JALAN IMPIAN SANG MARABUNTA
Oleh Midun Aliassyah
Pic. Jabar El
Bilamana impian adalah
matahari? Kapan ia akan terbit menghampiri dan menyudahi keluh, kesah dan
penderitaan tiada akhirnya ini. Harusnya ia sebongkah pijar
mengiringi jalan hidup. Cerah cahyanya sebinar mata menggantung harap. Tapi
semua ini tak ada, tak nyala! Hanya takdir bisu penuh kilu yang melumat tiada
kasih dan haru, menyebabkan aku tetap tak beranjak. Sial.
”Titititit…tititit!!!” Jam
beker karatan berbunyi tersendat-sendat di balik bantal kusam nan bau kecut.
Bersarung angsa yang tak lagi ceria, satu betina dan tiga anak berenang tanpa
busana, di air tak berwarna. Bantal kusam yang tak lagi jelas identitasnya! Ya,
karena sarung bantal itu sudah tak layak untuk menjadi landasan kepala, luntur
dari kewajaran. Tapi di balik kekusamannya, tersimpan berjuta-juta impian.
Impian yang selalu menjadi angan, tak kunjung tiba menghampiri sang pemimpi.
Hanya bisa menjadi sandaran tidur, tapi wujudnya mampu menjadi cahya terang
dalam imajinasi pikiran.
Sumringah, udara pagi ini
yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya
menyambut hangatnya kehidupan. Tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan
yang menjadi temeng persembunyian di kala malam. Kilau cahya violate menerawang
cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati. Hingga membuat
orang lain tertarik akan keelokan yang dimiliki, dan mengakibatkan buta atas
apa yang harus dimiliki pribadi sendiri. Padahal hanya untuk sekedar memiliki
dan menikmati! Memiliki kemakmuran dan
kelayakan hidup bagi makhluk bernyawa yang bersarang di dalamnya. Jelas-jelas
mereka ditakdirkan memiliki kelebihan dari pada makhluk lain. Ia diberi akal,
tetapi ia hanya bisa pintar dalam melipat gandakan jumlah keturunan, dengan
semboyan “banyak anak, banyak rejeki!”
Bussettt…tapi kenyataannya sekarang sudah gak berlaku cak! Sekarang itu bukan jaman dokar
lagi, tapi sudah jamannya Busway!! Terus, mereka tak mampu
menyuapinya. Membuat Ia selalu menangis merintih dan kecewa. Karena ia merasa
diacuhkan oleh menungso yang hidup serba dengan ketololan, berkembang
biak di dalam kelaknatan, dan tak merasa punya dosa atas apa yang dilakukan.
Sungguh-sungguh biadab kau? ”Menungso,”
lebih pantas menyebutnya.
Habis manis sepah di buang. Seperti inilah
kondisi negeriku. Negeri impianku. Ditinggal begitu saja
oleh orang yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, Negeri
impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan, tak lagi perawan, ternoda
dari kelicikan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ia dibodohkan dari
pengetahuan. Otak ditumpulkan, dimelaratkan! Cecungok-cecungok jadi
budak. Budak yang tak terbayar jauh dari kebebasan. Menyebabkan Negeri impianku lemah tak
berdaya, tak lagi berharap menggapai cita. Terpendam selama-lamanya di dalam
angan dan asa.
Ya, beginilah.... sungguh malang
Negeri impianku. Cecungok-cecungoknya malas akan kemakmuran. Lumpuh memperdayakan
sumber pangan. Buta akan kekayaan. ”Ya, beginilah... malang nasibku, seperti
malangnya Negeri impianku.”
***
Hidup.
Apa makna itu sebenarnya?
Sebuah anugerah yang tak terhinggakah? Ataukah sebuah kutukan takdir hidup, tak
berarah, tak bertujuan yang menakdirkan aku seperti ini! Hidup yang hilang dari
kebahagiaan, bermelodi penderitaan dan
kegelisahan.
