Rabu, 10 November 2010

TEORI BELAJAR BAHASA

TEORI BELAJAR BAHASA


Oleh Kelompok 9:

1. MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2. YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
3. ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
4. ITA NUR ANDRIANA (080210402052)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
1. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap pengajaran bahasa bertujuan agar siswa mempunyai keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa meliputi terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jadi, secara singkat keterampilan berbahasa itu mencakup empat segi yang keempat-empatnya saling berhubungan dan tidak bisa dipisah-pisah dengan sekat yang jelas.
Keempat keterampilan tersebut digunakan oleh manusia untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi hanya bisa dilakukan dengan menggunakan bahasa. Bahasa ini diperoleh dengan menguasai empat keterampilan berbahasa. Salah satunya adalah melalui metode membaca. Membaca merupakan suatu kegiatan memahami teks bacaan dalam rangka memperoleh informasi atau pesan yang terkandung di dalam bacaan.
Menjelang tahun 1920-an, penggunaan metode membaca banyak mengalami refisi yang di pelopori oleh para pendidik Ingris dan Amerika. Salah satu pelopornya adalah West (1926), yang mengajar bahasa Ingris di India berpendapat bahwa belajar membaca jauh lebih penting dari pada orang India yang belajar bahasa Ingris ketimbang berbicara. West menganjurkan suatu penekanan pada membaca bukan hanya karena dia menganggap hal itu sebagai keterampilan yang paling bermanfaat yang harus diperoleh oleh bahasa asing, tetapi itulah yang paling mudah, suatu keterampilan dengan nialai tamabah yang paling besar bagi siswa yang paling mudah pada tahap- tahap awal siswa mempelajari bahasa.
Metode membaca pada tahun 1929-an di sekolah- sekolah menengah maupun di perguruan tinggi di Amerika Serikat mulai digunakan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajar atau mahasiswa kemampuan untuk memahami teks ilmiah yang mereka keluhkan dalam studi mereka. Metode membaca inilah yang kemudian terus digunakan dan dikembangkan hingga saat ini.
2. Tujuan dan Teknik
Tujuan dan teknik membaca secara tegas hanya untuk melatih para siswa dalam membaca pemahaman. Metode membaca merupakan suatu teoari pengajaran bahasa yang secara tegas membatasi tujuan pengajaran bahasa pada salah satu kegunaan praktis yang dapat dicapai. Metode membaca yang sekaligus merupakan ciri utamanya adalah sebagai berikut:
1. pemisahan fase aktif dan fase pasif pembelajaran bahasa
2. pendekatan analasis tata bahasa bagi tujuan membaca pemahaman
3. penekanan pada pengalaman menbaca intensif dan ekstensif
4. penundaan pelatihan berbicara dan menulis
5. perhatian kontinyu terhadap kata-kata lisan
6. perhatian terhadap pembelajar secara individual
Teknik-teknik yang dipakai dalam metode membaca tidaklah berbeda secara radikal dari teknik-teknik yang dikembangkan dalam metode-metode terdahulu:
1. penggunaan B1 tidak dilarang
2. penggunaan B2 diadakan secara lisan
3. ucapan dan inti ujaran sangat penting
4. beberapa teknik terampil dari pengajaran membaca bahasa asing
5. control kosakata dalam bacaan sangat penting
6. control kosakata merupakan pembeda membaca intensif dan ekstensif

3. Asumsi Teoritis
Metode membaca mempunyai dasar pragmatic yang kuat. Asumsi-asumsi educationalnya sam dengan kurikulum sekolah Amerika tahun 1920-an, misalnya menyesuaikan kegiatan-kegiatan pendidikan kepada penggunaan-penggunaan praktis yang sudah ditetapkan atau ditentukan. Dengan perkataan lain, dengan metode ini diharapkan agar para siswa mempunyai keterampilan berpragmatik. Kita harus menyadari benar-benar jika ada 7 faktor penentu dalam berkomunikasi dengan bahasa yaitu:
1. siapa yang berbahasa dengan siapa
2. utnuk tujuan apa
3. dalam situasi apa atau tempat dan waktu
4. dalam konteks apa
5. dengan jalur mana lisan atau tulisan
6. media apa
7. dalam peristiwa apa
Orientasi belajar mengajar bahas berdasarkan tugas dan funsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan komunikatif ini bentuk bahasa (kata, kalimat, ragam bahasa) yang dipakai selalu dikaitkan dengan factor-faktor penentu di atas. Kemampuan berbahasa yang demikian yaitu yang dapat menyesuaikan bentuk bahasa dengan factor-faktor penentu, disebut keterampila berpragmatik. Ilmu yang mengkaji hubungan bahasa (ragam dan bentuk bahasa) dengan faktor-faktor itu disebut ilmu pragmatik.
Metode pembaca timbul dari pertimbangan-pertimbangan pendidikan praktis. Hal ini sejalan denga teori eamerika tahun 1920-an. Metode itu memperkeranalkan kedalam pembelajaran bahasa beberapa elemen baru yang penting yaitu;
a) a.kemungkinan menemukan tehnik-tehnik pembelajaran bahasa yang sesuai dengan tujuan –tujuan tertentu. Dalam hal ini tujuan membaca .
b) b.pengaplikasian pengawasan kosakata pada teks-teks sebagai sarana penahapan teks-teks yang lebih baik.
c) c.penciptaan atau kreasi yang bertingkat
d) d. sehubungan dan sebagai jasa pengawasan kosa kata pengenalan dengan tehnik-tehnik membaca bagi kelas bahasa asing.

4. Kesimpulan
Metode pembelajaran direncanakan bagi sekolah-sekolah yang tujuan satu-satunya adalah untuk memperoleh pengetahuan memebaca mengenai bahasa. Teks dibagi menjadi seksi-seksi atau bagian –bagian pendek. Yang masing-masing didahului oleh suatu daftar kata yang akan di ajarkan melalui konteks trrjemahan atau gambar-gambar. Setelah suatu tahap atau disingkat kosa kata tercapai maka bacaan –bacaan tambahan dalam bentuk cerita atau novel yang di sederhanakanpun diperkenalkan untuk memudahkan sang pembelajar untuk menggabungkan atau mengkosolidasikan kosakatanya.






