayang Layla. Bukan, bukan bayangan, tapi memang Layla. Kedua insane yang hatinya saling terikat, akan merasakan getaran jika kekasih hati mereka hadir.(Layla Majnun; 26)

d. Kegelisahan Qays dan Kegilaan Cinta
Rasa gelisah merupakan efek dari ketidak tenangan batin, pikiran dan jiwa seseorang atas adanya permasalahan yang mendera. Hal itu sama halnya dirasakan oleh tokoh Qays. Ia merasakan kegundahan jiwa dan pikirannya karena ia merindukan sang kekasih pujaan yang tidak hadir di sisinya. Qays mengalami frustasi berat dan rasa kerinduan yang mendalam. Hingga rasa membelunggu dalam dirinya, membuat ia tidak sadar bahwa kegeliaan akan merenggutnya.
Qays sudah tidak peduli lagi dengan kondisi fisik maupun rohaninya. Dalam pikirnya hanya satu yang terlintas, sosok Layla yang dinantikan hadir di sampingnya. Qays sudah termakan nafsu. Nafsu gara-gara cinta yang tidak tersampaikan. Membuat ia dianggap orang lain sudah gila.

Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggup memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar, menuju padang belantara dengan langkah gontai. (Layla Majnun; 15)
Tetapi lebih banyak yang menganggap Qays telah hilang ingatan. Bila ia berjalan di kampung-kampung dengan bertelanjang dada, orang-orang akan memanggilnya dengan Majnun, si gila. Dan anak-anak kecil akan mengikuti langkahnya dari belakang sambil melempari batu. (Layla Majnun; 21)

Padahal Qays tersiksa karena takdir yang selalu memusuhinya. Sedangkan hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja sebutan majnun tak dapat ditepisnya

e. Cinta dan Kematian
Kasih sayang yang melahirkan cinta bisa berwujud dalam berbagai hal tapi satu yang pasti di dalam cinta membutuhkan kepedulian dan kesadaran, karena tanpa keduanya baik cinta maupun kasih sayang takkan perrnah ada artinya. Ituhalnya yang dialami Layla, hidupnya sekarang terasa hampa akan ketidak hadirnya sang kekasih. Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama.
Akhirnya, Layla menderita penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan hingga menggerogoti kesehatannya. Hingga ajal menjemputnya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya. Layla hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam. Berikut kutipan yang mendukung.

“Ibu! Waktuku telah tiba, engkau tidak perlu mencaciku lagi. karena setelah ini tidak ada lagi, yang aku sembunyikan. Walau mungkin sia-sia saja semua ini kukisahkan, karena langit telah berkenan mendengar doaku untuk mengembalikan aku kedalam keabadian.” (Layla Majnun; 171)
Ibu yang berduka itu menatap putrinya tanpa suara. Walau bibirnya berusaha untuk tersenyum, tetapi ia tetap khawatir saat melihat perubahan yang menakutkan. Begitu dalam kesedihan putrienya, sehingga dia menggigil jatuh tersungkur di atas ranjang, dan tidak akan pernah bangkit lagi. Benang kehidupannya telah putus! Nafas Layla yang semula mengalir satu persatu, tiba-tiba melemah, dan jantungnya tidak berdenyut lagi. kecantikan gadis itu tersimpan dalam jejak kematian yang bisu. Langit pun ikut menangis. (Layla Majnun; 172)

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Layla pun terdengar oleh Qays. Mendengar kabar itu,
ia pun langsung jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Layla. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Qays bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Layla di luar kota. Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Dan saat pusara Layla sudah terlihat di hadapannya, Qays jatuh tersungkur dan air mata mengalir membasahi tanah tempat dia terbaring. Seluruh tulang persendian Qays seperti terlepas, tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan. Ia hanya bisa merangkak mendekati pusara Layla. Lalu tangannya memeluk nisan erat-erat, seperti tidak ingin ada orang lain yang mengambil. Ia merintih, sambil memukul dan mencakar dadanya yang kurus, hingga darah mengucur menetes di nisan Layla. (Layla Majnun; 175)

Lalu Qays ketika tidak menemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, perlahan-lahan ia meletakkan kepalanya di atas kuburan Layla. Tanpa ada sebab dan akibat Qays menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dunia dalam keadaan tenang. Berikut kutipan cerita yang mendukung.