Waktu bergulir. Pagi menuju
siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Dan seperti keadaanku sekarang
ini, tak menentu! Kosong. Tiap hari kutelusuri Ibu kota dan melangkahi trotoar
jalan. Aku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!”
Aku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi
percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku cuma berijazah
lulusan SMP. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan
Orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar 12 tahun. Tapi hanya saja bagi
anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! Kurang ajar?
Iya.
Memang benar, aku adalah
orang yang terlaknat. Terlaknat dari orang-orang cendikiawan yang secara
pendidikan terpenuhi. Bisa makan tiga kali sehari. Ada orang tua yang selalu
mengasihi. Meninabobokkan setiap hari. Di didik mulai usia kecil hingga besar,
dan mengenalkan Tuhan. Serta mendewasakan, hingga memiliki cita-cita dan mimpi.
”Cita-cita dan mimpi?” Uppsss….!!!
Namun semua itu berbeda! Semua
itu tak terjadi di dalam peta jalan hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang
tua mengasihi dan menyayangi. Semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara
udara Yogyakarta, hingga melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan
waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Akhirnya semenjak usia 14
tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di
jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku. Nyawa adalah
tekadku. Tetapi walaupun begitu, aku adalah orang yang mempunyai impian. Impian
yang hanya orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Dan akulah salah satu
orang tertentu saja itu!
***
”Hai
bocah,
mau jadi apa kau nantinya?” tegur Cak To ketika masuk kontrakan reotku yang tak
terkunci pintunya.
”Tiap hari kerjaannya
tiduran saja!”
”Belum waktunya dapat
kerjaan Cak!!” jawabku sekenanya.
”Waktunya kapan? Bukannya
kamu kemarin ke Kota ngelamar kerjaan?”
”Hasilnya nihil!” dengan
santai aku menyalakan rokok kretek di depan Cak To.
Kemudian seantero kamarku dipenuhi asap mbako lenteng cap murahan.
”Terus, inikah contoh pemuda
yang mempunyai mimpi seperti yang kau katakan kemarin?” marah Cak To.
“Pekerjaannya hanya tidur, menganggur setiap hari.”
”Dasar pemuda gelandangan,
tak punya kerjaan. Terlaknat!!”
”Brukkkk!!!” Dibantingnya
pintu reot kontrakanku. Lalu Cak To keluar dengan mebawa sejuta amarah.
Memang salahku, aku jadi
gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. Seharusnya Orang yang
tak bertanggung jawablah, yang pantas kau umpati. Gelandangan tak tau diri.
Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Perempuan kami
kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya
mimpi.
Gelandangan kau suburi, hingga subur saat ini. Terlaknat! Kau sungguh penghianat!
Umpatku dalam hati sepeninggal Cak To keluar dari kontrakan.
Pikiranku melayang-layang
dalam angan. Terbang bebas dalam imajinasi pikiran, menyelumut ke sel-sel yang
tak terdeteksi akal hingga jatuh pada satu pilihan. Walaupun pilihan ini
kemungkinan besar hanya mampu menjadi semu dan kabur semata dalam dunia fana.
Yaa, bahwa aku harus mampu membangun Negeri mimpi yang
selalu aku impikan!
Aku ingin bermimpi. Aku
ingin seperti burung, terbang bebas mengitari Negeri mimpi. Menyadarkan cecungok-cecungok
yang tak tau diri. Aku ingin Negeri mimpiku seperti pelangi tempatnya para
bidadari, selalu berwarna-warni memancarkan kemilau cahya keceriaan dan
kedamaian. Aku ingin Negeri mimpiku kuat, kokoh berpondasi melambungkan
cita-cita dan mimpi tinggi.
***
”Maaf mas, di sini hanya
membutuhkan karyawan yang minimal berijazah SMA, dan tentunya memiliki
pengalaman dalam hal bekerja.”
”Oh ya?” jawabku sinis. ”Tidak
berartikah ijazah menengah pertama?”
