Senin, 02 November 2015

Legenda Air Terjun Sedudo Nganjuk

SEDUDO
 Legenda, dalam rimba peradaban yang tak teruntuhkan masa
 



KONON, air paling jujur mencerminkan peradaban. Kejernihannya mampu merengkuh tilas waktu. Membekukan angkara, mencairkan segala rupa yang dinamai kesucian. Sosoknya tenang dan mengalir, seiring irama, telah menyuarakan pada pelayaran kisah. Kisah sebuah keluarga pengagum air. Dari bumi Pace kisah ini bergema. Menyenandung kesakralan Gunung Wilis. Nyaring tanpa sungkan, merindu masa lampau. Dan demikianlah kisah ini bermula.
“Bagaimana peradaban dibangun dengan kejujuran air?”
Sejatinya pengagum. Segala sesuatunya ingin diketahui. Lewat percakapan keingintahuannya didapat. Sambil bergurau. Khidmat. Sesekali pun berdebat. Ya, saat berdebat inilah, membuat aku bangga menjadi bagian keluarga ini. Walaupun terkadang membuat aku sakit hati. Lantaran aku seringkali dibiaskan.
Namun tak apalah. Aku tahu bagaimana cara mereka menganggapku ada. Lagi pula tidak selayaknya aku mengeluh sakit hati. Selayaknya aku bercerita keharmonisan.
Dikala malam mulai singgah menyepi. Alam melarutkan rasa kantuk. Meninabobokan lelah. Mengusir kekalutan siang, mengundang berupa-rupa harum wewangian. Mistik. Menyeruak ke dalam sudut-sudut rumah. Lewat celah-celah dinding anyaman bambu. Bersamanya kabut kemarau menggugah dingin. Membuat sesiapa ingin berselimut dalam kidung malam.
“Yah…, kenapa diam?”
“Iya. Maaf Nak.” Aku melihat Ayahanda tertegur linglung. Atas apa yang ditanya Bara.
“Peradaban kok bisa dibangun dari kejujuran air?”
“Sejatinya air bertalian hidup dengan yang lain.”
“Maksud Ayah, berteman dengan tanah, udara, dan juga api kah?”
Ayahanda tersenyum. Degup bangganya tertolehkan ke rasa penasaran Bara yang bersandar di pangkuannya. Dan aku semakin khidmat menyimak obrolan mereka.
“Iya Nak.” Ia mengangguk meyakinkan.
“Mereka satu-kesatuan hidup yang tak terpisahkan. Mereka tercipta untuk saling melengkapi bumi.”
“Api dan air kan saling bermusuhan?”
“Bermusuhannya api dan air bukan saling tikam-menikam demi kekuasaan. Tak seperti peperangan yang kau lihat antar kerajaan itu. Justru, sifat air yang cair dan mendinginkan. Api yang berupa bara dan memanaskan. Ibarat kebohongan akan teredamkan oleh kejujuran. Mereka saling beradu untuk kedamaian.”
“Sekarang paham maksud cerita Ayah. Aku ingin menjadi air. Jujur bersikap biar disayang Ayah.” Si Bara kecil menggeliat senang di pangkuan Ayahanda.
“Pasti kalian menjadi putra yang jujur. Ayah sayang kalian.” Didekapnya kedua putranya yang mulai merajuk diserang kantuk. Sedangkan aku terkesima diam dari balik jendela kamar. Dinginnya desau angin malam tak aku hiraukan. Lagi-lagi aku belajar kehidupan dari keluarga ini.
Dari kejahuan, sayup-sayup suara burung hantu mulai menandai kesunyian. Re-ke-teg bambu-bambu beradu, terdengar dari kebun belakang rumah. Waktunya kegelapan malam meraja. Kegelapannya menidurkan keresahan dan mendongengkan mimpi.
*

Sangking khidmat menyimak cerita Ayahanda tadi malam, membuatku kalang kabut. Mbangkong. Mendapati sang surya sudah nampak dari balik kaki gunung Wilis. Dahan pinus berayun-ayun, gegap gempita, seiring desau angin menyambut kehidupan. Pohon jati tak berdaun, meranggas kemarau, bertelanjang diri tanpa sedaun pun menutupi. Kehidupan kembali bersinergi, mengeja masa meraup asa.
Tanpa aku sadari, dari balik punggung siul burung Prenjak menghardik. Siulannya sengaja ditujukan menertawaiku. Aku tak terima dengan ulahnya. Aku terpanggil mengejarnya dari pohon jati satu ke pohon lainnya. Semakin aku berusaha mendekatinya, semakin pula Prenjak muda memacu kecepatan terbangnya. Ia terbang melesat, aku kalap mengejar. Menyerah kalah. Barangkali sebab usia tua yang tak lagi mendaya.
Aku beranjak menuju pintu dapur rumah. Menoleh aktivitas sekeliling. Aku dapati Ayahanda sedang menaruh dandang di atas tungku. Kerumunan tiwul menyembul dari dandang yang tak bertutup. Sungguh sedap disantap saat tiwul masih hangat dengan tumbukan cabai rawit. Pedas-panas. Seperti itulah sensasi yang terujar dari Ayahanda. Tapi jujur, jika pun sensasinya selezat itu tidak pernah sekalipun membuatku tertarik mencicipi. Mencium baunya, membuatku cepat-cepat menghindar dari jangkauannya.
“Air… airr… aaiiirrrr… menyegarkan badanku.” Teriak Bara. Ia bersemangat mandi pagi. Teriakannya bersumber dari balik salah satu batu besar yang memadati aliran air sungai Temburi. Selain hamparan hutan, sungai Temburi sejatinya sumber penghidupan penduduk Pace.
Tidak ingin Bara mengetahui kehadiranku, aku bergegas menjauh darinya. Sebab ketika Bara mandi, samahalnya ia akan mendatangkan musibah. Ia akan begitu kegirangan memercikkan air ke tubuhku. Padahal aku tidak selalu menyukai air. Aku benci basah.
Aku mencari sosok lain. Pastinya selain Bara ataupun Ayahanda. Namun semakin aku pergi menjauh dari rumah dan menapaki perbukitan, belum aku jumpai pula sosok itu. Entah di mana keberadaannya. Sambil mencari, sesekali aku mengumpat diri. Gara-gara mbangkong aku kehilangan jejaknya. Benar-benar menyesal. Aku sibak dahan-dahan pinus yang menghalangi jangkauan penglihatan. Dan akhirnya, aku dapati sosoknya.
“Tolong bantu menyingkirkan semut-semut merah itu.”
Tanpa ia berteriak-teriak dari atas pohon pinus pun, pasti aku dengan senang hati membantunya. Ini sudah tugasku. Memunguti semut-semut merah yang mendiami sarang burung Walet. Kita selayaknya sahabat.
Perkenalkan sahabatku ini. Awan, namanya. Ayahanda dikaruniai dua putra. Walaupun sekandung, dipandanganku keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Bara sosok ragil yang mulai terlihat gagah dan cerdas di usia kekanakannya. Ia banyak tingkah. Sedangkan Awan, si sulung yang lebih pendiam dan berbadan kurus tinggi. Di antara mereka bertiga, kedekatanku hanya dengan Awan. Semenjak ia usia balita, aku sudah mengenalnya. Mengenal bau ingus, cara ia merengek ketika lapar, ataupun bau badannya.
