Jumat, 11 Juli 2014

MAKALAH FEMINISME: KONSTRUKSI KARAKTER BU GENI DALAM CERPEN “BU GENI DI BULAN DESEMBER” KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO


MAKALAH FEMINISME
KONSTRUKSI KARAKTER BU GENI DALAM CERPEN “BU GENI DI BULAN DESEMBER” KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO


Disusun oleh:

             Farhana Aulia (13/351623/PSA/7460)
             Moh. Badrus Solichin (13/354061/PSA/7568)
   Sri Sumaryani   (13/354553/PSA/7626)
   Arif Furqan (13/355886/PSA/7634)


PROGRAM STUDI ILMU SASTRA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
MEI 2014



Arswendo dan Karakter Wanita Jawa dalam Karya-karyanya
Arswendo Atmowiloto adalah pengarang yang produktif dan kontroversial. Ia dikenal sebagai sosok pengarang yang serba bisa dan nyentrik dalam melukiskan kegelisahannya terhadap realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari ke dalam karya satra. Arswendo dikenal sebagai pengarang best seller, baik dari karya fiksi maupun non-fiksinya. Karya-karya tersebut antara lain adalah: Sleko (1971), Sang Pemahat (1976), Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980), Serangan Fajar (1982) yang diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada Festival Film Indonesia (1982), Canting: sebuah roman keluarga (1986), Keluarga Cemara, dan Mengarang itu Gampang. Karyanya dimuat di media massa, antara lain; Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison, penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint. Atas kepiawainnya dalam menulis, ia pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa University, Amerika Serikat. Selain itu, ia sibuk menulis skenario cerita untuk sinetron dan film televisi pada rumah produksi yang dimilikinya sendiri, PT Atmochademas Persada. Predikat sebagai wartawan Kompas, wartawan koran Dharma Kandha dan Dharma Nyata, wartawan majalah humor Astaga, dan sebagai Pemimpin Redaksi majalah Hai dan Monitor pernah disandang Arswendo Atmowiloto.
Selain produktif, sisi lain dari Arswendo adalah kontroversial. Hal itu ia buktikan ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor (1986). Ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat mengenai tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW, yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum dan divonis hukuman lima tahun penjara karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP. Setelah itu, ia menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota.
Bahkan, selama Arswendo Atmowiloto menikmati masa tahananya, ia masih tetap bisa eksis di media masa melalui karyanya. Kenapa bisa sedemikian misterius? Arswendo Atmowiloto memanfaatkan jasa sipir, dan setiap ia menuliskan identitas pengarang dalam karyanya ia mengunakan nama yang berbeda-beda serta alamat palsu. Seperti halnya dalam cerita bersambungnya, Sudesi (Sukses dengan Satu Istri) yang dimuat harian Kompas, ia memakai nama “Sukmo Sasmito”. Dalam cerita Auk yang dimuat di Suara Pembaruan, ia memakai nama “Lani Biki”, kependekan dari Laki Bini Bini Laki. Nama-nama lain yang pernah dipakainya adalah “Said Saat” dan “B.M.D Harahap”.  
Arswendo Atmowiloto selalu menyuguhkan cerita dalam novel atau cerpennya dengan gaya yang sensasional, sering mengangkat kearifan lokal namun juga diselingi unsur tendensius yang mengkarakterisasi tokohnya. Tulisannya juga dikenal mengandung humor, walau terkadang absurd untuk dimaknai. Ia juga pernah mengutarakan sebuah pendapat yang dikecam oleh rekan-rekannya, yaitu opini bahwa “Sastra Jawa telah mati!”. Akan tetapi, dari asumsinya itu ia malah mampu menghasilkan beberapa karya fiksi yang menyuarakan tradisi Jawa beserta problematikannya dengan sebebas-bebasnya, termasuk penggambaran tokoh wanita Jawa yang nyentrik. Sebagai contoh, dalam cerpennya sering dijumpai penggambaran tokoh perempuan yang sudah mengalamai perubahan akibat lintas peradaban. Perempuan bukan lagi diposisikan seanggun mekarnya bunga mawar, akan tetapi, perempuan diharuskan berani mengelak dari zona anggunnya mawar itu, berani menampakkan daya tariknya seatraktif mungkin sesuai hasratnya. Tanpa mengindahkan siapa yang tergoda, karena menggoda itu tak lain dari apa yang disebut halusinasi semata dari sisi kecerdasan yang ada pada perempuan. Mawar memiliki duri sebagai tamengnya, perempuan memiliki kekuatan yang terselubung dalam dirinya. Ia pernah menciptakan beberapa karakter perempuan yang melegenda seperti Bu Bei serta Bu Geni sebagaimana yang terceritakan dalam cerpen Bu Geni di Bulan Desember yang termuat di harian Kompas, edisi Minggu 24 Mei 2012.
Bu Geni di Bulan Desember merupakan cerpen yang bercerita tentang seorang juru rias pengantin yang masih mempertahankan praktik tradisional dalam merias pengantin, terutama pengantin wanita. Keterampilan merias Bu Geni begitu tersohor di kalangan masyarakat.  Bahkan Bu Geni mampu mendandani wujud sang pengantin yang aslinya bermuka biasa saja menjadi sangat cantik sehingga sering menyebabkan orang tua pengantin perempuan itu pangling kemudian pingsan karena tidak yakin bahwa pengantin itu anaknya.
Sekilas, sosok Bu Geni digambarkan layaknya perempuan Jawa biasanya. Namun, ia diilustrasikan memiliki karakter yang kuat seperti berani, pantang menyerah, dan berpendirian teguh. Ia juga tidak mau diatur oleh orang lain. Bu Geni hanya mengenal bulan Desember, sehingga baginya semua bulan adalah Desember. Sampai peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus pun dianggap Bu Geni terjadi di bulan Desember. Ia juga tidak ragu dalam mengungkapkan pendapatnya. Ketika ia disuruh merias anak bupati, ia mengetahui bahwa calon mempelai perempuan hamil duluan. Ia dengan lantang dan enteng membicarakan hal tersebut, walaupun ia tahu pengantin itu anak seorang Bupati. Tidak ada orang yang berani menentangnya karena segan dan takut kalau nanti Bu Geni tidak mau ditanggap untuk merias pengantin lagi. Namun, bertolak belakang dengan sifat-sifatnya tadi, ia cenderung nrimo saat dikabarkan Pak Geni akan menikah lagi.  
Dari analisis perwatakan, Bu Geni termasuk tokoh bulat dan kompleks. Walau dalam cerita ia terilustrasikan mewujud perempuan Jawa yang masih berpegang kuat dengan tradisinya, namun ia memiliki beberapa sifat yang berbeda dengan wanita Jawa umumnya. Walaupun unik dan cenderung menyimpang, ia diterima dan justru disegani oleh masyarakat di lingkungannya. Kompleksitas karakter ini akan diteliti menggunakan teori feminisme Judith Butler tentang performance dan performativity di bab berikutnya untuk menjawab dua rumusan masalah, yaitu: 
Mengapa tokoh Bu Geni berbeda dari wanita Jawa pada umumnya? 
Performativity apa yang ditampilkan Bu Geni dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”?

Teori Performance dan Performativity Judith Butler 
Menurut Judith Butler, gender adalah sebuah aktivitas, lebih tepatnya rangkaian aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dalam sebuah kerangka aturan yang tidak rigid (Butler, 2002: 43-44). Peran masyarakat sangat berpengaruh karena masyarakatlah yang mengkonstruksi keberadaan gender yang diakui melalui aktivitas yang repetitif sampai kemudian menjadi nilai atau sesuatu yang dianggap alamiah. Hal ini senada dengan yang dikatakan Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, “One is not born but rather becomes a woman”. Gender adalah hasil performance individu yang dilakukan secara berulang-ulang sampai kemudian diakui. Ini berarti bahwa seseorang dapat memilih atribut gender mana yang sesuai dengannya, sama halnya ketika memilih sebuah pakaian sebelum berangkat ke kantor. Namun, pilihan tadi tidak serta merta bisa dilakukan secara bebas karena dalam menentukan sebuah pilihan, seorang individu sangat terpengaruh oleh konstruksi sosial yang ada di sekitarnya. Bukan berarti bahwa gender yang bisa dipilih oleh seorang individu hanya terdiri dari pilihan-pilihan yang umum berada di masyarakat namun lebih diartikan menjadi proses pengambilan pilihan yang dilakukan seorang individu sangat dipengaruhi oleh masyarakat. 
Seorang individu tidak bisa dikatakan memiliki identitas gender sebelum ia melakukan pilihan dengan cara menunjukkan performance sebagai aktualisasi dari pilihannya tersebut. Identitas adalah hasil dari performance dan tidak pernah ada sebelum adanya performance (Butler, 2002: 25). Performance harus dilakukan berulang-ulang sehingga membentuk performativity. Performativity bisa diartikan sebagai repetisi performance yang dilakukan oleh seorang individu secara publik (Butler, 2002: 178-179). Aksi ini adalah bentuk strategi yang dilakukan individu untuk meneguhkan gender apa yang menjadi pilihannya kepada masyarakat. Konsep performativity Butler ini dipengaruhi oleh konsep habitus milik Pierre Bourdieu yang diartikan sebagai sekumpulan nilai, kepercayaan, gaya hidup, atau ekspektasi dari suatu kelompok sosial tertentu yang dirumuskan melalui aktivitas dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. 
Identitas gender ditentukan oleh bahasa yang berarti bahwa tidak ada identitas gender yang mendahului bahasa. Dengan kata lain, subjek adalah hasil atau efek dari sebuah discourse (Butler, 2002: 33). Performance akan ada jika tubuh melakukan aktivitas berdasar orientasi tertentu. Karena keberadaan identitas gender berasal dari adanya discourse, sangat mungkin untuk merundingkan atau menegosiasikan kemungkinan gender lain dengan menggunakann alternatif discourse yang lain. 
Dalam mengkonstruksi identitas gender, proses repetisi menjadi mutlak karena gender bukan proses pilihan yang mudah. Pilihan itu harus diikuti oleh repetisi yang terus menerus untuk meneguhkan posisi gender yang dipilih. Terkadang individu harus menghadapi keadaan yang sangat opresif saat menjalankan repetisi tersebut. Prosesnya sering disebut sebagai proses yang subversive karena bagi beberapa individu, prosesnya sering bertentangan dengan norma hegemonik gender yang ada di masyarakat, misalnya anggapan bahwa heteroseksual adalah hal normal dan alamiah sehingga yang menyimpang dianggap tidak normal dan alamiah (Butler, 1993: 5).  
Karena gender bukan sekedar pilihan, pertanyaan yang muncul kemudian saat seseorang sudah menentukan gendernya adalah bagaimana cara untuk melakukan performativity (Butler, 2002: 189). Dalam melakukan performativity, hubungan seorang individu yang melakukan performance dengan individu dan lingkungan sekitarnya sangat resiprokal. Performativity adalah sebuah aksi yang menggunakan ruang publik dan individu sangat terpengaruh oleh lingkungannya dalam menentukan pilihan dan performancenya. 
Identitas gender yang selama ini terdapat dalam masyarakat hanya terbatas pada identitas yang heteroseksual. Gender yang berada di luar kategori tersebut dianggap tidak normal dan tidak alami. Karena gender yang ada selama ini dibentuk dari proses historis lewat performance yang dilakukan secara terus menerus, Butler berpendapat bahwa kategori gender tersebut bisa dilawan menggunakan alternatif performance yang juga dilakukan secara repetitif (Butler, 2002: 174). 
Seperti yang telah disebutkan di awal, gender tidak begitu saja ada bersamaan saat kita dilahirkan. Atribut gender yang melekat pada diri seseorang ditentukan oleh performance yang dilakukan. Seseorang bisa memilih gender yang sudah ditetapkan dalam masyarakat atau memilih gender lain di luar pilihan yang ada. Apapun pilihan yang diambil, performativity yang dilakukan oleh seorang individu tidak akan pernah bisa membawanya mencapai status yang komplit. Hal ini karena subjek tersebut adalah hasil proses sosial yang terus berubah.

