BEKAKAK NGAKAK
“Masih ingat tradisi yang diwariskan leluhur, Pak?”
Cetar. Barangkali efek itulah yang membuat kepala Pak Lurah
cenat-cenut. Diderita hingga tiga malam, melek menggelantung, pada
kesunyian malam. Gelisah gara-gara ungkapan Sekretaris desa.
Pertanyaan yang bisa dimaknai mengingatkan sekaligus menyidir.
Semenjak itu perangai Pak Lurah kusut kayak kancut.
“Karepmu piye tha Bah? Lontang-lantung setiap harinya.”
“Menggalau sungguh keadaan Abah.”
“Gula-galu. Mboh, apa maksudmu. Mending berangkat ke kantor
sana.”
Sang istri mulai risih dengan kemurungan suaminya. Walaupun ia tahu
penyebab dari kemurungannya apa. `
Safar. Desa Amket memiliki gawe penting setiap bulan Safar.
Bagaimana saat Saparan, tepatnya hari Jumat minggu kedua. Amket akan
begitu riuh oleh pagelaran yang dianggap melestarikan tradisi
leluhur. Berpuluh ribu orang dari berbagai macam tampang, berdiri
berjubel, penuh sorak kekaguman, memadati sepanjang jalan Amket.
Tepatnya jalan yang dilewati arakan Bekakak. Ya, Bekakak inilah yang
membuat Pak Lurah menggalau hingga berhari-hari lamanya.
“Kalian sudah berpengalaman, dana yang dibutuhkan tidak cukup
sekali menjual mobil Jazz.”
Sembari jari telunjuk Pak Lurah ditudingkan ke arah mobil mengkilap
terparkir di depan kantor kelurahan. Mobil yang terbeli dengan
menjual sebidang tanah warisan mertuanya. Sedangkan perangkat lain,
ada enam orang dengan jabatan yang berbeda-beda. Dari awal rapat
hanya terdiam menyimak di kursi masing-masing. Namun seketika itu
mereka terbius telunjuk Pak Lurah, sembari menoleh dan
mengangguk-angguk paham.
“Apalagi di bulan ini kita juga memiliki agenda besar. Pemilihan
Wali Kota.”
“Dua-duanya sama-sama penting.” Perangkat lain mulai ikut bicara.
“Sama-sama butuh anggaran dana.”
“Tapi mengingat kas kita yang pailit, mending kita jalankan satu
agenda saja.” Pak Lurah semakin putus asa. Terlihat perangkat lain
yang sebelumnya khusyuk menyimak, kemudian masing-masing mata sontak
memandang tajam ke Pak Lurah.
“Satu agenda. Pilih yang mana?”
Pak Lurah diam, raut mukanya semakin pucat menggalau. “Pesta
demokrasi Wali Kota. Ya, itu saja. Ini penting, memilih pemimpin masa
depan kita.”
“Dimana pentingnya dibandingkan menghormati leluhur? Jelas-jelas
leluhur sudah nyata memberikan kemakmuran hidup kita.” Sanggah
ketus terlontar dari mulut Sekretaris.
Pak Lurah merasa tertusuk dengan pernyataan Sekretarisnya. Ia begitu
paham dan sangat menghormati atas apa yang dikhawatirkannya. Maka
itu, ia lebih memilih mengakhiri rapat tanpa suatu jalan temu. Dari
pada berdebat dengan sekretaris mudanya. Namun seusai rapat, Pak
Lurah memanggil sekretaris untuk ke ruangannya.
“Apa yang memberatkan Bapak tidak menggelar Bekakak tahun ini?”
“Dana. Pasti itu? Saya tahu kondisi keuangan desa. Tapi yang saya
sesalkan kenapa Bapak begitu mudahnya putus asa.”
“Tidak menggelar Bekakak samahalnya Bapak melupa perjuangan
leluhur. Secara tidak langsung pula, Bapak mengundang bencana yang
siap menimpa warga Amket.”
Lagi-lagi Pak Lurah terdiam. Tidak menyangkal sekalipun penjelasan
sekretarisnya dari awal masuk ruangan sudah nyrocos tanpa
titik.
“Lha terus harus gimana?” terlontar melas. Roman Pak Lurah
terlihat semakin putus asa.
“Solusi. Sekarang itu yang kita cari. Harus menjalankan
kedua-duanya, tanpa menuai beban bagi kita.” Sekretaris terlihat
berpikir keras. Sesekali terdengar ketukan sepatu high hills
nya.
“Nah…begini Pak. Inti dari perayaan Bekakak tak lain
penyembelihan pengantin Bekakak kan?”
“He’eh.”Pak Lurah mengangguk setuju.
“Sepasang pengantin inilah yang membuat anggaran dana membengkak.
Mulai dari bahan pokok yang sekarang harganya melambung akibat
kegalauan BBM. Dan juga proses pembuatan yang biasa melibatkan banyak
orang hingga waktunya sampai semalam suntuk. Bagaimana kalau tahun
ini pembuatan Bekakak diambil alih satu orang saja?”
“Maksudmu?”
“Saya punya kenalan. Ibu pembuat jajanan pasar, terkenal rasa
kue-kuenya menggiurkan lidah. Ia sangat professional dengan
profesinya. Kita suruh saja dia sebagai pembuat Bekakak.”
Seusai rapat intim dengan sekretarisnya, pada sore hari, Pak Lurah
bersama istri bertandang ke rumah Ibu pembuat jajanan pasar. Ketika
menemuinya, Pak Lurah melakukan semua apa yang disarankan sekretaris.