Sebagai anak seorang tabib, Awan seringkali ditugasi mencari sarang burung Walet untuk diolah menjadi obat. Resep obat sarang Walet menjadi primadona para pasien yang berobat ke Ayahanda. Sarang ini bisa mengobati berbagai penyakit. Terkadang Awan juga mencari beraneka tanaman obat lainnya yang tumbuh liar di perbukitan kaki gunung Wilis.
“Kik….kik….kikkk,” terdengar suara Kidang di balik rimba yang terhampar lebat di tubuh gunung Wilis. Aku melihat Awan sudah selesai memasukkan sarang Walet ke keranjang punggung untuk dibawa pulang. Bila kik-kikan induk Kidang mulai terdengar itu pertanda waktu kami untuk menyelesaikan aktivitas buruan. Kik-kikan sang induk yang lagi menyusui anaknya itu akan berbunyi selalu tepat waktu. Tepat sang surya mulai condong di barat. Ketepatan inilah dijadikan penduduk Pace yang berprofesi berburu apapun di hutan akan mengakhiri pekerjaannya. Tanpa dipandu pulang pun, mereka dengan sendirinya akan bergegas pergi.
Sesampai di rumah, senja sudah mengangkasa begitu elok di ufuk barat. Kilauan abu-abu awan maghribnya, sedikit demi sedikit memudar dari pandangan. Tanpa segan, rasa lapar menyerangku. Tapi aku balas menghardiknya untuk bersabar. Menunggu Awan beranjak dari dapur menyelesaikan makan malamnya. Dan kemudian ia akan mengambilkan biji jagung seperti biasanya. Butiran-butiran jagung muda, gurih dan menyehatkan. Awan tidak akan pernah lupa dengan hal ini. Karenanya aku selalu bersahabat setia dengan Awan.
“Banyak pasien hari ini?” Tanya Awan, sembari ia membantu Ayahanda membereskan berbagai wadah ramuan obat yang berserakan di atas meja praktiknya. Di ujung meja, temaram api oncor mencahayai obrolan mereka.
“Lumayan Nak. Ohya, tadi Gerhana berobat sama ayahnya.” Timpal balik Ayahanda.
“Dia tergigit ular lagikah?”
“Tidak. Ayahnya yang berobat. Bisulan di sekujur tubuh.”
“Kok bisa?”
“Maklum, ia kena tulah leluhur. Menebang anak beringin di makam Ki Kanjeng tanpa pamit.”
Tiba-tiba raut muka Awan meradang. Diikuti gelengan kepala. Aku tahu ia membatin gelisah-marah. Ada-ada saja perilaku warga Pace yang tidak patut ditiru. Bagi Awan, alam begitu melimpah ruah sumber dayanya. Tapi anehnya, masih ada saja yang menebangi pepohonan.
“Tadi Gerhana juga berpesan, kapan kamu mengajak dia berburu jamur lagi?”
Nah, ini yang aku rindukan. Berburu jamur di hutan. Menemukan jejak jamur, samahalnya menjajaki teka-teki berpetualangan. Aku rindu mengundus keberadaan jamur yang tumbuh di bantaran sungai. Tumbuh di antara ilalang kering, di batang pepohonan jati, ataupun di ranting-ranting yang berserakan di bantaran sungai.
Jamur kuping. Bentuknya yang lucu, kenyal, kemerah-merahan. Begitu imut menggemaskan. Aku percaya, kalau jamur kuping tidak lain dari kuping kurcaci. Para kurcaci yang tinggal di lembah pucuk gunung Wilis. Ketika kurcaci mati, kuping-kupingnya akan abadi berwujud jamur. Pernah sesekali aku bercerita asal mula jamur kuping ini ke Awan. Seketika ia membantah tidak percaya. Dianggapnya aku sedang mengutarkan mimpi.
Namun sekarang aku tidak lagi bermimpi. Rasa penasaran yang terpendam hingga belasan tahun lamanya, kini akhirnya terkuak. Membuat aku terharu menyimaknya.
“Aku kangen sosok ibu. Bagaimana cara menemuinya, Yah?” lagi-lagi Bara. Ia membuat Ayahanda tersontak di malam buta.
“Hmm… sudahlah Nak. Sudah malam!” Nampak gusar Ayahanda menjawab.
“Tidak. Selagi Ayah belum memberitahu, aku tidak tidur. Sekarang usiaku semakin dewasa. Dulu Ayah berjanji akan bercerita keberadaan ibu.”
Keingintahuan Bara tidak bisa dicegah. Ia memburu keingintahuannya. Semakin Ayahanda diam tidak menjawab, ia semakin polah di atas dipan reot yang tiap malamnya dijadikan sandaran mimpi. Tingkah Bara tidak terkendalikan. Kepalan tangannya ia pukul-pukulkan di tubuh dipan. Kereotan dipan terdengar memekik kesakitan. Tanpa disadari, kaki kecil Bara yang tidak terkendalikan menendang oncor yang disandarkan di ujung bawah dipan. Seketika, “Brakkk….” Oncor terjatuh. Apinya meluap.
“Cepat siram dengan air kendi di sampingmu?” ulah kesigapan Ayahanda yang biasa meletakkan kendi di meja kecil dekat dipan. Awan pun tanggap, dan…
“Byuurr…byuurr….” Api padam. Amarah Ayahanda padam.
Di luar sana. Burung hantu berlagu. Suaranya syahdu mencekam. Diiringi temaram sinar rembulan, masuk menyeruak jengah. Berpendar dari selah-selah genting yang tak tertata rapi.
Setelah Ayahanda memungut oncor basah yang tergeletak di kolong dipan, ia kembali merebahkan diri bersama dua putranya. Ia sadar, dalam keadaan begini tidak perlu ada amarah. Ia sentuh kepala Bara dengan penuh kasih sayang.
“Bara… jangan kamu ulangi lagi ya. Ayah percaya kamu sudah tumbuh dewasa.”
Entah merasa bersalah atau tidak, Bara seketika diam. Ia luluh akan tutur Ayahanda.
“Mungkin memang sudah saatnya ayah bercerita.” Ayahanda menarik nafas sebelum melanjutkan bercerita.
“Ibu…. ibu kamu tidak lain dari pepohonan yang tumbuh di hutan gunung Wilis!” tanpa keraguan ia mulai bercerita.
“Maksud Ayah, aku anak pepohonan?”
Kecerdasan Bara membuat Ayahanda tertawa kecil.
“Ha..haa… bukan. Maksud ayah, semenjak kamu balita, ibu kamu menjelma diri, di antara pepohonan kokoh itu. Jadi kalau kangen sosok ibu, jangan pernah ada niatan menyakiti pepohonan-pepohonan itu. Dengan mencintai dan merawat alam, kangenmu akan terobati.”
Takjub. Bilamana air mata bagian dari ungkapan ketakjuban, pada saat inilah aku ingin meneteskan butiran-butirannya. Sayangnya aku tidak tahu, bagaimana caranya.
Ayahanda memang sosok ayah sesungguhnya. Tuturannya tidak lain dari sabda alam yang sering kali aku agungkan. Syarat makna. Lantas, bagaimana tanggapan Bara, setelah rasa keingintahuannya terjawab? Entah, aku tidak memerhatikan. Seketika perhatianku tertuju pada sahabatku, Awan. Semenjak Ayahanda dibuat gusar dengan keingintahuannya Bara, sahabatku tidak bergeming sedikitpun. Ia lebih memilih posisi telentang miring. Memunggungi Bara yang disampingnya dan juga Ayahanda. Dan aku tahu, sahabatku berlinangan air mata.
*

