Jumat, 08 April 2011

Analisis Stilistika (Retorika)

POTRET GAYA BAHASA DALAM CERPEN TERBANG KARYA AYU UTAMI: TINJAUAN ILMU STILISTIKA


Oleh Kelompok:

1.ERIECK NORMADIANSYAH (070210402098)
2.MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
3.FERI ANGGRIAWAN (080210402011)
4.ABDUL WARIS GUNAWAN (080210402033)
5.NUNUNG WAHYU HIDAYAT (080210402037)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011

A.PENDAHULUAN

Cerita pendek merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut Soeharianto (1982), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang. cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.
Di dalam penulisan karya sastra seperti cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang yakni melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).
Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Terbang karya Ayu Utami. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak gaya bahasa. Sehingga dari kelebihan itulah disini peniliti menentukan rumusan masalah berdasarkan analisa gaya bahasa yang terdapat dalam cerpen Terbang karya Ayu Utami yang ditinjau dari ilmu stilistika.




B.TINJAUAN TEORI

1.Definisi Stilistika
Analisis stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan untuk tujuan tertentu.
Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari. Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.
Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Terbang karya Ayu Utami. Hampir di setiap paragrafnya terdapat gaya bahasa yang menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Jadi dari kelebihan cerpen inilah peniliti mengambil

2.Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu. Selain itu gaya bahasa juga sebagai pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan baik secara lisan maupun tulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Aminudddin. 1995). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang.
Meskipun ada banyak macam gaya bahasa ataupun majas, di dalam analisis ini peniliti hanya menekankan pada kenyataan macam majas yang terdapat dalam cerpen Terbang karya Ayu Utami ini. Berikut daftar gaya bahasa yang terdapat dalam cerita.
a)Alegori
Adalah cara menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
b)Simile
Adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperi layaknya, bagaikan, bagai dan seperti.
c)Metafora
Adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis satu hal dengan hal lain, dengan menghilangkan kata-kata seperti, layaknya, bagaikan.
d)Aptronim
adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan.
e)Litotes
Adalah ungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri.
f)Hiperbola
Adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal.
g)Personifikasi
Adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
h)Eksklamasio
Adalah ungkapan dengan menggunakan kata seru. Misalnya wah, ahh, ohh, lho, dll.






C.PEMBAHASAN

1)Hiperbola
Adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa hiperbola:

Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. (Paragraf 6)

Analisis gaya bahasa hiperbola di atas begitu nampak pada maksud tokoh yang begitu melebih-lebihkan dugaan yang belum dialaminya. Padahal kalau dipikir secara rasional dugaan itu hanyalah sebuah perasaan takut (menghantu-hantui/ trauma) yang dialami tokoh hendak naik pesawat terbang.

2)Metafora
Adalah pengungkapan berupa perbandingan analogis satu hal dengan hal lain, dengan menghilangkan kata-kata seperti, layaknya, bagaikan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa metafora:

Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik. (Paragraf 4)

Analisis metafora pada kutipan cerita di atas nampak pada usaha membandingkan kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat hal ini dilakukan pengarang tanpa menggunakan kata-kata seperti, ataupun bagaikan untuk menegaskan gaya bahasa metafora.

3)Personifikasi
Adalah cara pengungkapan dengan menjadikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa personifikasi:

Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun! (Paragraf 6)

Analisis personifikasi pada kutipan cerita di atas terbukti pada usaha penginsanan terhadap benda mati sebagai manusia yang dilakukan pengarang nampak pada nama macam-macam pesawat yang mengalami kecelakaan. Nama macam-macam pesawat itu diibaratkan manusia yang mengalami musibah tanpa adanya dugaan dan perkiraan sebelum musibah menimpa.

4)Simile
Adalah pengungkapan dengan menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung seperi layaknya, bagaikan, bagai dan seperti. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa simile:

Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. (Paragraf 8)

Analisis simile pada kutipan cerita di atas yakni pengarang menggunakan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan menggunakan kata seperti sebagai pengibaratan mesin pesawat yang sudah menyala dengan makhluk hidup yang terkena bronkitis.

5)Litotes
Adalah ungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan diri. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa litotes:

Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. (Paragraf 7)

Analisis litotes pada kutipan cerita di atas nampak pada pengungkapan berupa mengkecilkan fakta dengan tujuan untuk merendahkan. Hal ini dilukiskan pengarang pada pengungkapan tokoh dalam menilai bandara yang seharusnya berukuran luas dan megah disamarkan berukuran kecil seperti rumah.

6)Alegori
Adalah cara menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa alegori:

Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. (Paragraf 12)

Analisis alegori pada kutipan cerita di atas dilakukan pengarang dengan menggambarkan postur seorang peniliti lapangan dengan menggunakan bahasa kiasan yang alamiah atau berkaitan dengan fenomena yang ada pada seorang peniliti lapangan tersebut.

