Minggu, 08 April 2012

CERPEN: JALAN IMPIAN SANG MARABUNTA




JALAN IMPIAN SANG MARABUNTA
Oleh Midun Aliassyah




Pic. Jabar El


Bilamana impian adalah matahari? Kapan ia akan terbit menghampiri dan menyudahi keluh, kesah dan penderitaan tiada akhirnya ini. Harusnya ia sebongkah pijar mengiringi jalan hidup. Cerah cahyanya sebinar mata menggantung harap. Tapi semua ini tak ada, tak nyala! Hanya takdir bisu penuh kilu yang melumat tiada kasih dan haru, menyebabkan aku tetap tak beranjak. Sial.
”Titititit…tititit!!!” Jam beker karatan berbunyi tersendat-sendat di balik bantal kusam nan bau kecut. Bersarung angsa yang tak lagi ceria, satu betina dan tiga anak berenang tanpa busana, di air tak berwarna. Bantal kusam yang tak lagi jelas identitasnya! Ya, karena sarung bantal itu sudah tak layak untuk menjadi landasan kepala, luntur dari kewajaran. Tapi di balik kekusamannya, tersimpan berjuta-juta impian. Impian yang selalu menjadi angan, tak kunjung tiba menghampiri sang pemimpi. Hanya bisa menjadi sandaran tidur, tapi wujudnya mampu menjadi cahya terang dalam imajinasi pikiran.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan. Tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi temeng persembunyian di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati. Hingga membuat orang lain tertarik akan keelokan yang dimiliki, dan mengakibatkan buta atas apa yang harus dimiliki pribadi sendiri. Padahal hanya untuk sekedar memiliki dan menikmati! Memiliki kemakmuran dan kelayakan hidup bagi makhluk bernyawa yang bersarang di dalamnya. Jelas-jelas mereka ditakdirkan memiliki kelebihan dari pada makhluk lain. Ia diberi akal, tetapi ia hanya bisa pintar dalam melipat gandakan jumlah keturunan, dengan semboyan “banyak anak, banyak rejeki!” Bussettt…tapi kenyataannya sekarang sudah gak berlaku cak! Sekarang itu bukan jaman dokar lagi, tapi sudah jamannya Busway!! Terus, mereka tak mampu menyuapinya. Membuat Ia selalu menangis merintih dan kecewa. Karena ia merasa diacuhkan oleh menungso yang hidup serba dengan ketololan, berkembang biak di dalam kelaknatan, dan tak merasa punya dosa atas apa yang dilakukan. Sungguh-sungguh biadab kau?  Menungso,” lebih pantas menyebutnya.
Habis manis sepah di buang. Seperti inilah kondisi negeriku. Negeri impianku. Ditinggal begitu saja oleh orang yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, Negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan, tak lagi perawan, ternoda dari kelicikan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ia dibodohkan dari pengetahuan. Otak ditumpulkan, dimelaratkan! Cecungok-cecungok jadi budak. Budak yang tak terbayar jauh dari kebebasan. Menyebabkan Negeri impianku lemah tak berdaya, tak lagi berharap menggapai cita. Terpendam selama-lamanya di dalam angan dan asa.
Ya, beginilah.... sungguh malang Negeri impianku. Cecungok-cecungoknya  malas akan kemakmuran. Lumpuh memperdayakan sumber pangan. Buta akan kekayaan. ”Ya, beginilah... malang nasibku, seperti malangnya Negeri impianku.” 
***

Hidup.
Apa makna itu sebenarnya? Sebuah anugerah yang tak terhinggakah? Ataukah sebuah kutukan takdir hidup, tak berarah, tak bertujuan yang menakdirkan aku seperti ini! Hidup yang hilang dari kebahagiaan, bermelodi penderitaan dan  kegelisahan.
Waktu bergulir. Pagi menuju siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Dan seperti keadaanku sekarang ini, tak menentu! Kosong. Tiap hari kutelusuri Ibu kota dan melangkahi trotoar jalan. Aku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!” Aku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku cuma berijazah lulusan SMP. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan Orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar 12 tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar!  Kurang ajar?  Iya.
Memang benar, aku adalah orang yang terlaknat. Terlaknat dari orang-orang cendikiawan yang secara pendidikan terpenuhi. Bisa makan tiga kali sehari. Ada orang tua yang selalu mengasihi. Meninabobokkan setiap hari. Di didik mulai usia kecil hingga besar, dan mengenalkan Tuhan. Serta mendewasakan, hingga memiliki cita-cita dan mimpi. ”Cita-cita dan mimpi?” Uppsss….!!!
Namun semua itu berbeda! Semua itu tak terjadi di dalam peta jalan hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang tua mengasihi dan menyayangi. Semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara udara Yogyakarta, hingga melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Akhirnya semenjak usia 14 tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku. Nyawa adalah tekadku. Tetapi walaupun begitu, aku adalah orang yang mempunyai impian. Impian yang hanya orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Dan akulah salah satu orang tertentu saja itu!
***

