Sabtu, 09 November 2013

RESENSI BUKU MITOS DALAM TRADISI LISAN INDONESIA


IDENTITAS BUKU


  • Judul Buku : “Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia”
  • Penulis : Dr. Sukatman, M.Pd.
  • Editor : Dr. Sukidin, M.Pd.
  • Penerbit : Center For Society Studies (CSS)
  • Kota dan Tahun Terbit : Jember, 2011 (Cetakan Pertama)
  • ISBN : 978-602-8035-65-1
  • Jumlah Halaman dan Bab : 238 Lembar, 12 Bab Pembahasan





RESENSI BUKU MITOS DALAM TRADISI LISAN INDONESIA


  1. RINGKASAN BUKU
  1. Mitos dalam Tradisi Lisan
Mitos merupakan bagian tradisi lisan yang memuat sejumlah nilai moral yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal, di antaranya untuk pembinaan watak, pendidikan multikultural, dan upaya menumbuhkan rasa kebangsaan. Secara harfiah kata mitos berasal dari bahasa Yunani ‘muthos’; ‘mythos’ yakni memiliki arti sesuatu yang diungkapkan, sesuatu yang diucapkan, misalnya cerita. Menurut Sukatman (2011:1) mitos adalah cerita yang bersifat simbolik dan suci yang mengisahkan serangkaian cerita nyata ataupun imajiner yang berisi asal-usul dan perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewa, kekuatan supranatural, pahlawan, manusia, dan masyarakat tertentu yang berfungsi untuk (a) meneruskan dan menstabilkan kebudayaan, (b) menyajikan pentunjuk-petunjuk hidup, (c) mengesahkan aktivitas kebudayaan, (d) memberi makna hidup manusia, (e) memberikan model pengetahuan untuk menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal dan pelik. Pengertian mitos relatif beragam, karena disusun oleh bermacam-macam ahli dengan sudut pandang yang berbeda.
Mitos bukan sekedar dongeng, mitos memberikan model dan arkhetripe yang dijadikan referensi tindakan dan sikap hidup manusia. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan spiritual religius, bukan tindakan profan sehari-hari. Mitos mengandung kebenaran yang membentuk kekuatan-kekuatan religius-magis bagi kehidupan manusia. Namun dalam kehidupan manusia modern, mitos mulai ditinggalkan. Akan tetapi, manusia modern tidak bisa sepenuhnya terlepas dari mitos. Ketergantungan itu ditunjukkan dengan masih adanya sikap-sikap mistis, utamanya saat manusia modern terbentur dengan kesulitan hidup yang di luar jangkauan kekuatan manusia. Mitos-mitos dalam manusia modern merosot dalam bentuk legenda, epos, dan balada.
Dalam kehidupan masyarakat mitos mempunyai ciri bersifat sakral atau disucikan oleh masyarakat pemilik, imajiner sehingga cenderung tidak bisa dijumpai dalam dunia nyata, dan merupakan sumber tatanilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat pemilik mitos dan nyata-tidaknya mitos tidak menjadi persoalan penting.
Klasifikasi jenis mitos yang ada amat beragam, menunjukkan bahwa sudut pandang penggolongan mitos amat beragam. Berdasarkan keluasan isi dan substansi isinya, menurut Sukatman (2011:6-7) mitos dapat dikelompokkan menjadi (1) mitos awal penciptaan, (2) mitos kosmogoni, (3) mitos asal-usul, (4) mitos mahluk adikodrati, (5) mitos antropogenik, (6) mitos kepahlawanan (heroisme), (7) mitos transformasi, (8) mitos languagenik, (9) mitos ekhsatoik, (10) mitos ritual atau penyembahan.
Mitos difungsikan sebagai sarana untuk mengajarkan sains tentang aturan alam semesta (kosmos) kepada manusia. Pada masa primitif manusia mengenal dan memahami alam yang mereka diami melalui mitos. Mitos juga difungsikan sebagai upaya mendukung dan memapankan tatanan sosial. Melalui mitos manusia menata kehidupan sosial dengan mengukuhkan berbagai aturan. Dalam kondisi ini akhirnya mitos menjadi sumber pola tindakan manusia dalam berinteraksi sosial.

