Jumat, 28 Januari 2011

POTRET PERMASALAHAN SOSIAL DALAM CERPEN URIP NGURIP KARYA MIDUN ALIASSYAH: TINJAUAN KRITIK SASTRA

POTRET PERMASALAHAN SOSIAL DALAM CERPEN URIP NGURIP KARYA MIDUN ALIASSYAH: TINJAUAN KRITIK SASTRA

(Disusun Sebagai Pengganti Ujian Akhir Semester Kritik Sastra)


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Membaca cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah, yang dimuat di koran harian Radar Jember (Jawa Pos) edisi hari Minggu tanggal 13 Juni tahun 2010, seakan kita membaca wajah ekologis Indonesia serta masalah-masalah yang terdapat di dalamnya. Inilah yang coba dibeberkan pengarang kepada masyarakat (pembaca). Sehingga mereka mau mengintrospeksi diri mereka untuk selanjutnya diharapkan mereka bisa melakukan sesuatu hal untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Di dalam cerpen Urip Ngurip menyajikan masalah-masalah pelik tanpa disertai penyelesaian atas masalah-masalah sosial yang terjadi. Banyak masalah yang muncul akibat ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah terhadap permasalahan sosial. Mengakibatkan permasalahan soaial ini berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar yang menurun karena mereka kehilangan mata pencahariannya.
Permasalahan sosial ini kemudian menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Sementara itu pihak pemerintah kurang peduli pada nasib. Pengrusakan dan penghancuran lingkungan pada zaman lampau membawa akibat-akibat yang panjang pada kehidupan masa kini. Semua dicoba ditransformasikan ke dalam kisah-kisah kehidupan yang dikaitkan dengan ekspresi menyimpan kegelisahan yang kuat melihat kurang responsifnya pemerintah terhadap berbagai macam pengrusakan lingkungan.
Cerpen Urip Ngurip menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda yang menemui berbagai macam kepincangan dalam masyarakat yang berdampak bagi kelangsungan hidupnya. Masalah-masalah kemiskinan; keadilan; pengangguran; disorganisasi keluarga; pelanggaran tata tertib lalu lintas; kepadatan penduduk; polusi dan kebijakan pemerintah terhadap nasib rakyatnya diangkat Midun Aliassyah dalam cerpennya. Midun Aliassya juga mencoba mengungkapkan fakta berdasarkan pengamatan dan perenungannya terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Masalah-masalah sosial yang ia temui ia renungkan kemudian diolah, dengan imajinasinya ia tuangkan ke dalam sebuah cerpen.
Midun Aliassya melahirkan karya-karyanya karena ingin menunjukkan kepincangan-kepincangan sosial dan kesalahan-kesalahan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Midun Aliassya sendiri sebagai anggota masyarakat yang selalu merasa terlibat. Idealisme dan pandangan Midun Aliassya akan berpengaruh dalam menanggapi masalah-masalah sosial yang disajikannya dalam sebuah cerpen. Secara tidak langsung Midun Aliassya akan mengungkapkan pendapat dan sikapnya atas masalah-masalah sosial yang terjadi dalam cerpennya tersebut. Masalah-masalah sosial yang disajikan Midun Aliassya atas fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat ke dalam cerpenya secara otomatis membuat cerpen tersebut mengandung kritik sosial yang ingin ia sampaikan kepada masyarakat agar mereka lebih peka terhadap lingkungan sosialnya.

1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan kritik permasalahan sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah?
Bagaimana pengaruh permasalahan sosial yang ada terhadap pola kehidupan tokoh utama?

1.3 Manfaat Penelitian
Mengetahui permasalahan kritik sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah.
Mengetahui pengaruh permasalahan sosial yang ada terhadap pola kehidupan tokoh utama.