Daftar Pustaka


Guntur tarigan, henry.1991.metodologi pengajaran bahasa 2 .Bandung: penerbit Angkasa.
Utari subyakto,sri.1993.metodologi pengajaran bahasa. Jakarta: PT. Gramedia pustaka utama.

PENGARUH ‘CINTA’ TERHADAP GANGGUAN KEJIWAAN PADA TOKOH QOIS DAN LAYLA: KAJIAN PSIKOLOGI PENOKOHAN (Novel LAYLA & MAJNUN)

PENGARUH ‘CINTA’ TERHADAP GANGGUAN KEJIWAAN PADA TOKOH
QOIS DAN LAYLA: KAJIAN PSIKOLOGI PENOKOHAN


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010




A. KAJIAN TEORI
1. Psikologi Penokohan
Sastra dalam pandangan psikologi sastra adalah cermin sikap dan perilaku manusia. Sikap dan perilaku hakikatnya adalah pantulan jiwa.jiwa yang khayal, akan dapat dimonitor lewat sikap dan perilaku. Oleh karena itu, membaca sikap dan perilaku dalam sastra, peneliti akan mampu memahami gejolak jiwa manusia. Peristiwa kejiwaan ketika menggerutu, meratap, melamun, menangis, menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan, berteriak histeris, membanting pintu dan menutup diri seharian di dalam kamar, mencabik-cabik baju, meremas kertas. Duduk berkhayal dan membunuh diri serta melukai orang lain, dan lain-lain, merupakan wujud perilaku eksternal yang tak dapat dirubah karena sudah terlanjur terungkap dan merupakan fakta empiris.
Pemahaman manusia dalam sastra akan lengkap apabila ditunjang oleh psikologi, begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti bahwa teori penilitian psikologi sastra jelas merupakan gabungan dari teori sastra dan teori psikologi. Hukum-hukum psikologi dicocokkan dengan teori sastra, sehingga membentuk kerangka analisis. Namun yang perlu dicermati oleh peniliti sastra adalah yang paling dominan dari kajian karya sastra itu sendiri. Karena psikologi hanya sebagai alat bantu untuk mengungkapkan perilaku manusia yang ada di dalam karya sastra.
Secara spesifik, realita psikologi sebagai misal adalah kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Tokoh yang menjadi tumpuan penelitian psikologis sastra, berarti perlu diidentifikasi. Jangan-jangan di dalamnya tokoh menjadi cermin diri sastrawan. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, sedangkan tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya, kurang mendapatkan penekanan. Pemahaman tokoh semacam ini terasa berat sebelah karena tokoh bawahan(periperial) pun memiliki watak dan sering kali juga dijadikan cermin diri. Untuk memahami tokoh dalam sastra, tentu saja diperlukan psikologi khusus. Hal ini, seperti pernyataan Wellek dan Warren (Metode Penilitian Psikologi: Suwardi Endraswara) bahwa untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam karya sastra, diperlukan bantuan teori-teori pasikologi. Teori ini disesuaikan dengan hal yang akan digali dai tokoh. Perwatakan dominan biasanya yang menjadi tumpuan dalam tokoh.

2. Hakikat Cinta
Cinta merupakan istilah yang sulit untuk didefinisikan. Namun, cinta merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang fundamental. Secara sederhana cinta dapat diartikan sebagai rasa kasih sayang. Cinta juga dapat dikatakan sebagai paduan rasa simpati antara dua makhluk. Dengan demikian cinta memang sangat terikat dengan kehidupan manusia. Tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia, bahwa cinta itu tidak penting. Semua manusia pasti haus akan rasa cinta. Cinta diibaratkan seperti udara yang selalu dihirup manusia untuk bernafas. Tetapi anehnya, kendatipun demikian hampir manusia tidak pernah terlintas dalam benaknya tentang apa dan bagaimana cinta itu terjadi?
Cinta dalam bahasa Arab disebut dengan mahabbah. Sinonim dari kata cinta dalam bahasa Arab lebih dari 60 kosakata/mufradat. Hal ini menunjukkan cinta merupakan hal yang agung bagi mereka, selalu didendangkan oleh para penyair dan dilantunkan oleh para pujangga, disebut-sebut di pertemuan. Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. (www.akbarkurniawan.web.id)