Analisis Karakter Bu Geni dalam Hubungannya dengan Konstruksi Wanita dalam Masyarakat Patriarki Jawa
Gender ditentukan oleh serangkaian performa yang diulang secara terus menerus sehingga gender sesungguhnya adalah sebuah endapan. Dalam masyarakat, khususnya masyarakat patriarki, wanita identik dengan sosok ibu rumah tangga, seseorang yang pekerjaannya memasak, mengurusi anak, dan mengurusi segala kepentingan rumah. Anggapan seperti ini ada karena performa seperti itu terus dilakukan, diduplikasi, dalam jangka waktu yang sangat lama dan mengendap dengan kuat dalam konstruksi sosial. Ketika suatu hal dilakukan secara berulang ulang dalam jangka waktu yang cukup lama, maka secara tidak langsung terbentuk semacam mekanisme otomatis berkenaan dengan hal tersebut. Hal ini disebut performativity, yaitu serangkaian performance yang dilakukan secara berulang dan terus menerus.  Ketika ada seorang wanita yang berperilaku tidak seperti ‘wanita’ pada umumnya, maka yang pertama muncul dalam pandangan masyarakat adalah label ‘tidak normal’ karena masyarakat sendiri memiliki konsep wanita ‘normal’ sesuai yang tersirat dalam konstruksi sosial. 
Pada karakter Bu Geni di cerpen Arswendo, perilaku yang ia tampilkan secara berulang-ulang sangat berbeda dengan wanita, bahkan masyarakat pada umumnya. Dalam awalan cerpen diungkapkan bahwa bagi Bu Geni semua bulan adalah Desember, juga dalam menerima calon pengantin yang akan dirias, Bu Geni lebih suka menggunakan patokan hari, bukan tanggal. Berbeda sekali dengan apa yang ada pada masyarakat pada saat ini yang lebih suka menggunakan penanda waktu yang spesifik, hari, tanggal, bulan serta tahun. Bu Geni lebih suka dipesan dengan menyebutkan Jumat depan, atau Jumat dua Jumat lagi, bukan Jumat tanggal 17 misalnya. Jika tidak dipenuhi, maka bisa-bisa Bu Geni tidak akan datang untuk merias. Berbicara mengenai performance dan performativity, sebenarnya penggunaan tanggal tersebut merupakan salah satu konstruksi sosial yang dihasilkan dari kebiasaan yang diulang-ulang. Masyarakat Indonesia misalnya, menggunakan tanggal dan bulan Januari hingga Desember dalam penanggalannya, bukan penanggalan Jawa karena memang hal tersebut yang telah lama dipakai sebagai penanggalan nasional. Dan itulah yang membentuk masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu masyarakat yang sistem penanggalannya memakai penanggalan Eropa. Sedangkan Bu Geni yang memilih untuk menggunakan mode penanggalannya sendiri bisa dibilang telah sedikit menyimpang dari konstruksi tersebut. Hal ini merupakan salah satu bentuk performance dari karakter Bu Geni itu sendiri yang ia terapkan pada pelanggan atau calon pelanggannya. Namun itu hanyalah sekilas pembahasan dalam soal penanggalan. Di balik itu, ada hal-hal yang menyebabkan performance Bu Geni dalam penanggalan itu berhasil dan tetap diulang-ulang bahkan oleh orang lain. 
Sebagai wanita dan seorang istri, Bu Geni mampu hidup secara mandiri dan tidak tergantung pada nafkah suaminya. Dalam konstruksi yang tersebar di masyarakat, peran pria adalah sebagai pencari nafkah. Seorang wanita pada umumnya, terutama wanita Jawa, haruslah sopan, santun, dan halus dalam berbahasa. Berbeda dengan Bu Geni, performance dan performativitynya membentuk karakternya sendiri. Sehingga ciri khas seorang wanita Jawa tidak hadir seacara penuh dalam identitas dirinya. Kata wanita dalam bahasa Jawa berasal dari kata wadon yang berarti kawula atau abdi. Secara istilah, diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki. Masyarakat Jawa menganggap bahwa perempuan harus hidup di rumah dan dibentuk oleh masyarakat melalui sistem patriarki keluarganya. Bahkan dalam pemahaman masyarakat Jawa, tugas istri/wanita berkenaan dengan prinsip 3M; macak, masak, manak, yaitu berias, memasak, dan melahirkan anak dari suaminya. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan karakter Bu Geni dimana ia bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Bahkan profesinya sebagai juru rias yang handal mampu menjadi modal baginya untuk tidak terikat pada suaminya.  
Wacana di dalam cerpen ini menyebutkan beberapa hal (performance) yang dilakukan oleh Bu Geni secara terus menerus (performativity) dan kemudian menjadi identitasnya dalam masyarakat di sekitarnya. Menurut catatan rekor kerjanya, Bu Geni mampu mengubah perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga kecantikannya benar-benar keluar bahkan sampai orang tidak percaya bahwa itulah sang pengantin yang telah dirias karena kecantikannya membuatnya tidak dikenali lagi. Performance Bu Geni sebagai seorang juru rias telah begitu lama dilakukan berulang-ulang sehingga kemudian identitas tentang Bu Geni sebagai seorang juru rias yang luar biasa itu tersebar pada masyarakat. Bourdieu menyebut hal ini sebagai modal, dan pemanfaatan modal tersebut mampu membuat Bu Geni menjadi semacam karakter yang moncer dan berkuasa atas arena tertentu. Bahkan watak Bu Geni yang tidak selalu menyenangkan dan kadang kasar pun tidak menjadi masalah bagi pelanggannya karena riasan Bu Geni merupakan hal yang dianggap lebih berharga. Kata-kata kasar Bu Geni cukup setimpal dengan hasil riasannya. Cara berbicara Bu Geni yang demikian pun dilakukannya secara terus menerus dan kemudian melekat padanya.
Jika hal ini dipandang dari teori Judith Butler, bahwa gender itu dibentuk oleh aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang, maka dalam setiap sisi yang terkandung dalam wacana novel tersebut, Bu Geni mempunyai dua sisi gender, yaitu maskulin dan feminin. Maskulinitas tersebut juga hadir dalam diri Bu Geni, yang secara biologis adalah seorang wanita. Gender (maskulin dan feminin) yang ada pada masyarakat sesungguhnya bukanlah diwariskan sejak lahir secara biologis, namun bersifat sosial dan terus berproses. Identitas dalam diri seseorang tidak bisa begitu saja penuh, bahkan tidak akan pernah penuh dalam proses yang tidak pernah berhenti tersebut. 
Namun, di balik performance dan performativity tersebut, Bu Geni juga memiliki modal yang memberinya sebuah kekuatan simbolik. Bu Geni mempunyai sebuah modal yaitu performativitynya sebagai juru rias yang handal, seorang perias yang mampu menyulap seseorang, bahkan mayat, kerbau, atau pohon menjadi sedemikian cantiknya. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya pasti memilih Bu Geni untuk jadi juru rias pengantin, tidak ada salon ataupun perias lain yang bisa menyamai riasan Bu Geni. 
Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya…… banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. (Atmowiloto, 2013: 103)
Hal tersebut merupakan modal yang dihasilkan dari performance Bu Geni yang diulang terus menerus. Kemudian sosok Bu Geni pada akhirnya dilekatkan pada kemampuan meriasnya yang luar biasa. Performativity ini kemudian menjadi modal melalui pemahaman masyarakat atas kemampuan Bu Geni dalam merias. Modal sosial tersebut kemudian memberikannya sebuah kekuatan simbolik karena dalam profesinya, Bu Geni berhubungan dengan banyak orang. Kharisma sosok Bu Geni hadir melalui modalnya dalam konstruksi masyarakat dan kemudian memberikannya kekuatan simbolik. Dengan modalnya tersebut Bu Geni berhasil menciptakan arenanya sendiri dimana orang-orang yang berhubungan dengaanya harus mengikuti tata caranya. Bahkan lurah dan menteri patuh pada syarat-syarat dalam dunia Bu Geni. Disebutkan di dalam novel bahwa Bu Geni menolak permintaan menteri. 
Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan. (Atmowiloto, 2013: 104)
Bu Geni menolak untuk datang dan menganjurkan anak menteri tersebut datang ke rumahnya. Padahal dalam strata sosial, seorang menteri pastinya lebih dihargai dan hampir selalu dituruti kemauannya karena dianggap berkuasa. Namun pada kasus ini, Bu Geni berani mengambil keputusan untuk menolak datang ke rumah menteri, malahan sang anak yang ingin dirias dipersilakan datang ke rumah Bu Geni. Modal yang melekat dalam sosok Bu Geni sedemikian kuat pengaruhnya terhadap arena rias pengantin. Sehingga semua pengantin, dan bahkan anak menteri sekalipun hanya mau dirias oleh Bu Geni. Seperti yang diungkapkan Bordieu bahwa modal berperan dalam proses dominasi dengan melegitimasi praktik-praktik tertentu sebagai praktik yang unggul. Dalam kasus ini Bu Geni menerapkan aturan (yang otonom) dalam arena rias pengantin, sehingga siapapun yang ingin dirias oleh Bu Geni harus patuh dengan aturan-aturan tersebut. 
Kekuatan yang ada dalam sosok Bu Geni tidaklah ia dapatkan secara alamiah, melainkan melalui sebuah proses. Kekuatan tersebut kemudian menjadikannya seorang wanita yang mandiri, mempunyai kuasa, dan berani berbeda dengan wanita pada umumnya. Sebagai contoh yaitu pandangannya terhadap pernikahan. Dalam cerpen tersebut Bu Geni banyak menyatakan pendangannya terhadap pernikahan. Bu Geni melihat bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang pasti terjadi jika sudah tiba waktunya. Namun ia juga memandang pernikahan sebagai suatu hal yang aneh. 
Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan…. perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh. (Atmowiloto, 2013: 105)
Pandangan-pandangan Bu Geni mengenai perkawinan yang terekan dalam wacana cerpen ini mengisyaratkan bahwa persepsinya tentang perkawinan sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam ungkapan Bu Geni di atas, disebutkan bahwa keanehan perkawinan menurutnya berada pada ritual-ritual yang dianggap tidak perlu namun tetap dilakukan hanya karena sudah menjadi tradisi. Seperti memakai seragam, memperhitungkan hari baik, dan pidato serta wejangan pernikahan. Serupa dengan pemakaian penanggalan, dalam hal ini digambarkan bahwa Bu Geni cenderung keluar dari mitos-mitos kultural yang ada di masyarakat. Pandangan terhadap perkawinan tersebut terus diulang-ulang. Setiap kali ia merias ia selalu menyempatkan untuk bercerita atau berbicara tentang pandangan pribadinya. Hal ini kemudian menjadi sebuah performativity terhadap karakter Bu Geni. Di lain kesempatan ia menyebutkan. 
Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.” (Atmowiloto, 2013: 106)
Ketika ditanya mengapa dulu ia menikah dengan Pak Geni, ia dengan enteng menjawab, “Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain”. Tanggapan Bu Geni mengesankan seolah-olah perkawinan merupakan kodrat bagi manusia jika waktunya sudah tiba. Hal ini karena dalam masyarakat Jawa Bu Geni menyebutkan bahwa yang tidak menikah dan duda atau janda dianggap tidak wajar. Dalam kutipan dialog diatas Bu Geni menyatakan bahwa perkawinan bukanlah sebuah prestasi, bahkan ia menganggap perkawinan adalah kebodohan, karena wanita dalam pernikahan pada umumnya hanya berperan sebagai 3M; macak, masak, manak. Sedangkan dalam perceraian modal keberanian sangat diperlukan, karena menjadi seorang janda dalam masyarakat dikonstruksikan sebagai ketidakmampuan menjaga rumah tangga, atau ketidak mampuan melayani suami. Label yang melekat pada masyarakat seperti itulah yang harus dihadapi dalam perceraian, karena bagaimanapun label-label tersebut diciptakan dan dikonstruksi oleh masyarakat. Dalam arti bahwa sekuat apapun seorang melawan konstruksi, resiko yang harus dihadapi adalah menerima konstruksi dalam masyarakat itu. Hal ini sama seperti apa yang dilakukan Bu Geni. Ia menganggap institusi pernikahan tidak penting, tapi ia tidak bisa melepaskannya. 
Selain pandangan tentang pernikahan, pendapat Bu Geni tentang poligami juga tertulis di dalam cerpen ini. Menyikapi kabar tentang suaminya, Pak Geni yang akan kawin lagi, Bu Geni dengan enteng, santai, dan nyaris tanpa emosi menjawab 
Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya. Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.…. Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.” (Atmowiloto, 2013: 105-6)
Dalam adat Jawa yang kental, sangat biasa bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari dua istri. Bahkan kriteria lelaki Jawa yang ideal adalah salah satunya memiliki selir dan juga istri karena begitulah cara mereka menunjukkan pengaruh dan kuasa. Jadi bagi seorang istri, wajar saja kalau suaminya menikah lagi. Begitu pula dengan Bu Geni yang dengan enteng menanggapi kabar bahwa suaminya, Pak Geni akan menikah lagi. Terlebih Bu Geni ingin merias perempuan tersebut agar terlihat cantik seperti calon pengantin yang telah ia rias sebelumnya. Dalam dialog diatas, Bu Geni ingin bahwa setiap pernikahan menjadi kegembiraan, termasuk ketika calon istri muda Pak Geni menikah dengan suaminya sendiri. Sikap di atas membuktikan Bu Geni yang terpengaruh nilai Jawa tentang poligami dan menerima keputusan suaminya. Namun, sebenarnya ia membenci poligami. Dengan terang-terangan ia mengatakan “Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering” (Atmowiloto, 2013: 106). Kutipan ini membuktikan usaha Bu Geni untuk mengungkapkan penolakannya terhadap poligami. Ia memang tidak melakukan apa yang dikatakannya, namun masyarakat cukup tahu bahwa menolak keputusan suaminya, terlepas apakah Bu Geni memang mencintai suaminya atau tidak. 