Pada masa beradu kegersangan kemarau. Meresahkan angin barat bertiup tanpa sabar. Ranting-ranting pepohonan jati bersilat garang. Rintihannya mengeluh sengsara. Serbuk bunga jambu gugur sebelum masamnya. Beterbangan ke segala penjuru. Menebar serabut-serabut putih. Berjatuhan. Laksana hujan salju di tanah tropis.
Begitupun gunung Wilis. Raganya semakin memanas. Kemarau panjang, membuat kesegaran alam tidak lain dari khayalan. Alam semakin tua mengeja usia. Ilalang kering tak ubahnya kemilau rambut uban. Reranting pepohonan menari-nari goyah sebab dehitrasi.
Menuanya alam bukan berarti menuanya masa depan Awan. Jiwanya semakin dewasa. Raganya semakin perkasa. Dewasanya usia, ditandai pula dewasanya bersikap. Entah tutur sikap untuk dirinya sendiri ataupun bagi yang lain. Dan aku, semakin gamang dengan masa depan. Tapi aku yakin, kegamangan itu suatu saat akan luntur selagi bersahabat dengan Awan.
Dan saat kedewasaan inilah, Awan mengenal perempuan. Bermula ketika kemarau benar-benar lagi berkuasa. Angin bertiup gersang. Mengundang berbagai macam penyakit yang entah dari mana rimbanya. Penduduk Pace, semakin gelisah meratapi kehidupan. Hutan tak lagi menyuburkan pundi-pundi alam. Ladang tanaman merekah kerontang tanahnya. Barisan hewan ternak puasa sepanjang waktu. Saat di mana alam benar-benar sekarat.
Satu, persatu penduduk Pace berdatangan ke rumah Ayahanda. Mengeluh kesakitan. Berbagai penyakit ingin disembuhkan. Dengan rasa sabar dan kepedulian, Ayahanda meramu ramuan sesuai keluhan. Tanpa lagi mengenal siang kemarau, tanpa lagi takut akan kegelapan malam, warga datang tiada henti. Saat genting seperti inilah, aku tidak lagi menemukan perbedaan Awan dan Bara. Mereka sama-sama anak dermawan.
Keluarga tabib dermawan. Kebaikannya tersiar di jagat orang. Tidak hanya penduduk Pace yang berbincang. Keluarga Kepatihan Anjuk Ladang, juga seringkali datang merujuk sebotol air ramuan. Maklum saja bila Ayahanda berteman baik dengan orang kerajaan ataupun pembesarnya. Salah satunya, ia sejak lama berkawan baik dengan Raja Kediri. Dan kunjungan Raja Kediri saat senja tiba inilah yang mengajarkan Awan jatuh hati kepada perempuan.
“Bukan berarti saat aku terkena musibah, lalu berkenan bertamu ke kediamanmu.”
Ungkap malu-malu Raja Kediri. Seusai ia dan rombongannya dipersialahkan duduk di hamparan tikar pandan.
“Oh tidak apa-apa kawan. Ada apakah gerangan engkau jauh-jauh dari Kediri datang menyambang?” Walaupun kenal akrab, Ayahanda berujar santun dan penuh hormat kepada tamunya.
“Sudi kiranya, kawan mau membantu penderitaan putri saya.”
Ayahanda tersentak kaget. Saat di mana Raja Kediri menunjukan jarinya mengarah putrinya. Aku lihat Ayahanda semakin mengamati penderitaan yang ditujukan pada putri kawannya. Memang ia terlihat amat paling menderita di antara rombongan raja yang datang.
Obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Tanpa menghiraukan waktu semakin petang, Raja Kediri beserta rombongan pergi meninggalkan putrinya.
Sang Putri yang sungguh malang. Seharusnya kecantikannya membuat sesiapa terpana ketika memandang. Tubuhnya semampai. Layak berpredikat putri kerajaan. Helaian rambutnya tergerai panjang menghitam. Tapi sungguh malang, bila kecantikan itu sebuah luka. Alias, sekujur kulit Sang Putri dihinggapi bisul yang menjijikan. Sampai-sampai seseorang akan kesulitan saat mewarnai kulitnya itu sebangsa apa. Putih atau kegelapan.
“Awan, Bara… kalian malam ini mengalah. Biarlah Sang Putri tidur di dipan kalian.” Tutur Ayahanda yang menemui kedua putranya di dapur. Mereka bersembunyi mulai dari kedatangan Raja Kediri bertandang ke rumah.
Terlihat, sebetulnya Bara tidak rela dipannya dipakai tidur Sang Putri. Aku pun sebenarnya juga tidak menyalahkan ketidakrelaan Bara. Bagaimana tidak, bau bisul Sang Putri sungguh menyengat basi. Memualkan. Sepertinya setiap bisulnya didiami makhluk kecil yang menyebabkan bau begitu menyengat. Namun berkat Awan, ketidakrelaan Bara luluh seketika. Mereka bertiga malam ini tidur tergeletak di lantai dapur.
Kehadiran Sang Putri, membuat kekacauan nafsu makan keluarga Ayahanda. Walapun ia seorang tabib yang pastinya seringkali menemui perihal menjijikan yang diakibatkan suatu penyakit. Tapi tidak ada yang terpaling menjijikan dibandingkan bisul Sang Putri.
Aku yakin, Ayahanda begitu menaruh haru dan kasihan kepada putri kawannya. Walaupun Bara selalu saja menghindar dari jangkauannya, Ayahanda malah dari subuh buta berbincang-bincang dengan Sang Putri. Dan tahukah pula, di antara mereka berdua ada sahabatku yang sesekali nyengir-nyengir sendiri. Ya, Awan. Seolah-seolah ia bersuka cita menemukan sahabat baru. Bersemangat bertanya tentang berbagai hal mengenai Sang Putri. Di balik bisulnya yang menganga, ternyata Sang Putri sosok perempuan yang humoris dan cerdas.
“Mungkin sudah tidak selayaknya ayah membebani tugas kepadamu. Tapi apa boleh buat. Ayah tahu kamu anak baik. Untuk itu, ayah membebankan tanggung jawab kepadamu. Antarkan Sang Putri sampai Roro Kuning.”
Seusai berpamitan, Awan dan Sang Putri menelusuri ruas hutan dan menapaki bukit demi bukit. Kepercayaan yang diberikan Ayahanda menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Walau dalam keluarganya, Awan dikenal anak pendiam. Namun keberduannya bersama Sang Putri malah membuat Awan selayaknya laki-laki banyak tahu.
Awan bercerita, bagaimana keluarganya sebagai pengagum air. Segala sesuatunya tentang air seringkali diperbincangkan. Air sebagaimana sumber kehidupan yang tidak akan habis seiring bergantinya peradaban. Bahkan begitu percaya dirinya, ia menirukan ekspresi Ayahanda ketika bercerita, “Bumi ini bermula dari air. Airlah sumber kehidupan pertama kali!”
Ternyata Sang Putri begitu menikmati bualan Awan. Sesekali terkekeh. Saat itulah aku tahu, bahwa senyuman Sang Putri merupakan senyuman termanis yang dimiliki perempuan. Mungkin sebab inilah, Awan tidak terlihat merasa jijik sekalipun berdekatan dengan Sang Putri. Aku semakin menaruh kagum kepada sahabatku.
“Kakanda apa tidak merasa jijik berdekatan dengan saya?” Tanya Sang Putri kepada laki-laki yang dari awal bertemu tidak menaruh curiga apapun terhadap dirinya.
Awan pun tersentak dengan pertanyaan mengejutkan Sang Putri.
“Kenapa harus jijik? Setiap orang memiliki cara pandang berbeda-beda tentang kehidupan. Bagiku perihal paling menjijikan adalah menjemput kematian tanpa berbuat kebaikan kepada orang lain.”
Seketika Sang Putri tahu bahwa Awan benar-benar laki-laki baik. Dan ia mengalihkan topic pembicaraan.
“Sungai apa ini?” memang patut dipertanyakan. Semenjak perjalanan, rutenya seringkali melewati bantaran sungai yang mengalir deras airnya.
“Sungai Temburi. Tahukah kamu. Sungai ini satu-satunya sumber penghidupan penduduk Pace di kala kemarau datang.” Awan kegirangan menjawab.
Tanpa sekalipun memberi jeda bertanya, Awan masih bercerita keistimewaan sungai Temburi.
“Airnya selalu jernih menyejukan. Walaupun tak ada rerumputan, hewan ternak masih bisa bertahan hidup gara-gara air sungai ini.”
“Kamu tahu muasal sumber air ini mengalir?” Sang Putri semakin penasaran.
“Nah itu yang membuat kami terbungkam. Sampai sekarang pun penduduk Pace belum ada yang tahu sumber mata airnya ada di mana. Sebab inilah aku ditantang ayah mengembara di hutan demi mencarinya.”
“Kamu mau melakukannya?”
“Ya kenapa tidak. Suatu saat pasti aku menemukannya!”
Perjalanan yang melelahkan, tapi penuh suka cita. Akhirnya Awan dan Sang Putri sampai di Roro Kuning. Mereka disambut baik oleh dua tabib yang dulunya pernah berguru ke Ayahanda. Sebelum Awan berpamitan pulang, ia menyerahkan sebongkah garam dan tiga botol ramuan kepada Sang Putri. Pesan Ayahanda, kedua wasiat itu digunakan saat Sang Putri melakukan semedi di bawah guyuran air. Sang Putri akan bersemedi selama tujuh hari.
Roro Kuning merupakan salah satu air terjun yang berada di gunung Wilis. Airnya sejak lama dipercaya masyarakat sebagai penyembuh dari segala kutukan apapun. Menurut Ayahanda, penderitaan Sang Putri tidak lain wujud guna-guna atau sihir yang dilakukan oleh Raja kerjaan lain. Raja yang menaruh dendam terhadap kerajaan Kediri.
*