B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Cinta Bagi Qays dan Layla (Tinjauan Psikologi)
Novel Layla Majnun ini sangatlah menarik untuk dikaji dari bidang ilmu psikologi. Tentunya tetap dalam naungan teori sastra, bukan ilmu psikologi murni. Sehingga memungkinkan bagi peniliti untuk mengkaji lebih dalam psikologi yang ada dalam tokoh utama novel ini. Selain itu, novel Layla Majnun ini adalah novel terkenal di jagad Internasional. Bahkan bisa dibilang sebagai novel roman terlaris dan fenomenal sepanjang sejarah prosa. Kelebihan novel ini salah satunya terletak pada penderitaan batin yang dialami oleh tokoh Qays dan Layla sebagai dua tokoh utama.
Penderitaan batin yang dialami dua tokoh tersebut, menimbulkan perilaku yang menyimpang dari sifat manusia normal. Hal ini disebabkan karena rasa frustasi yang berkepanjangan yang dialami oleh Qays maupun Layla. Qays sangat mencintai Layla, dan sebaliknya. Rasa cinta Qays terhadap Layla tidak bisa disamakan dengan rasa cintanya kepada siapapun di dunia ini. Ia rela hidup menderita dan mati demi mempertahankan cinta tersebut. Begitu juga dengan Layla. Tapi sayanganya cinta mereka bertepuk sebelah tangan, karena atas dasar kesombongan dan rasa gengsi orang tua Layla kepada keluarga Qays. Sehingga orang tua Layla melarang dan tidak menyutujui hubungan mereka. Walaupun benih-benih cinta mereka terlarang, tetapi Qays tetap setia pada Layla. Namun karena Layla perempuan, ia tidak bisa berbuat apa-apa seperti yang dilakukan Qays dalam melampiaskan rasa cintanya.
Adat dalam masyarakat Arab melarang perempuan yang sudah baligh bermain-main di luar rumah adalah pantangan. Hal ini juga berlaku dalam keluarga Layla. Ia harus memasuki masa pemingitan. Ia anak perempuan satu-satunya dalam keluarganya. Hingga masalah jodoh sudah diatur oleh orang tuanya. Menyebabkan Layla menderita batin berat, atas kelakuan orang tuanya melarang berpacaran dengan Qays. Ia sudah dijodohkan dengan laki-laki saudagar pilihan ayahnya. Membuat rasa cinta Layla kepada Qays yang sudah lam tumbuh dalam hatinya kian beku, kering, hingga rasa cinta itu tidak tersampaikan sepanjang hidup.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh utama tersebut, akan sangat menarik bila dikaji secara psikologi penokohan. Psikologi penokohan akan memberikan gambaran tentang aktivitas-aktivitas individu, baik aktivitas secara motorik, kognitif, maupun secara emosional. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan perilaku sebagai manifestasi kejiwaan. Sehingga penilitian ini serasa tepat menelaah lebih dalam atas rasa cinta yang membelenggu kedua tokoh Qays dan Layla. Karena rasa cinta terlaranglah yang membuat mereka mati, tanpa merasakan kebahagian tiap hembusan nafas yang sebetulnya dapat mereka rasakan ketika masa hidup.

2. Analisis Gangguan Kejiwaan yang Dialami Qays dan Layla Akibat Pengaruh Cinta
Pada tahap analisis ini, peniliti akan mencoba menelaah lebih dalam atas permasalahan kejiwaan tokoh Qays dan Layla yang disebabkan pengaruh cinta. Anilisis dilakukan mulai dari buih-buih cinta tumbuh pada hati mereka berdua; permasalahan ketidak setujuan orang tua Layla atas hubungan mereka berdua; gejolak jiwa akan frustasi, patah semangat, pesimis; penyebab gangguan kejiwaan kedua tokoh; hingga penyebab kematian kedua tokoh, hanya gara-gara cinta keduanya tidak tersampaikan.
Berikut hasil analisa yang dilakukan peniliti tentang gangguan kejiwaan tokoh, yang dapat diketahui dari beberapa perilaku gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Qays dan Layla.
a. Antara Pendidikan dan Cinta
Pada dasarnya pendidikan merupakan hal penting bagi manusia. Pendidikan adalah kunci masa depan, pegangan setiap orang baik itu di masa anak-anak, muda, dewasa ataupun tua. Tetapi kenyataanya pendidikan bagi kaum muda sekarang kebanyakan menganggap pendidikan bukan hal penting yang harus diutamakan. Bagi mereka pendidikan merupakan formalitas semata. Seperti halnya yang dialami tokoh Qays dan Layla dalam novel Layla Majnun.
Kedua tokoh tersebut mengalami seperti halnya permasalahan anak muda. Mereka yang seharusnya sibuk dengan belajar di sekolah, terganggu hanya gara-gara memikirkan cinta. Qais yang semula pandai, gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi majnun alias gila, karena ia jatuh cinta pada seorang gadis di kelasnya yang bernama Layla. Peristiwa ini terjadi saat proses belajar-mengajar di kelas. Hal ini bisa dilihat dari kutipan novel.
Qays sendiri sejak pertamakali melihat pancaran cahaya keindahan itu, jiwanya langsung bergetar. Ia seperti merasakan bumi bergoncang dengan hebat, hingga merobohkan sendi-sendi keinginannya untuk menuntut ilmu. Qays belum pernah melihat keindahan paras Layla. Dan Qays benar-benar telah jatuh cinta pada Layla, sang mawar jelita. Keharuman cinta telah menghancukan ketenangan pikirannya. Gejolak gairah cinta dalam jiwa membuatnya kehilangan akal sehat, hingga lupa belajar dan lupa makan. Setiap detik, tiada yang melintas di angannya kecuali mata indah Layla. Tiada suara yang lebih merdu daripada suara Layla. (Layla Majnun; 9)

Begitupula yang dialami tokoh Layla. Ia juga mengalami gejolak jiwa seperti yang dialami Qays. Waktu belajarnya terganggu karena memikirkan cinta, semenjak ia melihat sosok Qays yang dikenal pandai berbicara di kelasnya. Hatinya terpana ketika pertama kali melihatnya.
Sebenarnya Layla juga tipe anak yang berpikir cerdas di dari pada teman-teman perempuan lainnya. Namun gara-gara daya cinta ia terhasut dan terjatuh dalam kenistaan cinta.
Qays tidaklah menggantang asap, bertepuk sebelah tangan. Layla mawar jelita di taman nirwana itu sudah tertarik pada Qays sejak pertamakali berjumpa. Gadis itu melihat pesona yang memabukkan pada diri Qays. Baginya Qays seperti gelas minuman, semakin dipandang semakin haus. Sama seperti Qays, kekaguman Layla pada pemuda impiannya itu hanya mampu diungkapkan melalui syair. (Layla Majnun; 10)

b. Orang Tua dan Cinta
Secara psikologis peran orang tua bagi anak yakni mengarahkan si anak kepada perilaku atau moralnya, baik dalam bersikap kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Selain itu orang tua juga memiliki kewajiban mendidik si anak untuk memanfaatkan waktunya antara belajar dan bermain. Dan pastinya orang tua memiliki kewenangan menjamin pendidikannya maupun menentukan masa depan anaknya nanti seperti apa.
Seperti halnya yang dilakukan orang tua Layla. Di usia belianya Layla di sekolahkan di salah satu sekolah favorit yang ada di negerinya. Ia diberi kebebasan untuk mengenyam masa pendidikannya. Tetapi di sisi lain orang tua Layla juga memberikan rambu-rambu kepada putrinya, agar tidak terjerumus pada hal-hal pantangan yang ada dalam keluarganya. Salah satunya orang tua Layla, melarang dirinya untuk jatuh cinta kepada lawan jenis. Karena masalah jodoh-menjodoh sudah ada pilihan tersendiri di dalam keluarganya. Mangkanya saat orang tua Layla mendengar kabar bahwa putrinya sedang jatuh hati kepada salah satu pemuda di sekolahnya ia sangat marah. Bahkan apa yang dilakukan putrinya ini baginya sama saja perbuatan ternoda terhadap harga diri keluarga dan dirinya. Hal ini dapat diketahui dari kutipan novel sebagai berikut.