BAB II
KAJIAN TEORI


2.1 Hakikat Kritik Permasalahan Sosial dalam Cerpen
Kata ‘kritik’ yang lazim kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani krinein yang berarti ‘mengamati, membandingkan dan menimbang’. Dan kritik itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pengamatan yang diteliti, perbandingan yang adil terhadap baik-buruknya kualitas nilai suatu kebenaran sesuatu (Tarigan,1985:187-188).
Sedangkan menurut KBBI (Alwi,2001:601) kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut bila dihubungkan dengan kritik terhadap suatu karya sastra ,kritik adalah tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu karya sastra yang disertai uraian-uraian dan perbandingan-perbandingan tentang baik buruk hasil karya sastra tersebut. Kata sosial menurut KBBI (Alwi,2001:1085) adalah berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dari definisi ‘kritik’ dan ‘sosial’ tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah tanggapan terhadap karya sastra yang berhubungan dengan masyarakat atau kepentingan umum yang disertai uraian-uraian dan perbandingan tentang baik buruk karya sastra tersebut.
Ajib Rosidi dalam Tarigan (1985:175), mengatakan bahwa bentuk cerpen merupakan bentuk karya sastra yang digemari dalam dunia kesusastraan setelah perang dunia kedua. Bentuk ini tidak saja digemari pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali menki dilahirkan dalam dalam sebuah roman, tetapi juga didiskusikan oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen.
Cerpen atau cerita pendek sebagai salah satu prosa fiksi merupakan hasil pengungkapan pengalaman kehidupan sastrawan yang bersumber dari realitas-realitas objektif yang ada dilingkungan sosial. Banyaknya permasalahan pokok yang diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya menunjukkan betapa jelinya ia memotret berbagai gejolak yang ada di sekelilingnya. Pembaca yang kritis tentu tidak hanya memilih bacaan sastra yang murah, tetapi benar-benar memilih buku-buku yang dapat menambah wawasan hidupnya.
Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat. Seperti apapun bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial (Glickberg dalam Endraswara. 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Pengarang melalui karyanya bermaksud memperluas, memperdalam dan memperjernih penghayatan pembaca terhadap salah satu sisi kehidupan yang disajikan. Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan.
Endraswara (2008) mengatakan bahwa sosiologi sastra merupakan penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari pendapat ini tampak bahwa perjuangan panjang manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Tentu saja masalah-masalah yang disajikan seorang pengarang itu mengandung kritik yang ingin ia sampaikan kepada pembacanya, atas apa yang ia lihat dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat menghayati kehidupan dengan lebih baik, diharapkan pula pembaca dapat mengendalikan kehidupannya dan kehidupan kemasyarakatannya.



2.2 Jenis-Jenis Permasalahan Sosial
Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Permasalahan sosial juga sebagai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang yang berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.
Soekanto (2002:365-394) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, misalnya:
a)Kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
b)Keadilan. Keadilan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan dengan tidak melawan norma-norma hukum yang ada dan mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
c)Permasalahan kependudukan yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah demografi, antara lain; bagimana menyebarkan penduduk secara merata dan bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran.
d)Masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup berhubungan dengan hal-hal atau apa-apa yang berada disekitar manusia, baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup.


2.3 Faktor Penyebab Munculnya Permasalahan Sosial
Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial (Soekanto 2002:360). Faktor yang melatarbelakangi munculnya masalah sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yaitu:
a)Faktor ekonomis. Problema-problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, -pengangguran, dan sebagainya. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada jaman modern yang serba canggih.
b)Faktor biologis. Penyakit baik itu jasmani maupun cacat fisik merupakan contoh masalah sosial yang bersumber dari faktor biologis.
c)Faktor Psikologis. Dari faktor psikologis muncul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
d)Faktor kebudayaan. Persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik rasikal dan keagamaan bersumber pada faktor kebudayaan.


BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Kritik Permasalahan Sosial yang Terjadi di dalam Cerpen Urip Ngurip Karya Midun Aliassyah
Cerpen Urip Ngurip sekilas menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda pengaguran, yang selama dia menjalani hidupnya menemui berbagai macam permasalahan sosial yang begitu pelik. Permasalahan-permasalahan sosial yang disajikan Midun Aliassyah di dalam cerpennya merupakan salah satu usahanya memberikan kritikan berdasarkan fenomena sosial yang pernah ditemuinya di dalam masyarakat.
Fenomena permasalahan sosial yang pernah dilihat pengarang itulah dituangkan ke dalam bentuk tulisan berupa cerita pendek. Untuk mengetahui lebih lanjut permasalahan sosial yang terjadi di dalam cerpen Urip Ngurip, berikut hasil analisis yang dilakukan peniliti.

a)Permasalahan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah pelik yang pada umumnya dijadikan sebagai pangkal dari suatu masalah, bahkan tak jarang dijadikan alasan dalam melakukan tindak kejahatan. Kritik atas kemiskinan ini terlihat dalam cerpen Urip Ngurip sebagai berikut.
Pola hidup yang dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari atau hidup susah dialami oleh tokoh Urip. Perjuanganya untuk memenuhi kehidupannya sangat begitu sulit dan tak bisa ia jalani. Dalam kesehariannya ia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang berada di lingkungan kumuh di bawah kolong jembatan. Sebetulnya secara wajar kontrakan yang ditempati Urip tidak sangatlah layak untuk disebut kontrakan. Karena kondisinya yang begitu lusuh, kumuh dan jauh dari kelayakan. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Sampailah Urip di kontrakkannya. Sebetulnya kontrakkan yang ia tempati, tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”

Hidup pas-pasan sebagai seorang pengelandang yang tidak memiliki keluarga merupakan hal yang biasa dialami Urip. Ia sejak usia 14 tahun sudah terpisah dengan keluarganya. Ia hanya hidup sendiri di jalanan, mengais-ngais sampah untuk makan. Hal ini disebabkan karena keluarga Urip meninggal dunia atas musibah jatuhnya pesawat di Jogjakarta, hingga satu keluarganyapun tak tersisa. Menyebabkan Urip mencari jalan hidupnya sendiri sesuai apa dan yang ingin ia kehendaki. Berikut kutipan cerita yang mendukung:

Tapi semua itu berbeda!! Semua itu tak terjadi di dalam peta jalan hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang tua mengasihi dan menyayangi. Semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara udara Yogyakarta, hingga melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Akhirnya semenjak usia 14 tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku. Nyawa adalah tekadku.

Walaupun hidup Urip mengalami kesusahan, untuk makan sesuap nasipun terasa sulit, ia mencoba mengadu nasibnya untuk melamar pekerjaan di ibu kota yang hanya bermodalkan selembaran ijazah SMP. Hal ini ia lakukan untuk merubah jalan hidupnya sebagai orang miskin. Berikut kutipan cerita yang mendukung:

Waktu bergulir. Pagi menuju siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Seperti keadaanku sekarang ini, tak menentu! Kosong. Tiap hari kutelusuri Ibu kota dan melangkahi trotoar jalan. Aku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!” Aku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku cuma berijazah lulusan menengah pertama. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan Orang-orang atasan terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! Kurang ajar? Iya.,,

Permasalahan kemiskinan yang dialami Urip di atas menunjukkan, bahwa ternyata di lingkungan ibu kota begitu sangatlah sulit untuk mempertahankan hidup yang layak. Jika ingin hidup ini sebanding dengan orang-orang lain sangatlah membutuhkan usaha keras demi mempertahankan kesejahteraan dan kelayakan. Dan untuk mempertahankan semua itu derajat dan status sosial seseorang sangatlah menentukan. Jika tidak memiliki status sosial yang baik, maka tempat-tempat kumuh dan ketidakbiadan yang harus diterima. Hingga bisa benar-benar disebut sebagai status kaum rendah atau miskin. Kritik ini ditujukan kepada tokoh utama dalam cerpen Urip Ngurip. Kemiskinan yang dialami tokoh utama tersebut hendaknya menjadi motivasi untuk meningkatkan kesejahteraannya agar bisa hidup layak.