“Jangan beri aku alasan untuk mencintaimu lagi!”
Begitu beramarah mengungkapkannya. Bara naik tikam. Matanya memerah garang. Dahinya menyatu padu. Tinjuannya tertuju pada dinding rumah. Segala apapun yang ada di sekitarnya menjadi lapiasan. Berbagai botol ramuan pecah berserakan. Meja pun ia tendang kuat-kuat. Terbelah menjadi beberapa bagian. Beberapa warga yang saat itu mengantri berobat, seketika berlari tanpa arah. Ayahanda begitu terpukul dengan ulah Bara. Ia tidak mampu mencegah amarah putra ragilnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa semuanya berantakan!”
Sesampainya di rumah, Awan dibuat bingung oleh keadaan. Ia mendapati Ayahanda duduk termangu di antara botol pecah dan bau ramuan yang menyesakkan. Rasa penasarannya ia ungkapkan berkali-kali. Ayahanda tetap saja tak bergeming. Kemudian Awan mendekati dan merengkuh punggung ringkih ayahnya.
“Ini perbuatan Bara. Ia merasa dikhianati Sang Putri.”
“Bagaimana bisa?”
Panjang lebar Ayahanda bercerita. Sepulang dari semedinya di Roro Kuning, kecantikan Sang Putri memancar begitu rupawan. Bisul yang menjangkiti sekujur kulitnya hilang tanpa bekas. Saat perubahan itulah, ternyata membuat Bara seketika jatuh cinta kepada Sang Putri. Cinta itu berlanjut hingga pandangan berikutnya. Karena Sang Putri sempat menginap di rumah Ayahanda hingga tiga hari lamanya.
Amarah itu memuncak ketika kedatangan Raja Kediri yang berniat menjemput pulang Sang Putri. Pada saat pamitan itulah, Raja Kediri juga menyampaikan maksud lain. Ia meminta restu Ayahanda. Sesampai di kerajaan, Sang Putri akan dinikahkan. Dipersunting oleh anak raja yang ketahtaannya dikenal hebat oleh Raja Kediri. Sebetulnya anak raja itu, pernah menolak lamaran Raja Kediri. Namun semenjak tersiar kabar, Sang Putri sembuh dari bisulnya ia menerima lamaran itu.
Tubuh Awan seketika gemetaran. Ia limbung di pangkuan Ayahanda. Untuk kedua kalinya aku melihat Awan berlinangan air mata. Bahkan ia meronta-ronta di atas botol-botol pecah. Darah pun mulai bercucuran. Aku tahu beberapa bagian kaki Awan luka.
“Kenapa harus orang lain yang merenggutnya? Padahal akulah yang tahu pertama kali kesempurnaan itu!”
“Sudahlah anakku.” Ayahanda menenangkan.
“Tidak hanya satu perempuan di bumi ini yang menjelma bidadari.”
Namun tetap saja, ucapan Ayahanda tidak membuat keadaan putranya tenang. Apalagi Ayahnda semakin gusar mengingat Bara belum kembali ke rumah.
Keesokan harinya. Halaman rumah Ayahanda begitu semarak akan rupa-rupa. Berbagai rupa wajah penduduk Pace yang memadati halaman rumah. Penduduk Pace bertumpah ruah. Anak kecil hingga nenek-kakek tua ikut merupa kegembiraan. Lebih semaraknya lagi, rupa dua belas gadis cantik yang berjalan padu mengarak bunyi gamelan. Inilah tarian, ‘Mongde’. Kesenian yang begitu mentradisi penduduk Pace. Dan aku mengamati pertunjukan ini begitu khidmat.
Kian lama gadis-gadis itu berjalan memutar dalam bentuk lingkaran. Para gadis bergincu merah. Berikat udheng gilig di kepala. Berbaju putih, bercelana panji hitam. Dibalut jarit parang kuning terikat kuat di pinggang. Gadis-gadis gagah itu disebut prajurit. Pementasan kesenian Mongde dimulai.
Penonton bersorak riuh saat prajurit serempak mengacungkan keris pada langit. Perpaduan musik gamelan semakin keras dibunyikan. Ada kemunculan lakon lain yang dinamai Penthul dan Tembem. Inti dari kesenian Mongde yakni terjadi adegan peperangan Lombo Rangkep. Penthul dan Tembem yang berlaga. Pada saat peperangan berlangsung, akan terdengar suara alat musik yang ditabuh bergantian.
“Mung…Mung…Munggg….” Telingaku semakin peka.
Terdengar Penitir ditabuh keras tanpa jeda. Bentuk Penitir serupa kempul. Dan berselang kemudian terdengar suara yang tak kalah kerasnya mengikuti irama, “...Dhe..Dhe..Dhe..” alat suara ini biasa disebut Bendhe. Dari bebunyian Penitir dan Bendhe ditabuh, menghasilkan alunan syahdu. Sinkronisasi nada; “Mung, Dhe, Mung, Dhe....” dari perpaduan bebunyian itulah kesenian ini dinamai, Mongde.
Pertunjukan Mongde usai, setelah Tembem mengalahkan Penthul dalam peperangan Lombo Rangkep. Namun sebelum pertunjukan benar-benar diakhiri, penduduk dibuat semakin bersorak gembira saat Tembem memanggul Awan di pundaknya. Tak mau kalah, Bara pun juga dinaikan di atas pundak Penthul. Hal itu dilakukan setelah mereka memeluk Ayahanda. Berpamitan untuk melakukan pengembaraan. Tepatnya, demi menghapus rasa kekecewaan dan penghianatan yang diperbuat Sang Putri. Sebab itu Ayahanda menyuruh kedua putranya untuk menemukan sumber mata air sungai Temburi.
Selangkah demi selangkah pengembaraan dimulai. Menelusuri hutan Gunung Wilis tak selamanya mendatangkan rasa senang. Semakin menjajaki arah puncak, rimba kegelapan semakin menyambut tak bersahabat. Apalagi ketika petang menjelma. Seolah-olah sekawanan makhluk rimba mengawasi dengan mata jahatnya. Siap menerkam jika kami terlelap.
Tepatnya sudah hari kelima, kami hampir sampai di salah satu puncak Gunung Wilis. Namun sumber mata air itu tidak kunjung kami temui. Terlebih mengenaskan, persediaan bekal makan mulai habis. Selama perjalanan kami hanya mengandalkan bekal yang dibawa. Kemarau tak bisa menghasilkan pundi-pundi alam yang bisa diharapkan.
“Aku mulai lapar.” Keluh Bara memelas.
“Tidak ada makanan lagi untuk memulihkan tenaga.” Awan pun menanggapi gusar.
“Yasudah, kita malam ini tidak usah melanjutkan perjalanan. Istirahat di antara tumpukan daun pohon ini.” Kedua tangan Awan direbahkan di atas tumpukan daun. Aku melihat sekeliling. Banyak pepohonan besar tumbuh besar memadati bentangan alam. Sangking besarnya, menghalangi sang surya menyentuh dataran tanah. Dan tak tahunya, kami benar-benar terlelap kelelahan.
“Buukkk….” Tiba-tiba ada yang membekap tubuhku.
Aku meronta. Namun ternyata semakin kuat dekapannya membuatku kesulitan untuk meoleh siapa dia. Bekapannya diperkuat, tubuhku merasa kesakitan.
“Hei… kamu gila apa? Lepaskan!!!” Awan bangkit dari tidurnya. Ia terdengar menghardik kepada sesiapa yang membekapku.
“Laparku tidak bisa semakin tertahan!” ia berujur. Dan aku tahu dari suaranya. Ternyata Bara yang ingin memakanku.
“Tidak seharusnya kau makan dia sebagai santapanmu!”
“Kenapa tidak? Ini hanya seekor burung Gagak. Kodratnya untuk disantap.”
“Benar-benar gila. Lepaskan dia!!!”
Mereka terdengar saling beradu emosi. Hanya indera pendengaranku yang masih berfungsi. Indera lain terbekap tanpa aksi.
“Apa yang harus dimakan? Dedaunan kering ini.” Tangan kiri Bara terlepas menggenggamku. Seketika aku merasakan kelegaan dari ancaman maut. Aku lihat tangannya ia gunakan memunguti dedaunan. Daun kering yang ia hamburkan ke arah Awan.
Awan sengaja tak menghidar dari hamburan daun yang menerjang wajahnya.
“Apa kau lupa? Keberadaan Ibu yang selalu mengamati di sekeliling kita.”
Bara diam. Sepertinya ia terpengaruh dengan omongan Awan. Pandangan Bara ia tolehkan ke sekelilingnya. Ia dapati barisan pepohonan besar tumbuh mengangkasa. Tak dinyana, Bara menangis sesenggukan. Dan aku terlepas dari genggamannya.
Pada saat itu sesuatu datang tiba-tiba. Tetesan air. Mungkinkah ini air hujan. Ternyata memang benar. Air hujan yang menghidupkan kegersangan.
Seketika daun-daun basah kuyup. Kami bertiga saling pandang. Mungkin dipikiran kita masing-masing sedang mempertanyakan, keajabaian dari mana ini? Kehidupan kembali datang. Kami semakin keheranan, saat daun-daun kuyup merekah dan di balik merekahnya muncul jamur kuping begitu banyaknya. Kami pun menyambutnya kegirangan.
Kegirangan kami semalam menghantarkan tidur terpaling nyaman. Paginya kami melanjutkan perjalanan. Semakin bertenaga menapaki pucuk gunung Wilis. Sebelum kami benar-benar sampai di puncak Wilis, kami beradu nyali dengan memanjat tebing yang di samping bawahnya jurang menganga.
Kami selamat. Lagi-lagi kami dibuat tertegun oleh keajaiban alam. Di balik tebing yang kami panjat, ternyata terhampar daratan. Keindahan daratan ini begitu elok. Di tengah-tengah daratan yang tak luas ini, terdapat sumber mata air.
“Inilah tujuan akhir pengembaraan.” Awan mengungkapkannya dalam linangan air mata.
“Apakah disinilah kita akan bertapa?” Bara masih tidak percaya dengan apa yang dilihat.
“Bukan di daratan ini. Tepatnya di gua yang tersembunyi di balik air terjun yang mengalir ini.” Telunjuk Awan ia arahkan ke pinggir tebing.
Sebelum mata air ini mengalir sampai di sungai Temburi, alur airnya ternyata melewati dua tebing. Dan masing-masing tebing di tengah-tengahnya terdapat gua. Sesuai amanat Ayahanda, mereka berdua akan bertapa di dalam gua entah hingga berapa lamanya.
“Sekarang kita perlu sesuatu untuk membungkam lubang mata air itu. Bila airnya mengalir kita tidak bakalan bisa menerjang derasnya dan singgah kedalam gua!” kegusaran Awan mendatangkan sesuatu dalam pikirku. Membungkam lubang mata air dengan batu besar di ujung itu bakalan tidak mungkin.
Namun di saat ketidakmungkinan merajai, aku menemukan sesuatu untuk mewujudkan harapan keabadian mereka. Entah gimanapun derita atau kebahagiaan yang aku dapat. Seketika itu aku dekati lubang mata air. Paruh yang selama ini menjadi perisai, tertancap tepat pada lubang mata air. Saat itulah aku pertama kali menemukan cara bagaimana mengurai air mata.
Sebelum kegelapan menghardik kesadaran, aku mendengar sesuatu yang terujar dari mereka. Semacam sumpah sebelum melakukan pertapaan.
“Sing mendudo”. Terdengar gaungnya dari gua yang terletak paling atas.
“Sing ora kromo.” Gaungnya terdengar lebih lirih.
Sing mendudo, Awan menyatu dengan sumpahnya. Sing ora kromo, penyesalan berujung keabadian Bara.
Mereka menyatu dengan alam. Gunung Wilis berkhidmat dalam kuasanya. Mengabadikan dua air terjun, “Sedudo” dan “Singokromo”.
*