  1. Mitos Penciptaan Jagad Raya
Mitos awal penciptaan adalah mitos yang menceritan penciptaan alam semesta yang sebelumnya sama sekali tidak ada. Alam semesta diciptakan lewat pemikiran, sabda, atau usaha dari dewa. Apabila penciptaan alam semesta itu dengan menggunakan sarana yang sudah ada atau dengan perantara disebut mitos kosmogoni. Di Indonesia, berdasarkan bentuk kesastraan yang ada, mitos awal penciptaan disebarkan dan dituturkan dalam bentuk hibrida dengan bentuk-bentuk tradisi lisan yang berupa mantra, serat, cerita wayang, Hoho (puisi naratif klasik Nias), dan sebagainya.
Dalam buku yang ditulis Sukatman, terdapat contoh mitos penciptaan jagad raya menurut beberpa versi yang dipercayai oleh masing-masin masyarakat daerah di Indonesia. Diantaranya mitos Awal Penciptaan Jagad Raya dalam Tradisi Lisan Jawa, Mitos Awal Penciptaan Jagad Raya dalam Tradisi Lisan Nias Sumatra Utara, Mitos Awal Penciptaan Jagad Raya dalam Tradisi Lisan Dayak Ngaju Borneo, Mitos Kosmogoni dalam Tradisi Lisan Cina,Mitos Kosmogoni dalam Tradisi Lisan Amungme-Papua.

  1. Mitos Asal-usul
Mitos asal-usul mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu (munculnya) benda-benda yang ada, setelah alam ini diciptakan. Mitos asal-usul merupakan pembuka rahasia dunia yang termanisfestasikan dalam budaya manusia. Mitos ini berguna untuk memberikan model pengetahuan dan menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal dan sulit dipahami oleh nalar manusia.
Mitos asal-usul merupakan kisah lanjutan dari mitos awal penciptaan dan mitos kosmogoni. Karena itu mitos asal-usul merupakan mitos lanjutan dari mitos kosmogoni dan proses penuturannya dalam tradisi lisan berbagai bangsa sering melekat dan bahkan terkesan tumpang tindih. Dalam buku dipaparkan beberapa contoh mitos asal-usul yang terjadi di Indonesia, salah satunya mitos asal-usul telaga ‘Ngebel’ di Ponorogo.

  1. Mitos Roh Penunggu dan Mitos Ritual
Komunikasi anatara manusia dengan roh, dalam masyakat Jawa dipercaya ada. Tentu hanya dilakukan oleh pawang tertentu saja. Masyarakat Jawa percaya bahwa pawang bisa memanggil roh dengan mantra-mantra. Bacaan mantra bisa mendatangkan dan bila ada yang mampu menjadi perantara, roh bisa masuk ke tubuh orang lain, sehingga bisa berkomunikasi dengan orang awam. Peristiwa ini misalnya terdapat dalam uapacara rakyat ”Seblang” di Banyuwangi.
Mitos difungsikan ritual sebagai upaya mendukung dan memapankan tatanan sosial. Melalui mitos manusia menata kehidupan sosial dengan mengukuhkan berbagai aturan. Dalam kondisi ini akhirnya mitos menjadi sumber pola tindakan manusia dalam berinteraksi sosial. Sebagai contoh mitos Nyai Roro Kidul: Penguasa Laut Selatan. Masyarakat Jawa di pesisir selatan yang umumnya petani dan sebagai nelayan, percaya bahwa di laut selatan terdapat kerajaan makhluk halus yang disebut Nyai Roro Kidul. Setiap tahun baru tanggal 1 Suro, kerajaan mengadakan selamatan. Untuk ikut merayakan pesta kerajaan itu, biasanya masyarakat nelayan dan petani pantai selatan pulau Jawa mengadakan upacara selamatan larung sesaji di laut selatan. Sesaji larung itu berupa kepala kerbau dan juga berbagai hasil pertanian.