Angin berhembus membawa kisah asmara pada keluarga si gadis. Kabar itu bagai arang hitam yang membuat Bani Qhatibiah tersinggung, harga diri mereka ternoda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan lebih baik kehilangan nyawa dari pada harus menanggung malu? Lebih baik memutus ruh cinta daripada terus-menerus menanggung aib. Itulah yang dipikirkan ayah Layla.(Layla Majnun;13-14)

Atas perbuatan putrinya, ayah Layla mengalami beban mental atau frustasi berat. Bahkan ia sudah pasrah atas perbuatan yang dilakukan putrinya. Dan baginya untuk mengatasi permasalahan keluarganya ini, ia memutuskan untuk mengurung Layla dalam kamarnya dan melarang putrinya keluar rumah, ataupun pergi ke sekolah.

Kemarahan yang meluap sering membuat orang khilaf dan tidak berpikir panjang. Demikian pula hawa amarah yang telah menguasai pikiran ayah Layla. Mereka tidak peduli lagi pada nasib anak gadisnya. Keputusannya telah bulat, tiada yang bisa membantah. Hanya ada satu cara untuk menghilangakan rasa malu, yaitu mengurung Layla di dalam rumah. Tidak boleh pergi ke sekolah ataupun berjumpa dengan kawan-kawannya. (Layla Majnun; 14)

Perasaan ayah Layla, berbeda dengan apa yang dirasakan ayah Qays setelah mengetahui anaknya jatuh cinta. Syed Omri selalu gelisah dan mencemaskan keadaan jiwa putra sematawayangnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerita di bawah ini.

Kepergian Qays membuat Syed Omri gelisah. Lelaki tua itu begitu mencemaskan nasib putranya. Pukulan kesedihan yang bertubi-tubi membuat lelaki itu tampak semakin tua, kerut merut di wajahnya tidak lagi bersinar, seperti sudah kehilangan semangat.(Layla Majnun; 41)

c. Larangan dan Memperkuat Tali Kasih antar Kedua Tokoh
Sekeras apapun batu karang di lautan, sebegitu mudah sepasang kekasih yang menjalin ikatan menghadangnya. Seperti halnya kekuatan cinta yang terjalin antara Qays dan Layla. Walaupun orang tua Layla menghadang percintaan mereka, tetapi ikatan batin yang sudah terjalin kuat di hati mereka tidak dapat begitu saja diruntuhkan. Semakin mereka dilarang bertemu, semakin pula kuat ikatan cinta mereka membalut dalam jiwa. Berikut kutipan novel yang mendukung.

Setelah Qays menyadari bahwa Layla dipingit orang tuanya, muncul rasa penyesalan karena tidak mampu menyimpan rapat rahasia mereka. Begitu juga Layla, di rumah pikirannya selalu membayangkan Qays. Mereka sama-sama mengalami kesengsaraan karena berpisah, mereka mengisi nasib yang menimpa dan menyisakkan dada. Ibarat bayi yang belum puas menetek di sus ibunya kemudian dipaksa untuk berpisah, demikian jiwa Qays. Ia laksana bunga kembang tak jadi. Jiwanya menjerit, memanggil nama Layla kekasih yang direnggut dari tanggannya. Mimpi-mimpi indah di malam hari kini berubah menjadi badai yang memporakporandakan kalbunya. Jiwanya terguncang, dan akal sehatnya melayang ke udara, mengembara mencari Layla. (Layla Majnun; 14)

Selain kutipan di atas, yang mendukung bahwa kekuatan cinta antara Qays dan Layla juga diperkuat dari cuplikan isi novel di bawah ini.
Tiba-tiba pandangan Qays beralih ke salah satu sudut rumah, di sana nampak bayang-bayang Layla. Bukan, bukan bayangan, tapi memang Layla. Kedua insane yang hatinya saling terikat, akan merasakan getaran jika kekasih hati mereka hadir.(Layla Majnun; 26)

d. Kegelisahan Qays dan Kegilaan Cinta
Rasa gelisah merupakan efek dari ketidak tenangan batin, pikiran dan jiwa seseorang atas adanya permasalahan yang mendera. Hal itu sama halnya dirasakan oleh tokoh Qays. Ia merasakan kegundahan jiwa dan pikirannya karena ia merindukan sang kekasih pujaan yang tidak hadir di sisinya. Qays mengalami frustasi berat dan rasa kerinduan yang mendalam. Hingga rasa membelunggu dalam dirinya, membuat ia tidak sadar bahwa kegeliaan akan merenggutnya.
Qays sudah tidak peduli lagi dengan kondisi fisik maupun rohaninya. Dalam pikirnya hanya satu yang terlintas, sosok Layla yang dinantikan hadir di sampingnya. Qays sudah termakan nafsu. Nafsu gara-gara cinta yang tidak tersampaikan. Membuat ia dianggap orang lain sudah gila.