Hai bocah, mau jadi apa kau nantinya?” tegur Cak To ketika masuk kontrakan reotku yang tak terkunci pintunya.
”Tiap hari kerjaannya tiduran saja!”
”Belum waktunya dapat kerjaan Cak!!” jawabku sekenanya.
”Waktunya kapan? Bukannya kamu kemarin ke Kota ngelamar kerjaan?”
”Hasilnya nihil!” dengan santai aku menyalakan rokok kretek di depan Cak To. Kemudian seantero kamarku dipenuhi asap mbako lenteng cap murahan.
”Terus, inikah contoh pemuda yang mempunyai mimpi seperti yang kau katakan kemarin?” marah Cak To. “Pekerjaannya hanya tidur, menganggur setiap hari.”
”Dasar pemuda gelandangan, tak punya kerjaan. Terlaknat!!”
”Brukkkk!!!” Dibantingnya pintu reot kontrakanku. Lalu Cak To keluar dengan mebawa sejuta amarah.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. Seharusnya Orang yang tak bertanggung jawablah, yang pantas kau umpati. Gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Perempuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi. Gelandangan kau suburi, hingga subur saat ini. Terlaknat! Kau sungguh penghianat! Umpatku dalam hati sepeninggal Cak To keluar dari kontrakan.
Pikiranku melayang-layang dalam angan. Terbang bebas dalam imajinasi pikiran, menyelumut ke sel-sel yang tak terdeteksi akal hingga jatuh pada satu pilihan. Walaupun pilihan ini kemungkinan besar hanya mampu menjadi semu dan kabur semata dalam dunia fana. Yaa, bahwa aku harus mampu membangun Negeri mimpi yang selalu aku impikan!
Aku ingin bermimpi. Aku ingin seperti burung, terbang bebas mengitari Negeri mimpi. Menyadarkan cecungok-cecungok yang tak tau diri. Aku ingin Negeri mimpiku seperti pelangi tempatnya para bidadari, selalu berwarna-warni memancarkan kemilau cahya keceriaan dan kedamaian. Aku ingin Negeri mimpiku kuat, kokoh berpondasi melambungkan cita-cita dan mimpi tinggi.
***