Simbolisasi dalam Cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”
Narasi-narasi dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember” tentu saja tidak lepas dari simbol-simbol yang melekat dalam unsur cerita. Seperti nama tokoh utama yaitu Bu Geni, di mana dalam bahasa Jawa geni berarti api. Api bisa memiliki kekuatan yang positif ataupun destruktif. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dan juga masyarakat pada umumnya, api berperan sebagai sumber kehidupan, misalnya peran api dalam rumah tangga sebagai energi untuk memasak, memanaskan, sebagai penerangan, untuk menempa besi, dan lain lain. Namun api juga bisa menjadi hal yang sangat destruktif dan mendatangkan kehancuran, misalnya api yang terlalu besar dapat menimbulkan kebakaran, juga lahar gunung meletus yang identik dengan lahar yang mengandung api. Selain sifat api dalam alam, api juga sering digunakan untuk merepresentasikan sebagian dari sifat manusia, misalnya nafsu yang berapi-api, kemarahan, api asmara yaitu cinta yang menyala-nyala, atau birahi. Penggambaran ini mungkin sesuai dengan penggambaran karakter singkat tentang Bu Geni, yang digambarkan sebagai wanita yang menyala, yang mempunyai pancaran kharisma yang khas. Karakter Bu Geni juga digambarkan sebagai seorang perokok, dimana rokok identik dengan api, atau boleh dikatakan bahwa rokok adalah wanita yang berapi. Wanita seperti Bu Geni memiliki karakter dan antusiasme yang kuat untuk memiliki kehendak, untuk berjuang secara mandiri, terlebih lagi keberanian Bu Geni yang bisa dibilang menyala seperti api. Bahkan saat ia mengungkapkan ia sering punya pikiran untuk membunuh Pak Geni, hal tersebut membuktikan amarah wanita yang bisa begitu menyala sehingga ia bahkan mengucapkan bahwa ia sering ingin membunuh suaminya. 
Selain itu ada hal yang menarik mengenai bulan Desember yang menjadi bulan penanggalan favorit Bu Geni. Dalam perhitungan masyarakat Jawa, bulan Desember identik dengan musim hujan. Bahkan sempat ada istilah bahwa Desember berarti deres-derese sumber, yang berarti bulan dimana sumber air mengalir deras karena curah hujan yang tinggi. Bulan Desember bagi masyarakat Jawa merupakan bulan ketika air begitu melimpah karena hujan yang deras dan sering muncul. Dalam cerpen ini Bu Geni menganggap semua bulan adalah Desember. Bisa dikatakan bahwa ia ingin selalu berada dalam bulan yang penuh dengan siraman air, agar api dalam dirinya tidak berkobar terlalu besar dan tidak menjadi sebuah penghancur yang berbahaya. Hal ini bisa dikaitkan dengan kondisi perempuan pada hierarki patriari masyarakat Jawa. Sebagai seorang wanita Jawa yang tidak tunduk semerta-merta pada konstruksi sosial, tetap masih ada beberapa hal yang tetap tidak bisa ia rubah. Contohnya seperti kebiasaan lelaki Jawa untuk mempunyai istri lebih dari satu. 
Peran Arswendo dalam Mengkonstruksi Karakter Bu Geni
Dalam esainya yang berjudul “Reading As a Woman”, Jonathan Culler mengatakan bahwa untuk melakukan proses membaca sebagai perempuan, pembaca harus secara kontinu memberikan fokusnya pada situasi dan keadaan psikologi tokoh perempuan. Selain itu, pembaca harus jeli dalam melakukan investigasi terhadap sikap tokoh perempuan, image tokoh perempuan yang dibangun oleh pengarang, genre, serta periode dibuatnya karya tersebut (Culler, 1985: 46). 
Karakter Bu Geni yang diciptakan Arswendo merupakan tipikal perempuan Jawa yang juga biasa ia tampilkan dalam karya-karyanya yang lain. Bu Geni menjadi sedikit berbeda karena ia memiliki keberanian untuk berpikir dan bersikap agak menyimpang dari tradisi Jawa, walaupun tidak benar-benar meninggalkannya. Anehnya, penyimpangan tersebut tidak membuat masyarakat menjauhinya namun justru bertambah segan kepadanya. 
Posisi wanita dalam lingkungan patriarki Jawa yang masih sangat kental biasanya menempatkan wanita sebagai teman dan pendamping pria. Apabila terdapat laki-laki Jawa yang sukses, ada bayang-bayang wanita setia dan patuh di belakangnya. Namun dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”, karakter Bu Geni justru digambarkan sebagai wanita yang sukses di awal cerpen sebagai perias profesional. 
Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni. (Atmowiloto, 2013: 103)
Tidak ada bayang-bayang laki-laki di balik kesuksesannya. Perkembangan narasi pada akhirnya hanya menyebutkan satu nama yang tidak memberikan kontribusi dan jutsru diberitakan akan menikah lagi, yaitu suaminya. 
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Komentar Bu Geni yang nyaris tanpa emosi dan terkesan membiarkan dalam beberapa hal merepresentasikan hubungan yang dingin di antara keduanya. Tidak pernah diungkapkan apa alasan Pak Geni mau menikah lagi, senada dengan tidak diungkapkannya alasan mengapa Bu Geni bersikap masa bodoh dalam menaggapi berita tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa keduanya tidak memiliki sifat mutualisme dan hidup dengan pilihannya sendiri-sendiri. Kesuksesan Bu Geni juga bisa dikatakan adalah hasil usahanya pribadi tanpa embel-embel peran suaminya. 
Dalam merias, ia menggunakan semburan asap rokok sebagai salah satu ritual untuk semakin mempercantik wajah calon mempelai wanita. Rokok dalam budaya Jawa adalah atribut yang sangat identik dengan laki-laki. Laki-laki Jawa biasa digambarkan merokok dalam kegiatan apapun. Mereka merokok ketika santai, berkumpul dan bincang-bincang, serta waktu-waktu lainnya. Namun jarang digambarkan wanita Jawa yang merokok. Oleh karenanya, rokok menjadi simbol maskulinitas dan secara khusus menjadi keunikan Bu Geni.
Gabungan antara profesi perias pengantin yang termasuk dalam nilai feminin dan rokok sebagai representasi maskulinitas digabungkan oleh Arswendo dalam karakter Bu Geni dan membuatnya menjadi sangat berkarisma. Bukan berarti bahwa apabila Bu Geni hanya memiliki karakter feminin, maka ia akan cenderung menjadi lemah. Dalam kefemininitasnya sebagai penata rias berpengalaman, Arswendo melekatkan satu poin tambahan yang membuat sisi femininnya lebih kuat, yaitu tidak pernahnya Bu Geni gagal dalam merias. Kualitas ini membuat karakter yang dimiliki Bu Geni sudah kuat secara narasi, bahkan apabila tidak ditambah dengan atribut semburan rokoknya yang khas. 
Dalam kesusastraan Indonesia, karakter perempuan yang ditampilkan mengkonsumsi rokok umumnya dekat dengan karakter wanita kuat dan berpengaruh. Karakter Rara Mendut dalam novel Y.B. Mangunwijaya yang berjudul sama menggambarkan betapa berpengaruhnya wanita yang menghisap rokok. Namun, dalam karakter Bu Geni, tanpa rokok pun ia digambarkan sudah memiliki karakter kuat hanya dengan mengandalkan femininitasnya sebagai penata rias profesional yang tidak pernah tersaingi walaupun banyak perias meniru caranya. Keberadaan rokok membuat karakter Bu Geni menjadi berkharisma dan berbeda. 
Arswendo banyak menggunakan kombinasi antara kualitas maskulin dan feminine dalam karakter Bu Geni namun cenderung lebih menonjolkan kekuatan kualitas feminin sebagai yang lebih superior. Contoh lain yang dapat memberikan gambaran adalah suara Bu Geni yang keras dan omongannya yang ceplas ceplos. Kedua sifat ini tidak dekat dengan karakter wanita Jawa dan cenderung dimiliki oleh laki-laki. Sifat ini jugalah yang membuat banyak orang tidak mau berada di dekatnya jika memang ada perlu dengannya. “Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas.“ (Atmowiloto, 2013: 103). 
Kualitas ini dikontraskan dengan kebiasaan Bu Geni yang selalu harus memiliki kesempatan untuk bertemu dengan calon pengantin perempuan sebelum hari pernikahan. Apabila ia melihat wajah pengantin wanita muram, ia meminta orang tua pengantin untuk menunda pernikahan dan menunggu sampai calon mempelai tidak muram lagi. Kulitas kedua ini lebih dekat pada sifat feminin yang lembut karena menunjukkaan solidaritas dan perhatian pada sesama wanita. Akan tetapi, sifat seenaknya ini juga sering menyusahkan orang lain. 
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. (Atmowiloto, 2014: 104)
Akan tetapi, sekali lagi Arswendo menggambarkan bahwa walaupun sama-sama membuat jengkel, karakter feminin Bu Geni dapat mencegah terjadinya sebuah prahara, yaitu calon pengantin laki-laki selamat dari kecelakaan bus masuk jurang karena tanggal pernikahannya ditunda gara-gara permintaan Bu Geni.  
Culler menambahkan bahwa pembaca juga harus jeli menemukan struktur dalam novel yang membuat tokoh perempuan biasanya menjadi musuh atau pihak yang kalah (Culler, 1985: 52). Dalam hal ini, pembaca harus memeriksa hubungan tokoh perempuan dengan tokoh yang lain. Dalam hubungannya dengan tokoh lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi seperti bupati dan menteri koordinator, Bu Geni tidak segan untuk menunjukkan superioritasnya dengan bicara blak-blakan dan menyuruh orang yang memerlukan jasanya untuk bertandang ke rumahnya, bukan sebaliknya. 
Terlebih, kedua tokoh yang berstatus sosial lebih tinggi tersebut tidak pernah disebutkan namanya. Arswendo hanya mencantumkan pangkat sosialnya yang ternyata tidak berpengaruh apapun di mata Bu Geni. Saat menyebut kejadian di rumah Pak Bupati, Arswendo menggunakan kata “kalau tak salah” yang meninggalkan kesan bahwa peristiwa tersebut bukan peristiwa penting. Bahkan saat menyebut Menteri Koordinator, kata “mungkin” yang digunakan Arswendo cenderung berfungsi untuk mengindikasikan tidak pentingnya eksistensi tokoh tersebut. Cara ini digunakan Arswendo untuk membuat Bu Geni menjadi satu-satunya tokoh dalam cerpen yang memiliki identitas. Dengan identitas, ia menjadi satu-satunya fokus cerita dan tokoh yang penting. 
Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. (Atmowiloto, 2013: 104)
Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.” (Atmowiloto, 2013: 104)
Satu-satunya lelaki yang disebutkan namanya adalah Pak Geni, yang namanya dipergunakan oleh Bu Geni dalam mencapai ketenaranny. Ini berarti pengaruh Pak Geni masih terdapat pada Bu Geni. Namun, walaupun nama adalah bagian penting dalam cerpen ini, terlebih “Geni” adalah satu-satunya nama yang disebutkan, nama tersebut tenggelam dalam karakter kuat Bu Geni. Bahkan bila nama Geni ini tidak dipakai, kesan yang didapatkan pembaca relatif tidak berubah terhadap karakter Bu Geni. 
Secara umum, Arswendo menggunakan gabungan antara kualitas feminin dan maskulin untuk membuat tokoh Bu Geni menjadi kuat dengan lebih menonjolkan kekuatan kualitas feminin di atas maskulin. Hal ini dilakukan Arswendo untuk membangun karakter Bu Geni menjadi tokoh yang paling kuat dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember” karena memiliki karakter yang menyimpang dari karakter perempuan Jawa namun ia tampilkan secara terus-menerus sehingga penyimpangan tersebut menjadi trade mark dari popularitasnya. Popularitas inilah yang memberinya kekuatan. 
Dengan teknik ini, Arswendo meneguhkan dirinya sebagai seorang pengarang feminis yang menampilkan karakter wanita yang berani menjadi berbeda dan perbedaan tersebut akhirnya menjadi kekuatannya. 