Telunjukku menunjuk pada
dua angka yang ada di selebaran kertas kusam. Dan dua angka itu kelihatan
berbobot dari pada angka-angka yang lainnya.”Lihat mbak, aku memiliki nilai
sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!” aku melantangkan
suara ketika menyebut angka sembilan untuk dua mata pelajaran itu.
”Tapi Mas…,” sanggah pelayan. Terlihat wajah menor
sang pelayan, yang tebal oleh balutan kosmetik, namun semenjak
suaraku membentak aura kecantikan itu tak nampak lagi. Alias takut
dengan kelantangan suaraku.
”Apa ini kurang cukup untuk
membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?”
”Sretttt!!!” kutarik
kembali
ijazah yang ada di atas meja kaca.
”Masya Allah,” sebut
pelayan. ”Orang ini apa gak punya kesabaran ya? Amit-amit dehh…”
Dengan perasaan ngilu dan
kecewa, keluarlah aku dari toko busana itu.
”Dasar perempuan sekarang,
cantik-cantik cerewet!” umpatku kesal.
”Mentang-mentang punya
ijazah tinggi, semena-mena saja membuat persyaratan demi kualitas pelayan.
Apalagi atas dasar untuk masa depan lah! Memang kurangajar itu orang. Bisanya
cuma semena-mena saja sama orang sepertiku. Cuiihhh….” aku meludah di
atas kekesalan. Tak sadar air liurku jatuh tepat di atas kertas
berwarna hijau muda. Sekilas terlihat kertas itu terpampang gambar mobil,
sepedah motor, TV dan uang yang berhamburan di sudut kanan atas. Tepatnya
kertas yang aku ludahi itu adalah sebuah brosur undian berhadiah. Tapi
sayangnya aku tidak melihat kemewahan itu, walaupun selirikkan.
Aku berlalu sambil jalan, tanpa
menoleh fenomena riuh yang terjadi di sisi kanan ataupun sisi kiri. Padahal
takdir alam yang terjadi di siang panas kota Pahlawan sungguh menarik
perhatian, untuk disimak dan dilihat dalam kaca mata pengamat. Akupun
masih kesal atas kejadian di toko busana tadi.
”Terus nantinya menjadi
alasan sebagai tuntutan perkembangan dan kemajuan jaman, bertujuan demi masa
depan anak bangsa lah… Dan pastinya mereka akan mendiskriminasi orang-orang
bawahan yang tak berpendidikan tinggi sepertiku!” dalam batinku. Pasti
ini pengaruh kebijakan Orang atasan, yang semena-mena saja mewajibkan belajar
12 tahun. Padahal mereka menetapkan kebijakan itu tanpa menyadari keadaan
sekitar! Beginilah sikap Orang-orang atasan, yang tak sudi melihat orang
bawahan. Jika posisinya sudah di atas, yang bawah ditekan! Dampaknya ya,
seperti aku ini. He..he..he..!!
Sampailah aku di kontrakkan.
Sebetulnya kontrakkan yang aku tempati, tak layak disebut
kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan
lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap
seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah
uraian sampah. Lebih pantas menyebutnya rumah tikus.
Udara panas, pengap, bau
busuk sampah: itulah bau yang aku hirup sehari-hari. Jika berada di
dalam ruang, terdengar suara bising kendaraan yang seolah-olah melintas di atas
atap kontrakkan. Ya beginilah keadaanku, sudah takdir suratan.
Siang ini hatiku
benar-benar merasa tak tenang. Rebahan saja tak enak aku lakukan. Mau
menyeduh kopi, tapi tak ada yang mau diseduh. Mau ngutang di warung Mbk Lastri,
itu tak enak. Jika hal ngutang aku lakukan nantinya hanya akan membuat
uring-uringan Mbk Lastri. Jelas saja utangku kepadanya, sudah berpuluh-puluh
bilangan angkanya. Lalu aku berpikir sejenak, dalam
posisi tubuh aku sandarkan pada tiang penyangga atap. Aku berpikir, sambil
berandai-andai saja aku.…??? Sedetik, dua detik, semenit…. Tak dinyana, tak ada
angin, tak ada awan mendung terlihat di langit pertanda akan datangnya hujan.
