Kamis, 10 Oktober 2013

Kelisanan dan Keberaksaraan: Sebuah Hakikat dan Perannya

Kelisanan dan Keberaksaraan: Sebuah Hakikat dan Perannya
(Ringkasan BAB 1 dari Buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan)

  • Formula dan Formulaik
Perkembangan ilmu sastra tentang kelisanan dan keberakasaraan atau dikenal dengan istilah orality dan literacy semakin menarik dikaji. Pengkajian dilakukan baik dalam bidang kebahasaan, susastra, antropologi, maupun psikologi. Keterkaitan dalam studi bahasa digunakan dalam penekanan penggunaan bahasa dan dikenal dengan istilah ‘formulaik’. Istilah tersebut dikenal dari hasil penelitian penyair Yunani yang bernama Homeros. Karya Homeros yang sampai sekarang berperan andil dalam perkembangan ilmu kelisanan dan keberakasaraan adalah karya berjudul Ilias dan Odyssea. Penciptaan dua karya tersebut merupakan sebuah teki-teki bagi dunia akdemisi. Karena diciptakan pada masa belum adanya alfabet Yunani dan diketahui bahwa Homeros adalah seorang penyanyi buta. Berkarya melalui lisan dan penghafalan (ingatan) tanpa adanya penulisan terhadap lirik lagu yang dinyanyikan. Teori penghafalan belum dapat menjelaskan bagaimana karya tercipta sebelum ada penyanyi yang dapat menghafalkannya. Dari peristiwa Homeros itu menarik untuk diteliti oleh sarjana Amerika yang bernama Milman Parry dan Albert B. Lord. Untuk mengungkap peristiwa Homeros, Parry dan Lord melakukan analogi dengan penyanyi cerita rakyat Yugoslavia. Terbukti penyanyi itu tidak menghafalkan karya-karya yang dilagukan tanpa naskah. Karena setiap kali seorang guslar membawakan ceritanya, lagu tercipta secara sepontan dari apa yang ada dipikiran, tetapi terdapat sejumlah besar unsur bahasa di antaranya kata, kata majemuk, dan frasa. Unsur bahasa itu dapat dipakai dengan bentuk yang identik dengan variasi sesuai tuntutan tata bahasa, matra, dan irama puisi yang dipakai.
Parry dan Lord menyebut unsur bahasa sebagai formula dan formulaik. Formula memiliki batasan pada kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Sedangkan unsur formulaik diartikan sebagai larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula. Lord membuktikan dalam penelitian terkait sebuah nyanyian panjang yang direkamnya diketahui bahwa gawai merakit formula atau ungkapan formulaik merupakan dasar teknik penciptaan dari guslar. Jadi kesimpulan dari penelitiannya, tidak ada lirik yang tidak cocok dalam salah satu pola formulaik dan tidak ada dalam sajak yang tidak formulaik.

  • Kelisanan dan Penghafalan
Berdasarkan dari hasil penelitian sastra lisan modern yang sudah dilakukan, diketahui bahwa tukang cerita atau penyanyi di zaman dahulu dalam menyampaikan karyanya tidak mengenal tulisan. Satu-satunya cara dalam hal penyampaian yakni dilakukan dengan penglisanan. Jadi setiap karya dipentaskan kecenderungan memiliki unsur yang berbeda. Karena setiap pelaku selalu mencipta karya baru secara spontan. Terbukti pelaku jarang melakukan penghafalan sehingga menyebabkan karya yang dipentaskan menjadi berbeda-beda.
Jack Goody selaku antropolog melakukan penelitian keaksaraan dan keberaksaraan secara umum dari masa ke masa. Dari hasil pengamatannya bahwa tidak adanya proses memorisasi dalam kebudayaan lisan murni. Secara umum dalam masyarakata tidak adanya penglisanan karya yang tepat dari kebakuan bahasa, baik bersifat naratif atau panjang pendeknya karya. Memorisasi dipandang sebagai gejala khusus terikat pada kebudayaan yang sudah kenal tulisan. Menurut Goody hal tersebut disebabkan dari beberapa faktor. Pertama, teknis memorisasi baru dimungkinkan oleh adanya teks tertulis yang menjadi pegangan dan norma dalam penghafalan teks yang dianggap penting oleh masyarakat. Kedua, masyarakat mengenal naskah pada saat ada sekolah. Dari sekolah teknik memorisasi dikembangkan dan dimanfaatkan berdasarkan teks tertulis. Ketiga, lewat tulisan hasil pengetahuan dapat disusun kembali dan disistematiskan sedemikian rupa sehingga penghafalan isi pengetahuan menjadi mudah. Keempat, lewat tulisan terjadi kemungkinan visualisasi, yakni penghafalan lewat mata lebih gampang dari pada penghafalan lewat telinga atau paling tidak kemungkinan melihat teks yang mau dihafalkan memperkuat kesanggupan mental utuk menghafalkannya. Jadi memorisasi disebut sebagai ekuivalen dari penyalinan naskah secara harfiah, atau naskah diarsipkan menjadi tulisan.

  • Kaidah Karakter Formula dan Formulaik, Ketarkaitan Retorika dan Sastra Lisan, serta Orientasi Kelisanan
Karakteristik dari formula dan formulaik dapat disatukan dalam berbagai kombinasi dan variasi. Penyatuan tersebut dapat dilakukan baik dari sintaksis, morfologis dan juga semantis. Tidak ada dua kalimat sama, tidak ada ulangan kalimat identik, akan tetapi diantara keduanya memiliki unsur kalimat yang memungkinkan penciptaan teks terdiri dari kandungan penuh ulang arti dan makna.
Retorika dan sastra lisan memiliki hubungan partisipatoris berdasar kebudayaan lisan. Retorika bersifat praktis yang tujuannya mendorong pendengar untuk berperan serta dalam pengidentifikasian dan sikap sambutan kolektif pada saat tuturan disampaikan. Sastra lisan menggunakan bahasa sebagai pengidentifikasian maksud yang disampaikan kepada pendengar berdasarkan unsur formulaik, paralelisme, peribahasa.
Kelisanan dan keberaksaraan memiliki oreantasi kompleks, khususnya di Indonesia. Pelosok daerah masih memanfaatkannya namun hanya tertentu. Kedudukan pengkaijan kelisanan bagi dunia akademisi Indonesia hanya sebatas formulaik saja tanpa adanya pengkajian lebih terperinci dan tuntas. Sehingga kelisanan hanya sebatas pengkajian arti atau fungsi magis tanpa suatu makna apa-apa.