Kesimpulan
Tokoh Bu Geni dalam cerpen berjudul “Bu Geni di Bulan Desember” karya Arswendo Atmowiloto adalah seorang perempuan Jawa yang berprofesi sebagai perias pengantin terkenal. Karakternya berbeda dari perempuan Jawa pada umumnya. Beberapa karakternya tersebut antara lain: tidak bergantung sama sekali pada suaminya, ceplas-ceplos, dan tidak setuju pada pernikahan dan poligami walaupun berstatus menikah dengan Pak Geni yang berniat poligami. Karakter yang berbeda ini menjadi kekuatan dan karisma Bu Geni karena karakter tersebut membuatnya menjadi terkenal dan disegani. 
Kepopuleran dan karisma Bu Geni ia dapatkan melalui performance yang selalu ia ulang dalam setiap kehadirannya. Keterampilannya merias semakin terkenal karena hasil riasannya tidak pernah sekalipun membuat orang kecewa. Pandangannya tentang pernikahan pun sering ia sampaikan pada beberapa kesempatan berbeda pada orang-orang di sekitarnya, baik yang bertanya maupun tidak. Performativity inilah yang membuat keberadaannya semakin disegani karena kombinasi dari keterampilannya yang teruji dan pandangan hidupnya yang berbeda. 
Dalam mengkonstruksi Bu Geni, Arswendo menggunakan kombinasi antara sifat feminin dan maskulin dalam karakter Bu Geni dengan lebih menonjolkan superioritas sifat feminin. Hal ini mengimplikasikan bahwa walaupun Bu Geni tidak bisa lepas seutuhnya dari konstruksi masyarakat Jawa, ia melakukan repetisi dalam menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya sehingga walaupun masyarakat sekitar menganggapnya bukan representasi wanita Jawa dalam konstruksi, ia justru malah disegani. Karakter perempuan Jawa yang berbeda banyak muncul dalam karya Arswendo dan meneguhkan dia sebagai penulis yang ingin menggambarkan wanita Jawa yang berbeda dalam proses pencarian jati diri yang tidak sama dengan konstruksi patriarki. 