7)Aptronim
adalah pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa aptronim:

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. (Paragraf 17)

Analisis aptronim pada kutipan cerita di atas nampak pada pemberian nama salah satu tokoh cerita yang cocok dengan sifat atau peringainya. Hal ini dilakukan pengarang dalam pemberian nama pada laki-laki yang memiliki sifat baik.

8)Eksklamasio
Adalah ungkapan dengan menggunakan kata seru. Misalnya wah, ahh, ohh, lho, dll. Berikut kutipan cerita yang terdapat gaya bahasa eksklamasio:

Ohhh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”

Analisis eksklamasio pada kutipan cerita di atas terdapat pada penggunaan kata ‘Ohhh’ sebagai pengungkapan rasa ketakjuban, kagum, atupun heran. Terungkap ketika seseorang melihat ataupun tahu akan sesuatu hal yang baru atau beda.

D.KESIMPULAN
Dari analisis cerpen Terbang karya Ayu Utami yang ditinjau dari ilmu stilistika dapat disimpulkan bahwa di dalam cerpen tersebut mengandung gaya bahasa yang terdiri dari hiperbola, personifikasi, metafora, simile, litotes, alegori, aptronim dan eksklamasio. Gaya bahasa tersebut dimanfaatkan pengarang sebagai usaha memberikan efek estetis atau keindahan dalam cerita. Walaupun sebenarnya, tema yang diangkat Ayu Utami dalam cerpen Terbang ini merupakan tema yang sederhana, tetapi dengan kejelian dan teknik penulisan pengarang yang begitu baik maka cerpen ini menjadi karya sastra yang luar biasa. Hal keluarbiasaan itu nampak pada kekayaan gaya bahasa yang ada dalam cerita, sehingga begitu nikmat jika dibaca oleh pembaca. Hal ini menjadikan karya Ayu Utami menjadi lebih hidup dan berbeda degan karya lainnya.


E.DAFTAR RUJUKAN
Aminudddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
http://beningembun-apriliasya.blogspot.com/2010/07/kajian-stilistika-terhadap-cerpen.html
http://cerpenkompas.wordpress.com/tag/ayu-utami/
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2002. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimutri. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Semarang : IKIP Semarang Press.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.





F.CERPEN

TERBANG
Oleh: Ayu Utami

Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya.
Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya. ………Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.
Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.
Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik.
Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi dalam satu tahun!
Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu.
Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.
Titik.
Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil, yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.
Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat.
Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam, termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku, yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.
Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang.
Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang cemberut karena ia membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke dalam kabin di atas kepalaku. Ia mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat manusia. Aku membalas ringan dia, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai ber- gerak. Jati melambai di bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!
Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan, tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker “kurangi plastik”. Ia mengenakan sepatu gunung Eiger.
Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan. Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan.
Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Sia-sia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.
Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis, Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal lingkungan.
Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman. Sialan. Kuno amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas lega yang pertama, dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia bereaksi terhadap bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan sekalian, seperti apa mukanya.
Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sa- ngat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.
Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!
Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.
“Sudah pernah baca?” tanyaku.
“Boleh lihat?”
Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?
“Macam-macam sudah saya coba,” katanya. “Saya pernah kerja di pertambangan. Saya pernah kerja di kapal.”
“Di kapal?”
“Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer….”
“Jadi juru masak?”
“Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal….”
Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan ketimbang peneliti.
“Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga….”
Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi wajahnya tulus seperti hewan.
“Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam kampung tidak begitu, kan?” tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.
Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. “Sesungguhnya, buat saya itu juga misterius.”
Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengaku-ngaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?
Tebakanku tidak terlalu meleset.
“Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu. Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh.”
Oh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”
“Saya,” ia berdehem, “saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek. Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?”
“Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?” “Untuk satu majalah luar negeri.”
Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar. Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak sengaja.
Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih purba dan yang lebih baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia neanderthal, dengan ciri-ciri bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua spesies itu ada bercampur pula. Maka, keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-kadang ditemukan di kehidupan sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol. “Seperti saya, barangkali.” Ia nyengir lucu.
Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus seperti hewan? Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.
“Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?”
“Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan, digital memang tak terkalahkan.”
“Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai. Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.”
Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?
“Kenapa,” kataku agak grogi, mencari tema baru. “kenapa kamera digital semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?” Tapi ini bukan tema baru. Ini tema yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua.
“Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan. Tapi tidak ada yang mau baca.”
“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali memotret?”
“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”
“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu kapasitas orgasme.”Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.
“Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis,” kataku lagi.
Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu apa motifku. Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku sesungguhnya sudah merasa intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu apa yang kukatakan.
Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar. Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.
Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?
Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi.
Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.
Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku bersandar di bahunya.
Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi bagasi.
Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang dibawa Jati….