Mulai dari gaya ramah tamah bertamu, tanpa adanya canda-tawa, sekali
bicara langsung pada inti pembicaraan, dan yang terpenting jangan
sampai ada tawar-menawar harga. Kata sekretaris, tarif jualan Ibu
pembuat jajanan pasar dijamin jauh di bawah tarif normal. Alias murah
meriah. Memang benar, seusai sang Ibu menyanggupi pesanan, Pak Lurah
cukup membayar ratusan ribu saja. Padahal anggaran ratusan ribu,
sudah memenuhi semua apa yang dibutuhkan perayaan Bekakak. Boneka
sepasang pengantin, pernak-perniknya, ataupun atribut arak-arakan.
Namun yang membuat Pak Lurah gelisah dan bertanya-tanya dalam diam,
ketika bertatap muka dengan sosok Ibu beroman datar, tidak banyak
tingkah, sekali ucap terlontar kata, iya dan terima kasih. Dalam
benak Pak Lurah membenarkan apa yang dimisteriuskan sekretarisnya.
“Ibu pembuat jajanan pasar tidak bisa tertawa. Banyak orang bilang
ia benci keriuhan!”
*
Mak Tin dan Arum. Perempuan gila bekerja. Sejoli yang adalah ibu dan
anak, tiap waktunya hanya untuk di dapur, mamasak dan memasak.
Seringkali tetangganya menegur, kalau mereka sungguh keterlaluan.
Seolah-olah kesempatan hidup di dunia ini, hanya untuk urusan dapur
dan berburu uang. Tapi apa yang dikata tidak memengaruhi sejoli yang
memiliki keahlian membuat jajanan pasar secara turun-menurun. Mereka
malah cuek dan asyik dengan profesinya.
“Serius, tekun, dan hasilkan olahan menggiurkan. Jangan bikin
pelanggan kecewa!”
Walaupun perkataan ibunya terdengar sengau, tidak membuat Arum gagal
memaknai. Arum paham, kali ini usahanya memeroleh pesanan skala
besar. Mulai jam empat subuh, ia sudah sibuk di dapur. Sembari
menepis rasa dingin di musim penghujan, tak lupa ia seruput secangkir
kopi sekali-dua kali.
“Pesanan Pak Lurah diambil besok siang. Sebelum terselenggaranya
midodareni di balai desa.”
Pesan Mak Tin sebelum dirinya berangkat menuju pasar menjajakan
dagangannya. Sepeninggal kepergian ibunya, Arum sibuk sendiri di
dapur. Ia mulai kesibukannya dengan menumbuk biji ketan hingga
menjadi serbuk tepung di lumpang besar, kayu nangka.
Jrukk…jrukk…Seketika hawa dingin yang sebelumnya menyeruak
tubuhnya, kini terhasut oleh butiran-butiran peluh bercucuran.
Arum, menyadari bahwa dirinya perempuan sepi. Dalam hidupnya tidak
pernah merasakan suatu kebahagian, selain bahagia karena setiap waktu
ia sukses membuat kue dan membantu ibunya bekerja. Sebenarnya ia
begitu berharap, kebahagian datang dari sumber lain. Entah berwujud
apa. Sejak kecil, Arum tidak dikenalkan ibunya cara tertawa itu
membuat hidup bahagia. Setiap harinya, ia selalu sepi selayaknya
rumah yang dihuni.
Dua jam kemudian Mak Tin pulang dari pasar. Tanpa mengenal jam
istirahat, ia bantu putrinya yang sibuk di dapur.
“Adonannya sudah siap. Tinggal Emak yang bikin pasangan bonekanya.”
“He’eh, Nduk siapkan gula merahnya. Gula 4 kg itu dirajang
semua ya…”
Tanpa keluh kesah, Arum menyanggupi perintah Ibunya. Pekerjaanya
kali ini memang terberat, dibandingkan setiap harinya. Tapi Arum
menepis rasa lelahnya jauh-jauh. Sebab baginya ada suatu kebanggan,
ketika ia dan sang ibu dipasrahi Pak Lurah untuk membuat keperluan
pagelaran Bekakak.
Di luar rumah sepi, alam meraya senja di musim hujan. Berbinar
temaram jingga mengaura indahnya langit. Arum sudah menghabiskan
beberapa jam untuk merajang gula merah yang digunakan selai dari
boneka Bekakak yang dibuat ibunya. Gula merah ini nantinya akan
mencair seperti aliran darah, ketika boneka Bekakak disembelih saat
prosesi tumbal Bekakak digelar.
Adzan maghrib terdengar dikumandangkan. Arum beranjak dari dapur
menuju sumur untuk berwudlu. Sebelum menunaikan sholat, Arum dibuat
tercengang akan fenomena yang ternyata mampu membuat perubahan
hidupnya. Seketika itu, ia menemukan hidupnya terang dan berbinar.
Kemudian Arum mengetahui sejatinya cara tertawa. Dari hatinya yang
sekian lama sepi, tercengang menyala. Ia benar-benar merasakan
nikmatnya kebahagian dari tertawa. Bagaimana bermula dari ibunya,
tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tertawa melihat pasangan
boneka Bekakak yang dibuat tertukar kepalanya. Kepala laki-laki di
tubuh perempuan, dan sebaliknya. Saat itu, Arum mengetahui kalau tawa
ibunya, semerdu sholawat surga. Gemanya menghadirkan kedamaian di
lubuk hati.
Mak Tin. Akhirnya kembali menemukan hasrat tawanya setelah sekian
tahun tidak mampu menemukan cara tertawa. Semenjak menyaksikan
langsung penyebab kematian sang suami. Menuai ajal, hanya gara-gara
tersedak butiran pentol bakso.
*