”Maaf mas, di sini hanya membutuhkan karyawan yang minimal berijazah SMA, dan tentunya memiliki pengalaman dalam hal bekerja.
”Oh ya?” jawabku sinis. ”Tidak berartikah ijazah menengah pertama?”
Telunjukku menunjuk pada dua angka yang ada di selebaran kertas kusam. Dan dua angka itu kelihatan berbobot dari pada angka-angka yang lainnya.”Lihat mbak, aku memiliki nilai sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!aku melantangkan suara ketika menyebut angka sembilan untuk dua mata pelajaran itu.
”Tapi  Mas…,” sanggah pelayan. Terlihat wajah menor sang pelayan, yang tebal oleh balutan kosmetik, namun semenjak suaraku membentak aura kecantikan itu tak nampak lagi. Alias takut dengan kelantangan suaraku.
”Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?”
”Sretttt!!!” kutarik kembali ijazah yang ada di atas meja kaca.
”Masya Allah,” sebut pelayan. ”Orang ini apa gak punya kesabaran ya? Amit-amit dehh…”
Dengan perasaan ngilu dan kecewa, keluarlah aku dari toko busana itu.
”Dasar perempuan sekarang, cantik-cantik cerewet!” umpatku kesal.
”Mentang-mentang punya ijazah tinggi, semena-mena saja membuat persyaratan demi kualitas pelayan. Apalagi atas dasar untuk masa depan lah! Memang kurangajar itu orang. Bisanya cuma semena-mena saja sama orang sepertiku. Cuiihhh….” aku meludah di atas kekesalan. Tak sadar air liurku jatuh tepat di atas kertas berwarna hijau muda. Sekilas terlihat kertas itu terpampang gambar mobil, sepedah motor, TV dan uang yang berhamburan di sudut kanan atas. Tepatnya kertas yang aku ludahi itu adalah sebuah brosur undian berhadiah. Tapi sayangnya aku tidak melihat kemewahan itu, walaupun selirikkan.
Aku berlalu sambil jalan, tanpa menoleh fenomena riuh yang terjadi di sisi kanan ataupun sisi kiri. Padahal takdir alam yang terjadi di siang panas kota Pahlawan sungguh menarik perhatian, untuk disimak dan dilihat dalam kaca mata pengamat. Akupun masih kesal atas kejadian di toko busana tadi.
”Terus nantinya menjadi alasan sebagai tuntutan perkembangan dan kemajuan jaman, bertujuan demi masa depan anak bangsa lah… Dan pastinya mereka akan mendiskriminasi orang-orang bawahan yang tak berpendidikan tinggi sepertiku! dalam batinku. Pasti ini pengaruh kebijakan Orang atasan, yang semena-mena saja mewajibkan belajar 12 tahun. Padahal mereka menetapkan kebijakan itu tanpa menyadari keadaan sekitar! Beginilah sikap Orang-orang atasan, yang tak sudi melihat orang bawahan. Jika posisinya sudah di atas, yang bawah ditekan! Dampaknya ya, seperti aku ini. He..he..he..!!
Sampailah aku di kontrakkan. Sebetulnya kontrakkan yang aku tempati, tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah. Lebih pantas menyebutnya rumah tikus.
Udara panas, pengap, bau busuk sampah: itulah bau yang aku hirup sehari-hari. Jika berada di dalam ruang, terdengar suara bising kendaraan yang seolah-olah melintas di atas atap kontrakkan. Ya beginilah keadaanku, sudah takdir suratan.
Siang ini hatiku benar-benar merasa tak tenang. Rebahan saja tak enak aku lakukan. Mau menyeduh kopi, tapi tak ada yang mau diseduh. Mau ngutang di warung Mbk Lastri, itu tak enak. Jika hal ngutang aku lakukan nantinya hanya akan membuat uring-uringan Mbk Lastri. Jelas saja utangku kepadanya, sudah berpuluh-puluh bilangan angkanya. Lalu aku berpikir sejenak, dalam posisi tubuh aku sandarkan pada tiang penyangga atap. Aku berpikir, sambil berandai-andai saja aku.…??? Sedetik, dua detik, semenit…. Tak dinyana, tak ada angin, tak ada awan mendung terlihat di langit pertanda akan datangnya hujan. Tiba-tiba saja di kala sedang nyantai-nyantainya, terdengar suara teriakkan keras dari luar kontrakkan.
”Mas Gerhanapp... keluar sekarang! Aku mau ngomong penting sama Mas!” terdengar teriakkan keras Narti dari depan pintu kontrakkan. Dari dalam kontrakkan aku pun menyahut.
”Ya Dek, sayangku, cintaku.aku melangkah gontai menuju pintu. ”Kreekkk!!!”
”Sayang, saying, ngaca dulu siapa Mas?”
”Gitu aja marah. Kalau marah kelihatan tuanya lo...!!”
”Ada apa sa-yang…. Eh, maksudku Dek Narti. Siang panas gini teriak-teriak manggilin Mas. Minta dikawinin ya??” aku menemui Narti dengan wajah dan rambut awut-awutan.
”Heh, ngawur!!!” bentak Narti. ”Ini masalah serius Mas.”
”Gini Mas…” jelas Narti. ”Aku ke sini disuruh Bapak untuk menagih uang kontrakan yang belum Mas bayar. Tiga bulan Mas!” Narti menodongkan tiga jemarinya di depan dadaku.
Waduhh...tiga bulan! Segitu banyaknya. Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku. Cari kerjaan, tak ada yang mau menerimaku. Ahh...beginilah nasib gelandangan sejati. Selalu susah, gelisah, karena uang dan diuber-uber hutang.
Aku  beranikan diri untuk berbicara jujur ke Narti. Sesuai dengan keadaan apa yang aku alami sekarang.
”Maaf Dek, bukannya mas tidak mau melunasi pembayaran sekarang. Tapi kondisi keuanganku sekarang tidak mendukung. Alias, tidak punya uang sama sekali. Sumpah Dek!!!” keluhku sambil menaruh muka melas di hadapan Narti.
Kemudian aku lihat raut wajah Narti memerah, setelah mendengar penjelasanku.
 ”Alasan saja kau ini Mas. Tiap akhir bulan, hanya janji kosong yang kau bayarkan. Bulan pertama, Mas tak membayar karena belum dapat kerjaan. Bulan kedua, dengan alasan yang sama. Bulan ketiga, sekarang!” memuncaknya amarah Narti. ”Mas tidak bisa membayar, karena beralasan belum dapat kerjaan. Iyakan??!!”
Aku hanya bisa diam mendengarkan marahan Narti.
”Mana janji Mas ke Narti? Kalau Mas akan cari kerjaan mapan. Cari uang sebanyak-banyaknya, untuk membelikan cincin berlian untuk Narti. Mana janji ngelamar Narti? Mana rasa cinta Mas?! Buktikan Mas, buktikan ke Narti dan juga Bapak jika mas itu mampu!” dalam keadaan marah Narti tiba-tiba menangis sesenggukan. Meneteskan air mata kekecewaan. 
”Aku benci Mas Gerhana. Benci, benci!!!” dipukul-pukulinya dadaku dengan kedua tangan Narti.
Lalu Narti meninggalkanku dengan keterpanaan. Keterpanaan yang ia tinggal karena kekecewaannya atas kelakuanku. Kelakuan yang selama ini Narti harapkan sebagai cinta sejatinya. Tapi, cinta itu hanya omong-kosong, tak berisi dan tak pula terjadi. Ternyata saat itu pula sungguh memudar begitu cepat rasa cinta tulus Narti kepadaku. Pupus harapan dan tak lagi bisa ditegakkan. Begitu dalamnya cinta Narti, dan begitu pula kekecewaannya. Begitu dalam dan dalam, tak dapat terbayangkan. Membuat Narti berjanji pada dirinya, ia takkan memaafkan kesalahanku. Tidak akan memaafkan. Tidak akan memaafkan dan meninggalkan cintanya untukku selama-lamanya.
***