Semakin lama suara Qays semakin lemah. Sayap-sayap kematian telah mengajaknya terbang menemui Layla sang kekasih di alam keabadian. Gerbang kematian telah terbuka, dan mengajaknya pergi meninggalkan dunia fana. Kematian yang menjemput tidak meninggalkan bekas penderitaan. Wajah Qays terlihat seperti sedang tertidur. Kepalanya tergeletak di atas batu nisan, sedang tubuhnya seperti memeluk tanah perkuburan yang menyimpan jasad kekasihnya. (178)

Menurut cerita jasad Qays tetap berada di atas kuburan Layla selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Layla. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Qays yang masih segar seolah baru mati kemarin. Akhirnya ia pun dikubur disamping sang kekasih Layla. Walaupun dua kekasih ini tidak lagi hidup di dunia, tapi kini mereka dapat bersatu dalam keabadian cinta sejati.




C. KESIMPULAN
Kisah cinta Qays kepada Layla bukanlah seperti kisah cinta manusia biasa. Melainkan ada kisah cinta yang menarik yang membuat karya ini bertahan hingga berabad-abad. Kisah percintaan dua insan ini syarat dengan moral yang baik dan banyak nilai pelajaran yang bisa di ambil dari kisah ini. Kendati demikian pada akhirnya, pembaca di butakan oleh kisah cinta dua tokoh tersebut, hingga membuat salah satu tokoh mengalami gangguan kejiwaan atau gila, dan berakhir kematian.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh Qays dan Layla tersebut, sangat begitu menarik dianalisis dari kajian psikologi penokohan. Dapat disimpulkan dari analisis di atas bahwa gangguan kejiwaaan yang dialami kedua tokoh, mulai dari permasalahan buih-buih cinta tumbuh pada hati mereka berdua, hingga membuat mereka melupakan pendidikan; permasalahan ketidak setujuan orang tua Layla atas hubungan mereka berdua; gejolak jiwa akan frustasi, patah semangat, pesimis; penyebab gangguan kejiwaan kedua tokoh; hingga penyebab kematian kedua tokoh, hanya gara-gara cinta keduanya tidak tersampaikan. Semua itu bisa dijawab, bahwa penyebab gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Qays dan Layla hanya gara-gara faktor cinta terlarang. Dan semua itu sudah terbukti dengan jelas dari hasil analisa teks novel yang dilakukan peniliti.

D. DAFTAR RUJUKAN
Artikel Islami, Hakikat Cinta. (www.akbarkurniawan.web.id). Diakses pada tanggal 4 November 2010.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Ganjavi, Nizami. 2008. Layla dan Majnun. Surakarta: Babul Hikmah.

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME: KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME:
KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010