b)Permasalahan Keadilan
Kesenjangan sosial yang terjadi membuat adanya rasa ketidakadilan sosial adanya jarak antara si kaya dan si miskin. Fasilitas yang mudah bagi mereka yang berharta akan menimbulkan rasa iri bagi orang lain yang tidak bisa mendapatkannya, apalagi jika jarak antara mereka diikuti rasa lebih dari si kaya yang berharta.
Perbedaan kelas sosial seseorang kadang menimbulkan adanya perbedaan perlakuan dalam masyarakat. Pihak atasan yang merasa berkuasa dapat bertindak semau mereka karena menganggap anak buahnya menduduki kelas di bawah mereka dan bisa diperlakukan seenaknya tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Hal ini juga dialami oleh tokoh Urip. dimana ia sewaktu mencari pekerjaan sangatlah sulit. Ia diberlakukan tidak adil dan dilecehkan semena-menanya oleh orang yang memiliki status sosial dan pendidikan yang lebih baik daripada dirinya. Berikut kutipan cerita yang mendukung:

”Maaf mas, di sini hanya membutuhkan karyawan yang minimal berijazah menengah atas, dan tentunya memiliki pengalaman dalam hal bekerja!!”
”Oh ya?” jawab Urip sinis. ”Tidak berartikah ijazah menengah pertama?”
Telunjuk Urip menunjuk pada dua angka yang ada di selebaran kertas kusam. Dan dua angka itu kelihatan berbobot dari pada angka-angka yang lainnya.”Lihat mbak, aku memiliki nilai sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!!” Urip melantangkan suaranya ketika menyebut angka sembilan untuk dua mata pelajaran itu.
”Tapi Mas…,” sanggah pelayan. Terlihat pada wajah menor sang pelayan, yang tebal oleh balutan kosmetik sekarang tak nampakkan lagi aura ke cantikannya. Alias takut dengan kelantangan Urip.
”Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” Naiknya emosi Urip.

Kritik terhadap permasalahan keadilan di atas menunjukkan betapa sulitnya orang yang mencari pekerjaan di ibu kota. Dengan segala persyaratan yang mengikat dan mengharuskan memiliki ijasah setingkat SMA dan setidaknya juga memiliki pengalaman bekerja sebelum ia akan menggeluti dunia pekerjaannya. Di dalam kondisi negeri yang seperti ini memanglah boleh-boleh saja mempersaratkan berbagai perihal untuk mengetes calon pekerja. Tetapi selayaknya hal itu juga disepadankan dengan kondisi negeri, dan keadaan status kemajuan pemikiran dan pergaulan masyarakatnya. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan pengaguran yang ada di negiri ini dari tahun ke tahun semakin bertambah. Karena ketidakbijakan pemerintah dan birokrat pemerintah yang tidak mampu mengedepankan rakyatnya terutama bagi rakyat kelas bawah. Jika demikian sudah selayaknya pemerintah memperbaruhi realita yang ada dengan pemenataan kembali kebijakan-kebijakn yang salah dan menyeleweng.

c)Permasalahan Kependudukan
Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu masalah kependudukan di Indonesia. Urbanisasi yang dilakukan penduduk dengan harapan taraf hidupnya akan lebih baik di kota, membuat jumlah penduduk kota meningkat. Jakarta adalah kota yang banyak menjadi tempat impian banyak orang untuk menyandarkan hidupnya. Kepadatan penduduk ibu kota seperti Jakarta dan Surabaya bisa dilihat dari makin ramainya pemakai jalan raya, baik mereka yang menggunakan mobil pribadi ataupun mereka yang naik kendaraan umum sampai berdesak-desakan dan bergelantungan.
Di dalam cerpen Urip Ngurip ini permasalahan kependudukan sagatlah nampak atas apa yang dialami tokoh Urip di dalam kehidupannya sebagai warga yang tinggal di ibu kota. Kehidupan dan status kependudukan Urip sebagai sebagian masyarakat yang hidupnya selalu diselimuti kemiskinan dan kesusahan merupakan salah satu cerminan dampak dari keadaan penataan kependudukan di lingkungan ibu kota sangatlah tidak adanya suatu keadilan dan kesejahteraan. Berikut kutipan cerita yang mendukung:

