IDENTITAS
BUKU
- Judul Buku : “Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia”
- Penulis : Dr. Sukatman, M.Pd.
- Editor : Dr. Sukidin, M.Pd.
- Penerbit : Center For Society Studies (CSS)
- Kota dan Tahun Terbit : Jember, 2011 (Cetakan Pertama)
- ISBN : 978-602-8035-65-1
- Jumlah Halaman dan Bab : 238 Lembar, 12 Bab Pembahasan
RESENSI BUKU MITOS DALAM TRADISI
LISAN INDONESIA
- RINGKASAN BUKU
- Mitos dalam Tradisi Lisan
Mitos merupakan
bagian tradisi lisan yang memuat sejumlah nilai moral yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai hal, di antaranya untuk pembinaan watak,
pendidikan multikultural, dan upaya menumbuhkan rasa kebangsaan.
Secara harfiah kata mitos berasal dari bahasa Yunani ‘muthos’;
‘mythos’ yakni memiliki arti sesuatu yang diungkapkan, sesuatu
yang diucapkan, misalnya cerita. Menurut Sukatman (2011:1) mitos
adalah cerita yang bersifat simbolik dan suci yang mengisahkan
serangkaian cerita nyata ataupun imajiner yang berisi asal-usul dan
perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewa, kekuatan supranatural,
pahlawan, manusia, dan masyarakat tertentu yang berfungsi untuk (a)
meneruskan dan menstabilkan kebudayaan, (b) menyajikan
pentunjuk-petunjuk hidup, (c) mengesahkan aktivitas kebudayaan, (d)
memberi makna hidup manusia, (e) memberikan model pengetahuan untuk
menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal dan pelik. Pengertian mitos
relatif beragam, karena disusun oleh bermacam-macam ahli dengan sudut
pandang yang berbeda.
Mitos bukan sekedar
dongeng, mitos memberikan model dan arkhetripe yang dijadikan
referensi tindakan dan sikap hidup manusia. Tindakan yang dimaksud
adalah tindakan spiritual religius, bukan tindakan profan
sehari-hari. Mitos mengandung kebenaran yang membentuk
kekuatan-kekuatan religius-magis bagi kehidupan manusia. Namun dalam
kehidupan manusia modern, mitos mulai ditinggalkan. Akan tetapi,
manusia modern tidak bisa sepenuhnya terlepas dari mitos.
Ketergantungan itu ditunjukkan dengan masih adanya sikap-sikap
mistis, utamanya saat manusia modern terbentur dengan kesulitan hidup
yang di luar jangkauan kekuatan manusia. Mitos-mitos dalam manusia
modern merosot dalam bentuk legenda, epos, dan balada.
Dalam
kehidupan masyarakat mitos mempunyai ciri bersifat sakral atau
disucikan oleh masyarakat pemilik, imajiner sehingga cenderung tidak
bisa dijumpai dalam dunia nyata, dan merupakan sumber tatanilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat pemilik mitos dan nyata-tidaknya
mitos tidak menjadi persoalan penting.
Klasifikasi jenis
mitos yang ada amat beragam, menunjukkan bahwa sudut pandang
penggolongan mitos amat beragam. Berdasarkan keluasan isi dan
substansi isinya, menurut Sukatman (2011:6-7) mitos dapat
dikelompokkan menjadi (1) mitos awal penciptaan, (2) mitos kosmogoni,
(3) mitos asal-usul, (4) mitos mahluk adikodrati, (5) mitos
antropogenik, (6) mitos kepahlawanan (heroisme), (7) mitos
transformasi, (8) mitos languagenik, (9) mitos ekhsatoik, (10) mitos
ritual atau penyembahan.
Mitos difungsikan
sebagai sarana untuk mengajarkan sains tentang aturan alam semesta
(kosmos) kepada manusia. Pada masa primitif manusia mengenal dan
memahami alam yang mereka diami melalui mitos. Mitos juga difungsikan
sebagai upaya mendukung dan memapankan tatanan sosial. Melalui mitos
manusia menata kehidupan sosial dengan mengukuhkan berbagai aturan.