  1. Mitos Sumber Penyakit dan Pengobatan
Mitos roh halus sebagai sumber penyakit dipercayai di kalangan masyarakat Madura. Agar masyarakat terhindar dari petaka penyakit tersebut mereka mengadakan ritual yang disebut ‘rokat’. Dalam upacara ”rokat”, ruwatan anak perlu dilakukan masyarakat Madura karena anak yang tidak diruwat akan terkena petaka. Petaka itu bersumber dari mahluk halus Bathara Kala.
Mitos Bathara Kala sebagai sumber petaka dan penyakit ini juga terdapat dalam Masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga mengenal mitos Bathara Kala sebagai raja mahluk halus. Bathara Kala adalah anak yang lahir dan tersesat, sebagai raja jin, setan, ilu-ilu, banas pati, gendruwo, thuyul, dan semua mahluk tidak sempurna lainnya. Anak-anak yang lahir dengan kondisi berikut akan rentan terkena petaka dan penyakit.
Bersumber mitos Bathara Kala itulah, dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan bahwa penyakit dibawa oleh mahluk halus. Penyakit itu biasanya dialami orang per orang atau bisa juga mewabah (terjadi secara masal) yang dalam istilah Jawa disebut “pageblug”.

  1. Mitos Kesaktian dan Kepahlawanan
Mitos orang sakti termasuk mitos budaya. Mitos orang sakti biasa disebarkan lewat tradisi penuturan nyanyian tradisional (tembang), mantra, dongeng, obrolan sehari-hari. Berdasarkan dokumen yang pernah ditemukan Sukatman (1998) yakni Serat Dayat Jati. Kesaktian dapat diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Tuhan (manunggal dengan Tuhan). Wali Songo lewat naskah itu mengajarkan bahwa untuk bisa dekat dan manunggal dengan Tuhan, dalam hidup manusia harus menjalani (i) laku hidup,(ii) pertapaan hidup, dan (iii) cobaan (pantangan) hidup.
Masyarakat Jawa sampai sekarang masih yakin bahwa masjid Agung Demak yang dirikan para wali, salah satu tiangnya terbuat dari “tatal”, yakni sisa-sisa kayu kecil bekas proses pengolahan kayu untuk bagian bagunan. Konon tiang yang terbuat dari “tatal” itu dibuat oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang terkenal digdaya (sakti). Spontan Sunan Kali Jaga mengumpulkan ”tatal” ditata dan diluruskan dengan benang (”disipat”), lalu didoakan maka jadilah satu tiang besar yang diinginkan, dan bekas-bekas penataan ”tatal”-nya masih tampak. Konon, sampai sekarang tiang itu masih ada di salah satu tiang masjid Demak.