Tiba-tiba saja di kala sedang nyantai-nyantainya, terdengar suara teriakkan
keras dari luar kontrakkan.
”Mas Gerhanapp... keluar
sekarang! Aku mau ngomong penting sama Mas!” terdengar teriakkan keras
Narti dari depan pintu kontrakkan. Dari dalam kontrakkan aku pun
menyahut.
”Ya Dek, sayangku, cintaku.” aku
melangkah gontai menuju pintu. ”Kreekkk!!!”
”Sayang, saying, ngaca dulu siapa
Mas?”
”Gitu aja marah. Kalau marah
kelihatan tuanya lo...!!”
”Ada apa sa-yang…. Eh,
maksudku Dek Narti. Siang panas gini teriak-teriak manggilin Mas. Minta
dikawinin ya??” aku menemui Narti dengan wajah dan rambut awut-awutan.
”Heh, ngawur!!!” bentak
Narti. ”Ini masalah serius Mas.”
”Gini Mas…” jelas Narti.
”Aku ke sini disuruh Bapak untuk menagih uang kontrakan yang belum Mas bayar.
Tiga bulan Mas!” Narti menodongkan tiga jemarinya di depan dadaku.
Waduhh...tiga bulan! Segitu
banyaknya. Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun
tak ada di kantongku. Cari kerjaan, tak ada yang mau menerimaku. Ahh...beginilah nasib
gelandangan sejati. Selalu susah, gelisah, karena uang dan
diuber-uber hutang.
Aku beranikan diri untuk
berbicara jujur ke Narti. Sesuai dengan keadaan apa yang aku
alami
sekarang.
”Maaf Dek, bukannya mas tidak
mau melunasi pembayaran sekarang. Tapi kondisi keuanganku
sekarang tidak mendukung. Alias,
tidak punya uang sama sekali. Sumpah Dek!!!” keluhku
sambil menaruh muka melas di hadapan Narti.
Kemudian aku lihat raut wajah Narti
memerah, setelah mendengar penjelasanku.
”Alasan saja kau ini Mas. Tiap akhir bulan, hanya janji kosong yang
kau bayarkan. Bulan pertama, Mas tak membayar karena belum dapat kerjaan. Bulan
kedua, dengan alasan yang sama. Bulan ketiga, sekarang!” memuncaknya amarah
Narti. ”Mas tidak bisa membayar, karena beralasan belum dapat kerjaan. Iyakan??!!”
Aku hanya bisa diam
mendengarkan marahan Narti.
”Mana janji Mas ke Narti?
Kalau Mas akan cari kerjaan mapan. Cari uang sebanyak-banyaknya, untuk
membelikan cincin berlian untuk Narti. Mana janji ngelamar Narti? Mana rasa
cinta Mas?! Buktikan Mas, buktikan ke Narti dan juga Bapak jika
mas itu mampu!” dalam keadaan marah Narti tiba-tiba menangis sesenggukan.
Meneteskan air mata kekecewaan.
”Aku benci Mas Gerhana.
Benci, benci!!!” dipukul-pukulinya dadaku dengan kedua tangan Narti.
Lalu Narti meninggalkanku dengan
keterpanaan. Keterpanaan yang ia tinggal karena kekecewaannya atas kelakuanku. Kelakuan yang
selama ini Narti harapkan sebagai cinta sejatinya. Tapi, cinta itu
hanya omong-kosong, tak berisi dan tak pula terjadi. Ternyata
saat itu pula sungguh memudar begitu cepat rasa cinta tulus Narti kepadaku. Pupus harapan
dan tak lagi bisa ditegakkan. Begitu dalamnya cinta Narti, dan begitu pula
kekecewaannya. Begitu dalam dan dalam, tak dapat terbayangkan. Membuat Narti
berjanji pada dirinya, ia takkan memaafkan kesalahanku. Tidak akan
memaafkan. Tidak akan memaafkan dan meninggalkan cintanya untukku selama-lamanya.