Keesokkan harinya aku mendatangi rumah Narti, anak pemilik kontrakan yang aku tinggali. Tepatnya ke rumah Cak To. Aku ingin meminta maaf atas kelakuan yang aku perbuat kemarin.
Malu-malu aku mendekati Cak To. Yang sedari tadi enak-enakan ngopi di emperan rumah. Tak daya mulut ingin bertanya, kira-kira kekasih Narti sedang di mana, dan bagaimana gerangan? Sebelum kalimat tanya itu terlontar. Tak terduga dalam benakku sebelumnya. Bahwa Cak To sudah mampu menduga maksud dan tujuan kedatanganku.
”Narti,  aku jodohkan!!!”
Gubrakk… Apa? Tidak salah dengarkah daku? Narti mau dijodohkan. Dengan siapa? Tidak denganku kah!! Siapa yang merebut hati kekasihku, Narti. Siapa dia, Siapa? Apakah dia pemuda mapan daripada aku? Tampan, kaya, punya kerjaan, banyak uang! Dan apakah dia sanggup membelikan cincin berlian, seperti apa yang aku janjikan kepada Narti?
”Kenapa Cak? Kenapa anak Cak tidak dinikahkan saja denganku?”
”Narti anakku, anak kandungku! Terserah aku, mau aku jodohkan dengan siapa? Yang penting tidak aku jodohkan dengan pemuda gelandangan, tak punya pekerjaan sepertimu!!” jawab ketus Cak To.
Sesudah aku mendengarkan penjelasan Cak To, aku meninggalkan halaman rumah Narti dengan perasaan kecewa tanpa daya. Hancur hati. Gagal sudah cinta dan impianku, untuk hidup abadi berdampingan bersama Narti di Negeri impian.
Sementara, pada jeda yang aku buat bisu, sewaktu langit meriah oleh benda-benda berpijar, dan ketika sebuah lagu sedu menyeret kembali ke masa laluku bersama Narti. Aku menjadi teringat.
Tergambar wajah sang kekasih, malu-malu berada dalam pelukan. Hingga kesunyian udara malam bergerak mendesaukan suara manja sang kekasih. Bulan seolah-olah mampu melengkungkan senyum manisnya. Dan gambaran itu, hanya terjawab oleh sketsa fenomena malam.
***

Aku tak tau dengan hidupku. Hancur sudah hidup dan harapan. Begitu hancurnya, menjadi abu yang tak mungkin disatukan kembali.
Namun, upppssss..... Insting ku menjalar. Memutar memori, dari nol derajat ke batas normal Sembilan puluh derajat. Ada sesuatu, yang membuat ku tak sanggup melupakan dan memendamnya begitu saja. Dan juga pula ada satu  hal yang tidak bisa hancur  begitu saja! Tidak bisa hancur, karena alasan di tinggalkan cinta Narti. Tak bisa! Tidak bisa hancur dalam hidupku! Yaitu, Negeri impianku.
”Akan aku wujudkan negeri impian!” Obsesiku dalam bayang akal. Aku bangun istana megah di dalamnya. Akan aku sunting bidadari pelangi untuk permaisuri. Mengolah hasil bumiku:  melimpah ruah rempah-rempah. Kemudian akan aku angkat harkat martabat kaum penggelandang sepertiku. Dan aku bebaskan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Aku jabat gelandangan menjadi menteri-menteri. Merdekalah para budak. Tegak berdiri kokoh dan berwibawa, di mata negara lain.
Sungguh ini impianku. Aku berjanji ingin memulai lagi dari lembaran baru dalam hidupku. Saatnya bangkit, berdiri, beranjak, berlari mengejar ketertinggalan waktu yang telah terbuang. Dan akhirnya….
”Oh, begitu bangga aku menjadi Orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” Banggaku atas Negeri impian. Negeri impian yang hanya menjadi semu, dan tak ber-alur begitu saja dalam diri.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Jember (Minggu, 13 Juni 2010)