A. KAJIAN TEORI
1. Psikobudaya Pengarang
Kekayaan jiwa adalah pengalaman berharga yang menempa pengarang lebih dewasa. Atas dasar ini, orisinalitas karya akan lebih terjaga. Hal ini seperti telah dikemukakan oleh Suwardi Endraswara (Metode penilitian Psikologi Sastra. 2008:96), bahwa di dalam penilitian psikologi pengarang terdapat empat model kajian, dari memori psikologi pengarang, tipologi psikis pengarang, psikobudaya pengarang, dan kepribadian pengarang. Tetapi peniliti di sini akan mencoba melakukan penilitian dari aspek psikobudaya pengarang novel Dadaisme.
Psikobudaya pengarang adalah kondisi kehidupan pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Faktor budaya, pribadi, dan moral yang mengitari jiwa akan menjadi landasan pengarang di dalam menuangkan ide ke dalam bentuk cerita, baik berpengaruh dari segi internal maupun eksternalnya. Oleh sebab itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan hasil “cetak ulang” dari dalam jiwanya. Kebanyakan pengarang dalam menggambarkan proses kreatif pada dirinya mengakui bahwa menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu, sebagaimana dikemikakan oleh Sitor Situmorang (Eneste. 1984:3) bahwa ”Sajak lahir dan tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya…. Penciptaan sebuah sajak, dilakukan oleh seseorang dalam iklim budaya dan juga sastra”. Pernyataan ini memang belum secara langsung terkait dengan iklim psikologis. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa budaya pengarang akan membentuk kejiwaanya. Maka peneliti, perlu merunut budaya apa saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan.
Menurut Arieti (1976), pengarang sebagai makhluk yang hidup di dalam lingkungan masyarakat akan terpengaruh berbagai faktor sosio kultural yang creativogenic (menumbuhkan kreativitas). Faktor yang berpengaruh tersebut diantaranya;
 Faktor pertama tersedianya sarana atau prasarana budaya. Misalnya di Jakarta, adanya Taman Ismail Marzuki yang memungkinkan para seniman, budayawan, sastrawan, dan sebagainya bisa saling bertemu, berdiskusi, dan memaparkan karya-karya seni yang mereka hasilkan.
 Factor yang kedua adanya keterbukaan terhadap berbagai rangsangan kebudayaan, baik berskala nasional maupun internasional. Indonesia beruntung memiliki kekayaan dan keragaman budaya etnis, yang tentunya memperluas dan memperkaya wawasan dan pengalaman pengarang.
 Faktor yang ketiga timbulnya kemerdekaan (kebebasan) setelah masa tindasan atau pengekangan. Kondisi ini dapat menumbuhkan daya citra para pengarang.
 Faktor yang keempat ialah factor paparan (exposure) terhadap rangsangan yang berbeda-beda, bahkan saling kontras. Dengan memperoleh rangsangan baru dari berbagai budaya, seseorang meningkatkan kemungkinan diperolehnya “sintesis kreatif”. Yakni konsep kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari unsur atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya.
Di sini peniliti ingin melakukan studi kasus terhadap pengarang novel Dadaisme dengan menggunakan tinjauan psikologi sastra. Tepatnya peniliti menggunakan kajian psikologi pengarang dengan menggunakan pendekatan psikobudaya pengarang.Sehingga peniliti melakukan analisis psikobudaya pengarang novel Dadaisme ini, berlandaskan empat factor di atas.

2. Biografi Pengarang Novel Dadaisme
Dewi Sartika adalah pemenang I sayembara novel pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), melalui karyanya yang berjudul Dadaisme. Saat itu namanya mulai dikenal masyarakat atas prestasi yang diraihnya. Walaupun darah minang di keluarganya sangat kental, ia lahir di kota Cilegon pada tanggal 27 bulan Desember tahun 1980.
Dewi Sartika sudah aktif menulis sejak ia duduk di bangku SD. Bisa dibilang ia pertama kali memulai niatnya untuk benar-benar serius terjun ke dunia tulis-menulis ketika usia SMA. Hal ini terbukti cerpen pertamanya yang bertema remaja di muat di majalah sekolah dengan judul Kakekku Arjuna,dan menjadi pilihan favorit redaksi majalah.
Riwayat pendidikan Dewi Sartika, yakni ia lulusan dari SMPN 10 Bandung (angkatan 1995), dan melanjutkan di SMUN 7 Bandung (angkatan 1996), hingga ia melanjutkan kuliah dengan memilih Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai program pendidikannya di Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI Bandung (angkan 2000). Hingga ia menghasilkan beberapa novel Dadaisme, Natsuka, My Silly Enggagement, Numeric Uno, Dunia-Duniya dan novel yang terbaru berjudul Ranah Sembilan. Selain Dadaisme, karya Dewi Sartika yang pernah mendapat penghargaan yaitu Natsuko sebagai buku remaja terbaik IKAPI 2005, dan satu cerpennya masuk dalam antologi cerpen terbaik majalah Republika. Perempuan yang memiliki hobi membaca, menulis, makan, mendengarkan musik dan ngisengin adiknya ini, memiliki cita-cita sebagai seorang sutradara terkenal. Hal ini dirintisnya sejak usia dini dengan menulis skenario di salah satu TV swasta yang bertajuk The Coffee Bean Show. Di sela kesibukkannya, ia meluangkan waktunya untuk menyapa para penggemarnya yang tergabung (dewi.sartika@yahoo.com) dalam milis. (www.sembilan-publishing.com)