Daftar Pustaka:
Atmowiloto, Arswendo. 2013. “Bu Geni di Bulan Desember” dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013: Laki-laki Pemanggul Goni. Jakarta: Kompas. 
Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter. New York: Routledge. 
Butler, Judith. 2002. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York dan London: Routledge. 
Culler, Jonathan. 1986. “Reading As a Woman” dalam On Deconstruction: Theory and Criticism After Structuralism. New York: Cornell University Press. 
Santosa, Yudi. 2012. Pierre Bordieu Analisis Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.
Sumber Elektronik:
Adam, Shendi. 2011. Filosofi 3M bagi Perempuan Jawa. http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/06/filosofi-3m-bagi-perempuan-jawa-353397.html. Diakses pada 4 April.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tokoh Sastra, Arswendo Atmowiloto. (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/). Diakses 2 Mei 2014.

MASKULINITAS DAN PHALLOGOSENTRISME DALAM CERPEN-CERPEN AYU UTAMI DAN DJENAR MAESA AYU

MASKULINITAS DAN PHALLOGOSENTRISME DALAM
CERPEN-CERPEN AYU UTAMI DAN DJENAR MAESA AYU


Achmad Fawaid


[Prodi S2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta]


Pendahuluan
Benarkah cerpen-cerpen pengarang perempuan, seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu (selanjutnya disebut pengarang “sastrawangi”), memperlihatkan kecenderungan feminisme sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak penelitian akhir-akhir ini? Tulisan ini sebenarnya berangkat dari pertanyaan tersebut, dan mencoba—alih-alih mengkritik—mencari cara lain untuk membaca cerpen-cerpen pengarang sastrawangi itu dari perspektif Lacanian, sekaligus menunjukkan bahwa apa yang kita sebut sebagai ‘maskulin’ dan ‘feminin’ itu, yang sering diasosiakan sebagai ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ itu adalah oposisi biner yang tidak lagi memadai untuk menjelaskan problem yang lebih mendasar: hasrat (desire). Benarkah maskulinitas itu selalu berkaitan dengan ‘laki-laki’? Apakah perempuan tidak memiliki sisi maskulinitas? Apa arti “maskulinitas” di sini? 
Akhir-akhir ini, ada semacam ‘trend’ dalam semesta riset kita belakangan untuk memosisikan para pengarang sastrawangi itu sebagai “pejuang feminis tanpa jargon.” Annisa Rahayuni (2013) menyebutkan bahwa semangat feminis dalam novel Saman Ayu Utami dan Nayla Djenar Maesa Ayu terlihat dari beberapa aspek: 1) pantang menyerah; 2) tidak bergantung pada orang tua; dan 3) berperilaku menyimpang.  Harry Aveling juga menyatakan bahwa Ayu Utami merupakan penulis wanita yang cutting edge setelah reformasi Indonesia. Indikatornya adalah karena si penulis sastrawangi itu mampu memperlihatkan—meminjam istilah Henk Meir—eksklusi realisme, reaksi terhadap keterbatasan akan kebebasan berekspresi sebelum reformasi. Seperti yang diakui Aveling, Saman berisi aspek penting, yakni kebebasan mengekspresikan kehendak individu, termasuk juga seksualitas wanita. Widyasari Listyowulan (2010) juga memperlihatkan kecenderung ‘feminis’ dalam trilogi novel Ayu Utami: Saman, Larung, dan Bilangan Fu. Kecenderungan itu bisa dilihat dari bagaimana Ayu Utami berhasil mengekspresikan kebebasan seksual, agama, dan bahasa sebagai bentuk perlawanan terhadap stabilitas dan tatanan Orde Baru. 
Kritik terhadap nuansa feministik dalam karya-karya pengarang sastrawangi itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks (2006). Katrin mempertanyakan sambutan media, penghargaan besar, dan tingginya rating penjualan karya-karya penulis perempuan itu, sehingga mereka sering dianggap hebat, menciptakan gaya penulisan baru, mendobrak tabu, dan sebagainya. Menurut Katrin, tidak ada usaha baru yang dilakukan oleh para penulis wanita tersebut untuk mengkritik pemerintah. Bahkan, ia meragukan alasan di balik reaksi pembaca terhadap karya Ayu Utami: Apakah itu karena adanya tema radikal baru yang terdapat di dalamnya? Atau karena karya sastra Indonesia sedang lapar akan tema-tema yang berkaitan dengan seks? Bagaimana dengan karya-karya klasik semacam Tjerita Njai Dasima-nya G.Francis dan Bumi Manusia-nya Pramoedya yang jelasjelas memperlihatkan sikap kritik terhadap pemerintah (kolonial) saat itu? 
Jika Katrin melihat tidak adanya ‘hal baru’ dalam karya pengarang sastrawangi itu, maka penelitian ini ingin memandang karya-karya mereka dari perspektif ‘maskulinitas’nya. Ini berarti bahwa penelitian ini memiliki risiko ganda: 1) dengan mengkritik feminisme dalam karya-karya sastrawangi, dan menganggap karya-karya itu beraliran ‘maskulin’, tesis ini—disadari atau tidak—menjebakkan dirinya pada esensialisasi, tetapi esensialisasi ini juga sekaligus adalah ‘bunuh diri’ karena 2) apa yang disebut ‘maskulin’ dan ‘feminin’ itu pada hakikatnya adalah oposisi gender yang tidak lagi memadai untuk memahami fungsi phallagosentrisme dalam karya-karya sastrawangi. 
Jadi, meski menggunakan konsep ‘maskulin’ untuk menandai karya-karya itu, riset ini pada saat yang sama juga ingin mendekonstruksi konsep tersebut, karena maskulinitas yang disebut di sini ternyata tidak hanya merujuk pada kekuasaan ‘laki-laki’ (karena ada banyak konsep “maskulin”—masculinities), melainkan pada hasrat phallic, fungsi phallogosentris yang dimiliki tidak hanya oleh laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Jika maskulin diandaikan sebagai hasrat, maka feminin adalah objek hasrat itu sendiri, sebuah objek yang tak pernah merasa dipuaskan, namun terus dipaksa secara tak sadar untuk tunduk dan berada di bawah ‘kontrol’ maskulin.
Kerangka Konseptual
Untuk mendukung tesis ini, saya menggunakan dua pendekatan: hasrat phallic-nya Lacan dan masculinities-nya R. W. Collin. Kontribusi Lacan terhadap riset ini berkaitan dengan hasrat (desire). Lacan menyebut: “Man’s desire is the desire of the Other.” Perlu diingat bahwa meskipun Lacan di sini menggunakan kata ‘man’ yang terjemahannya merukuk pada laki-laki, itu karena konsepnya ini dimaksudkan untuk mengkritik konsep pennis-nya Freud; di sini, Lacan lebih menggunakan konsep  phallus. Pada hakikatnya, menurut Zizek, hasrat phallic itu tidak hanya dimiliki oleh laki-laki, melainkan oleh subjek apapun yang berkehendak pada objek hasrat. Jadi, hasrat phallic merupakan indikator hasrat the Other. 
Apa hasrat bagi Lacan? Hasrat ini bisa dipahami dalam dua hal: hasrat terhadap rekognisi (desire for recognition) dan hasrat terhadap apa yang dipercayai sebagai hasrat dari orang lain (desire for what the other desires). Pertama-tama, subjek hasrat berkehendak untuk diakui, tetapi pengakuan ini diyakini oleh subjek tersebut bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari hasrat orang lain. Kita masih ingat misalnya bagaimana relasi Master dan Histeris-nya Lacan. Master berhasrat untuk diakui oleh Histeris, namun Master meyakini bahwa pengakuan itu bukanlah kebutuhannya sendiri, melainkan kebutuhan si Histeris yang berhasrat untuk diakui. 
Selanjutnya, apa yang dimaksud the Other bagi Lacan? Yang-lain bagi Lacan juga bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, yang-lain sebagai orang lain, semblance, person, counterpart. Kedua, Yang-Lain—dengan “L” kapital, sebagai yang-sepenuhnya-lain (the wholly other), kuasa virtual yang  kepadanya kita percaya bahwa ia ada, namun kita tak pernah tahu bentuknya, hasrat yang diinginkannya. Kita biasa menyebut the Other yang kedua ini sebagai The Big Other, yang merujuk pada agama, negara, kebebasan, Tuhan, dan sebagainya. 
Nah, tepat ketika subjek berhasrat pada the other itulah, phallus itu bekerja. Berbeda dengan Freud yang percaya bahwa phallus adalah penanda “yang lebih” pada genital laki-laki, yang berarti menunjukkan “yang-kurang” bagi perempuan, sesuatu yang tak dimiliki perempuan, maka Lacan menganggap phallus sebagai penanda objek hasrat (a signifier of the object of desire). Penanda ini menghubungkan dua ruang yang berbeda: ruang yang-Riil, sang Ayah, dan ruang yang-Imajiner, sang Ibu. Ketika sang anak memperkosa ibunya, ia menganggap bahwa ia bisa menggapai kekuasaan yang-Riil, sang ayah, tetapi kita tahu bahwa yang-Riil itu tak pernah bisa dicapai. Ibu adalah yang-imajiner, yang melalui pemerkosaan-melalui penanda/yang-simbolik-melalui hasrat phallic, ia hendak mencapai yang-Riil. 
Keterbelahan subjek terjadi ketika ia tidak bisa lepas dari Yang-Riil di satu sisi, namun untuk mencapai yang-Riil, ia mau tidak mau harus menggunakan Yang-Simbolik di sisi lain, sehingga yang dicapai oleh subjek bukanlah Yang-Riil, melainkan pada akhirnya Yang-Imajiner. Pada saat inilah momen castration, momen yang menandai tertolaknya hasrat phallic, terhadap jouissance akan Yang-Riil, the Other, itu terjadi. Momen ini memiliki struktur ganda: di satu sisi menghubungkan “yang-lebih” dari phallus dan “yang kurang” dari subjek feminin, namun di sisi lain ia juga memisahkan keduanya dalam keterbelahan terus menerus. Cara kerja dari konsep-konsep Lacan ini bisa ditunjukkan pada gambar di bawah ini: 