Qays menjadi gelisah, tak sekejappun ia sanggup memejamkan mata. Jika malam datang, secara sembunyi-sembunyi Qays meninggalkan rumah, berjalan tak tentu arah, menerobos semak belukar, menuju padang belantara dengan langkah gontai. (Layla Majnun; 15)
Tetapi lebih banyak yang menganggap Qays telah hilang ingatan. Bila ia berjalan di kampung-kampung dengan bertelanjang dada, orang-orang akan memanggilnya dengan Majnun, si gila. Dan anak-anak kecil akan mengikuti langkahnya dari belakang sambil melempari batu. (Layla Majnun; 21)

Padahal Qays tersiksa karena takdir yang selalu memusuhinya. Sedangkan hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja sebutan majnun tak dapat ditepisnya

e. Cinta dan Kematian
Kasih sayang yang melahirkan cinta bisa berwujud dalam berbagai hal tapi satu yang pasti di dalam cinta membutuhkan kepedulian dan kesadaran, karena tanpa keduanya baik cinta maupun kasih sayang takkan perrnah ada artinya. Ituhalnya yang dialami Layla, hidupnya sekarang terasa hampa akan ketidak hadirnya sang kekasih. Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama.
Akhirnya, Layla menderita penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan hingga menggerogoti kesehatannya. Hingga ajal menjemputnya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya. Layla hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam. Berikut kutipan yang mendukung.

“Ibu! Waktuku telah tiba, engkau tidak perlu mencaciku lagi. karena setelah ini tidak ada lagi, yang aku sembunyikan. Walau mungkin sia-sia saja semua ini kukisahkan, karena langit telah berkenan mendengar doaku untuk mengembalikan aku kedalam keabadian.” (Layla Majnun; 171)
Ibu yang berduka itu menatap putrinya tanpa suara. Walau bibirnya berusaha untuk tersenyum, tetapi ia tetap khawatir saat melihat perubahan yang menakutkan. Begitu dalam kesedihan putrienya, sehingga dia menggigil jatuh tersungkur di atas ranjang, dan tidak akan pernah bangkit lagi. Benang kehidupannya telah putus! Nafas Layla yang semula mengalir satu persatu, tiba-tiba melemah, dan jantungnya tidak berdenyut lagi. kecantikan gadis itu tersimpan dalam jejak kematian yang bisu. Langit pun ikut menangis. (Layla Majnun; 172)

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Layla pun terdengar oleh Qays. Mendengar kabar itu,
ia pun langsung jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Layla. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Qays bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Layla di luar kota. Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Dan saat pusara Layla sudah terlihat di hadapannya, Qays jatuh tersungkur dan air mata mengalir membasahi tanah tempat dia terbaring. Seluruh tulang persendian Qays seperti terlepas, tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan. Ia hanya bisa merangkak mendekati pusara Layla. Lalu tangannya memeluk nisan erat-erat, seperti tidak ingin ada orang lain yang mengambil. Ia merintih, sambil memukul dan mencakar dadanya yang kurus, hingga darah mengucur menetes di nisan Layla. (Layla Majnun; 175)

Lalu Qays ketika tidak menemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, perlahan-lahan ia meletakkan kepalanya di atas kuburan Layla. Tanpa ada sebab dan akibat Qays menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dunia dalam keadaan tenang. Berikut kutipan cerita yang mendukung.

Semakin lama suara Qays semakin lemah. Sayap-sayap kematian telah mengajaknya terbang menemui Layla sang kekasih di alam keabadian. Gerbang kematian telah terbuka, dan mengajaknya pergi meninggalkan dunia fana. Kematian yang menjemput tidak meninggalkan bekas penderitaan. Wajah Qays terlihat seperti sedang tertidur. Kepalanya tergeletak di atas batu nisan, sedang tubuhnya seperti memeluk tanah perkuburan yang menyimpan jasad kekasihnya. (178)

Menurut cerita jasad Qays tetap berada di atas kuburan Layla selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Layla. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Qays yang masih segar seolah baru mati kemarin. Akhirnya ia pun dikubur disamping sang kekasih Layla. Walaupun dua kekasih ini tidak lagi hidup di dunia, tapi kini mereka dapat bersatu dalam keabadian cinta sejati.




C. KESIMPULAN
Kisah cinta Qays kepada Layla bukanlah seperti kisah cinta manusia biasa. Melainkan ada kisah cinta yang menarik yang membuat karya ini bertahan hingga berabad-abad. Kisah percintaan dua insan ini syarat dengan moral yang baik dan banyak nilai pelajaran yang bisa di ambil dari kisah ini. Kendati demikian pada akhirnya, pembaca di butakan oleh kisah cinta dua tokoh tersebut, hingga membuat salah satu tokoh mengalami gangguan kejiwaan atau gila, dan berakhir kematian.
Penderitaan yang dialami oleh kedua tokoh Qays dan Layla tersebut, sangat begitu menarik dianalisis dari kajian psikologi penokohan. Dapat disimpulkan dari analisis di atas bahwa gangguan kejiwaaan yang dialami kedua tokoh, mulai dari permasalahan buih-buih cinta tumbuh pada hati mereka berdua, hingga membuat mereka melupakan pendidikan; permasalahan ketidak setujuan orang tua Layla atas hubungan mereka berdua; gejolak jiwa akan frustasi, patah semangat, pesimis; penyebab gangguan kejiwaan kedua tokoh; hingga penyebab kematian kedua tokoh, hanya gara-gara cinta keduanya tidak tersampaikan. Semua itu bisa dijawab, bahwa penyebab gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Qays dan Layla hanya gara-gara faktor cinta terlarang. Dan semua itu sudah terbukti dengan jelas dari hasil analisa teks novel yang dilakukan peniliti.

D. DAFTAR RUJUKAN
Artikel Islami, Hakikat Cinta. (www.akbarkurniawan.web.id). Diakses pada tanggal 4 November 2010.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Ganjavi, Nizami. 2008. Layla dan Majnun. Surakarta: Babul Hikmah.