*Naskah legenda ini, pernah diikutkan dalam "Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015". Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia.

Senin, 21 September 2015

Cerpen Bekakak Ngakak



 BEKAKAK NGAKAK


“Masih ingat tradisi yang diwariskan leluhur, Pak?”
Cetar. Barangkali efek itulah yang membuat kepala Pak Lurah cenat-cenut. Diderita hingga tiga malam, melek menggelantung, pada kesunyian malam. Gelisah gara-gara ungkapan Sekretaris desa. Pertanyaan yang bisa dimaknai mengingatkan sekaligus menyidir. Semenjak itu perangai Pak Lurah kusut kayak kancut.
Karepmu piye tha Bah? Lontang-lantung setiap harinya.”
“Menggalau sungguh keadaan Abah.”
“Gula-galu. Mboh, apa maksudmu. Mending berangkat ke kantor sana.”
Sang istri mulai risih dengan kemurungan suaminya. Walaupun ia tahu penyebab dari kemurungannya apa. `
Safar. Desa Amket memiliki gawe penting setiap bulan Safar. Bagaimana saat Saparan, tepatnya hari Jumat minggu kedua. Amket akan begitu riuh oleh pagelaran yang dianggap melestarikan tradisi leluhur. Berpuluh ribu orang dari berbagai macam tampang, berdiri berjubel, penuh sorak kekaguman, memadati sepanjang jalan Amket. Tepatnya jalan yang dilewati arakan Bekakak. Ya, Bekakak inilah yang membuat Pak Lurah menggalau hingga berhari-hari lamanya.
“Kalian sudah berpengalaman, dana yang dibutuhkan tidak cukup sekali menjual mobil Jazz.”
Sembari jari telunjuk Pak Lurah ditudingkan ke arah mobil mengkilap terparkir di depan kantor kelurahan. Mobil yang terbeli dengan menjual sebidang tanah warisan mertuanya. Sedangkan perangkat lain, ada enam orang dengan jabatan yang berbeda-beda. Dari awal rapat hanya terdiam menyimak di kursi masing-masing. Namun seketika itu mereka terbius telunjuk Pak Lurah, sembari menoleh dan mengangguk-angguk paham.
“Apalagi di bulan ini kita juga memiliki agenda besar. Pemilihan Wali Kota.”
“Dua-duanya sama-sama penting.” Perangkat lain mulai ikut bicara.
“Sama-sama butuh anggaran dana.”
“Tapi mengingat kas kita yang pailit, mending kita jalankan satu agenda saja.” Pak Lurah semakin putus asa. Terlihat perangkat lain yang sebelumnya khusyuk menyimak, kemudian masing-masing mata sontak memandang tajam ke Pak Lurah.
“Satu agenda. Pilih yang mana?”
Pak Lurah diam, raut mukanya semakin pucat menggalau. “Pesta demokrasi Wali Kota. Ya, itu saja. Ini penting, memilih pemimpin masa depan kita.”
“Dimana pentingnya dibandingkan menghormati leluhur? Jelas-jelas leluhur sudah nyata memberikan kemakmuran hidup kita.” Sanggah ketus terlontar dari mulut Sekretaris.
Pak Lurah merasa tertusuk dengan pernyataan Sekretarisnya. Ia begitu paham dan sangat menghormati atas apa yang dikhawatirkannya. Maka itu, ia lebih memilih mengakhiri rapat tanpa suatu jalan temu. Dari pada berdebat dengan sekretaris mudanya. Namun seusai rapat, Pak Lurah memanggil sekretaris untuk ke ruangannya.
“Apa yang memberatkan Bapak tidak menggelar Bekakak tahun ini?”
“Dana. Pasti itu? Saya tahu kondisi keuangan desa. Tapi yang saya sesalkan kenapa Bapak begitu mudahnya putus asa.”
“Tidak menggelar Bekakak samahalnya Bapak melupa perjuangan leluhur. Secara tidak langsung pula, Bapak mengundang bencana yang siap menimpa warga Amket.”
Lagi-lagi Pak Lurah terdiam. Tidak menyangkal sekalipun penjelasan sekretarisnya dari awal masuk ruangan sudah nyrocos tanpa titik.
“Lha terus harus gimana?” terlontar melas. Roman Pak Lurah terlihat semakin putus asa.
“Solusi. Sekarang itu yang kita cari. Harus menjalankan kedua-duanya, tanpa menuai beban bagi kita.” Sekretaris terlihat berpikir keras. Sesekali terdengar ketukan sepatu high hills nya.
“Nah…begini Pak. Inti dari perayaan Bekakak tak lain penyembelihan pengantin Bekakak kan?”
“He’eh.”Pak Lurah mengangguk setuju.
“Sepasang pengantin inilah yang membuat anggaran dana membengkak. Mulai dari bahan pokok yang sekarang harganya melambung akibat kegalauan BBM. Dan juga proses pembuatan yang biasa melibatkan banyak orang hingga waktunya sampai semalam suntuk. Bagaimana kalau tahun ini pembuatan Bekakak diambil alih satu orang saja?”
“Maksudmu?”
“Saya punya kenalan. Ibu pembuat jajanan pasar, terkenal rasa kue-kuenya menggiurkan lidah. Ia sangat professional dengan profesinya. Kita suruh saja dia sebagai pembuat Bekakak.”
Seusai rapat intim dengan sekretarisnya, pada sore hari, Pak Lurah bersama istri bertandang ke rumah Ibu pembuat jajanan pasar. Ketika menemuinya, Pak Lurah melakukan semua apa yang disarankan sekretaris. Mulai dari gaya ramah tamah bertamu, tanpa adanya canda-tawa, sekali bicara langsung pada inti pembicaraan, dan yang terpenting jangan sampai ada tawar-menawar harga. Kata sekretaris, tarif jualan Ibu pembuat jajanan pasar dijamin jauh di bawah tarif normal. Alias murah meriah. Memang benar, seusai sang Ibu menyanggupi pesanan, Pak Lurah cukup membayar ratusan ribu saja. Padahal anggaran ratusan ribu, sudah memenuhi semua apa yang dibutuhkan perayaan Bekakak. Boneka sepasang pengantin, pernak-perniknya, ataupun atribut arak-arakan. Namun yang membuat Pak Lurah gelisah dan bertanya-tanya dalam diam, ketika bertatap muka dengan sosok Ibu beroman datar, tidak banyak tingkah, sekali ucap terlontar kata, iya dan terima kasih. Dalam benak Pak Lurah membenarkan apa yang dimisteriuskan sekretarisnya.
“Ibu pembuat jajanan pasar tidak bisa tertawa. Banyak orang bilang ia benci keriuhan!”
*
Mak Tin dan Arum. Perempuan gila bekerja. Sejoli yang adalah ibu dan anak, tiap waktunya hanya untuk di dapur, mamasak dan memasak. Seringkali tetangganya menegur, kalau mereka sungguh keterlaluan. Seolah-olah kesempatan hidup di dunia ini, hanya untuk urusan dapur dan berburu uang. Tapi apa yang dikata tidak memengaruhi sejoli yang memiliki keahlian membuat jajanan pasar secara turun-menurun. Mereka malah cuek dan asyik dengan profesinya.
“Serius, tekun, dan hasilkan olahan menggiurkan. Jangan bikin pelanggan kecewa!”
Walaupun perkataan ibunya terdengar sengau, tidak membuat Arum gagal memaknai. Arum paham, kali ini usahanya memeroleh pesanan skala besar. Mulai jam empat subuh, ia sudah sibuk di dapur. Sembari menepis rasa dingin di musim penghujan, tak lupa ia seruput secangkir kopi sekali-dua kali.
“Pesanan Pak Lurah diambil besok siang. Sebelum terselenggaranya midodareni di balai desa.”
Pesan Mak Tin sebelum dirinya berangkat menuju pasar menjajakan dagangannya. Sepeninggal kepergian ibunya, Arum sibuk sendiri di dapur. Ia mulai kesibukannya dengan menumbuk biji ketan hingga menjadi serbuk tepung di lumpang besar, kayu nangka. Jrukk…jrukk…Seketika hawa dingin yang sebelumnya menyeruak tubuhnya, kini terhasut oleh butiran-butiran peluh bercucuran.
Arum, menyadari bahwa dirinya perempuan sepi. Dalam hidupnya tidak pernah merasakan suatu kebahagian, selain bahagia karena setiap waktu ia sukses membuat kue dan membantu ibunya bekerja. Sebenarnya ia begitu berharap, kebahagian datang dari sumber lain. Entah berwujud apa. Sejak kecil, Arum tidak dikenalkan ibunya cara tertawa itu membuat hidup bahagia. Setiap harinya, ia selalu sepi selayaknya rumah yang dihuni.
Dua jam kemudian Mak Tin pulang dari pasar. Tanpa mengenal jam istirahat, ia bantu putrinya yang sibuk di dapur.
“Adonannya sudah siap. Tinggal Emak yang bikin pasangan bonekanya.”
He’eh, Nduk siapkan gula merahnya. Gula 4 kg itu dirajang semua ya…”
Tanpa keluh kesah, Arum menyanggupi perintah Ibunya. Pekerjaanya kali ini memang terberat, dibandingkan setiap harinya. Tapi Arum menepis rasa lelahnya jauh-jauh. Sebab baginya ada suatu kebanggan, ketika ia dan sang ibu dipasrahi Pak Lurah untuk membuat keperluan pagelaran Bekakak.
Di luar rumah sepi, alam meraya senja di musim hujan. Berbinar temaram jingga mengaura indahnya langit. Arum sudah menghabiskan beberapa jam untuk merajang gula merah yang digunakan selai dari boneka Bekakak yang dibuat ibunya. Gula merah ini nantinya akan mencair seperti aliran darah, ketika boneka Bekakak disembelih saat prosesi tumbal Bekakak digelar.
Adzan maghrib terdengar dikumandangkan. Arum beranjak dari dapur menuju sumur untuk berwudlu. Sebelum menunaikan sholat, Arum dibuat tercengang akan fenomena yang ternyata mampu membuat perubahan hidupnya. Seketika itu, ia menemukan hidupnya terang dan berbinar. Kemudian Arum mengetahui sejatinya cara tertawa. Dari hatinya yang sekian lama sepi, tercengang menyala. Ia benar-benar merasakan nikmatnya kebahagian dari tertawa. Bagaimana bermula dari ibunya, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tertawa melihat pasangan boneka Bekakak yang dibuat tertukar kepalanya. Kepala laki-laki di tubuh perempuan, dan sebaliknya. Saat itu, Arum mengetahui kalau tawa ibunya, semerdu sholawat surga. Gemanya menghadirkan kedamaian di lubuk hati.
Mak Tin. Akhirnya kembali menemukan hasrat tawanya setelah sekian tahun tidak mampu menemukan cara tertawa. Semenjak menyaksikan langsung penyebab kematian sang suami. Menuai ajal, hanya gara-gara tersedak butiran pentol bakso.
*




