Kelisanan dan
Keberaksaraan: Sebuah Hakikat dan Perannya
(Ringkasan BAB 1 dari
Buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan)
- Formula dan Formulaik
Perkembangan ilmu sastra tentang
kelisanan dan keberakasaraan atau dikenal dengan istilah orality
dan literacy semakin menarik dikaji. Pengkajian dilakukan baik
dalam bidang kebahasaan, susastra, antropologi, maupun psikologi.
Keterkaitan dalam studi bahasa digunakan dalam penekanan penggunaan
bahasa dan dikenal dengan istilah ‘formulaik’. Istilah tersebut
dikenal dari hasil penelitian penyair Yunani yang bernama Homeros.
Karya Homeros yang sampai sekarang berperan andil dalam perkembangan
ilmu kelisanan dan keberakasaraan adalah karya berjudul Ilias dan
Odyssea. Penciptaan dua karya tersebut merupakan sebuah
teki-teki bagi dunia akdemisi. Karena diciptakan pada masa belum
adanya alfabet Yunani dan diketahui bahwa Homeros adalah seorang
penyanyi buta. Berkarya melalui lisan dan penghafalan (ingatan) tanpa
adanya penulisan terhadap lirik lagu yang dinyanyikan. Teori
penghafalan belum dapat menjelaskan bagaimana karya tercipta sebelum
ada penyanyi yang dapat menghafalkannya. Dari peristiwa Homeros itu
menarik untuk diteliti oleh sarjana Amerika yang bernama Milman Parry
dan Albert B. Lord. Untuk mengungkap peristiwa Homeros, Parry dan
Lord melakukan analogi dengan penyanyi cerita rakyat Yugoslavia.
Terbukti penyanyi itu tidak menghafalkan karya-karya yang dilagukan
tanpa naskah. Karena setiap kali seorang guslar membawakan ceritanya,
lagu tercipta secara sepontan dari apa yang ada dipikiran, tetapi
terdapat sejumlah besar unsur bahasa di antaranya kata, kata majemuk,
dan frasa. Unsur bahasa itu dapat dipakai dengan bentuk yang identik
dengan variasi sesuai tuntutan tata bahasa, matra, dan irama puisi
yang dipakai.
Parry dan Lord menyebut unsur bahasa
sebagai formula dan formulaik. Formula memiliki batasan pada kelompok
kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama
untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Sedangkan unsur formulaik
diartikan sebagai larik atau separuh larik yang disusun atas dasar
pola formula. Lord membuktikan dalam penelitian terkait sebuah
nyanyian panjang yang direkamnya diketahui bahwa gawai merakit
formula atau ungkapan formulaik merupakan dasar teknik penciptaan
dari guslar. Jadi kesimpulan dari penelitiannya, tidak ada lirik yang
tidak cocok dalam salah satu pola formulaik dan tidak ada dalam sajak
yang tidak formulaik.
- Kelisanan dan Penghafalan
Berdasarkan dari
hasil penelitian sastra lisan modern yang sudah dilakukan, diketahui
bahwa tukang cerita atau penyanyi di zaman dahulu dalam menyampaikan
karyanya tidak mengenal tulisan. Satu-satunya cara dalam hal
penyampaian yakni dilakukan dengan penglisanan. Jadi setiap karya
dipentaskan kecenderungan memiliki unsur yang berbeda. Karena setiap
pelaku selalu mencipta karya baru secara spontan. Terbukti pelaku
jarang melakukan penghafalan sehingga menyebabkan karya yang
dipentaskan menjadi berbeda-beda.
Jack Goody selaku
antropolog melakukan penelitian keaksaraan dan keberaksaraan secara
umum dari masa ke masa. Dari hasil pengamatannya bahwa tidak adanya
proses memorisasi dalam kebudayaan lisan murni. Secara umum dalam
masyarakata tidak adanya penglisanan karya yang tepat dari kebakuan
bahasa, baik bersifat naratif atau panjang pendeknya karya.
Memorisasi dipandang sebagai gejala khusus terikat pada kebudayaan
yang sudah kenal tulisan. Menurut Goody hal tersebut disebabkan dari
beberapa faktor. Pertama, teknis memorisasi baru dimungkinkan
oleh adanya teks tertulis yang menjadi pegangan dan norma dalam
penghafalan teks yang dianggap penting oleh masyarakat. Kedua,
masyarakat mengenal naskah pada saat ada sekolah. Dari sekolah teknik
memorisasi dikembangkan dan dimanfaatkan berdasarkan teks tertulis.
Ketiga, lewat tulisan hasil pengetahuan dapat disusun kembali dan
disistematiskan sedemikian rupa sehingga penghafalan isi pengetahuan
menjadi mudah. Keempat, lewat tulisan terjadi kemungkinan
visualisasi, yakni penghafalan lewat mata lebih gampang dari pada
penghafalan lewat telinga atau paling tidak kemungkinan melihat teks
yang mau dihafalkan memperkuat kesanggupan mental utuk
menghafalkannya. Jadi memorisasi disebut sebagai ekuivalen dari
penyalinan naskah secara harfiah, atau naskah diarsipkan menjadi
tulisan.
- Kaidah Karakter Formula dan Formulaik, Ketarkaitan Retorika dan Sastra Lisan, serta Orientasi Kelisanan
Karakteristik dari
formula dan formulaik dapat disatukan dalam berbagai kombinasi dan
variasi. Penyatuan tersebut dapat dilakukan baik dari sintaksis,
morfologis dan juga semantis. Tidak ada dua kalimat sama, tidak ada
ulangan kalimat identik, akan tetapi diantara keduanya memiliki unsur
kalimat yang memungkinkan penciptaan teks terdiri dari kandungan
penuh ulang arti dan makna.
Retorika dan
sastra lisan memiliki hubungan partisipatoris berdasar kebudayaan
lisan. Retorika bersifat praktis yang tujuannya mendorong pendengar
untuk berperan serta dalam pengidentifikasian dan sikap sambutan
kolektif pada saat tuturan disampaikan. Sastra lisan menggunakan
bahasa sebagai pengidentifikasian maksud yang disampaikan kepada
pendengar berdasarkan unsur formulaik, paralelisme, peribahasa.
Kelisanan dan
keberaksaraan memiliki oreantasi kompleks, khususnya di Indonesia.
Pelosok daerah masih memanfaatkannya namun hanya tertentu. Kedudukan
pengkaijan kelisanan bagi dunia akademisi Indonesia hanya sebatas
formulaik saja tanpa adanya pengkajian lebih terperinci dan tuntas.
Sehingga kelisanan hanya sebatas pengkajian arti atau fungsi magis
tanpa suatu makna apa-apa.