B. PEMBAHASAN
1. Cara Berpikir Pengarang Terhadap Karya dan Modernisasi
Banyak penikmat sastra terpukau, setelah membaca novel Dadaisme. Baik dari penikmat kalangan masyarakat biasa, ataupun sastrawan dan para kritikus sastra. Mereka tidak segan-segan mengatakan, bahwa Dadaisme ini novel luar biasa dan membawa pembaruhan tersendiri dikhasanah dunia sastra Indonesia. Hal ini terungkap dari pendapat ketua dewan juri sayembara novel DKJ tahun 2003, Prof. Budi Darma, memberikan catatan khusus untuk Dadaisme. Menurut novelis dan kritikus sastra Indonesia itu, kekacauan tokoh dan peristiwa, perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel ini pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini. Juga masa ketika masing-masing orang sibuk menghadapi masalah tanpa sempat mendalaminya.
Pendapat Prof. Budi Darma atas gaya tulisan dan tema yang diambil penulis novel Dadaisme, menunjukan bahwa penulis novel Dadaisme ini memiliki cara berpikir yang cerdas sehingga menghasilkan suatu karya yang menggugah realita kehidupan jaman sekarang. Bisa dibilang cara berpikir pengarang modern, hal ini nampak pada paragraph pembuka di halaman pertama.

Sebut saja kota ini sebagai Metropolis dan ada banyak alasan kenapa tidak pernah bisa disebutkan namanya sebuah kota yang bila disamakan layaknya kota-kota di belahan bumi, di manapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan layang membelah langit, mulusnya aspal yang berkilat disiram cahaya matahari.Tidak lupa lampu-lampu berkelip-kelip atau lebih mudah mengejanya: neon berwarna. (Dadaisme; 1)

Kutipan di atas merupakan alinea yang mengawali cerita. Metropolis yang tidak perlu dirujuk pada suatu ruang nyata, referensi yang jelas. Bila dilihat dari kode budaya, metropolis mengindikasikan wilayah rantau, nama yang tidak perlu merujuk ke suatu wilayah konkrit, tempat segala kegamangan dan ketidakpastian, harapan dan sekaligus kebebasan dapat diperoleh. Berarti dapat disimpulkan tokoh Nedena berada di wilayah rantau, dalam pengertian harfiah maupun filosofis. Pada paragaraf selanjutnya, pengarang mencoba memberikan gambaran umum kota metropolitan tersebut. Tetapi pengarang cara ganbaranya tidak mampu dipahami pembaca secara jelas, pengarang terlalu abstrak mengmbarkannya.

Seperti apa gambaran kota metropolis? Seperti seorang pelukis melukis gambar Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, ataupun lainnya. Ada banyak mobil entah mengapa benda padat berbentuk aneh itu dinamakan mobil? Bangunan-bangunan yang persegi empat memanjang ke atas, seakan hendak menarik langit dari peraduannya yang angkuh. (Dadaisme;1)

Dari kutipan di atas pembaca dipaksa mengikuti gambaran cerita yang membingungkan. Gambaran kota-kota besar disebutkan, walaupun sebenarnya tujuan pengarang ingin menyampaikan gambaran kota metropolitan itu seperti apa.
Selain itu pengarang juga memberikan cara berpikir modern, pada cerita tokoh Nedena, Bibi. Pengarang dalam memberikan solusi pada tokoh Nedena yang dicurigai guru di sekolahnya menderita gangguan kejiwaan. Guru memberikan menyarankan kepada Nedena dan Bibiknya, bahwa Nedena seharusnya dibawa ke psikiater. Bukan menyarankan ke dukun atau orang pintar seperti yang dilakukan orang-orang desa. Hal tersebut menunjukkan daya pikir masyarakat sekarang di era globalisasi.

“Saya pikir, sebaiknya Nedena dibawa ke psikolog saja. Saya memiliki kenalan di kota. Dia seorang psikolog ahli, dia bisa menangani masalah-masalah seperti ini.” Tawar Guru tersebut pada bibi Nedena. (Dadaisme; 3)

2. Pengarang dan Kebudayaan
Dewi Sartika lahir di Cilegon, tetapi darah Minangnya sangat melekat dalam diri dan keluarganya. Hal ini berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau. Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar belakang Dewi Sartika.
Dewi Sartika selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Ia bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik. Secara sosiologis dia dapat berada di mana saja, dan mampu beradaptasi dengan baik, tetapi mereka akan tetap mempertahankan ke Minangkabauannya secara ideologis. Terbukti di dalam isi novel ini ada beberapa percakapan antar tokoh yang disajikan pengarang dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Pengarang memanfaatkan bahasa ibunya tersebut tidak sedikit, ada 25 kali antar tokoh menggunakan bahasa Minang di dalam percakapannya.

