Selasa, 29 Agustus 2017

Cerpen BAURENO (Yang Ditulis Tidak Selesai)

BAURENO, 
cinta mendayung duka, antara aku dan sepuluh juta.... *





Sebagaimana aku, perempuan. Penenun kerinduan. Pendamba kasih sayang. Mengurai pelayaran kisah aku dan asmara. Berpuja kenang, menghadirkan jumpa dan perpisahan. Jumpa, mengalun dalam peluk, kecup, mesra. Pisah, menderu rindu bertalun pilu, resah, dan mengurai air mata.   

Malam, lagi-lagi menyenandungkan aku dan resistansi. Sebab apa aku menderma perjalanan dari kota ke kota. Sampai menyisakan rahasia bertuah di sanubari kota Jakarta. Berpasang ribuan kisah. Bertonggak pada bentangan tanah yang aku pijak. Sebentar kemudian, aku mengebiri resistansi. Pada Kota ini, seringkali orang membentangkan masa depan pada pongah yang menyengsarakan akal. Merayu kegamangan asa, atas maksud apa manusia diberi nyawa? Pada Kota ini, seringkali pula orang melacurkan keluguannya biar dibilang, aku anak kota. 

Namun, aku bukan demikian. Perjalanan menggembarakan aku selayaknya pemenang. Aku menang atas duka lajang seorang perempuan. Duka berlagu dalam syair sendu, cinta sejati bukan berarti mampu bersambut mesra di pelaminan. Bagiku pelaminan tak ubahnya persinggahsanaan dari keputusasaan. Ya, putus asa, saat jemu memadu kasih tanpa ikrar atas nama Tuhan dan keturunan.      

Kepongahan kota Jakarta, menyambut kedatanganku dengan rinai hujan yang melaju lentik, menggenangkan kegamangan. Jujur, aku sedikit gelisah. Kegelisahan yang menyadarkan aku; jauh-jauh berpelesiran menantang kengerian malam kota Jakarta hanya demi esok pagi. Pagi yang barangkali paling menyayat hati dan tanpa sekalipun aku pernah mendamba kehadirannya. Tepatnya, besok aku akan menyaksikan laki-laki yang aku damba kegagahannya mengucap janji suci di depan penghulu. Didampingi pengantin perempuan, mengenakan gaun pernikahan terhindah, anggun, dan dihiasi rajutan harum melati kebahagiaan. Namun sayang, bukan denganku ia mengikrar keabadian cinta.
*


Punggung kesunyian. Menderu keadaan, aku dan pengap gerbong kereta yang menghantarkan kepulangan. Selayaknya pulang dari pelesiran membawa buah tangan. Berupa album kenangan, tak lagi mengabadikan. Entah pada gerbong deretan keberapa, aku menjumpai nomor yang membilangkan kursi sesuai tiket yang aku pegang. Masih dalam isak yang seolah-olah tiada habis untuk dialirkan. Aku bermalas-malasan menyandarkan punggung kesunyian. Untung, kursi kereta menyambut keakraban. Kursi yang sengaja didesain saling berhadap-hadapan agar si penumpang selama perjalanan saling menyapa antar penumpang. Aku mendapati pertama kali, belum ada penumpang pun yang memantatinya. 
Aku merebahkan diri pada punggung kursi. Sambil mengurai kembali peristiwa yang aku alami satu jam sebelumnya. Bagaimana aku bukan selayaknya aku yang biasanya. Aku sebagaimana kesatria. Begitu tegar menyaksikan setiap prosesi pernikahan sang mantan. Hahahaa… ya kini, aku cukup menyebutnya, ‘sang mantan’. Sengaja aku memilih duduk deretan terdepan di antara sejibun tamu walimatul’ursy yang memenuhi gedung pernikahan. Tanpa rasa cengeng dan cemburu, aku menyaksikan penuh keikhlasan. Sang mantan duduk bersanding dengan mempelainya. Sungguh, pasangan pengantin pembuat iri yang memandang. Mengumbar senyum mengembang ke arah tamu undangan. Mengadegankan beberapa ritual adat, yang berakhir kecupan mesra di pipi mempelai perempuan. Aku lihat, perempuan yang bukan aku seketika pipinya memerah binal nan penuh cinta. Sekali, dua kali berpose selayaknya kemesraan suami istri dihadapan silau kamera. Ahh… aku juga mau?!
“Permisi.. hallo… permisiii….”
Jedak. Seketika anganku terpental, sadar, dari sapa seseorang. 
“Maaf Mbak, bolehkah saya duduk.”
Sekali lagi, aku masih terbuai dalam angan. Kewarasanku belum sepenuhnya menyinergi kesadaran. Sedikit aku paksakan, akan sosok yang berdiri jangkung dihadapan. Sekali pandang, wouhh.. begitu rupawan. Jantan. 
“Ohh… maaf, ya silahkan mas…” sembari aku menata diri, sekiranya ada posisi yang harus aku perbaiki. 
Semerbak kejantanannya mengaura saat ia lewat di depan kekagumanku. Ia memilih posisi duduk dekat jendela. Dan aku, mencuri-curi pandang dari setiap perangai laki-laki dihadapanku.
Jeda sunyi pun, menghardik kecanggungan.  
   
 
(Belum ending.....:()