Dalam kondisi ini akhirnya mitos menjadi sumber pola tindakan manusia
dalam berinteraksi sosial.
- Mitos Penciptaan Jagad Raya
Mitos awal penciptaan
adalah mitos yang menceritan penciptaan alam semesta yang sebelumnya
sama sekali tidak ada. Alam semesta diciptakan lewat
pemikiran, sabda, atau usaha dari dewa. Apabila penciptaan alam
semesta itu dengan menggunakan sarana yang sudah ada atau
dengan perantara disebut mitos kosmogoni. Di Indonesia, berdasarkan
bentuk kesastraan yang ada, mitos awal penciptaan disebarkan dan
dituturkan dalam bentuk hibrida dengan bentuk-bentuk tradisi lisan
yang berupa mantra, serat, cerita wayang, Hoho (puisi naratif klasik
Nias), dan sebagainya.
Dalam buku yang ditulis Sukatman,
terdapat contoh mitos penciptaan jagad raya menurut beberpa versi
yang dipercayai oleh masing-masin masyarakat daerah di Indonesia.
Diantaranya mitos Awal Penciptaan Jagad Raya dalam Tradisi Lisan
Jawa, Mitos Awal Penciptaan Jagad Raya
dalam Tradisi Lisan Nias Sumatra Utara, Mitos Awal
Penciptaan Jagad Raya dalam Tradisi Lisan Dayak Ngaju Borneo, Mitos
Kosmogoni dalam Tradisi Lisan Cina,Mitos Kosmogoni dalam Tradisi
Lisan Amungme-Papua.
- Mitos Asal-usul
Mitos
asal-usul mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu
(munculnya) benda-benda yang ada, setelah alam ini diciptakan. Mitos
asal-usul merupakan pembuka rahasia dunia yang termanisfestasikan
dalam budaya manusia. Mitos ini berguna untuk memberikan model
pengetahuan dan menjelaskan hal-hal yang tidak masuk akal dan sulit
dipahami oleh nalar manusia.
Mitos asal-usul
merupakan kisah lanjutan dari mitos awal penciptaan dan mitos
kosmogoni. Karena itu mitos asal-usul merupakan mitos lanjutan dari
mitos kosmogoni dan proses penuturannya dalam tradisi lisan berbagai
bangsa sering melekat dan bahkan terkesan tumpang tindih. Dalam buku
dipaparkan beberapa contoh mitos asal-usul yang terjadi di Indonesia,
salah satunya mitos asal-usul telaga ‘Ngebel’ di Ponorogo.
- Mitos Roh Penunggu dan Mitos Ritual
Komunikasi anatara
manusia dengan roh, dalam masyakat Jawa dipercaya ada. Tentu hanya
dilakukan oleh pawang tertentu saja. Masyarakat Jawa percaya bahwa
pawang bisa memanggil roh dengan mantra-mantra. Bacaan mantra bisa
mendatangkan dan bila ada yang mampu menjadi perantara, roh bisa
masuk ke tubuh orang lain, sehingga bisa berkomunikasi dengan orang
awam. Peristiwa ini misalnya terdapat dalam uapacara rakyat
”Seblang” di Banyuwangi.
Mitos difungsikan
ritual sebagai upaya mendukung dan memapankan tatanan sosial. Melalui
mitos manusia menata kehidupan sosial dengan mengukuhkan berbagai
aturan. Dalam kondisi ini akhirnya mitos menjadi sumber pola tindakan
manusia dalam berinteraksi sosial. Sebagai contoh mitos Nyai Roro
Kidul: Penguasa Laut Selatan. Masyarakat Jawa di pesisir selatan yang
umumnya petani dan sebagai nelayan, percaya bahwa di laut selatan
terdapat kerajaan makhluk halus yang disebut Nyai Roro Kidul. Setiap
tahun baru tanggal 1 Suro, kerajaan mengadakan selamatan. Untuk ikut
merayakan pesta kerajaan itu, biasanya masyarakat nelayan dan petani
pantai selatan pulau Jawa mengadakan upacara selamatan larung sesaji
di laut selatan. Sesaji larung itu berupa kepala kerbau dan juga
berbagai hasil pertanian.