  1. Mitos Cinta dan Erotisme dalam Tradisi Lisan
Cinta rupanya cerita yang paling tua dalam kehidupan manusia. Cinta muncul sebagai perekat hubungan pria dan wanita. Pasangan pria-wanita diadakan oleh Tuhan untuk menjaga keseimbangan hidup. Dalam mitos Jawa Hindu Bathara Guru menciptakan Dewi Uma sebagai istrinya sendiri. Dalam mitos Dayak-Ngaju, Ranying Hatala Langit menciptakan Dewa Kangkalingen berjodoh dengan Dewi Jatha Bawalang Bulau. Keduanya kemudian menciptakan sepasang manusia pertama: Manyamei dan Tempon Tiawun sebagai manusia pertama yang turun ke di bumi. Dalam mitos Nias Sumatra Utara, Tuhan bernama Sihai menciptakan lelaki pertama Tuha Sangeha-ngehao, dan menciptakan Buruti Sangaewa-ngaewa sebagai istrinya. Dalam mitos agama langit, Tuhan menciptakan Adam dan istrinya, Hawa, kemudian karena takdirnya diturunkan ke dunia dan beranak-cucu sampai bumi hampir penuh.
Kisah cinta tersebut berkembang sampai saat ini dalam bebagai versi dan berbagai bangsa. Bahkan, dalam masyarakat Jawa kisah cinta itu tidak hanya ada pada dewa dan manusia, tetapi juga pada binatang Mimi dan Mintuna. Mimi dan Mintuna adalah sepasang ikan yang sangat setia, kemanapun pergi selalu berdua. Karena itu, dalam masyarakat Jawa, orang tua selalu mendoakan anaknya yang baru menikah dengan uacapan: “Semoga selalu rukun sampai tua, seperti Mimi dan Mintuna”.
Dalam tradisi lisan Jawa, kisah cinta (a) Bathara Guru Dewi Uma, (b) Dewa Kamajaya Dewi Ratih, (c) Rama Sinta, (d) Janaka Sri Kandi, dan (e) Prana Citra Roro Mendut menimbulkan cerita baru tentang kisah perburuan cinta. Untuk mendapatkan cinta, seseorang berjuang keras. Bahkan, sampai dengan memanfaatkan mantra-mantra khusus.
Mantra yang terkenal tentang pengasihan cinta adalah mantra Aji Jaran Goyang. Untuk mengamalkan mantra ini syaratnya adalah puasa tiga hari, dibaca saat mahgrib, menghadap ke barat. Mandi air kembang, memakai sabuk mori di dalamnya diisi bunga Kanthil. Selesai dibaca kaki dihentakkan tanah tiga kali.
Erotisme dalam teka-teki Teka-teki hanyalah salah satu media ekspresi masyarakat mengenai erotisme. Penggunaan kosa-kata seksual dalam teka-teki merupakan hal yang luar biasa, dan berbeda dengan erotisme dalam folklor yang lainnya. Beberapa teka-teki seksual masih dipublikasikan misalnya, Ganander mempublikasikan teka-teki seksual di Finlandia awal 1783. Sampai sekarang, teka-teki seksual serupa pernah dipublikasikan oleh Taylor (1951) dan Hart (1964), dalam teka-teki Inggris ( Bregenhoj, 1997).

  1. Mitos dalam Nama dan Pencitraan
Sistem penamaan (system of naming) juga disebut nomen clature. Sistem penamaan (nomen clature) merupakan tradisi yang sudah lama berkembang di atas bumi. Bisa diduga tradisi pemberian nama pada manusia ini muncul sejak adanya manusia. Bahkan, Tuhan juga mempunyai nama. Misalnya dalam Islam, Allah mempunyai 99 nama, dan nama itu menggambarkan sifat-sifat Tuhan.
Pemberian nama pada manusia (nama diri) biasanya bersumber dari (1) nama-nama dan sifat Tuhan, (2) nama benda alam semesta seisinya (nama planet, tanah, langit, bulan, gunung, air, angin, api), (3) nama-nam hewan dan tumbuhan), (4) agama (nama dewa, malaikat, nabi, penyebar dan pemimpin agama), (5) nama tokoh mitologi dan sifat-sifatnya, (6), nama tokoh orang terkenal, (7) kata-kata atau konsep positip yang terkait dengan indra manusia (mata, telinga, hidung, jantung-hati atau perasaan, dan pikiran/otak), (8) aktivitas atau profesi manusia, (9) nama hari, bulan, dan tahun, (10) nama daerah tempat kelahiran atau tempat tinggal, (11) nama yang bersumber dari peristiwa alam, dan (12) nama peralatan,.
Nama bukanlah sekedar identitas yang menandai individu. Di dalam nama terkandung doa dan harapan orang tua tentang suatu kondisi yang diinginkan sesuai dengan nama yang dipilih. Di dalam nama tergambar (a) idealisme yang dianut pemilih nama, (b) cita-cita yang hendak dicapai orang tua dan pemilik nama, (c) restu orang tua terhadap anak yang diberi nama, (d) pola pikir budaya pemilih dan pemakai nama, (e) sikap sosiobudaya dan sosiopolitik pemilih dan pemakai nama, dan (f) pilihan religi yang dianut orang tua dan pemilik nama.
Nama berfungsi sebagai (a) identitas seseorang bahwa dia ada, (b) doa (permohonan) orang tua kepada Tuhan dan sekaligus restu orang tua untuk anaknya sesuai dengan makna nama yang dipilih, (c) pelestari nilai budaya yang dimiliki masyarakat pemakai nama, (c) simbol status sosial-politik yang dianut pemilih dan pemakai nama, (d) simbol religi yang dianut orang tua dan pemilik nama, dan (e) pembangun citra manusia yang meliputi ideologi, karakter, dan sikap hidup.