Keterangan:
Imaginary = Yang-Imajiner
Real     = Yang-Riil, The Big Other (dengan “O” besar)
Symbolic = Yang-Simbolik
S (A) = Subjek
Semblance (a) = counterpart, the other, (dengan “o” kecil), subjek yang lain
true = yang terjadi dalam kenyataan
reality (o) = realitas yang tak tergapai
J = jouissance, objet petit a, objek hasrat, hasrat phallic

Akan tetapi, konsep phallus yang digunakan Lacan mendapat banyak kritik dari kaum feminis, utamanya Judith Butler. Menurut Butler, penggunaan Freud dan Lacan terhadap kata-kata pennis dan phallus justru memperkuat naturalisasi simbolik terhadap tubuh laki-laki. Meskipun phallus tidak identik dengan pennis, namun konsep phallus tetap menggunakan penis sebagai instrumen dan tanda naturalnya. Dalam Gender Trouble (1990), Butler menjelaskan:

The law requires conformity to its own notion of 'nature'. It gains its legitimacy through the binary and asymmetrical naturalization of bodies in which the phallus, though clearly not identical to the penis, deploys the penis as its naturalized instrument and sign.

Dalam Bodies that Matter (1993), Butler lebih jauh membahas kemungkinan bagi phallus dalam diskusinya tentang phallus lesbian. Ini menunjukkan bahwa phallus itu tidak hanya dimiliki oleh lelaki terhadap perempuan, tetapi juga oleh perempuan terhadap perempuan, bahkan mungkin oleh perempuan terhadap laki-laki itu sendiri (sebagaimana dalam banyak kasus pemerkosaan perempuan terhadap laki-laki di Afrika).  
Kritik Butler ini—dalam pandangan R. W. Connel—memosisikan Freud sebagai psikoanalis yang menggunakan strategi esensialis untuk mendefinisikan maskulin sebagai activity dan feminin sebagai passivity, sebuah definisi yang arbitrer dan tentu saja berisiko. Alih-alih mendefinisikan maskulin dengan satu konsep rigid, Connel justru menawarkan empat strategi yang bisa digunakan untuk mendefinisikan masculinities (1995). Empat strategi itu antara lain: 
Definisi esensialis. Pendekatan yang membatasi makna maskulin dan mengasosiasikannya secara langsung hanya pada laki-laki. Misalnya, Freud mengasosiasikan maskulinitas dengan activity dan feminitas dengan passivity. 
Definisi positivis. Pendekatan yang mendefinisikan berdasarkan “what men actually are.” Pendekatan ini secara langsung mengesampingkan para wanita yang berperilaku seperti “maskulin”, atau laki-laki yang berperilaku seperti “feminin”. Dalam pendekatan ini, wanita dan laki-laki sudah punya ciri-ciri rigid yang tidak bisa disatukan atau dipraktikkan antarkeduanya.
Definisi normatif. Pendekatan yang mendefinisikan laki-laki berdasarkan “what men ought to be.” Pendekatan ini seringkali digunakan dalam analisis media untuk menjelaskan laki-laki menurut asumsi-asumsi “kultural.”
Definisi semiotik. Pendekatan yang mendefinisikan maskulinitas “sebagai ‘non-feminity’,” yang di dalamnya perbedaan simbolik dalam peran laki-laki dan perempuan saling dipertentangkan. Pendekatan ini memosisikan maskulin sebagai master signifier, sebagai phallus, sementara feminitas sebagai lack. 
Tepat pada titik inilah, kontribusi Connel terlihat bagi riset ini. Definisi terakhir tentang maskulin memperlihatkan bahwa apa yang kita anggap sebagai masculinity itu ternyata tidak hanya berkaitan dengan sosok laki-laki, tapi juga master-signifier. Ringkasnya—menganut konsepsi Foucault—relasi gender dalam berbagai institusi dan perjuangan sosial pada hakikatnya dikontrol oleh kekuasaan. Jadi, ada hubungan erat antara maskulinitas dan kekuasaan, karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Ratele (2001), kaitan utama kekuasaan sosial umumnya ditentukan oleh gender, kelas, dan maskulinitas heteroseksual. 
Sebagaimana Foucault, Connel juga meyakini bahwa power is everywhere. Relasi kekuasaan, menurut Foucault, bersifat “intensional dan nonsubjektif” (1978) dan rasionalitas kekuasaan seringkali ditandai oleh “taktik-taktik” tertentu yang saling berkaitan dan sering diasumsikan sebagai norma. Connel (1987) menyebut taktik semacam ini sebagai “imperatives” di luar ‘sekadar’ relasi antara kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan. 
Nah, tulisan ini sebenarnya berada dalam posisi untuk menggabungkan keduanya dalam membaca cerpen Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Mungkin benar yang dikatakan oleh kaum feminis  bahwa Lacan masih menggunakan konsep-konsep patrialkal seperti phallus, tetapi konsep ini sebenarnya digunakan Lacan sebagai analogi semata untuk mengkritik konsep pennis-nya Freud. Lagi pula—jika kita membaca lebih jauh—konsep phallus pada hakikatnya tidak semata-mata berkaitan dengan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih berkaitan dengan fungsi; bagaimana hasrat itu berfungsi dalam subjek, dan hasrat ini mengandaikan sejenis kelebihan laten atas “kekurangan” dalam genital feminin yang bisa dirujuk pada subjek apapun, termasuk laki-laki itu sendiri. Konsep mengenai hasrat inilah yang tidak dimiliki oleh kaum feminis. Kaum feminis modern pada umumnya tidak menyadari bahwa di balik perjuangan mereka terhadap perempuan, ada The Big Other yang mengontrol mereka. The Big Other itu adalah Kebebasan, dan atas nama kebebasan, subjek perempuan mau tidak mau harus menciptakan the other lain, yakni “laki-laki”, sebagai objeknya, untuk memenuhi hasrat phallic-nya dalam mencapai Yang-Riil itu, di bawah bayang-bayang The Big Other yang sebenarnya ilusif. 
Saya lebih suka menyebut ini sebagai phallogosentris, bahwa ada semacam hasrat phallic dalam setiap subjek, entah itu wanita maupun laki-laki, dan hasrat tersebut berfungsi sejauh ia mampu memberikan jaminan reproduksi kenikmatan seksual bagi fungsi sekunder kepada genital feminin sebagai organ yang tidak dapat memuaskan dirinya. Inilah konsepsi Lacan yang akan digunakan dalam tulisan ini. Namun, konsepsi ini memiliki kelemahannya sendiri karena phallus itu sendiri juga bisa dimiliki oleh perempuan lesbi atau perempuan yang memperkosa laki-laki. Inilah yang menjadi dasar konsepsi kaum feminis, termasuk Judith Butler dan Collen, yang akan digunakan pula dalam tulisan ini. Itu artinya, baik konsep Lacan tentang phallus maupun konsep Collen tentang master signifier tidak bisa dipisahkan untuk menjelaskan bagaimana maskulinitas dan phallogosentris itu bekerja. Jadi, singkatnya, phallogosentrisme maskulin itu berkaitan soal fungsi hasrat, bukan sekadar jenis kelamin. 

Phallogosentrisme dalam Cerpen “Terbang” Ayu Utami
Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Ari, punya anak dua dan suaminya bernama Jati. Cerita ini bercerita tentang Ari yang pergi naik pesawat tanpa mau ditemani oleh suami. Bahkan, ia tidak mau dibelikan tiket oleh suaminya. Jika sampai dibelikan tiket, ia akan membatalkan dan membeli tiket sendiri. Ia menyebut dirinya “realistis.” Dalam perjalanannya di pesawat, ia bertemu dengan seorang pria yang pernah bekerja sebagai koki, sebagai fotografer di Indonesia Timur. Dalam pesawat itu, terjadilah perbincangan di antara keduanya. Sebagaimana karakter narasi Ayu Utami, selalu ada adegan yang—diyakini banyak orang—memancing hasrat. Misalnya, saat tokoh Ari mendambakan lelaki yang ditemuinya di pesawat itu untuk menemaninya terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali… sepotong jiwa yang dibawa Jati. 
Tetapi, alih-alih berfokus pada adegan tersebut, kita bisa melihat bagaimana narasi yang dibangun oleh Utami dalam cerpennya itu memperlihatkan kecenderungan hasrat phallic seorang wanita (Ari) terhadap laki-laki. Bagaimana hasrat phallic itu bekerja? Dan mengapa Ari bisa diasumsikan sebagai maskulin? 

Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.

Ari berposisi sebagai suara narator, mewakili Ayu Utami yang “pemberontak.” Apa alasan Ari menolak untuk terbang bersama Jati, suaminya? Jika merujuk pada cerpen itu, alasannya jelas: “agar anak kita tidak jadi yatim piatu.” Tetapi, alasan mengenai “agar anak mereka tidak jadi yatim piatu” adalah momen rekognisi yang tidak ingin diakui oleh subjek. Ia menutupi hasratnya untuk “berkuasa atas suami” dengan mencari alasan yang lain. Hasrat phallic Ari terletak ketika ia menyimbolisasikan ‘kebebasan subjektifnya’ itu dengan alasan yang lain. “Kebebasan” yang ia dambakan sebagai Yang-Riil itu tereduksi—dan terbatas, yang dengan demikian, tidak benar-benar menjadi kebebasan—menjadi sekadar ‘agar anaknya tidak menjadi yatim piatu.’ Pada akhirnya, Kebebasan sebagai Yang-Riil, setelah direduksi oleh Yang-Simbolik (agar anaknya tidak menjadi yatim piatu), pada akhirnya menjadi sekadar imajinasi (Yang-Imajiner). 
Kebebasan, sebagai Yang-Riil bagi subjek, pada akhirnya menjadi Yang-Imajiner, karena subjek di sini tidak bisa lepas dari Yang-Simbolik. Yang-Simbolik dari cerpen “Terbang” tidak hanya ditandai oleh narasi tentang “agar anak kita tidak jadi yatim piatu,” tetapi juga pada “tidak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan!”, “aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak”, “keturunan purba yang bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol” seperti lelaki yang ditemuinya di pesawat, “lelaki yang tersenyum tulus seperti hewan”, dan sebagainya. 
Semua ini adalah narasi-narasi Yang-Simbolik, yang menandai momen kastrasi (castration) keterputusan hasrat, karena subjek tidak mampu mencapai Yang-Riil. Yang akhirnya ia capai adalah Yang-Imajiner, pantulan dari Yang-Riil, yang ditandai oleh sesuatu yang berasal dari luar dirinya sendiri, dari Yang-Simbolik. Hasrat phallic ini memosisikan narator, sebagai subjek, tengah berada dalam “keterbelahan”. Di satu sisi, ia berhasrat untuk diakui (desire for recognition) sebagai orang yang “realistis”, orang yang mendamba terhadap Kebebasan sebagai the Big Other, namun ia meyakini—dengan cara menutup-nutupinya—bahwa hasrat ini adalah hasrat the other, hasrat si suami atau laki-laki yang dianggap hendak menguasainya. Namun, karena Ari sedang dilanda jouissance, yang menikmati kekuasaannya atas suami, namun ia tersiksa karena menyadari bahwa itu semua tak cukup, maka ia pun mencari objek yang lain, objek yang menjamin hasrat phallicnya tetap bekerja, dan objek itu adalah lelaki yang ditemuinya di pesawat, yang diyakini bisa membawa “sepotong jiwanya yang telah pergi dibawa Jati, suaminya.”

Phallogosentrisme dalam Cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” Dejenar Maesa Ayu
Cerpen ini pada hakikatnya menampilkan satu suara narator, namun dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Ada empat epiCerpensode utama dengan narasi yang sama, namun sudut pandang yang berbeda, ditambah dengan satu episode terakhir yang bisa dikatakan sebagai ‘penutup.’ Pada masing-masing episode ini, narator terkadang memiliki sudut pandang orang pertama tunggal (“Aku” sebagai tokoh utama, “Aku” sebagai tokoh tambahan), sudut pandang orang pertama jamak, sudut pandang orang kedua, sudut pandang orang ketiga tunggal (yang mahatahu, yang terbatas), dan sudut pandang orang ketiga jamak. Keempat episode ini pada dasarnya menceritakan tentang perkawinan dan bagaimana status perkawinan itu bisa rusak, bisa bertahan, melalui aktivitas seksual kelamin. 
Dalam konteks riset ini, narator juga menunjukkan hasrat phallic melalui berbagai sudut pandangnya. Kita bisa melihat ini dalam salah satu cuplikan adegannya. 

“… Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan?”

“… Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri?” Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu terbuang hanya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya dapat bergumam, saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.

Titik klimaks dari hasrat phallic si tokoh wanita terjadi ketika ia merasa perlu melakukan pemberontakan terhadap suaminya. Sama seperti “Terbang”nya Ayu Utami, MJK juga memperlihatkan bagaimana tokoh Saya sebagai subjek berada dalam momen castration ketika ia tidak mampu mencapai hasrat phallic, hasrat jouissance, objet petit a, objek hasrat itu sendiri. Apa yang membuat hasrat phallic si subjek ini terputus? Hasratnya terputus ketika ia hendak mendefinisikan Kebahagiaan sebagai Yang-Riil dengan “tidak ingin membuang waktu hanya untuk urusan gombal-gombalan.”
Subjek berhasrat untuk diakui (desire for recognition) sebagai orang yang “cantik”, orang yang “bahagia”, yang berarti bahwa Kecantikan dan Kebahagiaan merupakan The Big Other baginya, Yang-Riil. Akan tetapi, ia secara tak sadar menutupi Kecantikan dan Kebahagiaan ini dengan meyakininya sebagai hasrat orang-lain (the other), hasrat laki-laki pada umumnya yang menginginkan dirinya “Cantik” dan “Bahagia.” Setiap kali ia menyatakan cantik, ia menyandingkannya dengan “kemapanan” laki-laki; setiap kali ia menyatakan bahagia, ia menyandingkannya dengan “kegombalan” laki-laki. Artinya, Kebahagiaan dan Kecantikan, sebagai Yang-Riil, telah tereduksi menjadi tak lebih dari pantulannya semata (Yang-Imajiner), karena subjek tak bisa lepas dari Yang-Simbolik, dari upayanya untuk mensimbolisasikannya bersama dengan kebutuhannya terhadap laki-laki sebagai counterpart. 
Keterbelahan tokoh Saya, dalam cerpen ini, terjadi saat ia di satu sisi memiliki hasrat phallic terhadap Yang-Riil, sementara di sisi lain ia tidak bisa lepas dari Yang-Simbolik, dari batasan-batasan simbolik yang ia buat sendiri, sehingga apa yang ia  bayangkan tentang Yang-Riil pada akhirnya tak lebih sebagai Yang-Imajiner. Kecantikan dan Kebahagiaan hanya terjadi—secara terbatas—justru ketika subjek tidak bisa lepas dari simbolisasinya akan yang-lain, akan “kemapanan” dan “kegombalan” laki-laki. Momen keterputusan hasrat phallic inilah yang disebut Lacan sebagai momen castration. 

Phallogosentrisme dalam Cerpen “Menyusu Ayah” Djenar Maesa Ayu
Cerpen ini mungkin adalah yang paling kentara menunjukkan bagaimana hasrat phallic itu bekerja. Tokoh Nayla yang sejak kecil menyusu penis ayahnya tidak begitu mempersoalkan jika ia kemudian juga menyusu penis teman-teman ayahnya. Tetapi, ketika salah satu teman ayahnya mulai meraba dadanya dan kemaluannya, ia langsung merasa seakan integritas dirinya diperkosa. 

Pada suatu hari ketika saya sedang asyik menyusu salah satu penis teman ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di dalam telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati….

Ada phallus dalam tokoh Saya, bersama saya. Siapapun yang memiliki phallus ini, maka ia memiliki kesempatan untuk menakhtakan diri di titik yang, kata Lacan, dicemburui oleh hasrat feminin, titik yang satu-satunya nama yang layak baginya adalah “kematian patriarki,” dan feminitas itu hanya tepat bagi laki-laki. Kutipan di atas memperlihat kita struktur ganda dari phallus itu sendiri. Di satu sisi, hasrat phallic tokoh Saya membuat dirinya berkuasa, menjerat tubuh laki-laki dalam ruang domestik atas nama “kebebasan seksual.” Akan tetapi, di sisi lain, hasrat itu juga memaksa perempuan untuk berada di dalam ruang dengan struktur yang sama, yakni ruang “kebebasan,” yang sebenarnya tidak pernah ia capai karena ia masih membutuhkan the other, penis lelaki, untuk menjamin kekuasannya. 
Ketika teman lelaki ayahnya, the other itu, berusaha merusak otonomi subjek si Saya, maka Saya berusaha mencari objek lain, objek yang mungkin tak tampak. Semua ini dilakukan untuk menjamin subjek phallogosentris itu terus bekerja dan memastikan bahwa objek yang dihasratinya tidak lari dan tetap “dalam kontrol.” Apa objek lain yang dimaksud? Tokoh Saya mengatakan “saya merasa tak nyaman”, dan pada akhirnya—di adegan selanjutnya—ia pun “meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya” (hlm. 40). Inilah titik klimaks dari upaya mencari objek yang-lain, objek yang lain itu pada akhirnya bukanlah apa-apa selain menghilangkan the other tersebut. 
Momen ini menandai betapa tokoh Saya berada dalam momen castration. Ketika ia merasa bahwa “menyusu penis ayah” adalah jalan memenuhi hasrat phallic-nya, yang berkali-kali ia nikmati itu, ia justru merasa tersiksa. Ia tersiksa karena ternyata hasrat phallic menuntut yang-lebih. Apa yang ia bayangkan sebagai Yang-Riil dari ayah ternyata tak pernah benar-benar menjadi yang-riil, ia ternyata hanya sekadar Yang-Imajiner. Dan ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena hasrat itu selalu berada dalam simulacrum jouissance (kenikmatan yang menyiksa). Ia menikmati menghisap penis ayah, yang dianggapnya sebagai satu-satunya cara untuk mencapai Kebebasan, Yang-Riil, tapi ia merasa tersiksa karena apa yang ia lakukan itu justru tak pernah memberinya Kebebasan yang sebenarnya; Kebebasan itu pada akhirnya tak lebih sebagai Yang-Imajiner baginya, tetapi Kebebasan itu terus menuntutnya untuk melakukan yang-lebih untuk memenuhi hasrat phallic tersebut.   