- Mitos Sumber Penyakit dan Pengobatan
Mitos roh halus
sebagai sumber penyakit dipercayai di kalangan masyarakat Madura.
Agar masyarakat terhindar dari petaka penyakit tersebut mereka
mengadakan ritual yang disebut ‘rokat’. Dalam
upacara ”rokat”, ruwatan anak perlu dilakukan masyarakat Madura
karena anak yang tidak diruwat akan terkena petaka. Petaka itu
bersumber dari mahluk halus Bathara Kala.
Mitos
Bathara Kala sebagai sumber petaka dan penyakit ini juga terdapat
dalam Masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga mengenal mitos Bathara
Kala sebagai raja mahluk halus. Bathara Kala adalah anak yang lahir
dan tersesat, sebagai raja jin, setan, ilu-ilu, banas pati, gendruwo,
thuyul, dan semua mahluk tidak sempurna lainnya. Anak-anak yang lahir
dengan kondisi berikut akan rentan terkena petaka dan penyakit.
Bersumber
mitos Bathara Kala itulah, dalam masyarakat Jawa
terdapat kepercayaan bahwa penyakit dibawa oleh mahluk halus.
Penyakit itu biasanya dialami orang per orang atau bisa juga mewabah
(terjadi secara masal) yang dalam istilah Jawa disebut “pageblug”.
- Mitos Kesaktian dan Kepahlawanan
Mitos
orang sakti termasuk mitos budaya. Mitos orang sakti biasa
disebarkan lewat tradisi penuturan nyanyian tradisional (tembang),
mantra, dongeng, obrolan sehari-hari. Berdasarkan dokumen yang pernah
ditemukan Sukatman (1998) yakni Serat
Dayat Jati. Kesaktian dapat diperoleh
dengan mendekatkan diri kepada Tuhan (manunggal dengan Tuhan). Wali
Songo lewat naskah itu mengajarkan bahwa untuk bisa dekat dan
manunggal dengan Tuhan, dalam hidup manusia harus menjalani (i) laku
hidup,(ii) pertapaan hidup, dan (iii) cobaan (pantangan) hidup.
Masyarakat
Jawa sampai sekarang masih yakin bahwa masjid Agung Demak yang
dirikan para wali, salah satu tiangnya terbuat dari “tatal”,
yakni sisa-sisa kayu kecil bekas proses pengolahan kayu untuk bagian
bagunan. Konon tiang yang terbuat dari “tatal” itu dibuat oleh
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang terkenal digdaya (sakti).
Spontan Sunan Kali Jaga mengumpulkan
”tatal” ditata dan diluruskan dengan benang (”disipat”), lalu
didoakan maka jadilah satu tiang besar yang diinginkan, dan
bekas-bekas penataan ”tatal”-nya masih tampak. Konon, sampai
sekarang tiang itu masih ada di salah satu tiang masjid Demak.
- Mitos Cinta dan Erotisme dalam Tradisi Lisan
Cinta rupanya cerita
yang paling tua dalam kehidupan manusia. Cinta muncul sebagai perekat
hubungan pria dan wanita. Pasangan pria-wanita diadakan oleh Tuhan
untuk menjaga keseimbangan hidup. Dalam mitos Jawa Hindu Bathara
Guru menciptakan Dewi Uma sebagai istrinya sendiri. Dalam
mitos Dayak-Ngaju, Ranying Hatala Langit menciptakan Dewa
Kangkalingen berjodoh dengan Dewi Jatha Bawalang Bulau.
Keduanya kemudian menciptakan sepasang manusia pertama: Manyamei
dan Tempon Tiawun sebagai manusia pertama yang turun ke di
bumi. Dalam mitos Nias Sumatra Utara, Tuhan bernama Sihai menciptakan
lelaki pertama Tuha Sangeha-ngehao, dan menciptakan Buruti
Sangaewa-ngaewa sebagai istrinya. Dalam mitos agama langit, Tuhan
menciptakan Adam dan istrinya, Hawa, kemudian karena
takdirnya diturunkan ke dunia dan beranak-cucu sampai bumi hampir
penuh.