“Wow! Rancanabana pengantin uni. Warnonyo aneh, bakilau dan suntingnyo gadang!” puji Issabella ketika Etek Is datang membawa sejumlah peralatan pengantin yang jadi.
“Etek indak mangarti. Yusna tu tak mau menjadi pengantin.” Sungut Yusna.
“Yo, Etek mengerti. Tapi Issabella kan indok tahu opo-opo. Janganlah tumpahkan kemarahanmu padonyo.” Nasehat Etek Is. (Dadaisme; 41)

Di dalam cerita Dadaisme pengarang juga mengambarkan bagaimana persiapan orang Minangkabau sebelum menyelenggarakan prosesi pernikahan sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka.

Rumah Datuk Malinda tampak ramai oleh para tetangga yang merapikan rumahnya. Hari sabtu besok ijab Kabul akan dilakukan dan pesta meriah akan dilangsungkan. Tulisan MOHON DOA RESTU dan SELAMAT DATANG sudah ditempel di beberapa temapt di rumah tersebut. Etek Is bangga akan pekerjaannya mengubah sudut ruang tamu menjadi tempat singgasana sang pengantin nanti. Tinggal tugasnya mendandani pengantin hingga secantik putri. (Dadaisme; 42)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakan sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat. Sehingga dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal, di sisi lain berhadapan dengan ideologi Minangkabau yang dipandang sakral. Bagi pengarang sendiri perantauan menjadi batu ujian membentuk diri menjadi pembentukan manusia Minangkabau sejati.
Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia. Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.

Sutan Bahri adalah seorang pengusaha Minang yang sukses di pulau Jawa. Usahanya bisa dihitung dari supermarket dan beberapa perhotelan yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Bukit Tinggi. Sutan Bahri adalah orang yang etguh memegang adat. Keinginannya untuk menikahkan putranya dengan gadis Minang pun menjatuhkan pilihan pada Yusna, putrid seorang datuk yang terkemuka bersuku Koto. Uang jemputan sudah ditetapkan, dan pakaian pengantin sudah dipesan. (Dadaisme; 41)

3. Kebebasan dan Daya Citra Pengarang
Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun, memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana kesehatan modern, pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau. Hal ini pengarang mencoba mengambarkan kebebasan globalisasi itu pada orang Minangkabau namapak pada cerita yang dialami anatar tokoh Yusna. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.
Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya, yang jelas-jelas di situ bahwa Sutan Bahri adalah orang yang sangat disegani di Minangkabau dan memegang adat istiadat nenek moyang yang sangat kuat ditentang oleh pengarang. Dalam cerita terbukti, Sutan Bahari berpikir melihat nilai ideal dalam relasi antar orang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah. Hal ini nampak saat prosesi pernikahan akan berlangsung, Yusna calon pengantin perempuan melarikan diri. Sehingga keluarga Yusna dan keluarga Rendi binggug akan ketiadaan pengantin perempuan. Tetapi adanya Issabella prosesi pernikahan tetap berlangsung, karena ia dengan terpaksa menyanggupi untuk menikah dengan Rendi. Adanya jalan keluar tersebut, Sutan Bahri menyanggupi tanpa pertimbangan yang matang dan tidak mempertahankan hal jodoh yang seperti diperhitungkan sebelumnya.

“Kau tahu, Nak. Mula-mula papa berharap kau menikah dengan Yusna. Tapi ketika papa melihat Isabella, dia tampak pantas untukmu. Kau tahu Nak, dia gadis yang kuat dan bias memberimu anak, berapa pun yang kau inginkan. Papa tidak sabar ingin menimang cucu…” suara Sutan Bahari terdengar gembira. Tawa riang anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki rapuhnya, memeluknya. Pipi bayi yang montok, ranum dengan tawa yang mengemaskan. Nafas kehidupan baru di dalam keluarganya. Dutan Bahari merindukan itu semua. (Dadaisme; 64)