Kamis, 03 September 2015

Biografi Ayu Sutarto


BIOGRAFI 


Prof. Dr. Sutarto, M.A. atau yang terkenal dengan nama Ayu Sutarto lahir pada tanggal 21 September 1949 di Pacitan. Ia menikah dengan Suprapti dan dikarunia empat orang anak. Yang pertama bernama Rah Pandanwangi, Rah Lintang Sekarlangit, Ken Shakuntala Janur Rahita, dan anak yang terakhir bernama Ken Melati Mundingsari. Ayu Sutarto bersama keluarganya tinggal di rumah sederhana, namun kaya akan bungga di sekelilingnya, tepatnya beralamat di Jln. Sumatra VI no. 35, Sumbersari, Jember, Jawa Timur.
Riwayat pendidikan Ayu Sutarto, lulus dari SDN Purwosari 1, Kebunagung, Pacitan, pada tahun 1963. Dilanjutkan ke SLTPN 1 Pacitan, lulus pada tahun 1966, dan melanjutkan ke SMAN 1 Pacitan, lulus pada tahun 1969. Ayu Sutarto melanjutkan kejenjang lebih tinggi yaitu menyelesaikan sarjana mudanya (B.A.) di Fakultas Sastra dan Kebudayaan jurusan Sastra Inggris UGM lulus pada tahun 1972. Tahun 1975 ia diangkat menjadi asisten dosen di jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Unej. Gelar kesarjanaannya (Drs.) ia peroleh setelah menyelesaikan studinya di Unej pada tahun 1979. Kemudian ia melanjutkan program pascasarjananya (M.A.) dengan memilih kajian wilayah Amerika di UI dengan predikat mahasiswa lulusan tercepat pada tahun 1986. Ayu Sutarto memperoleh beasiswa ILDEP pada tahun 1993 untuk studi dan melakukan riset di Universitas Leiden Netherland. Di negera Belanda itu, ia selain studi juga menjadi seorang pengajar Bahasa Jawa kepada orang-orang Suriname yang bermukim di Rotterdam melalui perkumpulan Sido Moeljo, di daerah Stiching Setasan, Rotterdam, Netherland. Tepat pada tahun 1997, Ayu Sutarto menyelesaikan program doktornya (Dr.) di UI dalam bidang kajian sastra lisan (folklor lisan) dengan predikat cumlaude.
Penghargaan yang diperoleh Ayu Sutarto, di tahun 1997 hasil penelitiannya tentang orang Tengger meraih juara pertama dalam pemilihan naskah bidang humaniora yang diselenggarakan oleh PT Balai Pustaka Jakarta. Selain itu Ayu Sutarto pernah memperoleh penghargaan Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun pada tahun 1999, Anugerah Seni dari Gubernur Jawa Timur (2004), Dosen Berprestasi Peringkat Pertama Universitas Jember (2004), Dosen Berprestasi Tingkat Nasional (2004), dan Award PWI Cabang Jember (2007).
Ayu Sutarto menekuni dunia tulis menulis sejak berada di bangku SLTP. Hasil tulisannya diantaranya, puisi, cerpen dan artikel-artikel tentang kebudayaan. Ia juga pernah menjadi seorang redaktur budaya mingguan Eksponen Yogyakarta (1972-1975), dan beberapa cerpennya juga dimuat di beberapa media cetak yang ada di kota Yogyakarta. Di tahun itu pula, novel perdananya yang berjudul Sejuta Duka dalam Sejuta Rindu dipublikasikan oleh mingguan Eksponen Yogyakarta secara bersambung. Karena kesibukan, di penghujung tahun 1997 Ayu Sutarto berhenti menulis fiksi. Hingga di tahun 2000 ia mulai menulis fiksi kembali, atas motivasi dari Prof. Budi Darma. Tidak tanggung-tanggung, Ayu Sutarto langsung dapat menghasilkan novel trilogi. Bagian pertama berjudul Dua Hati Menuju Matahari, bagian kedua Mengejar Matahari Pagi, dan yang terakhir berjudul Matahariku Mutiaraku. Ketiga novel tersebut pada tahun 2001-2002 dimuat secara bersambung di harian Surya Surabaya.
Karya-karya Ayu Sutarto diterbitkan oleh berbagai media masa, penerbit, dan beberapa lembaga. Di antaranya penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, Badan Penerbit Buku Unej, FSUI Jakarta, Balai Pustaka, ASEAN COCI, Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Kompyawisda Jatim, beserta penerbit independen lainnya.
Selain bekerja sebagai dosen Sastra Inggris di Fakultas Sastra Unej, ia juga aktif diberbagai kegiatan organisasi profesi dan LSM. Di antaranya, ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia komisariat Jember, ketua Kelompok Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur, ketua Yayasan Untukmu Si Kecil (organisasi yang bertujuan memberdayakan akar rumput), anggota Asosiasi Studi Amerika (ASA) di Indonesia, anggota Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia, anggota Keluarga Alumni UGM (KAGAMA), anggota Ikatan Alumni Mahasiswa Unej, anggota Ikatan Lulusan UI (ILUNI), anggota Masyarakat Persaskahan Nusantara (MANNASA), anggota Kelompok Kerja Publikasi Festival Tradisional Negara ASEAN.
Ayu Sutarto juga sering menjadi pembicara (narasumber) di berbagai seminar baik di tingkat nasional ataupun internasional. Adapun tugas-tugas Ayu Sutarto mewakili negara Indonesia adalah sebagai berikut, (1) delegasi Indonesia dalam Sidang ASEAN: COCI on Publication on ASEAN Traditional Festivals, di Hanoi, Vietnam (1998 dan 2000), (2) delegasi Indonesia dalam Sidang ASEAN: COCI Experts Meeting on Perspective in Southeast Asian Humanities, di Manila, Philipina (2001), (3) delegasi Indonesia dalam Sidang MASTERA dan Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia dalam Preparatory Meeting The ASEAN Cultural Heritage Documentaries (Phase III) Water: A Unifying Force in ASEAN, di Manila, Philipina (2007), (4) delegasi Indonesia dalam Sidang Ke-13 dan Seminar Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) di Jakarta (2008), (5) delegasi Indonesia dalam The Third ASEM Culture Ministers Meeting di Kuala Lumpur, Malaysia (2008), (6) delegasi Indonesia dalam Sidang Ke-14 di Brunai Darussalam (2008), (7) delegasi Indonesia dalam Humour in ASEAN International Conference di Thailand (2010), dan (8) delegasi Indonesia dalam Seminar, Bengkel, dan Festival Pantun MASTERA di Brunei Darussalam (2010).

Novel Mengejar Matahari Pagi Karya Ayu Sutarto


SINOPSIS
Novel Mengejar Matahari Pagi Karya Ayu Sutarto

Novel Mengejar Matahari Pagi merupakan novel kedua dari novel trilogi Dua Hati Menuju Matahari dan Matahariku Mutiaraku karangan Ayu Sutarto. Novel yang menceritakan kisah kehidupan tokoh Bima dalam memperjuangkan cita-citanya sebagai peneliti budaya, kisah percintaannya dengan sang kekasih yang bernama Mega, serta perjalanan hidupnya ketika melakukan riset data penelitian budaya suku Tengger.
Cerita diawali dengan kisah Mega sebagai anggota di LSM yang membela kaum perempuan dari perbuatan ketidakadilan gender, pemerkosaan, dan perbuatan penindasan lainnya. Menjadi aktivis pembela kaum perempuan Mega pilih karena ia pernah merasakan sendiri bagaimana penderitaan dan menahan aib yang diderita akibat perbuatan biadab yang menyebabkan hilangnya harga diri dan kehormatan. Melihat kondisi Mega seperti itu, kemudian Bima memberanikan diri untuk mempersunting Mega menjadi istri. Namun sayangnya, niatan tulus Bima ditepis begitu saja oleh Mega, lantaran Mega memiliki niatan untuk meneruskan studi S2-nya di sebuah universitas ternama di Belanda.
Sepeninggal keberangkatan Mega menempuh studinya selama dua tahun, Bima berniatan melanjutkan penelitian di desa Ngadas, pemukiman suku Tengger yang terletak di kawasan Taman Nasional Bromo. Dari tempat itulah, Bima berharap banyak menghasilkan tulisan tentang budaya. Baru beberapa hari Bima berada di desa Ngadas, ia sudah bisa akrab dengan warga sipil dan juga ia berkenalan dengan beberapa peneliti lain yang berasal dari Inggris, Amerika dan juga ada satu peneliti perempuan dari Kediri yang bernama Menur.
Diceritakan Menur merupakan sahabat yang keberadaannya sangat berarti bagi Bima. Bersama Menur-lah, Bima mampu menjalankan penelitiannya dengan baik. Mereka berdua juga bekerjasama dalam hal membantu permasalahan-permasalahan yang dialami warga. Salah satu persoalan yang dialami oleh Marti, seorang gadis yang masih bersetatus siswa SD ini dipaksa kedua orangtuanya untuk menikah di usia belia. Akibat perbuatan paksaan tersebut, Marti menderita gangguan Jiwa.
Tidak kalah dengan Bima yang memiliki sahabat perempuan, Mega di Belanda juga mengenal seorang laki-laki yang bernama Dick. Mega begitu akrab dengan pria asli Belanda itu, karena Dick selalu memperhatikannya dan memberikan pertolongan dalam banyak hal.
Ending cerita dari novel Mengejar Matahari Pagi, Bima menemukan sosok laki-laki yang bernama Pak Dar seorang guru SD yang berhati emas. Bima patut belajar dari sikap dan cara pandang Pak Dar dalam menempuh perjalanan hidup di dunia. Cara pandang dalam menentukan cita-cita, harapan, membangun hari depan yang tenang, dan nasib baik yang tidak akan datang apabila hanya diam tanpa adanya usaha. Untuk itulah, Bima harus selalu berusaha mengejar apa yang cita-citakan agar terwujud menjadi sebuah kenyataan.