Kisah cinta tersebut
berkembang sampai saat ini dalam bebagai versi dan berbagai bangsa.
Bahkan, dalam masyarakat Jawa kisah cinta itu tidak hanya ada pada
dewa dan manusia, tetapi juga pada binatang Mimi dan Mintuna.
Mimi dan Mintuna adalah sepasang ikan yang sangat
setia, kemanapun pergi selalu berdua. Karena itu, dalam masyarakat
Jawa, orang tua selalu mendoakan anaknya yang baru menikah dengan
uacapan: “Semoga selalu rukun sampai tua, seperti Mimi dan
Mintuna”.
Dalam
tradisi lisan Jawa, kisah cinta (a) Bathara
Guru Dewi Uma, (b) Dewa Kamajaya
Dewi Ratih, (c) Rama Sinta,
(d) Janaka Sri Kandi, dan (e) Prana Citra
Roro Mendut menimbulkan cerita baru tentang kisah
perburuan cinta. Untuk mendapatkan cinta, seseorang berjuang keras.
Bahkan, sampai dengan memanfaatkan mantra-mantra khusus.
Mantra yang terkenal tentang pengasihan cinta adalah mantra Aji Jaran
Goyang. Untuk mengamalkan mantra ini syaratnya
adalah puasa tiga hari, dibaca saat mahgrib, menghadap ke barat.
Mandi air kembang, memakai sabuk mori di dalamnya diisi bunga
Kanthil. Selesai dibaca kaki dihentakkan tanah tiga kali.
Erotisme dalam
teka-teki Teka-teki hanyalah salah satu media ekspresi masyarakat
mengenai erotisme. Penggunaan kosa-kata seksual dalam teka-teki
merupakan hal yang luar biasa, dan berbeda dengan erotisme dalam
folklor yang lainnya. Beberapa teka-teki seksual masih dipublikasikan
misalnya, Ganander mempublikasikan teka-teki seksual di Finlandia
awal 1783. Sampai sekarang, teka-teki seksual serupa pernah
dipublikasikan oleh Taylor (1951) dan Hart (1964), dalam teka-teki
Inggris ( Bregenhoj, 1997).
- Mitos dalam Nama dan Pencitraan
Sistem
penamaan (system of naming)
juga disebut nomen clature.
Sistem penamaan (nomen clature) merupakan tradisi yang sudah lama
berkembang di atas bumi. Bisa diduga tradisi pemberian nama pada
manusia ini muncul sejak adanya manusia. Bahkan, Tuhan juga mempunyai
nama. Misalnya dalam Islam, Allah mempunyai 99 nama, dan nama itu
menggambarkan sifat-sifat Tuhan.
Pemberian
nama pada manusia (nama diri) biasanya bersumber dari (1) nama-nama
dan sifat Tuhan, (2) nama benda alam semesta seisinya (nama planet,
tanah, langit, bulan, gunung, air, angin, api), (3) nama-nam hewan
dan tumbuhan), (4) agama (nama dewa, malaikat, nabi, penyebar dan
pemimpin agama), (5) nama tokoh mitologi dan sifat-sifatnya, (6),
nama tokoh orang terkenal, (7) kata-kata atau konsep positip yang
terkait dengan indra manusia (mata, telinga, hidung, jantung-hati
atau perasaan, dan pikiran/otak), (8) aktivitas atau profesi
manusia, (9) nama hari, bulan, dan tahun, (10) nama daerah tempat
kelahiran atau tempat tinggal, (11) nama yang bersumber dari
peristiwa alam, dan (12) nama peralatan,.