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME: KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME:
KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010






A. KAJIAN TEORI
1. Psikobudaya Pengarang
Kekayaan jiwa adalah pengalaman berharga yang menempa pengarang lebih dewasa. Atas dasar ini, orisinalitas karya akan lebih terjaga. Hal ini seperti telah dikemukakan oleh Suwardi Endraswara (Metode penilitian Psikologi Sastra. 2008:96), bahwa di dalam penilitian psikologi pengarang terdapat empat model kajian, dari memori psikologi pengarang, tipologi psikis pengarang, psikobudaya pengarang, dan kepribadian pengarang. Tetapi peniliti di sini akan mencoba melakukan penilitian dari aspek psikobudaya pengarang novel Dadaisme.
Psikobudaya pengarang adalah kondisi kehidupan pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Faktor budaya, pribadi, dan moral yang mengitari jiwa akan menjadi landasan pengarang di dalam menuangkan ide ke dalam bentuk cerita, baik berpengaruh dari segi internal maupun eksternalnya. Oleh sebab itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan hasil “cetak ulang” dari dalam jiwanya. Kebanyakan pengarang dalam menggambarkan proses kreatif pada dirinya mengakui bahwa menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu, sebagaimana dikemikakan oleh Sitor Situmorang (Eneste. 1984:3) bahwa ”Sajak lahir dan tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya…. Penciptaan sebuah sajak, dilakukan oleh seseorang dalam iklim budaya dan juga sastra”. Pernyataan ini memang belum secara langsung terkait dengan iklim psikologis. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa budaya pengarang akan membentuk kejiwaanya. Maka peneliti, perlu merunut budaya apa saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan.
Menurut Arieti (1976), pengarang sebagai makhluk yang hidup di dalam lingkungan masyarakat akan terpengaruh berbagai faktor sosio kultural yang creativogenic (menumbuhkan kreativitas). Faktor yang berpengaruh tersebut diantaranya;
 Faktor pertama tersedianya sarana atau prasarana budaya. Misalnya di Jakarta, adanya Taman Ismail Marzuki yang memungkinkan para seniman, budayawan, sastrawan, dan sebagainya bisa saling bertemu, berdiskusi, dan memaparkan karya-karya seni yang mereka hasilkan.
 Factor yang kedua adanya keterbukaan terhadap berbagai rangsangan kebudayaan, baik berskala nasional maupun internasional. Indonesia beruntung memiliki kekayaan dan keragaman budaya etnis, yang tentunya memperluas dan memperkaya wawasan dan pengalaman pengarang.
 Faktor yang ketiga timbulnya kemerdekaan (kebebasan) setelah masa tindasan atau pengekangan. Kondisi ini dapat menumbuhkan daya citra para pengarang.
 Faktor yang keempat ialah factor paparan (exposure) terhadap rangsangan yang berbeda-beda, bahkan saling kontras. Dengan memperoleh rangsangan baru dari berbagai budaya, seseorang meningkatkan kemungkinan diperolehnya “sintesis kreatif”. Yakni konsep kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari unsur atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya.
Di sini peniliti ingin melakukan studi kasus terhadap pengarang novel Dadaisme dengan menggunakan tinjauan psikologi sastra. Tepatnya peniliti menggunakan kajian psikologi pengarang dengan menggunakan pendekatan psikobudaya pengarang.Sehingga peniliti melakukan analisis psikobudaya pengarang novel Dadaisme ini, berlandaskan empat factor di atas.

2. Biografi Pengarang Novel Dadaisme
Dewi Sartika adalah pemenang I sayembara novel pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), melalui karyanya yang berjudul Dadaisme. Saat itu namanya mulai dikenal masyarakat atas prestasi yang diraihnya. Walaupun darah minang di keluarganya sangat kental, ia lahir di kota Cilegon pada tanggal 27 bulan Desember tahun 1980.
Dewi Sartika sudah aktif menulis sejak ia duduk di bangku SD. Bisa dibilang ia pertama kali memulai niatnya untuk benar-benar serius terjun ke dunia tulis-menulis ketika usia SMA. Hal ini terbukti cerpen pertamanya yang bertema remaja di muat di majalah sekolah dengan judul Kakekku Arjuna,dan menjadi pilihan favorit redaksi majalah.
Riwayat pendidikan Dewi Sartika, yakni ia lulusan dari SMPN 10 Bandung (angkatan 1995), dan melanjutkan di SMUN 7 Bandung (angkatan 1996), hingga ia melanjutkan kuliah dengan memilih Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai program pendidikannya di Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI Bandung (angkan 2000). Hingga ia menghasilkan beberapa novel Dadaisme, Natsuka, My Silly Enggagement, Numeric Uno, Dunia-Duniya dan novel yang terbaru berjudul Ranah Sembilan. Selain Dadaisme, karya Dewi Sartika yang pernah mendapat penghargaan yaitu Natsuko sebagai buku remaja terbaik IKAPI 2005, dan satu cerpennya masuk dalam antologi cerpen terbaik majalah Republika. Perempuan yang memiliki hobi membaca, menulis, makan, mendengarkan musik dan ngisengin adiknya ini, memiliki cita-cita sebagai seorang sutradara terkenal. Hal ini dirintisnya sejak usia dini dengan menulis skenario di salah satu TV swasta yang bertajuk The Coffee Bean Show. Di sela kesibukkannya, ia meluangkan waktunya untuk menyapa para penggemarnya yang tergabung (dewi.sartika@yahoo.com) dalam milis. (www.sembilan-publishing.com)

B. PEMBAHASAN
1. Cara Berpikir Pengarang Terhadap Karya dan Modernisasi
Banyak penikmat sastra terpukau, setelah membaca novel Dadaisme. Baik dari penikmat kalangan masyarakat biasa, ataupun sastrawan dan para kritikus sastra. Mereka tidak segan-segan mengatakan, bahwa Dadaisme ini novel luar biasa dan membawa pembaruhan tersendiri dikhasanah dunia sastra Indonesia. Hal ini terungkap dari pendapat ketua dewan juri sayembara novel DKJ tahun 2003, Prof. Budi Darma, memberikan catatan khusus untuk Dadaisme. Menurut novelis dan kritikus sastra Indonesia itu, kekacauan tokoh dan peristiwa, perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel ini pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini. Juga masa ketika masing-masing orang sibuk menghadapi masalah tanpa sempat mendalaminya.
Pendapat Prof. Budi Darma atas gaya tulisan dan tema yang diambil penulis novel Dadaisme, menunjukan bahwa penulis novel Dadaisme ini memiliki cara berpikir yang cerdas sehingga menghasilkan suatu karya yang menggugah realita kehidupan jaman sekarang. Bisa dibilang cara berpikir pengarang modern, hal ini nampak pada paragraph pembuka di halaman pertama.