STRUKTURALISME GENETIK: Pandangan-Dunia Ayu Sutarto dalam Novel Mengejar Matahari Pagi


SKRIPSI: Pandangan-Dunia Ayu Sutarto dalam Novel Mengejar Matahari Pagi







BAB 1. PENDAHULUAN


Pada bab ini akan dibahas tentang, (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, dan (5) definisi operasional.

    1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan perwujudan pikiran pengarang yang mewakili keadaan masyarakat di mana karya diciptakan. Penciptaan karya sastra tidak bisa lepas dari faktor masyarakat, karena karya sastra ditulis oleh pengarang sebagai anggota masyarakat yang mengambil ide dari peristiwa kehidupan lingkungan sosial yang diamanatkan melalui tokoh-tokoh cerita. Karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks sosial yang penyajiannya disusun secara terstruktur, menarik, serta menggunakan media bahasa berupa teks yang disusun melalui refleksi pengalaman dan pengetahuan pengarang.
Kreativitas pengarang tertuang dalam berbagai genre karya sastra, salah satunya novel. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang kompleks atau banyak melukiskan tentang fenomena kehidupan. Maslikatin (2007:8) menyatakan novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur tersebut sengaja didegradasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latarnya.
Proses kreatif pengarang tidak akan terlepas dari latar belakangnya, baik sosial budaya maupun sejarah masyarakat. Eksperimen yang dilakukan pengarang terinterpretasi ke dalam kondisi sosial cerita, perilaku seorang tokoh, atau bentuk lainnya yang akan mewarnai isi cerita novel. Novel yang dihasilkan pengarang merupakan bukti nyata dari adanya fenomena kehidupan beserta permasalahannya yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat saat novel diciptakan. Faruk (1990:3) menyatakan persepektif sosiologi sastra pada hakikatnya manusia merupakan makhluk problematik. Karena manusia sebagai sumber inspirasi pengarang, sehingga novel yang merupakan produk dari hasil kreativitas cenderung menggambarkan kehidupan tokoh-tokoh yang problematik pula. Sebuah novel yang memiliki tokoh problematik di dalamnya akan relevan jika diteliti berdasarkan kajian strukturalisme genetik. Karena pada hakikatnya melalui tokoh problematik wujud pandangan pengarang terhadap realitas yang terjadi di lingkungan saat penciptaan novel akan dapat diungkap.
Strukturalisme genetik dikemukakan oleh Lucien Goldmann. Goldmann (dalam Ekarini, 2002:76) menyatakan bahwa karya sastra merupakan suatu struktur, tetapi struktur tersebut bukanlah suatu yang statis, melainkan dinamis karena merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung yang dihayati oleh masyarakat di mana karya sastra itu berada. Penjelasan tersebut mencerminkan pengertian istilah genetik, yakni karya sastra mempunyai asal-usul (genetik) didalam proses sejarah suatu masyarakat. Penelitian dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra, sebab hakikat dari strukturalisme genetik hendak menemukan pandangan dunia pengarang dalam karya sastra melalui penelitian.
Pandangan dunia bagi Goldmann merupakan gagasan, aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan atau mengikat anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dalam suatu kesatuan. Hal ini dipahami pandangan dunia terbentuk dari hasil interaksi antara kolektif pengarang dengan situasi di sekitarnya. Menurut Ekarini (2002:79) pandangan dunia sebagai hasil interaksi tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan terbangun secara perlahan-lahan dan bertahap. Proses terbentuknya pandangan dunia sebagai kesadaran kolektif pengarang yang mewakili identitas kolektifnya, maka pengarang secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan tersebut yang akan dapat menentukan struktur suatu karya sastra. Keterkaitan pandangan dunia pengarang dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, dimaksudkan Goldmann sebagai hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam artian lain, memahami karya sastra harus dipandang dari asal mula dan proses kejadiannya.
Fananie (2000:118) menyatakan pandangan dunia pengarang terbentuk atas hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata serta pengaruh latar belakang sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkan. Konteks sosial dalam karya sastra merupakan keadaan atau situasi yang terjadi di lingkungan kehidupan sosial tokoh. Pengarang menyampaikan aspirasinya berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan kolektifnya. Hal tersebut membuktikan keadaan sosial suatu masyarakat pastinya memiliki latar belakang sosial budaya yang mengikat. Pengarang kemudian merefleksikan semua kejadian yang terjadi di lingkungannya ke dalam karya sastra yang ditulis. Konteks sosial dan latar belakang sosial budaya yang terefleksi dalam karya sastra mencerminkan pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia pengarang tidak dapat dipahami secara langsung oleh penikmat karya sastra, akan tetapi memerlukan suatu penelitian, di mana penelitian yang dilakukan secara sahih dapat mengungkap letak atau wujud pandangan dunia yang terefleksi dalam karya sastra. Endraswara (2008:57) menyatakan pandangan dunia bagi Goldmann selalu terbayang dalam karya sastra agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif). Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian pandangan dunia pengarang memerlukan suatu karya yang memiliki cerita utuh yang mencerminkan nilai-nilai sastra.
Analisis pandangan dunia pengarang dalam penelitian ini, akan diungkap melalui aspek konteks sosial yang terefleksi dalam karya sastra serta latar belakang sosial budaya yang tercermin dalam karya sastra. Akan tetapi, sebelum mengkaji kedua aspek tersebut pemahaman struktural merupakan langkah awal dalam menganalisis karya satra. Karena pemahaman pandangan dunia pengarang terbentuk atas struktur karya yang mengikat. Pemahaman struktural dalam penilitian ini hanya dibatasi pada analisis tokoh utama atau tokoh problematik, tema dan latar cerita. Ketiga unsur tersebut yang akan mampu mengekspresikan pandangan dunia pengarang. Pengarang menampilkan pandangan dunia di dalam karya sastra melalui tokoh problematik. Tokoh problematik merupakan tokoh yang memiliki pusat permasalahan terhadap lingkungan sosial cerita serta paling banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh lain. Melalui tokoh problematik pula, pengarang memberikan solusi atau gagasan terkait penyelesaian permasalahan yang dihadapi tokoh. Dalam penelitian ini pandangan dunia pengarang akan diungkap melalui novel Mengejar Matahari Pagi karangan Ayu Sutarto.
Novel Mengejar Matahari Pagi merupakan karya sastra yang menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat saat novel diciptakan. Keadaan lingkungan sosial tokoh maupun latar belakang sosial budaya masyarakat yang terefleksi dalam cerita. Selain alasan tersebut, novel Mengejar Matahari Pagi memiliki tokoh problematik yang akan memunculkan pandangan dunia pengarang. Tokoh problematik mewakili aspirasi pengarang tentang dunianya beserta permasalahan-permasalahannya pada saat novel diciptakan. Kelebihan yang terdapat pada novel Mengejar Matahari Pagi sesuai penjelasan di atas, dijadikan alasan kuat peneliti untuk memilih novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto sebagai objek penelitian.
Novel Mengejar Matahari Pagi terdapat tokoh problematik yang bernama Bima. Tokoh cerita disebut sebagai tokoh problematik apabila paling banyak terlibat dengan permasalahan yang ada di setiap peristiwa cerita dibandingkan dengan tokoh lain. Atas dasar tersebut Bima diketahui sebagai tokoh problematik. Berikut data yang mendukung.
Marti adalah pekerjaan baru bagi Menur dan aku. kami telah bersepakat bulat untuk menolongnya. Aku akan menghubungi Yati di Jogja dan Menur akan menghubungi sebuah LSM di Surabaya yang bergiat dalam penanganan perempuan koraban tindak kekerasan. Mudah-mudahan upaya ini berhasil.
(MMP: Paragraf ke 1. Surya, Jumat 26 Juli 2002)

Berdasarkan data di atas diketahui, bahwa Bima terlibat menyelesaikan penderitaan gangguan jiwa yang diderita tokoh Marti. Diceritakan Marti adalah siswa sekolah dasar yang menderita gangguan jiwa, akibat paksaan orang tuanya untuk menikah di usia dini. Marti tidak menerima paksaan untuk menikah karena ia bercita-cita untuk melanjutkan sekolah tingkat pertama di Kota Malang. Keberadaan Bima di lingkungan masyarakat Tengger membuat jiwa sosialnya tergugah untuk berperan serta menangani kasus Marti. Ia bersedia mencarikan rumah sakit sekaligus mencarikan donatur yang bersedia menanggung biaya selama pengobatan. Hal tersebut dilakukan Bima, karena ia ingin melihat Marti menjadi sehat kembali dan dapat melanjutkan sekolah demi masa depan yang cerah.
Setelah diketahuinya tokoh problematik dalam novel Mengejar Matahari Pagi, analisis selanjutnya dalam penelitian ini pada bagian aspek konteks sosial yang terefleksi dalam cerita. Konteks sosial yang terdapat dalam novel Mengejar Matahari Pagi adalah keadaan sosial masyarakat Indonesia yang masih memercayai paham budaya agraris di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh dalam cerita, bagi masyarakat yang berpaham agraris keperawanan adalah simbol kesucian yang menyangkut harga diri seorang perempuan yang harus dijaga kesuciannya dari perbuatan tercela. Berikut data yang mendukung.
Dalam masyarakat yang masih terkungkung oleh budaya agararis, seperti Indonesia, keperawanan adalah simbol kesucian dan harta yang paling mahal bagi pemiliknya. Keperawanan adalah buah terlarang anugerah Sang Maha Pemurah yang harus dijaga dengan baik, karena sangat menentukan citra pemiliknya.
(MMP: Paragraf ke 2. Surya, Minggu 30 Juni 2002)