4. Konsep Kreatif Pengarang dan Kombinasi Pikir yang Berbeda
Konsep kreatif pengarang nampak dari keseluruhan episode cerita. Pengarang membawa pembaca akan ketidak jelasan atau keruwetan alur di dalam setiap bagian episode di dalam ruang cerita yang sempit. Pembaca harus setia dan sabar membuntuti ke mana jalan cerita: dari Nedena ke Yossy, dari Kota Metropolis ke kampung (tidak disebut), ke kota lagi, ke Padang, ke Bandung, ke Jo dan Bim, ke Aleda, ke Magnos, demikian seterusnya sampai berakhir di ruang tempat Nedena gantung diri. Bisa saja semua tujuan kombinasi pengarang, yang menggambarkan keruwetan jaman modern di masa sekarang dan yang akan datang.
Proses kreatif yang ditampilkan Dewi Sartika dalam Dadaisme, bisa dibilang melampaui dari hal kewajaran seperti apa yang ditampilkan oleh pengarang lain. Seperti halnya gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena. Warna langit secara umum selalu digambarakan berwarna biru sesuai dengan warna kenyataanaya. Tetapi ketidak kewajaran dialami oleh tokoh Nedena. Ia tidak pernah memberi warna langit dengan warna biru, melainkan warna merah muda, kuning, ataupun ungu.

Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru. Tapi tidak selalu dengan lukisan anak itu. Dia tidak menggambarkan langit seperti warna angkuh itu.Dia menggambarkan langit dengan waran merah muda dan matahari berwarna oranye seperti jeruk. (Dadaisme; 6)
Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya. entah itu merah muda. Bahkan dia pernah mewarnai langit dengan warna kuning dan matahari berwarna hitam. (Dadaisme; 6)

Selain keanehan atau gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena, pengarang juga memberikan ketidakwajaran pada sosok malaikat yang seperti kebanyakan diyakini manusia di bumi. Secara harfiah malaikat adalah makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, bentuk dan keadaan malaikat pastilah sempurna. Tetapi itu semua berbeda dengan gambaran malaikat yang ditawarkan Dewi Sartika. Ia mencoba menggambarkan sosok malaikat pada tokoh Michail.

“Kaulihat kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku berwarna hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.” Jawab Michail kepada Nedena. (Dadaisme; 10)

Tidak hanya itu saja, cara berpikir Dewi Sartika terhadap kombinasi pikir dengan keilmuan juga jauh berbeda. Hal ini nampak dalam tokoh novel Dadaisme, di dalam mengartikan surga dan neraka itu seperti apa.
 Gamabaran Surga:
“Michail…. Surga itu langitnya berwarna apa? Apa berwarna biru?” tanya Nedena kepada Michail.
“Tidak. Langit surga berwarna perak. Terkadang berubah warna menjadi emas.” (Dadaisme; 5)
 Gambaran Neraka:
Tokoh Nedena menggambarkan neraka itu dengan tidak sesuatu hal buruk, panas api, dan banyak siksaan yang menyakitkan, melainkan sebaliknya.
Tapi, aku juga tidak pernah mengaggap neraka itu buruk! Memang semua orang bilang, neraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan. (Dadaisme; 262)


C. KESIMPULAN
Dewi Sartika bisa dibilang, memang baru hadir di dunia kesusastraan Indonesia. Ia anak muda yang memiliki kemauan tinggi, bercita-cita menjadi seorang sutradara professional. Walaupun kemampuannya dibidang perfiliman belum seberapa, tetapi ia memiliki kelebihan di bidang tulis menulis. Sehingga memungkinkan psikobudaya Dewi Sartika sangat menarik untuk diteliti, mulai dari kondisi kehidupan pengarang, aspek budaya pengarang, cara berpikir dan proses kreatif pengarang terhadap novel Dadaisme.
Dadaisme memunculkan pandangan dunia tragis. Pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi kemungkinan Dadaisme baru sebuah alternative. Belum ketahap menemukan cara, seperti rumah tampak jalan tak tahu karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh.

D. DAFTAR RUJUKAN
Antara Dunia Kebingungan dan Pencarian Pegangan. Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. www.cermin-sastra.blogspot.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Biografi Singkat Dewi Sartika. www.sembilan-publishing.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.