CERPEN: TERSELIP WAJAH BAPAK DI KOTA-KOTA




TERSELIP WAJAH BAPAK DI KOTA-KOTA
Oleh, Midun Aliassyah








            Gambar wajah Bapak yang sedang termenung. Terseketsa di antara barisan mendung. Terlihat sedikit adanya kejelasan, tapi makin lama dipandang wajah itu ternyata tak menampakkan ketermenungan saja. Banyak aura yang bisa digambarkan dari wajah tak buruk rupa itu. Penuh warna dan rasa. Terkadang nampak warna merah, putih pula, hitam, kuning dan keangkuhan biru. Dan di setiap citra warna itu memiliki keanekaragaman rasa seperti saat mencicipi Lolipop.  Hmm...memang cukup enak dinikmati keelokan wajah Bapak.
            Ketulusan wajah Bapak bagiku suatu anugerah. Suatu kebanggaan yang menurutku tidak ada bandingannya. Wajah yang mampu dijadikan penerang kehidupan. Menghadirkan sejuta rupa warna, baik di antara genangan kedukaan maupun kebahagiaan. Kemunculan dan membaurnya wajah Bapak ini selalu mampu aku lihat dan dapat aku amati lekuk-lekuknya secara nyata. Namun hal ini adalah sebuah rahasia besar yang tidak dapat aku ceritakan kepada orang lain. Cukup hanya aku saja yang tau, anak dari pemilik wajah yang selalu memberikan kehangatan bagi seluruh Kota.
            Bapak di masa hidupnya merupakan seorang pengembara sejati yang gemar mengunjungi kota-kota yang ada di Negeri ini. Setiap singgah di setiap kota, beliau tidak hanya melihat-lihat isi kota dan duduk manis menikmati hidangan khas atau menikmati keindahan wisata yang dimiliki Kota. Bukan, bukan itu yang diniati Bapak. Bapak beringkah selayaknya seorang Bapak yang memberikan suatu pelajaran kepada ananknya. Sebab bagi Bapak, Kota-kota yang ada di negeri ini masih terlalu dungu dalam hal menghidupi penghuninya. Bapak sungguh kasihan melihat fenomena itu. Membuat rasa belas kasih Bapak mengembang bersama penderitaan itu.
            Dan aku adalah seorang anak Bapak yang sangat disayanginya. Anak satu-satunya, entah kenapa aku tidak memiliki saudara. Bahkan dalam hidupku, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan sosok Ibu. Ketika kecil aku selalu didongengi oleh Bapak tentang pahlawan-pahlawan kesatria dari negeri langit. Aku begitu kagum dengan sosok pahlawan yang dikisahkan Bapak. Berjiwa lelaki pemberani, pembela dan sosok pemimpin yang kuat. Saat itu pikiranku langsung terbayang dengan sosok Bapak. Tepatnya aku menganggap Bapak-lah sosok kesatria dari negeri langit itu.
            Berkunjunglah ke Kota-kota yang dulu Bapak singgahi, temukan dan cari perubahan apa saja yang ada. Inilah amanah dari Bapak, beliau katakan sebelum menuai sang ajal. Aku begitu sedih dengan kematian Bapak, dan pula aku bakalan tidak akan mendengarkan kembali cerita-cerita menarik dan menantang tentang Kota-kota yang pernah disinggahi Bapak. Semenjak kematian Bapak itu aku mengerti betapa besarnya jasa Bapak ketika menyinggahi Kota demi Kota yang pernah beliau jadikan ladang pengembaraan.
***
           
Wajah Bapak selalu ada.
            Tak tau, ini sudah Kota yang keberapa. Jejak yang aku lukis, tak tau juga sudah terdenah seperti apa. Sebab aku hanya sekedar mampir, tak lebih dari cukup. Dan tak ada ikhwal lain. Sekedar menghitung jumlah gedung-gedung yang semakin semarak, tinggi menjulang langit, terlihat angkuh ketika bersentuhan angin. Sekedar menyuluti jembatan-jembatan tua yang dulunya kerdil kini berdiri jangkung. Sekedar mengakumulasi butiran-butiran air mata kaum penderita. Cukup sudah, itu saja yang aku cari di setiap Kota.     
            Namun aku sungguh kagum dengan perihal apa yang aku amati dari setiap Kota. Karena apa, bunga-bunga yang tak mampu kuncup tanpa adanya asupan gizi itu telah mencipta nasibnya sendiri. Dan sebelum benar-benar hilang dari apa yang terlihat, aku selalu memberikan bingkisan kecil kebahagiaan dan kecintaan. Jadi aku tidak menjadikan Kota-kota yang aku kunjungi sebagai pesinggahan air mata. Sebab Bapak tak pernah mengajarkanku seperti itu. Aku bangga memberikan bingkisan itu, walaupun tak berbobot. Dan aku sangat begitu bahagia menjalaninya, berkat wajah Bapak tercinta yang selalu menjadi peneduh luka di setiap kaki melangkah.
            Wajah Bapak selalu ada.
Tak tau pula, ini sudah Kota yang keberapa. Kota yang menurut pengamatanku terlalu aneh. Tak aku jumpai gedung-gedung bertingkat, jembatan jangkung, mal ataupun swalayan yang biasanya berjibun memadati isi kota. Hanya saja ketika memasuki gerbang utama kota ini, pendatang sepertiku akan disambut tulisan ‘SELAMAT DATANG DI KOTA POHON’ yang terpampang besar melingkar memanjang di sebuah gapura kukuh. Mungkin gapura inilah, dijadikan simbol identitas daerah ini sebagai Kota. sepanjang mata mendelik, yang ada hanya hamparan hutan lebat.
Di sana-sini yang terlihat tidak lain pepohonan besar yang menurut perkiraanku umurnya sudah berabad-abad lamanya. Anehnya pohon-pohon besar itu ternyata merupakan tempat tinggal warga kota ini. Jalanan disini hanya berupa tanah liat yang di atasnya ditumpuki batu-batu kerikil. Ketika aku menginjakkan kaki di atasnya, terasa sedikit gembur dan becek. Tapi hal itu tidak aku permasalahkan, karena aku singgah ke kota ini hanya ingin mencari wajah Bapak yang kebetulan aku temui di balik legamnya kulit warga. Entah itu wajah Bapak terbias rapi di kulit laki-laki perempuan dewasa, remaja, dan juga anak-anak. Ketika mengamatinya aku sungguh menyayangkan keberadaan wajah Bapak. Namun anehnya terlintas dari wajah Bapak kelihatan begitu menikmati keberadaanya. Dan aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kesalah satu warga. Kenapa wajah Bapak ada di balik kelegaman kulit warga? Spontanitas warga itu menjawab keterherananku, kalau wajah Bapak adalah hati. Dengan hati yang berwujud wajah Bapak itulah mereka bisa bertahan hidup dan betah tinggal di Kota Hutan ini.    
Wajah Bapak selalu ada.
            Sekali lagi, tak tau ini Kota yang keberapa. Tepatnya di perempatan jalan menikung sebelah Istana Sang Pelopor. Kota yang aku rasa berbeda. Aku mencoba menenangkan diri. Memusatkan pikiran, sorotan mata lurus tajam, menelanjangi objek bangunan kokoh tempat di mana Sang Pelopor bercas-cis-cus lewat bualan-bualan yang tak tertakar manisnya. Bangunan itu di kelilingi pagar megah menjulang, dihiasi beraneka tumbuhan hijau menawan. Dan di sebelah sisi kanan, aku lihat sepasang Kidang sedang asyik merumput. Kemudian pandanganku tepat pada pintu masuk utama bangunan itu, tiba-tiba saja memoriku mengulang. Mencoba mereka-reka kejadian lima belas tahun yang lalu. Sepertinya bangunan beserta perangkatnya itu bukanlah hal asing bagiku. Sebab aku masih melihat wajah Bapak terselip di antara penyangga bangunan di Kota yang keberapa ini. Namun ada yang berbeda dengan wajah Bapak, nampaknya lebih muram dan sendu.
***