Udara panas, pengap, bau busuk sampah: itulah bau yang dihirup Urip sehari-hari. Jika berada di dalam ruang, terdengar suara bising kendaraan yang seolah-olah melintas di atas atap kontrakkan. Ya beginilah, sudah takdir suratan….

d)Permasalahan Lingkungan Hidup
Permasalahan lingkungan yang dicoba diangkat dalam cerpen Urip Ngurip ini merupakan sebuah refleksi ungkapan kritik sosial terhadap kondisi lingkungan sosial hidup masyarakat pinggiran. Dalam hal ini pengarang mencoba menggambarkan kondisi yang sebenarnya terhadap lingkungan hidup masyarakat pinggiran. Terlihat dalam cerpen bahwa tokoh Urip bertempat tinggal di bawah kolom jembatan gantung yang ada di salah satu sudut kota. Betapa lingkungan hidup Urip sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal manusia. Untuk lebih jelasnya berikut kutipan cerita yang mendukung:

Urip berlalu sambil jalan, tanpa menoleh fenomena riuh yang terjadi di sisi kanan ataupun di sisi kirinya. Padahal takdir alam yang terjadi di siang panas kota Pahlawan sungguh menarik perhatian, untuk disimak dan dilihat dalam kaca mata pengamat.
Kutipan di atas menceritakan suasana keriuhan di siang hari kota Pahlawan. Yang penuh fenomena manusia yang sedang beraktivitas menjalankan hidupnya. Tetapi tidak hanya itu, fenomena lingkungan hidup yang dialami tokoh Urip dalam cerpen Urip Ngurip juga nampak dalam keseharian hidup Urip di kontrakannya. Berikut kutipan cerita yang mendukung:

Sampailah Urip di kontrakkannya. Sebetulnya kontrakkan yang ia tempati, tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”

Kritik terhadap permasalahan lingkungan hidup di atas menunjukkan bahwa kondisi lingkungan ada di perkotaan tidaklah alami lagi. Udara, air, pepohonan sudah tercemar dan mati karena banyaknya polusi. Polusi yang ada di daerah perkotaan ini disebabkan adanya asap, baik asap kendaraan, asap pabrik ataupun asap rokok. Asap hasil pembakaran, berupa zat karbon dioksida merupakan gas yang berbahaya bagi pernafasan. Nafas akan terasa terganggu dengan menghirup gas tersebut.
Apalagi kalau berada di dalam bus angkutan umum yang ada di perkotaan yang penuh sesak, masih ada juga yang merokok, akan terasa menyiksa sekali bagi mereka yang tidak tahan asap. Ironis memang, sebenarnya para perokok itu tahu kalau merokok dapat membahayakan kesehatan jantung dan pemerintah serta perusahaan rokok tersebut sudah memperingatkan namun mereka masih saja mengkonsumsinya sehingga menjadi suatu kebutuhan. Asap dari pabrik juga berbahaya bagi kesehatan dan bisa merusak lapisan ozon yang melindungi bumi. Untuk itu pemerintah telah membuat kebijakan agar setiap pabrik yang menghasilkan asap untuk mengatasi polusi udara dengan proses penyaringan terlebih dahulu.

BAB IV
KESIMPULAN


Simpulan dari hasil kritik permasalahan sosial dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah dapat diketahui, bahwa problematika sosial yang terjadi di dalam masyarakat, memang sangatlah tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut. Beserta permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya. Inilah yang coba dibeberkan pengarang kepada masyarakat (pembaca). Hingga peniliti menemukan gejala itu secara kongkrit seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas.
Gejala-gejala sosial yang terjadi baik dari permasalahan kemiskinan, permasalahan keadilan, permasalahan kependudukan dan permasalahan lingkungan hidup. Akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga hal itulah yang menjadi pekerjaan utama bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan sosial yang ada, sehingga masyarakat benar-benar merasa nyaman, tentran, aman dan sejahtera di dalam bermasyarakat baik dengan sesama ataupun dengan lingkungannya. Jika hal ini sudah terwujud, maka terciptalah kedamaian dan tidak adanya lagi keluh resah masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN


Aliassyah, Midun. 2010. Urip Ngurip (Cerpen). Jember: Radar Jember (Jawa Pos).
Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta: Depdikbud.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

http://assyita.blogspot.com/ Kritik Sastra Novel “Dilatasi Memori” Karya: Ari Nur Utami. (Diakses pada tanggal 30 Desember 2010)












SINOPSI CERPEN URIP NGURIP

Cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah yang dimuat di Radar Jember (Jawa Pos), pada edisi hari Minggu tanggal 13 Juni tahun 2010 sekilas menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda pengaguran, yang selama dia menjalani hidupnya menemui berbagai macam permasalahan sosial yang begitu pelik. Urip merupakan nama tokoh sentral dalam cerpen tersebut.
Kehidupan Urip yang penuh dengan kesusahan dan kepelikan merupakan salah satu cerminan kondisi masyarakata bersetatus sosial rendah yang mencoba hidup di daerah perkotaan. Kesehariannya ia hanya makan tidur, tanpa menjalankan aktivitas yang berarti seperti para pemuda pada umumnya. Ia tinggal disebuah kontrakan, yang sebetulnya kontrakan itu tidaklah layak disebut kontrakan. Karena dari kondisi fisiknya tidaklah memenuhi syarat sebagai tempat tinggal manusia, melainkan sangatlah layak sebagai tempat binatang liyar seperti tikus dan kucing. Dan keberadaan bangunan itu berdiri, berada tepat di bawah kolong jembatan layang. Tapi apalah daya jika uang tak menjangkau, pastilah keadaan seperti ini sudah sangatlah layak untuk dijadikan tempat berteduh dari terik panas sinar matahari dan kucuran air hujan.
Walaupun kehidupan Urip seperti itu, ia memiliki suatu impian yang besar. Bisa dibilang hanya orang-orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Yakni Urip mempunyai impian untuk membangun negeri impiannya dari keterpurukan dan keterlaknatan yang mendera. Ia ingin mencoba membangunkan kembali gairah negeri dan manusianya untuk kembali berjaya, kokoh bersanding dengan negara-negar maju lainnya. Bahkan ia juga mempunyai impian untuk mempersunting Narti anak dari seorang pemilik kontrakan yang ia tempati untuk dijadikan istrinya. Tapi pada akhirnya impian itu hanya sebatas impian saja. Tak berwujud dan hanya ada dalam bayang-bayang pikir semu Urip.

Beberapa Catatan untuk Urip Ngurip karya Midun Aliassyah (Kritik Cerpen)