Maskulinitas Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu
Jika menggunakan definisi esensialis, tentu saja kedua wanita ini adalah feminin. Akan tetapi, dilihat dari bagaimana keduanya membentuk narasi-narasi tentang seorang tokoh yang menandai dirinya sendiri sebagai Master-Lacan, bisa dikatakan bahwa mereka adalah maskulin, maskulin yang dipahami oleh Connel (1995) dalam pendekatan semiotik sebagai “non-feminity.” Seperti yang sudah ditunjukkan dalam analisis di atas, mereka berhasil menjadi narator yang memiliki hasrat phallic terhadap setiap simbol feminitas yang dilekatkan pada laki-laki. 
Dalam salah satu wawancaranya di Jakarta Post, Ayu Utami pernah berkata: 

“Sejauh ini, orang-orang mengeksploitasi seks, tetapi dengan menyudutkan wanita. Apa yang saya tulis tidak lebih dari sebentuk protes daripada sekadar gambaran atau cerita-cerita cabul yang telah mereka tulis. Tetapi saya ingin membuat wanita menjadi subjek. Ini dianggap tabu.”

Pernyataan di atas menjelaskan kesadaran Utami untuk menjadikan wanita sebagai subjek. Subjek ini, dalam narasi-narasinya yang kemudian dikembangkan Utami dalam cerpennya, justru memperlihatkan masalah tersendiri dilihat dari perspektif Lacanian. Subjek-nya Ayu Utami adalah subjek yang memberontak terhadap patriarki, terhadap stabilitas negara, terhadap kemapanan, terhadap dogma-dogma religius, dan sebagainya. Pada akhirnya, narasi tentang Kebebasan, Pluralisme, Pecintaan tanpa Perkawinan, menjadi Yang-Riil bagi Utami. Sayangnya, hasrat terhadap Yang-Riil selalu membutuhkan yang-lain, the other, agar ia terus bekerja. Dan satu-satunya nama yang layak bagi hasrat phallic bagi semua ini—salah satunya—adalah laki-laki. 
Dalam salah satu narasinya di cerpen “Terbang”, Utami sangat jelas mendefinisikan laki-laki sebagai mereka yang lack, yang dengan demikian bersifat feminin. 

Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.

Bukan tanpa alasan mengapa Utami sampai pada kesimpulan ini. Sejak kecil, Utami dididik di keluarga yang sangat konservatif terhadap agama, tetapi orang tuanya membebaskan dirinya untuk menikah dengan siapapun, bahkan yang beda agama, kecuali dengan komunis. Akan tetapi, pada masa kuliah, Utami mulai tidak percaya pada agama, bahkan ia sempat menjadi agnostik pada saat itu. 
Berbeda dengan Utami, kehidupan Djenar diwarnai dengan sejarahnya yang kandas berumah tangga. Pada 15 Agustus 2005, ia bercerai dengan suaminya Edi Widjaya. Salah satu alasannya adalah perbedaan kultur yang tak bisa disatukan antarkeduanya. Meskipun ia mengakui bahagia dengan suaminya, perbedaan itu tetap membuatnya merasa tersubordinasi sebagai perempuan. 
Perceraian, bagi Djenar, tampaknya bukan sesuatu yang aneh. Djenar lahir dari seorang bapak seniman besar Sjumandjaya dan aktris Tutie Kirana. Ia adalah anak tunggal dari perkawinan ayahnya yang kedua kali dan perkawinan kedua sang ibu, yang hanya sempat mengenyam setahun masa pernikahan. Seks baginya adalah sesuatu yang harus diketahui oleh publik, “simpan dulu istilah tabu,” kata Djenar dalam salah satu wawancaranya. Orang tua Djenar sangat terbuka dan membebaskannya untuk kritis, berani bicara banyak hal, termasuk soal seks. 

Karya saya berasal dari kehidupan sekitar dan apa yang saya pikirkan. Pelecehan seksual misalnya, sebagai ibu dari dua anak perempuan, saya benar-benar concern dengan masalah itu. Tiap hari ada saja berita yang saya dengar dan lihat baik dari media cetak maupun tivi. Walaupun saya tidak ngalamin, tapi saya bisa merasakan, Walaupun tidak riil, tapi rasa sakitnya terasa riil. Itulah sebabnya saya menganggapnya sebagai problem saya juga,” ujarnya.

Dari pernyataannya ini tampak jelas bahwa—sebagaimana Utami—Djenar juga punya hasrat tentang Yang-Riil itu. Yang-Riil baginya adalah Kebebasan dari pelecehan seksual. Kebebasan dari pelecehan seksual itu, misalnya, ia narasikan dalam cerpennya “Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu)!” Hasrat phallic terhadap Kebebasan sudah dimiliki oleh Djenar sejak kecil. Namun Kebebasan ini justru terbelah pada saat Djenar menyadari bahwa dirinya tidak bisa lepas dari ibu dan bapaknya. Djenar memang seorang wanita, yang tentu saja sama dengan ibunya dari sisi jenis kelamin, tetapi Djenar mengatakan: “Banyak orang bilang saya lebih mirip Bung (panggilan ayahnya, pen.) yang pribadinya berbeda 180 derajat dengan Momom (panggilan ibunya, pen.). Bung adalah seniman yang sangat membumi, punya jiwa bebas, berlaku semaunya, dan suka pakai baju robek-robek. Wuih, pokoknya amburadul banget! Nah, saat itulah saya belajar menyerap dua dunia itu, dunia Momom dan Bung.”
Bukan karena ia mirip dengan ayahnya hingga ia bisa dianggap maskulin, tetapi narasi yang Djenar kembangkan tentang laki-laki, sebagaimana yang terdapat dalam karya-karyanya, menunjukkan bahwa hasrat phallicnya membuatnya dirinya memiliki—meminjam istilah Connel—lebih banyak sisi activity dibanding passivity. Kita bisa melihat aspek activity—atau mungkin agressivity—ini pada saat Djenar menggambarkan tokoh Saya sebagai “penikmat penis” dibanding sebagai “yang-dinikmati-penis.” Connel (1995) menyatakan: 

The social semiotics of gender, with its emphasis on the endless play of signification, the multiplicity of discourses and the diversity of subject positions, has been important in escaping the rigidities of biological determinism. 

Artinya, bagi Connel, maskulinitas itu bukanlah sekadar tipe karakter atau norma perilaku tertentu, melainkan bagian dari “proses-proses dan relasi-relasi yang di dalamnya laki-laki dan wanita menerapkan kehidupan-kehidupan yang genderistik.” Dari sinilah, maskulinitas itu bisa diukur misalnya dari (1) tempat maskulinitas dalam relasi gender; (2) praktik-praktik yang mendasari keterlibatan laki-laki dan wanita dalam relasi gender; dan (3) efek-efek dari praktik ini dalam pengalaman jasmaniah, kepribadian, dan kebudayaan. 
Dari latar belakang sosial kedua pengarang sastrawangi itu, kita bisa menyetujui asumsi Collen (1995) bahwa maskulinitas itu selalu terbentuk dari relasi antara perempuan dan laki-laki yang terjadi dalam tempat-tempat produksi dan konsumsi, atau di lingkungan-lingkungan alamiah dan kultural. Ada kesamaan latar belakang antara Utami dan Djenar. Mereka sama-sama lahir di sebuah keluarga yang membebaskan, tumbuh dengan kesadaran bahwa pembicaraan mengenai seks itu penting, dan sama-sama terlibat dalam praktik-praktik gender yang membuat dirinya memiliki pengalaman dan kepribadian yang lebih maskulin dibanding wanita pada umumnya. 
Uniknya, maskulinitas mereka terbentuk justru pada saat mereka memperjelas hasratnya terhadap Yang-Riil itu, hasrat terhadap Kebebasan dari Patriarki, sehingga satu-satunya “objek” yang sah bagi mereka—sebagaimana yang terlihat dari karya-karyanya—adalah laki-laki. Artinya, bisa dikatakan bahwa semakin mereka berhasrat untuk menguasai laki-laki, semakin mereka menarasikan kebejatan laki-laki, semakin mereka berusaha menjadi subjek yang bebas, maka semakin nyata batas yang mengungkung mereka, batas yang lagi-lagi perlu mereka “langgar”, untuk memastikan bahwa hasrat itu tetap bekerja. 

Penutup
Dengan berpijak pada konsep hasrat phallic-nya Lacan dan maskulinitas hegemonik-nya Connel, tulisan ini berhasil menunjukkan beberapa temuan penting. Pertama, cerpen-cerpen Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu justru memperlihatkan—meminjam istilah Connel—master signifier atau—dalam bahasa Lacan—hasrat phallic terhadap laki-laki, sehingga alih-alih dianggap sebagai “pejuang feminis tanpa jargon”, mereka bisa dianggap pula sebagai “maskulin tanpa objek.” 
Kedua, konsep “maskulin tanpa objek” itu sendiri bersifat ganda, terbelah. Bagaimanapun, baik Djenar maupun Utami tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang perempuan, namun keduanya lahir di lingkungan yang multi-signifikasi, sebuah lingkungan yang hendak membebaskan sekat-sekat esensialis antara laki-laki dan perempuan, sehingga identitas Utami dan Djenar selalu berada dalam simulacrum antara maskulin dan feminin, yang tidak mudah diidentifikasi. []