CERPEN: Sang MAYAR, Memoar Pengakuan Luka Lara (Midun Aliassyah)


Sang  MAYAR (Memoar Pengakuan Luka Lara)

Oleh, Midun Aliassyah*




Siapakah aku, sehingga diriku diperebutkan?
Apakah aku adalah kehormatan, yang pantas untuk direbutkan. Mungkinkah aku kebaikan, pembawa kunci pelebur kemuslihatan. Apakah aku seorang bidadari yang dirindukan kaum adam di akhirat nanti. Apakah semua itu seorang aku?
Sungguhpun itu benar seorang aku, mungkin aku tidak akan menjadi perempuan seperti yang aku alami sekarang. Aku hanyalah seorang perempuan penyamun. Merebut paksa hak orang lain, yang sewajarnya itu bukan hak milikku. Melucuti uang mereka demi saweran. Setiap malam kerjaanku melalang buana di kerumunan laki-laki hidung belang. Dan aku di maknakan sebagai perempuan idola. Maskot keramat yang boleh dijamahi mereka. Tetapi kaum ini, pantas disebut sebagai seorang raja nafsu, yang tak punya rasa malu kepada Tuhan, istri, bahkan anak-anaknya. Meraka memang lebih kuat dalam hal pencarian nafkah. Bahkan disandangkan oleh Tuhan sebagai sosok pemimpin. Tetapi realitanya, meraka hanya seorang laki-laki yang selalu kalah dengan nafsu, pemburu perempuan sepertiku!
***

Pagi sudah berayun-ayun memainkan embun yang berjatuhan. Siang beranjak diterjang mentari yang memanggang ujung-ujung daun. Matahari seperti telur mata sapi setengah matang. Dan petang yang selalu dinanti-nantikan masih terlelap, dan sebentar lagi akan terjaga kembali mengiringi rona-rona gemilang lampu pijar penerang kehidupan.
Aku melangkahkan kaki sore ini. Mengiringi jalan menuju tempat penaruhan masa depan. Tepatnya aku sedang melangkahkan kaki menuju Kampus Impian. Kenapa di namakan Kampus Impian? Karena pasti semua insan, muda-mudi sepertiku datang ketempat itu ingin menaruh, mengembangbiakkan, dan memanennya hingga hasillah sebuah cita-cita dan masa depan. Mengharap memiliki modal dan ketangguhan. Sebagai pijakan nantinya ketika mengarungi dunia fana.
Hal seperti itu sebenarnya, juga niatanku. Tetapi itu dulu. Sekarang hal itu bagiku hanya menjadi sebuah sampah murahan yang tak wajar dipertahankan sebagai tekad. Sebab percuma saja bagiku, jika hanya mengandalkan akal dan kepintaran untuk mendapatkan sebuah selebaran. Yang menentukan keberhasilan dan kelulusan! Ahh, sungguh biadab aku, jika itu tujuanku melangkahkan kaki capek-capek menuju tempat ranah segala penjuru.
Hmm, kalau ditanya sebenarnya apa sih tujuanku ke situ kalau tidak mengakui hal-hal baik seperti itu? Yaa, sebenarnya aku ke situ cuma ingin mencari teman. Teman yang mau meluangkan waktu, menari-nari bersamaku dalam dunia kelabu. Tentunya ini tidak percuma saja aku melakukannya. Tapi pastinya di balik rasa kepuasan yang aku berikan, ada sebuah imbalan buat mengisi kantong. Ya itu kalau dia mau, kalau tidak ya tidak apa-apa! Asalkan dia memiliki tampang yang menawan, pintar, dan mampu memuaskan.  
***