Nama bukanlah sekedar
identitas yang menandai individu. Di dalam nama terkandung doa dan
harapan orang tua tentang suatu kondisi
yang diinginkan sesuai dengan nama yang dipilih. Di dalam nama
tergambar (a) idealisme yang dianut pemilih nama, (b) cita-cita yang
hendak dicapai orang tua dan pemilik nama, (c) restu orang tua
terhadap anak yang diberi nama, (d) pola pikir budaya pemilih dan
pemakai nama, (e) sikap sosiobudaya dan sosiopolitik pemilih dan
pemakai nama, dan (f) pilihan religi yang dianut orang tua dan
pemilik nama.
Nama berfungsi
sebagai (a) identitas seseorang bahwa dia ada, (b) doa (permohonan)
orang tua kepada Tuhan dan sekaligus restu orang tua untuk anaknya
sesuai dengan makna nama yang dipilih, (c) pelestari nilai budaya
yang dimiliki masyarakat pemakai nama, (c) simbol status
sosial-politik yang dianut pemilih dan pemakai nama, (d) simbol
religi yang dianut orang tua dan pemilik nama, dan (e) pembangun
citra manusia yang meliputi ideologi, karakter, dan sikap hidup.
- Mitos Kesaktian dan Obat dalam Kidung “Warak Sengkalir”
Mitos budaya dalam
tradisi lisan Jawa disebarkan lewat tradisi penuturan ”tembang”
(nyanyian tradisional). Sambil melakukan kegiatan seni ini para tetua
masyarakat berupaya menanamkan nilai budaya atau nilai moral
tertentu. Penanaman nilai moral lewat budaya dilakukan oleh tokoh
atau rohaniawan karena lewat kegiatan seni, masyarakat akan terkesan,
tidak kaku, dan mudah mengingatnya. Sebagai contoh, salah satu sunan
dalam kelompok Wali Songo, yakni Sunan Kali Jaga menciptakan
tembang dengan judul “Kidung Warak Sengkalir”, secara bebas
berarti nyanyian ajaran simbolik’. Tembang “dhandhang gula”
termasuk jenis tembang macapat. Tembang “dhandhang gulo”
mempunyai ciri utama “manis“ yaitu memberi nasihat yang
manis-manis“ atau tuntunan moral yang baik. Kegiatan penuturan
tembang dimaksudkan sebagai aktivitas yang bukan sekedar menjadi
totonan, tetapi juga memberi tuntunan (nasihat).
Tafsiran
tembang filosofis ini tentu tidak maksimal dan belum mendekati apa
yang dimaksudkan oleh Sunan Kali Jaga. Dengan segala kerendahan hati,
penulis mencoba menerjemahkan dan menafsirkan isinya, dengan maksud
membantu pembaca untuk memahami tembang misteri ini.
- Mitos Islamologi dalam Syi’irian ‘Bait 12’ dalam Tradisi Lisan Pesantren Jawa
Mitos
budaya dalam tradisi lisan Jawa disebarkan lewat tradisi penuturan
”tembang” (nyanyian tradisional). Sambil melakukan kegiatan seni
ini para tetua masyarakat berupaya menanamkan nilai budaya atau
nilai moral tertentu. Penanaman nilai moral lewat budaya dilakukan
oleh tokoh atau rohaniawan karena lewat kegiatan seni, masyarakat
akan terkesan, tidak kaku, dan mudah mengingatnya. Sebagai contoh
tradisi syi’iran yang berkembang di lingkungan pesantren dan
masyarakat sekitarnya, masih biasa dilakukan sampai saat ini. Dalam
buku ini salah satu syi’ir yang
dibahas adalah
syi’iran
”Bait 12” yang dituturkan di pesantren ”Nahdhatul Arifin”
Ambulu Jember.
Secara umum syi’ir ‘Bait 12’
menggambarkan pada manusia agar menjalankan ajaran Islam. Anjuran
untuk belajar syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Berita tentang
hakikat manusia yang diciptakan dari unsur tanah, air, api, angin dan
ditiupkan jiwa manusia oleh Tuhan untuk hidup di dunia.