  1. Mitos Kesaktian dan Obat dalam Kidung “Warak Sengkalir”
Mitos budaya dalam tradisi lisan Jawa disebarkan lewat tradisi penuturan ”tembang” (nyanyian tradisional). Sambil melakukan kegiatan seni ini para tetua masyarakat berupaya menanamkan nilai budaya atau nilai moral tertentu. Penanaman nilai moral lewat budaya dilakukan oleh tokoh atau rohaniawan karena lewat kegiatan seni, masyarakat akan terkesan, tidak kaku, dan mudah mengingatnya. Sebagai contoh, salah satu sunan dalam kelompok Wali Songo, yakni Sunan Kali Jaga menciptakan tembang dengan judul “Kidung Warak Sengkalir”, secara bebas berarti nyanyian ajaran simbolik’. Tembang “dhandhang gula” termasuk jenis tembang macapat. Tembang “dhandhang gulo” mempunyai ciri utama “manis“ yaitu memberi nasihat yang manis-manis“ atau tuntunan moral yang baik. Kegiatan penuturan tembang dimaksudkan sebagai aktivitas yang bukan sekedar menjadi totonan, tetapi juga memberi tuntunan (nasihat).
Tafsiran tembang filosofis ini tentu tidak maksimal dan belum mendekati apa yang dimaksudkan oleh Sunan Kali Jaga. Dengan segala kerendahan hati, penulis mencoba menerjemahkan dan menafsirkan isinya, dengan maksud membantu pembaca untuk memahami tembang misteri ini.