Kompas, 13 Maret 2008

PEMBELAJARAN BIPA

PEMBELAJARAN MENULIS PARAGRAF DESKRIPSI

SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BIPA



Oleh :

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011



MENULIS PARAGRAF DESKRIPSI DALAM PEMBELAJARAN BIPA
A.PENGERTIAN MENULIS
Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca (Tarigan, 1986:21). Dari pendapat ahli tersebut mengacu pada menulis sebagai proses melambangkan bunyi-bunyi ujaran berdasarkan aturan-aturan tertentu. Artinya, segala ide, pikiran, dan gagasan yang ada pada penulis disampaikan dengan cara menggunakan lambang-lambang bahasa yang terpola. Melalui lambang-lambang tersebutlah pembaca dapat memahami apa yang dikomunikasikan penulis.
Di dalam pembelajaran BIPA, menulis bertujuan untuk menjadikan anak didik memiliki pengetahuan menulis, bersikap positif terhadap ilmu dan aktivitas, sehingga mampu mencapai kegiatan keterampilan menulis dengan hasil yang baik dan benar.

B.PARAGRAF DESKRIPSI
Paragraf deskripsi adalah paragraf yang menggambarkan sesuatu dengan jelas dan terperinci. Paragraf deskrispi bertujuan melukiskan atau memberikan gambaran terhadap sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, membaca, atau merasakan hal yang dideskripsikan.
1.Paragraf deskripsi memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Menggambarkan atau melukiskan sesuatu,
Penggambaran tersebut dilakukan sejelas-jelasnya dengan melibatkan kesan indera,
Membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri atau mengalami sendiri.

2.Pola pengembangan paragraf deskripsi.
Paragraf Deskripsi Spasial, paragraf ini menggambarkan objek kusus ruangan, benda atau tempat.
Paragraf Deskripsi Subjektif, paragraf ini menggambarkan objek seperti tafsiran atau kesan perasaan penulis.
Paragraf Deskripsi Objektif, paragraf ini menggambarkan objek dengan apa adanya atau sebenarnya.

3.Langkah menyusun paragraf deskripsi.
Menentukan objek atau tema yang akan dideskripsikan
Menentukan tujuan penulisan
Mengumpulkan data dengan mengamati objek yang akan dideskripsikan
Menyusun data tersebut ke dalam urutan yang baik (menyusun kerangka karangan).

4.Contoh paragraf deskripsi
Tema: Fenomena Pagi
Tepat pada pukul 06.00 aku terbangun, diiringi dengan suara-suara ayam yang berkokok. Seolah-olah ayam itu menyanyi sambil membangunkan orang-orang yang masih tidur. Serta dapat ku matahari mulai menampakkan diri dari ujung timur. Fenomena itu terjadi, pertanda pagi telah datang.

C.MENULIS PARAGRAF DESKRIPSI DALAM PEMBELAJARAN BIPA
Pembelajaran menulis paragraf deskripsi dalam pembelajaran BIPA, hendaknya selalu diarahkan kepada terampil menulis dalam bahasa Indonesia (bahasa target). Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang pengajar dalam merencanakan pengajarannya harus memperhatikan bagaimana cara menulis paragraf deskripsi yang baik dan benar? Tentunya pengajar harus mampu menjelaskan bagaimana ciri-ciri, pola paragraf, dan langkah-langkah penulisan paragraf deskripsi kepada peserta didik.
Hasil tulisan dari peserta didik tersebut nantinya didiskusikan bersama di depan kelas, sehingga peserta didik diharapkan mengetahui kelemahan dan keunggulannya dalam menulis paragraf deskripsi. Sehingga di akhir pembelajaran ini diperoleh out put, dimana peserta didik terampil menulis dan mengerti tentang kaidah-kaidah menulis paragraf deskripsi dalam bahasa target (bahasa Indonesia).
Berikut ini wujud dari pembelajaran menulis paragraf deskripsi dalam pembelajaran BIPA. Disini penyusun mencoba menggunakan media gambar, yang bertujuan untuk membantu kemampuan mendeskripsikan kalimat ke dalam bahasa target (bahasa Indonesia). Diharapkan dengan melihat gambar, peserta didik mampu mendeskripsikan gambar ke dalam kata dan kalimat hingga membentuk suatu paragraf deskripsi.
Berikut ini langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan oleh pengajar.
a)Berikut ada tiga gambar yang dapat dideskripsikan ke dalam kegiatan menulis paragraf deskripsi.