- Mitos Tanah Jawa Menurut Jangka Jaya Baya
Jaya
Baya di kalangan masyarakat Jawa bukanlah nama yang asing lagi, dari
masa-ke masa nama tersebut tetap dikenal masyarakat Jawa sebagai
seorang raja kesatria. Jaya Baya adalah seorang raja dari kerajaan
Kediri yang memerintah tahun 1135-1157 Masehi. Pada masa
pemerintahannya raja tersebut, menciptakan ‘kakawin’ (puisi
agung) yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Jangka
Jayabaya atau Ramalan Jayabaya. Nama itu tidak berlebihan karena
dalam puisi Jaya Baya berisi ramalan peristiwa yang akan terjadi
(masa depan) di tanah Indonesia. Berdasarkan fakta sejarah yang ada,
dan masyarakat merasa ada kecocokan isi ramalan dengan kenyataan.
Ramalan Jaya Baya diciptakan berdasarkan hasil meditasinya di
gundukan tanah di daerah Mamenang (Kediri). Menurut pengakuannya
dalam cerita, ia adalah titisan dewa Wisnu. Namun tulisan asli Jaya
Baya sampai sekarang tidak bisa ditemukan, tetapi masyarakat Jawa
masih ada yang menceritakan ulang secara lisan sehingga sampai
sekarang bertahan sebagai tradisi lisan. Puisi agung Jaya Baya
dikumpulkan ulang dan dilengkapi oleh Ronggowarsito dengan judul
Serat Jangka Jayabaya Sabdopalon Nayagenggong.
Menurut ramalan Jayabaya, Jaman
Jawa akan berakhir di tahun 2100 tahun matahari atau 2163 dalam
hitungan bulan Jawa. Setelah tahun 2100 tanah jawa akan rusak, dan
itu sudah menjadi kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Rusak itu
diistilahkan kiamat. Umur tanah Jawa 2100 tahun itu dibagi menjadi 3
babak jaman besar, 1) Jaman Kalisura, 2) Jaman Kaliyoga, dan 3) Jaman
Kalisengara. Masing-masing jaman tersebut dibagi menjadi tujuh jaman
kecil, yang masing-masing jaman kecil lamanya 100 tahun.
- KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
- Kelebihan Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia
Buku karangan
Sukatman yang berjudul Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia
memiliki kelebihaan di antaranya;
- Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia secara efektif dapat digunakan sebagai bahan materi atau referensi mata kuliah tradisi lisan atau sastra lisan Indonesia bagi mahasiswa fakultas sastra Indonesia.
- Penulis mengungkap kekayaan mitos-mitos yang ada di daerah Indonesia beserta cerita sejarah yang mendukung.
- Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah dipahami pembaca tanpa berbelit-belit, jika terdapat kata-kata bahasa daerah sebagai ilustrasi materi, penulis menyantumkan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang terletak di kalimat berikutnya.
- Terdapat glosarium pada bagian halaman terakhir buku yang sangat berguna bagi pembaca dalam memahami dan mengartikan kata-kata yang sulit dipahami.
- Kekurangan Buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia
Buku Mitos
dalam Tradisi Lisan Indonesia tidak luput dari kekurangan
yang terdapat dalam isi buku, kekurangan tersebut di antaranya;
- Secara teknis buku Mitos dalam Tradisi Lisan Indonesia hanya sebuah pemaparan yang ditulis kembali oleh penulis dari mengutip referensi (pendapat orang) yang sudah ada.
- Terlihat dari pemaparan materi setiap subbab, penulis begitu miskin dengan riset data yang dilakukan terkait data-data yang memaparkan isi pembahasan.
- Kebanyakan contoh-contoh mitos yang diilustrasikan penulis hanya sebuah penyantuman teks mitos semata, tanpa adanya analisis ilmiah yang mengungkap pengetahuan di balik keistimewaan sejarah terbentuknya mitos.
- Pada halaman 35-38 dalam subbab G. Mitos Asal-usul Pantai ‘Watu Ulo’ Jember-Jawa Timur dengan subbab H. Mitos Asal-usul Telaga ‘Ngebel’ di Ponorogo terjadi kesamaan isi teks. Seharusnya isi teks terletak pada subbab H, namun pada subbab G juga tercantum isi teks yang sama.