  1. Mitos Islamologi dalam Syi’irian ‘Bait 12’ dalam Tradisi Lisan Pesantren Jawa
Mitos budaya dalam tradisi lisan Jawa disebarkan lewat tradisi penuturan ”tembang” (nyanyian tradisional). Sambil melakukan kegiatan seni ini para tetua masyarakat berupaya menanamkan nilai budaya atau nilai moral tertentu. Penanaman nilai moral lewat budaya dilakukan oleh tokoh atau rohaniawan karena lewat kegiatan seni, masyarakat akan terkesan, tidak kaku, dan mudah mengingatnya. Sebagai contoh tradisi syi’iran yang berkembang di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitarnya, masih biasa dilakukan sampai saat ini. Dalam buku ini salah satu syi’ir yang dibahas adalah syi’iran ”Bait 12” yang dituturkan di pesantren ”Nahdhatul Arifin” Ambulu Jember.
Secara umum syi’ir ‘Bait 12’ menggambarkan pada manusia agar menjalankan ajaran Islam. Anjuran untuk belajar syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Berita tentang hakikat manusia yang diciptakan dari unsur tanah, air, api, angin dan ditiupkan jiwa manusia oleh Tuhan untuk hidup di dunia.
  1. Mitos Tanah Jawa Menurut Jangka Jaya Baya
Jaya Baya di kalangan masyarakat Jawa bukanlah nama yang asing lagi, dari masa-ke masa nama tersebut tetap dikenal masyarakat Jawa sebagai seorang raja kesatria. Jaya Baya adalah seorang raja dari kerajaan Kediri yang memerintah tahun 1135-1157 Masehi. Pada masa pemerintahannya raja tersebut, menciptakan ‘kakawin’ (puisi agung) yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Nama itu tidak berlebihan karena dalam puisi Jaya Baya berisi ramalan peristiwa yang akan terjadi (masa depan) di tanah Indonesia. Berdasarkan fakta sejarah yang ada, dan masyarakat merasa ada kecocokan isi ramalan dengan kenyataan.
Ramalan Jaya Baya diciptakan berdasarkan hasil meditasinya di gundukan tanah di daerah Mamenang (Kediri). Menurut pengakuannya dalam cerita, ia adalah titisan dewa Wisnu. Namun tulisan asli Jaya Baya sampai sekarang tidak bisa ditemukan, tetapi masyarakat Jawa masih ada yang menceritakan ulang secara lisan sehingga sampai sekarang bertahan sebagai tradisi lisan. Puisi agung Jaya Baya dikumpulkan ulang dan dilengkapi oleh Ronggowarsito dengan judul Serat Jangka Jayabaya Sabdopalon Nayagenggong.
Menurut ramalan Jayabaya, Jaman Jawa akan berakhir di tahun 2100 tahun matahari atau 2163 dalam hitungan bulan Jawa. Setelah tahun 2100 tanah jawa akan rusak, dan itu sudah menjadi kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Rusak itu diistilahkan kiamat. Umur tanah Jawa 2100 tahun itu dibagi menjadi 3 babak jaman besar, 1) Jaman Kalisura, 2) Jaman Kaliyoga, dan 3) Jaman Kalisengara. Masing-masing jaman tersebut dibagi menjadi tujuh jaman kecil, yang masing-masing jaman kecil lamanya 100 tahun.

  1. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
  1. Kelebihan Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia
Buku karangan Sukatman yang berjudul Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia memiliki kelebihaan di antaranya;
  1. Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia secara efektif dapat digunakan sebagai bahan materi atau referensi mata kuliah tradisi lisan atau sastra lisan Indonesia bagi mahasiswa fakultas sastra Indonesia.
  2. Penulis mengungkap kekayaan mitos-mitos yang ada di daerah Indonesia beserta cerita sejarah yang mendukung.
  3. Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah dipahami pembaca tanpa berbelit-belit, jika terdapat kata-kata bahasa daerah sebagai ilustrasi materi, penulis menyantumkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang terletak di kalimat berikutnya.
  4. Terdapat glosarium pada bagian halaman terakhir buku yang sangat berguna bagi pembaca dalam memahami dan mengartikan kata-kata yang sulit dipahami.

  1. Kekurangan Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia
Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia tidak luput dari kekurangan yang terdapat dalam isi buku, kekurangan tersebut di antaranya;
  1. Secara teknis buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia hanya sebuah pemaparan yang ditulis kembali oleh penulis dari mengutip referensi (pendapat orang) yang sudah ada.
  2. Terlihat dari pemaparan materi setiap subbab, penulis begitu miskin dengan riset data yang dilakukan terkait data-data yang memaparkan isi pembahasan.
  3. Kebanyakan contoh-contoh mitos yang diilustrasikan penulis hanya sebuah penyantuman teks mitos semata, tanpa adanya analisis ilmiah yang mengungkap pengetahuan di balik keistimewaan sejarah terbentuknya mitos.
  4. Pada halaman 35-38 dalam subbab G. Mitos Asal-usul Pantai ‘Watu Ulo’ Jember-Jawa Timur dengan subbab H. Mitos Asal-usul Telaga ‘Ngebel’ di Ponorogo terjadi kesamaan isi teks. Seharusnya isi teks terletak pada subbab H, namun pada subbab G juga tercantum isi teks yang sama.