Sebut saja kota ini sebagai Metropolis dan ada banyak alasan kenapa tidak pernah bisa disebutkan namanya sebuah kota yang bila disamakan layaknya kota-kota di belahan bumi, di manapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan layang membelah langit, mulusnya aspal yang berkilat disiram cahaya matahari.Tidak lupa lampu-lampu berkelip-kelip atau lebih mudah mengejanya: neon berwarna. (Dadaisme; 1)

Kutipan di atas merupakan alinea yang mengawali cerita. Metropolis yang tidak perlu dirujuk pada suatu ruang nyata, referensi yang jelas. Bila dilihat dari kode budaya, metropolis mengindikasikan wilayah rantau, nama yang tidak perlu merujuk ke suatu wilayah konkrit, tempat segala kegamangan dan ketidakpastian, harapan dan sekaligus kebebasan dapat diperoleh. Berarti dapat disimpulkan tokoh Nedena berada di wilayah rantau, dalam pengertian harfiah maupun filosofis. Pada paragaraf selanjutnya, pengarang mencoba memberikan gambaran umum kota metropolitan tersebut. Tetapi pengarang cara ganbaranya tidak mampu dipahami pembaca secara jelas, pengarang terlalu abstrak mengmbarkannya.

Seperti apa gambaran kota metropolis? Seperti seorang pelukis melukis gambar Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, ataupun lainnya. Ada banyak mobil entah mengapa benda padat berbentuk aneh itu dinamakan mobil? Bangunan-bangunan yang persegi empat memanjang ke atas, seakan hendak menarik langit dari peraduannya yang angkuh. (Dadaisme;1)

Dari kutipan di atas pembaca dipaksa mengikuti gambaran cerita yang membingungkan. Gambaran kota-kota besar disebutkan, walaupun sebenarnya tujuan pengarang ingin menyampaikan gambaran kota metropolitan itu seperti apa.
Selain itu pengarang juga memberikan cara berpikir modern, pada cerita tokoh Nedena, Bibi. Pengarang dalam memberikan solusi pada tokoh Nedena yang dicurigai guru di sekolahnya menderita gangguan kejiwaan. Guru memberikan menyarankan kepada Nedena dan Bibiknya, bahwa Nedena seharusnya dibawa ke psikiater. Bukan menyarankan ke dukun atau orang pintar seperti yang dilakukan orang-orang desa. Hal tersebut menunjukkan daya pikir masyarakat sekarang di era globalisasi.

“Saya pikir, sebaiknya Nedena dibawa ke psikolog saja. Saya memiliki kenalan di kota. Dia seorang psikolog ahli, dia bisa menangani masalah-masalah seperti ini.” Tawar Guru tersebut pada bibi Nedena. (Dadaisme; 3)

2. Pengarang dan Kebudayaan
Dewi Sartika lahir di Cilegon, tetapi darah Minangnya sangat melekat dalam diri dan keluarganya. Hal ini berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau. Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar belakang Dewi Sartika.
Dewi Sartika selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Ia bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik. Secara sosiologis dia dapat berada di mana saja, dan mampu beradaptasi dengan baik, tetapi mereka akan tetap mempertahankan ke Minangkabauannya secara ideologis. Terbukti di dalam isi novel ini ada beberapa percakapan antar tokoh yang disajikan pengarang dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Pengarang memanfaatkan bahasa ibunya tersebut tidak sedikit, ada 25 kali antar tokoh menggunakan bahasa Minang di dalam percakapannya.

“Wow! Rancanabana pengantin uni. Warnonyo aneh, bakilau dan suntingnyo gadang!” puji Issabella ketika Etek Is datang membawa sejumlah peralatan pengantin yang jadi.
“Etek indak mangarti. Yusna tu tak mau menjadi pengantin.” Sungut Yusna.
“Yo, Etek mengerti. Tapi Issabella kan indok tahu opo-opo. Janganlah tumpahkan kemarahanmu padonyo.” Nasehat Etek Is. (Dadaisme; 41)

Di dalam cerita Dadaisme pengarang juga mengambarkan bagaimana persiapan orang Minangkabau sebelum menyelenggarakan prosesi pernikahan sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka.

Rumah Datuk Malinda tampak ramai oleh para tetangga yang merapikan rumahnya. Hari sabtu besok ijab Kabul akan dilakukan dan pesta meriah akan dilangsungkan. Tulisan MOHON DOA RESTU dan SELAMAT DATANG sudah ditempel di beberapa temapt di rumah tersebut. Etek Is bangga akan pekerjaannya mengubah sudut ruang tamu menjadi tempat singgasana sang pengantin nanti. Tinggal tugasnya mendandani pengantin hingga secantik putri. (Dadaisme; 42)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakan sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat. Sehingga dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal, di sisi lain berhadapan dengan ideologi Minangkabau yang dipandang sakral. Bagi pengarang sendiri perantauan menjadi batu ujian membentuk diri menjadi pembentukan manusia Minangkabau sejati.
Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia. Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.