Beberapa Catatan untuk Urip Ngurip karya Midun Aliassyah
Oleh: Muntijo

Dalam penciptaan sebuah karya sastra seorang sastrawan tidak pernah dalam kondisi/situasi yang kosong secara politik, sosial, budaya bahkan ideologi. Hal ini terjadi karena karya sastra merupakan hasil curahan keindahan yang dihasilkan oleh sastrawan, dan seorang sastrawan adalah manusia yang hidup di arena politik dalam arti luas, lingkungan sosial dan budaya tertentu bahkan memiliki kecenderungan ideologi tertentu pula. Karena karya sastra (cerpen) adalah curahan keindahan maka setiap kata dan gaya bahasa maupun gaya penceritaan dan gaya pencitraan dipilah dan dipilih untuk mewakili dan menggambarkan keindahan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, cerpen Urip Ngurip karya Mas Midun Aliassyah yang dimuat Radar Jember, Minggu 13 Juni 2010 patut diberi beberapa catatan. Karena karya sastra sangat dipengaruhi oleh sastrawannya, maka terlebih dahulu akan ditunjukkan latar belakang Mas Midun Dia berasal dari Nganjuk. Jadi jelas orang Jawa dan mampu berbahasa Jawa. Penguasaannya terhadap bahasa Jawa tampak pada Urip Ngurip ini, untuk lebih jelasnya dibahas dibagian belakang. Dia adalah mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang lebih dikenal sebagai penyair daripada sebagai seorang cerpenis (puisi-puisinya dimuat erje, 20/5/10) sehingga pengaruh gaya bahasa puisi tampak jelas pada (khususnya bagian pertama) cerpen Urip Ngurip.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi tameng persembunyiann di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala pertiwi…
Penggunaan gaya bahasa bermajas yang lebih sering digunakan dalam puisi menambah unsur keindahan cerpen ini. Namun, dalam memilih kata, Mas Midun kurang jelai (padahal dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) sehingga juga memengaruhi kenyamanan pembaca dalam menikmati cerpennya. Hal ini tampak pada bagian kedua Urip Ngurip,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama.
Apa yang dimaksud dengan lulusan ijazah? Mungkin lebih baik jika ditulis ‘aku cuma memiliki ijazah menengah pertama’ atau ‘aku cuma lulusan sekolah menengah pertama’ bukankah menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Kekurangtepatan yang lain, ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealisku’ Mungkin yang dimaksud adalah ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku’. Makna dari idealis dan idealisme jauh berbeda. Idealisme adalah pahamnya, sedangkan idealis adalah orang yang menganut paham tersebut.
Dari unsur intrinsik yang lain, yaitu masalah sudut pandang pengarang. Dalam membuat prosa (cerpen ataupun novel) ada beberapa cara penceritaan oleh pengarang diantaranya: orang petama pelaku utama, pengarang menyebut tokoh utama dalam prosanya dengan menggunakan kata ganti ‘aku’; orang kedua, pengarang ikut terlibat dalam cerita namun sebagai orang kedua, jadi tokoh utama disebut ‘kamu’; orang ketiga serba tahu, pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, namun mengetahui segala yang terjadi bahkan alam pikiran tokoh dalam cerita. Pengarang menggunakan kata ganti ‘dia’ atau nama tokoh secara langsung.
Dalam Urip Ngurip, terjadi kerancuan sudut pandang yang diambil oleh Mas Midun. Dia mencampuradukkan antara sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini tampak hampir pada setiap plot (bagian cerpen yang dibedakan oleh latar tempat dan situasi) khususnya pada tiga plot terakhir dari cerpen yang terdiri dari lima plot ini.
Brukk!! Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. (plot ketiga)
Pada paragraf pertama, pengarang menggunakan kata ganti nama ‘Urip’ dan kata ganti orang ketiga ‘-nya’ untuk menyebut tokoh utama. Hal ini menunjukkan posisi pengarang sebagai orang ketiga serba tahu. Namun, paragraf selanjutnya pengarang menggunakan kata ganti ‘aku’ untuk menyebut tokoh utama (Urip). Hal ini berarti sudut pandang pengarang telah berpindah menjadi orang pertama pelaku utama.
Pencampuradukan sudut pandang pengarang seperti itu juga terpadapat pada plot keempat,
“Waduh!!!” tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku.
Bandingkan dengan,
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai denan keadaannya sekarang ke Narti.
Begitu juga dengan plot yang terakhir,
“Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya…
“Oh, begitu bangga aku menjadi orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” bangga Urip atas negeri mimpinya…
Dalam plot yang keempat ini jelas terlihat. Padahal sama-sama menjelaskan kalimat langsung yang diucapkan oleh tokoh Urip, tapi sudut pandang yang digunakan berbeda.