Data di atas menjelaskan, dalam pandangan masyarakat yang berpaham agraris keperawanan masih dianggap hal tabu. Keperawanan melambangkan kesucian bagi perempuan yang merupakan anugerah pemberiaan dari Tuhan. Untuk itu kesucian dan kemurniannya harus dijaga karena dapat mencerminkan diri pribadi pemiliknya. Kartasapoetra (1987:101) menyatakan masyarakat agraris memiliki kecenderungan pola pikir yang tertup. Sulit untuk menerima paham baru karena beranggapan memengaruhi perilaku dan dapat merendahkan harga diri. Mereka menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan leluhurnya.
Selain unsur konteks sosial, novel Mengejar Matahari Pagi terdapat latar belakang sosial budaya yang melatarbelakngi jalannya cerita. Sosial budaya yang dimiliki suku Tengger digambarkan Ayu Sutarto melalui penceritaan tokoh Bima yang berada di tanah Tengger untuk melakukan riset data penelitian budaya. Salah satu tradisi yang dimiliki suku Tengger diungkap pengarang secara imajinatif yakni prosesi perayaan hari raya Karo yang masih dianut kuat oleh masyarakat Tengger.
Hari ini seluruh warga Tengger bersuka cita merayakan perayaan Karo. Anak-anak kecil tertawa-tawa sambil sekali-kali memamerkan baju barunya. Ibu-ibu sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk berbagai upacara, dan bapak-bapak sibuk mempersiapkan ruangan untuk berbagai acara di balai desa. Bagi orang Tengger, perayaan Karo atau hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-tunggu.
(MMP: Paragraf ke 13. Surya, Jumat 12 Juli 2002)
Berdasarkan data di atas diketahui, perayaan hari raya Karo adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Tengger. Masyarakat akan bersuka cita merayakan hari besar tersebut yang diperingati setiap setahun sekali. Pada hari tersebut masyarakat begitu sibuk dengan kegiatannnya masing-masing untuk mempersiapkan segala hal keperluan perayaan. Ibu-ibu akan sibuk di dapur sedangkan kaum laki-laki sibuk mempersiapkan ruangan untuk berbagai acara di balai desa. Menurut Dade Angga (www.pasuruankab.go.id, diakses pada tanggal 8 April 2012) hari raya Karo bagi masyarakat Tengger di Gunung Bromo adalah sebuah penghormatan kepada leluhur asal muasal (cikal bakal) suku Tengger yakni Giri Kusuma dengan Ni Buring Wulanjar. Ketika perayaan, biasanya warga Tengger selama satu minggu penuh merayakan acara tersebut dengan bersilaturahmi antar keluarga atau tetangga serta diikuti acara makan-makan dengan menyembelih hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi atau babi.
Mengejar Matahari Pagi di dalamnya terdapat pandangan Ayu Sutarto tentang masyarakatnya, yang diinterpretasikan melalui permasalahan yang dialami tokoh Bima dan tokoh lainnya. Pengarang menyampaikan gagasan atau pandangan yang terefleksi dalam cerita sebagai pemberian solusi dalam menyikapi setiap permasalahan-permasalahan yang ada dialami tokoh cerita. Permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial tokoh problematik novel Mengejar Matahari Pagi, sebagai contoh permasalahan esensi keperawanan di lingkungan sosial masyarakat agraris seperti yang diketahui pada penjelasan aspek konteks sosial di atas.
Novel Mengejar Matahari Pagi adalah novel kedua dari novel trilogi Dua Hati Menuju Matahari dan Matahariku Mutiaraku karangan Ayu Sutarto. Novel Mengejar Matahari Pagi diciptakan pada tahun 2002, dan dipublikasikan oleh pengarang secara bersambung di harian Koran Surya, Surabaya, mulai tanggal 30 Juni 2002 sampai dengan 8 Agustus 2002.
Beberapa penelitian sebelumnya yang relevan dengan kajian strukturalisme genetik, yakni penelitian pertama dilakukan oleh Tiik Maslikatin yang berjudul Belenggu Karya Armijn Pane: Kajian Strukturalisme Genetik (Fakultas Sastra, Universitas Jember. 1999). Penelitian ini mengkaji kekoherensian unsur-unsur yang membangun dalam novel Belenggu, mendeskripsikan homologi antara struktur karya sastra dengan masyarakat, dan mendeskripsikan pandangan dunia Armijn Pane. Penelitian kedua dilakukan oleh Sulung Lukman C yang berjudul, Analisis Strukturalisme Genetik Novel Saman Karya Ayu Utami (Fakultas Sastra, Universitas Jember. 2003). Penilitian ini mendeskripsikan, latar belakang sosial budaya novel Saman, tokoh problematik, dan relasi tokoh dengan dunia sekitarnya. Penelitian ketiga dilakukan oleh Lina Puspita Yuniati dengan judul penelitian, Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman Karya Ayu Utami (Fakultas Bahasa dan Seni, Unnes. 2005). Penelitian ini mendeskripsikan, struktur novel, lingkungan sosial Ayu Utami, dan lingkungan sosial novel Saman.
Letak kesamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya yang telah dijelaskan di atas dengan penelitian ini, memiliki kesamaan pendekatan teori yang digunakan dalam mengungkap pandangan dunia pengarang, yakni melalui pendekatan teori strukturalisme genetik. Letak perbedaan pada pengungkapan pandangan dunia pengarang yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan ketiga penelitian di atas. Penelitian ini mendasarkan pendapat Fananie (2000:118) yang menyatakan pandangan dunia pengarang terbentuk atas dua aspek, yakni konteks sosial yang terefleksi dalam novel dan berdasarkan latar belakang sosial budaya yang terefleksi dalam karya sastra. Hal tersebut yang menunjukkan titik perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian yang sudah dilakukan.
Penelitian strukturalisme genetik pada novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan mengungkap pandangan dunia Ayu Sutarto dalam novel Mengejar Matahari Pagi dengan terlebih dahulu melakukan analisis struktur novel, kemudian mengkaji konteks sosial, latar belakang sosial budaya, dan pandangan pengarang yang terefleksi dalam novel.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka tepat judul penelitian ini adalah, “Pandangan-Dunia Ayu Sutarto dalam Novel Mengejar Matahari Pagi.

    1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini dapat diketahui sebagai berikut.
  1. Bagaimanakah unsur intrinsik yang mengekspresikan pandangan dunia pengarang dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto?
  2. Bagaimanakah konteks sosial yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto?
  3. Bagaimanakah latar belakang sosial budaya yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto?
  4. Bagaimanakah pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto?

    1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut.
  1. Unsur intrinsik yang mengekspresikan pandangan dunia pengarang dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto.
  2. Konteks sosial yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto.
  3. Latar belakang sosial budaya yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto.
  4. Pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Mengejar Matahari Pagi karya Ayu Sutarto.

    1. Manfaat Penelitian
  1. Bagi mahasiswa FKIP Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai bidang ilmu kesusastraan, khususnya ilmu tentang kajian pandangan dunia pengarang dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik dalam karya sastra.
  2. Bagi guru ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai materi pembelajaran apresiasi sastra kepada peserta didik.
  3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan referensi dan pengetahuan tentang kajian strukturalisme genetik dalam karya sastra yang melakukan penelitian serupa dalam bentuk karya sastra lain.

    1. Definisi Operasional
Definisi operasional bertujuan untuk memberikan batasan pengertian terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian. Pembatasan ini dilakukan untuk tidak menimbulkan persepsi lain terhadap teori yang digunakan. Istilah-istilah yang didefinisikan dalam penelitian ini dapat diketahui sebagai berikut.
  1. Unsur intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra. Analisis unsur intrinsik dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada kajian tokoh uatama, tema, dan latar cerita yang merefleksikan pandangan dunia pengarang.
  2. Pandangan dunia pengarang merupakan keseluruhan gagasan, aspirasi, dan perasaan pengarang terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan kehidupannya. Hal tersebut berkaitan tentang mengungkap bagaimana cara pengarang menyuarakan reaksinya terhadap fenomena kehidupan masyarakat (tokoh), dan juga cara berpikir pengarang mengeluarkan gagasan atau solusinya terhadap menyikapi permasalahan-permasalahan yang terjadi.
  3. Konteks sosial novel merupakan situasi atau keadaan sosial beserta permasalahannya yang terjadi di lingkungan kehidupan tokoh cerita. Sebagai contoh, keadaan tokoh pada masa kuliah, kondisi pekerjaan, perekonomian, kisah percintaan tokoh, bahkan keadaan rumah tangga.
  4. Latar belakang sosial budaya merupakan sosial budaya apa saja yang melatarbelakangi cerita. Analisis latar belakang sosial budaya dalam penelitian ini, meninjau dari latar belakang yang ada dalam teks sastra dan juga latar belakang pengarang.
  5. Novel Mengejar Matahari Pagi merupakan novel kedua dari novel trilogi Dua Hati Menuju Matahari dan Matahariku Mutiaraku karangan Ayu Sutarto. Novel Mengejar Matahari Pagi diciptakan pada tahun 2002, kemudian dipublikasikan oleh pengarang secara bersambung di harian Koran Surya Surabaya, mulai tanggal 30 Juni 2002 sampai dengan 8 Agustus 2002.