MAYAR, itu namaku. Nama yang hanya terdiri lima huruf berawalan ‘M’ dan berakhiran ‘R’. Tidak tau, kenapa Bapak dulu memilih nama itu sebagai pengenal identitasku. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga Bapak, ia memang bersuku Jawa. Sampai-sampai berarat-arat sil-silahnya. Aku tak kuasa menghitungnya, pada saat lebaran tiba, pastinya tanganku selalu capek sendiri mengulurkan maaf demi jalinan silaturahmi. Kalau keluarga Ibu, jangan ditanya karena aku lupa! Sengaja aku melupakannya. Aku sejak kecil sudah ditinggal dari gendongannya. Tak pernah aku berada dalam buaian dan tetekkannya. Menyebabkan aku, tidak pernah mengenal sosok prempuan yang bernama Ibu.
Aku dibesarkan oleh keringat Bapak. Beliau terlalu sayang, memanjakan, dan meluangkan waktu istirahatnya dari keletihan sehari penuh bekerja hanya untuk bersamaku. Kami hanya tinggal berdua, tapi kami bisa dibilang keluarga sejahtera penuh bahagia. Walaupun terkadang kesulitan dan ketakadaan menghimpit kami. Kesulitan untuk makan, biaya listrik, pajak ataupun biaya sekolah. Terkadang hal itu membuatku menangis, meneteskan air mata kesedihan jika aku terlambat membayar biaya SPP. Karena ketidakberdayaanku itu, aku selalu dibikin malu oleh teman-teman. Tetapi Bapak selalu bilang, jangan sedih. Tuhan Maha adil. Pasti nanti ada rejeki buat bayar SPP ku. Berdoa saja, dan selalu minta kemulyaan kepada-Nya.
Keadaanku seperti itu, membuatku berpikir kali lipat agar aku bisa membantu beban yang dipikul Bapak. Kasihan, terlalu berat jika ia pikul sendiri. Hanya mengharapkan rejeki dari uluran penumpang Lin yang ia operasikan keliling kampung di Kabupaten kecil ini. Mangkanya aku diam-diam memiliki inisiatif untuk berjualan pulsa keliling. Alhamdulilah, niatanku ini dikabulakan. Aku sekarang bisa berjualan pulsa ke teman-teman di sekolah ataupun para tetangga di rumah. Pertama kali Bapak tau akan tindakan nekatku ini, Bapak marah besar. Bapak tidak mau nantinya aku keletihan, dan malas belajar yang akhirnya mengganggu prestasiku di sekolah. Tapi saat itu pula, aku bilang ke Bapak untuk mengizinkan dan mencoba dulu niatan ini dalam waktu satu bulan saja. Jika nantinya usaha yang aku pilih ini, benar-benar menggangu prestasiku, aku akan berhenti saat itu pula. Dan menyudahi hingga aku berpikir hanya untuk belajar saja dan bukan mencari uang.
Wajar kalau Bapak bingung begitu terhadap prestasiku. Soalnya sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar, hingga bangku SMP aku selalu meraih prestasi yang gemilang. Baik di sekolah ataupun saat ikut lomba adu kepintaran diajang tingkat Kecamatan bahkan Kabupaten. Walhasil, aku selalu membawa nama baik almamater yang kusandang. Hingga lulus SMP aku diterima di SMA terbaik dan berkualitas yang ada di Kabupaten. Saat itu aku melihat Bapak sangat begitu bahagia. Bahagia akan rasa bangga terhadap prestasi yang diraih sang anak.  
Lagi-lagi Tuhan meridhoiku, terbukti dari hasil rapot akhir semester kenaikan kelas. Aku meraih juara paralel di sekolah. IPA jurusan yang seharusnya aku tempuh! namun hatiku mengelak, dan aku menuruti kemauannya untuk memilih ilmu sosial sesuai pilihan hati nurani.
Di SMA Negeri ini-pun aku masih menjalani profesi sebagai penjual pulsa keliling. Hingga waktu berjalan terarah, cepat, dan tak terasa tiga tahun sudah, selesai masa pendidikanku. Pada awal bulan Juni, aku dinyatakan lulus dari sekolah. Lagi-lagi aku meraih prestasi yang membanggakan. Atas prestasi yang kuraih, pihak sekolah memberikan hadiah kepadaku. Berupa pendaftaran masuk tanpa tes ke salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Kota provinsi. Tidak hanya sebatas itu, mereka juga menanggung biaya pendidikan selama empat semester.
***