Konstruksi Sosial dan Ideologis (keagamaan)
Usaha Mas Midun mengostruksikan Urip sebagai kaum yang termarginalkan, maupun konstruksi sosial cerpen Urip Ngurip secara keseluruhan tidak kuat (tidak jelas). Di satu sisi Urip Ngurip menggambarkan kehidupan Ibukota,
Tiap hari kutelusuri Ibuk kota. Ku langkahi trotoar jalan…(plot pertama)
Menujulah Urip ke kontrakannya. Yang sebetulnya kontrakannya tak layak disebut kontrakan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan…(plot keempat)
Penggambaran kehidupan ibukota juga tampak pada penggunaan kata-kata yang dipilih, diantaranya, sekarang sudah gak berlaku, bang!; juga dalam ucapan tokoh Narti, “gini Bang!!” Jelas Narti, “aku kesini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum abang bayar…” penggunaan ‘abang’ dan ‘babe’ merupakan usaha untuk menggambarkan bahwa kehidupan itu terjadi di Jakarta karena disanalah diksi (pilihan kata) semacam itu digunakan masyarakat. Namun, hal ini tidak sejalan sebangun dengan pernyataan dalam cerpen Urip Ngurip, Cak To orang asli Surabaya. Orang yang berasalh dari Surabaya dipanggil ‘babe’ oleh anaknya?, juga ucapan Cak To, “Tiap hari kerjanya tidur melulu” penggunaan kata ‘babe’ dan ‘melulu’ melemahkan usaha mengonstruksikan Cak To sebagai orang asli Surabaya.
Di samping itu, Mas Midun banyak menggunakan kata bahasa Jawa dalam Urip Ngurip antara lain: menungso, berselonjor, teyeng (berkarat) pada frase seng teyeng, emperan, mbako lenteng dan reot. Interferensi (masuknya) bahasa Jawa dalam cerpen ini, seperti telah disebut diatas, karena Mas Midun orang Jawa sehingga bahasa Jawa adalah bahasa Ibu baginyua. Namun, interferensi ini melemahkan usaha untuk mengonstruksikan lingkungsn sosial ibukota dalam cerpen Urip Ngurip.
Selain dari penggunaan diksi yang campur-aduk, usaha pengonstruksian kehidupan Urip bertentangan antara satu bagian dengan bagian lain. Bahkan dalam satu paragraf, satu kalimat tidak mendukung (menguatkan) kalimat yang lain, justru melemahkannya.
Dalam plot pertama, paragraf ketujuh,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal di persyaratan tak dibutuhkan, dan orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! …
Urip mengaku sebagai orang yang tak terpelajar karena tidak menempuh wajib belajar sembilan tahun yang diwajibkan oleh orang-orang atasan. Sudah dikatan sendiri bahawa wajib belajar sembilan tahun, Urip memiliki ijazah sekolah menengah pertama, berarti dia telah menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, enam tahun di SD dan tiga tahu di SMP. Pernyataan ketidakterpelajaran dirinya dibantah sendiri oleh Urip pada plot keempat dalam percakapannya dengan pelayan “Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” sangat bertentangan dengan pernyataan bukan anak terpelajar! Seperti telah disebutkan di atas tadi.
Pertentangan antar bagian dan pelemahan konstruksi yang dibangun dalam Urip Ngurip yang lain terjadi dalam pengonstruksian religiusitas yang dimiliki tokoh Urip.
…Tidak mengenal Tuhan adalah idealis(me)ku… pada bagian ini tokoh Urip digambarkan sebagai seseorang yang tidak mengenal tuhan apalagi memiliki tuhan.
Pernyataan ini bertentangan dengan beberapa kalimat lain dalam cerpen Urip Ngurip, diantaranya pada kalimat terakhir paragraf pertama, oh tidak Ya Tuhan… Bagian lain yang menyatakan Urip bertuhan adalah,
“Tuhan…” keluh Urip kepada Tuhannya. Sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya Urip mengenal Tuhan atau tidak?

Nasionalisme
Disamping ketidakjelasan usaha penceritaan dan pencitraan dalam cerpen Urip Ngurip, sebenarnya ada tema besar yang di usung oleh Mas Midun dalam cerpen ini, yaitu rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini ditampakkan pada kecintaan Urip kepada Negeri Mimpinya,
Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati…
Urip marah kepada orang yang telah menjajah negerinya (Indonesia)
“Habis manis sepah dibuang” seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh orang –yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan,…
“gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Peremapuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi… terlaknat! …”
Tidak hanya itu, kecintaan terhadap negeri ini sebenarnya tercermin dari usahnya menggambarkan tokoh Urip, warga negara yang masih belum ‘merdeka’ di era yang merdeka. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme mau menggambarkan dan menyuarakan keadaan sosial masyarakat negeri ini yang masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.


Muntijo, Mahasisawa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember


Alamat rumah,
Pelosok Jember, Dusun Mangaran desa Sukamakmur kecamatan Ajung.
Telp. 085336117036