***
Keesokkan harinya aku mendatangi rumah
Narti, anak pemilik kontrakan yang aku tinggali. Tepatnya
ke rumah Cak To. Aku ingin meminta maaf atas kelakuan yang aku
perbuat kemarin.
Malu-malu aku mendekati Cak
To. Yang sedari tadi enak-enakan ngopi di emperan rumah. Tak daya mulut ingin
bertanya, kira-kira kekasih Narti sedang di mana, dan bagaimana gerangan?
Sebelum kalimat tanya itu terlontar. Tak terduga dalam benakku
sebelumnya. Bahwa Cak To sudah mampu menduga maksud dan tujuan kedatanganku.
”Narti, aku jodohkan!!!”
Gubrakk… Apa? Tidak salah
dengarkah daku? Narti mau dijodohkan. Dengan siapa? Tidak denganku kah!! Siapa
yang merebut hati kekasihku, Narti. Siapa dia, Siapa? Apakah dia pemuda mapan
daripada aku? Tampan, kaya, punya kerjaan, banyak uang! Dan apakah dia sanggup
membelikan cincin berlian, seperti apa yang aku janjikan kepada Narti?
”Kenapa Cak? Kenapa anak Cak
tidak dinikahkan saja denganku?”
”Narti anakku, anak
kandungku! Terserah aku, mau aku jodohkan dengan siapa? Yang penting tidak aku
jodohkan dengan pemuda gelandangan, tak punya pekerjaan sepertimu!!” jawab
ketus Cak To.
Sesudah aku mendengarkan
penjelasan Cak To, aku meninggalkan halaman rumah Narti dengan perasaan
kecewa tanpa daya. Hancur hati. Gagal sudah cinta dan impianku, untuk hidup
abadi berdampingan bersama Narti di Negeri impian.
Sementara, pada jeda yang aku buat bisu,
sewaktu langit meriah oleh benda-benda berpijar, dan ketika sebuah lagu sedu
menyeret kembali ke masa laluku bersama Narti. Aku
menjadi teringat.
Tergambar wajah sang
kekasih, malu-malu berada dalam pelukan. Hingga kesunyian udara malam bergerak
mendesaukan suara manja sang kekasih. Bulan seolah-olah mampu melengkungkan
senyum manisnya. Dan gambaran itu, hanya terjawab oleh sketsa fenomena malam.
***
Aku tak tau dengan hidupku. Hancur sudah
hidup dan harapan. Begitu hancurnya, menjadi abu yang tak mungkin disatukan
kembali.
Namun, upppssss..... Insting ku
menjalar. Memutar memori, dari nol derajat ke batas normal Sembilan puluh
derajat. Ada sesuatu, yang membuat ku tak sanggup melupakan dan memendamnya
begitu saja. Dan juga pula ada satu
hal yang tidak bisa hancur begitu
saja! Tidak bisa hancur, karena alasan di tinggalkan cinta Narti. Tak bisa! Tidak
bisa hancur dalam hidupku! Yaitu, Negeri impianku.
”Akan aku wujudkan
negeri impian!” Obsesiku dalam bayang akal. Aku bangun istana
megah di dalamnya. Akan aku sunting bidadari pelangi untuk permaisuri. Mengolah hasil bumiku: melimpah ruah rempah-rempah. Kemudian
akan aku angkat harkat martabat kaum penggelandang sepertiku. Dan
aku
bebaskan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Aku jabat gelandangan
menjadi menteri-menteri. Merdekalah para budak. Tegak berdiri kokoh
dan berwibawa, di mata negara lain.
Sungguh ini impianku. Aku berjanji
ingin
memulai lagi dari lembaran baru dalam hidupku. Saatnya bangkit, berdiri,
beranjak, berlari mengejar ketertinggalan waktu yang telah terbuang. Dan
akhirnya….
”Oh, begitu bangga aku
menjadi Orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” Banggaku atas Negeri impian. Negeri impian yang hanya
menjadi semu, dan tak ber-alur begitu saja dalam diri.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Jember (Minggu, 13 Juni 2010)