Tidak selamanya kapas akan abadi mempertahankan warna putih, tidak selalu lembut dan mulus. Seterjal apapun batu karang yang terhempas muncratan air, ia akan rapuh juga jika kekokohan tak lagi menampiknya. Akan goyah, terpecah belah, menjadi abu, terbang, terhempas angin, berserakan di tanah. Hmm...seperti itulah gambaran perjalanan kehidupanku.
Seiring usiaku bertambah, seiring pula masa studiku di bangku perkuliahan. Tak terasa empat semester selesai sudah kujalani. Saat ini aku berstatus mahasiswa semester enam. Masalah prestasiku sejak duduk di bangku kuliah, biasa-biasa saja! Tidak menonjol seperti di bangku-bangku pendidikanku dulu. Mungkin karena factor persaingan, yang menyebabkan aku kalah dan minder dengan sendirinya
Namun di balik semua itu, ada kemajuan pada diriku. Aku sekarang tahu sesuatu?! Suatu perihal, yang menyebabkan rasa menjadi cahaya hati. Ya, tepatnya aku tau ‘cinta’. Kalau secara harfiah aku memang tidak paham dan tak tau artinya! Tapi kalau ditinjau dan ditelaah dari perasaan, hmm….jangan ditanya? Sebab hatiku sekarang sedang terpaut padanya, hingga buih-buih asmara merasuk dalam jiwa. Intinya aku tau ada rasa keistimewaan dengan lawan jenis. Alias aku tau dan sedang jatuh cinta.
Sedikit cerita. Pandangan pertama; saat itu mataku terpengarah, memandang dengan tatapan, wahh. Merasuk ke dalam jiwa, lewat celah-celah rongga, dan jatuh tepat pada hati. Hmm, sungguh menawan senyuman cowok itu?! Siapa gerangan? Body atletis, tinggi, berambut cepak, bibir merah, dan kelihatannya ia anak konglomerat. Terbukti dari segi pakaian, gaya, dan terlihat tingkahnya dengan segerombolan genknya yang selalu bersama dimanapun dan kapanpun.
***

Hari demi hari kulalui di kehidupan anak kos, sekedar biasa-biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Pagi kuliah, tidur-tiduran, ngobrol sama teman, ngalor-ngidul dengan topik bahasan tetap-tetap saja, tak ada rasa kejenuhan: C-O-W-O-K?! Mulai yang berinisial ‘A’ hingga ‘Z’. Pasti dibahas secara tuntas, hingga kegosip-gosip terbarunya. Uptodate lagi. Biasalah….
Kehidupanku di kampus, aku terkenal anak yang pendiam, sederhana, dan jarang bergaul dengan teman-teman sekelas. Teman mahasiswa di kampus hanya satu, dua, tiga, yang aku kenal. Ya maklumlah, aku sedikit kuper dengan model pergaulan teman-teman di Kampus Impian. Tapi aku punya satu kelebihan, banyak yang bilang kalau aku ini cantik, anggun, dan memiliki mata teduh. Terbukti, banyak cowok mendekati dan berterus terang di depan mataku, bilang kalau dia mau menjadikan aku sebagai pacarnya. Setiap ada tawaran seperti itu, jawabanku hanya satu! Selalu aku tolak mentah-mentah. Wajar saja, mereka belum masuk kriteria penilaianku. Walaupun aku kuper dalam pergaulan, namun aku harus bersikap pandai dalam hal memilih pasangan.
Cuma satu orang, yang mampu membuat hatiku luluh, lumpuh, tak berdaya karna rasa. Ya, cowok yang bernama Iqbal, kakak seniorku. Tanpa aku perhitungkan, akhirnya aku dapat jadian dengannya, berpacaran. Pergi ke mana-mana selalu bersama, bahkan ia membelikan aku hand phone biar komunikasi kami bisa terjalin di tiap detik, menitnya selagi kami rindu. Tapi sayangnya, aku belum cukup berpengetahuan dengan dunia yang dibawa Iqbal. Diam-diam menghanyutkan! Aku bisa-bisanya begitu rela menyerahkan apa yang seharusnya tidak aku serahkan kepada orang yang belum tentu jelas menjadi lindunganku di masa depan nanti. Aku menyesal dengan sendirinya, ketika pertama kali kejadian itu menimpa jiwa dan ragaku. Tetapi aku tak mau kalah atas penderitaan yang menimpaku. Tak membuatku jera, bahkan aku menikmatinya sebagai keterlanjuran yang membuatku jadi begitu. Dan tiap melakukannya aku tidak lagi berlandaskan atas dasar cinta, hal ini menjadi biasa sebab sudah berkali-kali Alex mengajakku melakukan perihal yang biadab itu.
Ahh, suatu kali aku merasakan kelelahan jalan hidup yang aku lalui. Namun kelelahan yang aku alami ini, tidak aku cerikatan kepada Bapak. Biarkan Bapak menganggap, bahwa aku masih menjadi anak yang patuh dan berakhlak baik seperti remaja dulu. Biarkan hanya diriku yang merasakan kegetiran dan kepahitan luka lara. Tak tau sampai kapan takdir pilu ini berakhir melumat. Hingga jiwa dan raga ini aku serahkan akan kepasrahan, masuk ke jurang nafsu lelaki hidung belang yang kenal dengan sosokku.
Aku memiliki gelar ganda. Di satu sisi hanya orang-orang tertentu yang tau, dan di lain sisi hanya orang-orang tertentu pula yang tau! Biarkan. Biarkan aku menari-nari bersama luka lara yang bersemayam dalam raga. Hingga aku setia menanti sampai titik kejenuhan dan ketobatan. Walaupun begitu, aku tetap punya satu impian dan doa jika usia senja telah menyapa dan menghinggapiku. Bahwa aku ingin menjadi perempuan yang berguna, dan penuh pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.
***


(Pernah Dimuat di Radar Jember (Jawa Pos), Minggu 24 Oktober 2010 )