Sutan Bahri adalah seorang pengusaha Minang yang sukses di pulau Jawa. Usahanya bisa dihitung dari supermarket dan beberapa perhotelan yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Bukit Tinggi. Sutan Bahri adalah orang yang etguh memegang adat. Keinginannya untuk menikahkan putranya dengan gadis Minang pun menjatuhkan pilihan pada Yusna, putrid seorang datuk yang terkemuka bersuku Koto. Uang jemputan sudah ditetapkan, dan pakaian pengantin sudah dipesan. (Dadaisme; 41)

3. Kebebasan dan Daya Citra Pengarang
Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun, memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana kesehatan modern, pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau. Hal ini pengarang mencoba mengambarkan kebebasan globalisasi itu pada orang Minangkabau namapak pada cerita yang dialami anatar tokoh Yusna. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.
Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya, yang jelas-jelas di situ bahwa Sutan Bahri adalah orang yang sangat disegani di Minangkabau dan memegang adat istiadat nenek moyang yang sangat kuat ditentang oleh pengarang. Dalam cerita terbukti, Sutan Bahari berpikir melihat nilai ideal dalam relasi antar orang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah. Hal ini nampak saat prosesi pernikahan akan berlangsung, Yusna calon pengantin perempuan melarikan diri. Sehingga keluarga Yusna dan keluarga Rendi binggug akan ketiadaan pengantin perempuan. Tetapi adanya Issabella prosesi pernikahan tetap berlangsung, karena ia dengan terpaksa menyanggupi untuk menikah dengan Rendi. Adanya jalan keluar tersebut, Sutan Bahri menyanggupi tanpa pertimbangan yang matang dan tidak mempertahankan hal jodoh yang seperti diperhitungkan sebelumnya.

“Kau tahu, Nak. Mula-mula papa berharap kau menikah dengan Yusna. Tapi ketika papa melihat Isabella, dia tampak pantas untukmu. Kau tahu Nak, dia gadis yang kuat dan bias memberimu anak, berapa pun yang kau inginkan. Papa tidak sabar ingin menimang cucu…” suara Sutan Bahari terdengar gembira. Tawa riang anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki rapuhnya, memeluknya. Pipi bayi yang montok, ranum dengan tawa yang mengemaskan. Nafas kehidupan baru di dalam keluarganya. Dutan Bahari merindukan itu semua. (Dadaisme; 64)

4. Konsep Kreatif Pengarang dan Kombinasi Pikir yang Berbeda
Konsep kreatif pengarang nampak dari keseluruhan episode cerita. Pengarang membawa pembaca akan ketidak jelasan atau keruwetan alur di dalam setiap bagian episode di dalam ruang cerita yang sempit. Pembaca harus setia dan sabar membuntuti ke mana jalan cerita: dari Nedena ke Yossy, dari Kota Metropolis ke kampung (tidak disebut), ke kota lagi, ke Padang, ke Bandung, ke Jo dan Bim, ke Aleda, ke Magnos, demikian seterusnya sampai berakhir di ruang tempat Nedena gantung diri. Bisa saja semua tujuan kombinasi pengarang, yang menggambarkan keruwetan jaman modern di masa sekarang dan yang akan datang.
Proses kreatif yang ditampilkan Dewi Sartika dalam Dadaisme, bisa dibilang melampaui dari hal kewajaran seperti apa yang ditampilkan oleh pengarang lain. Seperti halnya gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena. Warna langit secara umum selalu digambarakan berwarna biru sesuai dengan warna kenyataanaya. Tetapi ketidak kewajaran dialami oleh tokoh Nedena. Ia tidak pernah memberi warna langit dengan warna biru, melainkan warna merah muda, kuning, ataupun ungu.

Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru. Tapi tidak selalu dengan lukisan anak itu. Dia tidak menggambarkan langit seperti warna angkuh itu.Dia menggambarkan langit dengan waran merah muda dan matahari berwarna oranye seperti jeruk. (Dadaisme; 6)
Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya. entah itu merah muda. Bahkan dia pernah mewarnai langit dengan warna kuning dan matahari berwarna hitam. (Dadaisme; 6)

Selain keanehan atau gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena, pengarang juga memberikan ketidakwajaran pada sosok malaikat yang seperti kebanyakan diyakini manusia di bumi. Secara harfiah malaikat adalah makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, bentuk dan keadaan malaikat pastilah sempurna. Tetapi itu semua berbeda dengan gambaran malaikat yang ditawarkan Dewi Sartika. Ia mencoba menggambarkan sosok malaikat pada tokoh Michail.

“Kaulihat kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku berwarna hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.” Jawab Michail kepada Nedena. (Dadaisme; 10)

Tidak hanya itu saja, cara berpikir Dewi Sartika terhadap kombinasi pikir dengan keilmuan juga jauh berbeda. Hal ini nampak dalam tokoh novel Dadaisme, di dalam mengartikan surga dan neraka itu seperti apa.
 Gamabaran Surga:
“Michail…. Surga itu langitnya berwarna apa? Apa berwarna biru?” tanya Nedena kepada Michail.
“Tidak. Langit surga berwarna perak. Terkadang berubah warna menjadi emas.” (Dadaisme; 5)
 Gambaran Neraka:
Tokoh Nedena menggambarkan neraka itu dengan tidak sesuatu hal buruk, panas api, dan banyak siksaan yang menyakitkan, melainkan sebaliknya.
Tapi, aku juga tidak pernah mengaggap neraka itu buruk! Memang semua orang bilang, neraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan. (Dadaisme; 262)


C. KESIMPULAN
Dewi Sartika bisa dibilang, memang baru hadir di dunia kesusastraan Indonesia. Ia anak muda yang memiliki kemauan tinggi, bercita-cita menjadi seorang sutradara professional. Walaupun kemampuannya dibidang perfiliman belum seberapa, tetapi ia memiliki kelebihan di bidang tulis menulis. Sehingga memungkinkan psikobudaya Dewi Sartika sangat menarik untuk diteliti, mulai dari kondisi kehidupan pengarang, aspek budaya pengarang, cara berpikir dan proses kreatif pengarang terhadap novel Dadaisme.
Dadaisme memunculkan pandangan dunia tragis. Pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi kemungkinan Dadaisme baru sebuah alternative. Belum ketahap menemukan cara, seperti rumah tampak jalan tak tahu karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh.

D. DAFTAR RUJUKAN
Antara Dunia Kebingungan dan Pencarian Pegangan. Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. www.cermin-sastra.blogspot.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Biografi Singkat Dewi Sartika. www.sembilan-publishing.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.