b)Dari ketiga gambar di atas, pengajar dapat menyuruh peserta didik untuk memilih salah satu gambar untuk dideskripsikan sesuai dengan karakter gambar yang dipilih ke dalam kegiatan menulis paragraf deskripsi.

c)Jika ada peserta didik merasa kesulitan untuk memahami karakter gambar yang dipilih, pengajar dapat membantu dengan menunjukkan kata kunci bantuan (ciri khas dari gambar). Misalkan saja kata kunci bantuan untuk Gambar 2 (Kambing). Berupa kata: Rumput, Berbulu, ataupun Bertanduk.

d)Di sela-sela kegiatan menulis, pengajar tidak lupa mengamati proses kegiatan menulis peserta didik dan memberikan stimulus berupa motivasi.

e)Jika kegiatan menulis peserta didik selesai, pengajar mempersilahkan peserta didik untuk membacakan hasil tulisannya di depan kelas. Dari sinilah pengajar memberikan penilaian dan evaluasi atas hasil proses belajar peserta didik.

Berikut ini contoh dari tulisan paragraf deskripsi tentang penjelasan Gambar 1 (Bus Sekolah).

Di pagi hari Ibu sudah membangunkanku dari tidur tepat pada pukul 05.30. Sebab aku akan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Jika aku tetap bermalas-malasan di tempat tidur, pastinya aku akan ketinggalan bus sekolah. Biasanya bus sudah datang menjemputku pada pukul 06.00. Kedatangan bus sekolah selalu tepat waktu. Aku dan teman-temanku selalu menikmati jika sudah berada di dalam bus. Hingga tak terasa bus sudah mengantarkan kami dengan selamat sampai di sekolah.

Analisis Kontrastif

PARADIGMA PERGESERAN KAIDAH BAHASA INDONESIA KE DALAM KARAKTER BAHASA ALAY: TINJAUAN ANALISIS
KONTRASTIF DAN ILMU SEMANTIK


Oleh:


MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011




A.DESKRIPSI ANALISIS KONTRASTIF DAN ILMU SEMANTIK

1.Analisis Kontrastif
Tarigan (1990:59) mengatakan bahwa analisis kontrastif adalah kegiatan membandingkan struktur B1 dengan B2 serta langkah-langkah struktur B1 dengan B2, memprediksi kesulitan belajar, dan menyusun bahan pengajaran. Sedangkan menurut Pateda (1989:18) analisis kontrastif merupakan pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik membandingkan antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa sasaran (B2) sehingga guru dapat meramalkan kesalahan siswa dan siswa dapat segera menguasai bahasa yang sedang dipelajari.
Dari kedua pengertian analisis kontrastif (anakon) di atas, yang berdasarkan pendapat dua ahli dapatlah ditarik sebuah kesimpulan secara pengertian umum. Bahwa analisis kontrastif menekankan pada pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik perbandingan antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa kedua (B2) atau bahasa yang sedang dipelajari. Namun proses perbandingan ini hanya sebatas pada membandingankan unsur kebahasaan yang ada dalam struktur kedua bahasa, baik dari faktor perbedaan gramatikal ataupun leksikalnya ataupun faktor kebahasaan lainnya.
Adapun teori yang mendasari lahirnya anakon yaitu adanya kebiasaan berbahasa (language habit) dan kesalahan berbahasa (language error). Kebiasaan yang terjadi dalam berbahasa ini terjadi adanya kebiasaan peniruan dan penguatan. Kebiasaan peniruan itu terjadi secara spontan tanpa disadari dan sukar dihilangkan, terkecuali kalau lingkungan itu berubah sehingga dari sinilah terjadi adanya penguatan yang tanpa disadari pembelajar bahasa. Perubahan itu mengarah kepada penghilangan stimulus yang membangkitkannya. Walaupun teori pembentukan kebiasaan itu bersifat umum, aplikasinya digunakan juga dalam pengajaran bahasa.

2.Ilmu Semantik
Menurut Abdul Chaer (1995:2-6) semantik adalah ilmu makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaiamana perkembangananya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Atau semantik juga diartikan sebagai ilmu menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia.
Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Aristoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna suku kata sampai kalimat itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal. Hal ini jika dikaitkan dengan pemakai bahasa (masyarakat bahasa), semantik dapat juga diketahui dari perubahan sikap pemakai bahasa yang tercermin dari ujarannya yang mencakup makna yang diutarakan.
Semantik terdapat pula beberapa aspek yang meliputi konsep, tanda, dan lambang yang ada dalam bahasa. Selain aspek tersebut juga ada acuan yang merupakan referensi dari konsep, tanda dan lambang. Sehingga terjadi adanya hubungan antara ketiga aspek tersebut. Pengertian konsep sendiri merupakan gambaran mental dari objek, proses apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Konsep telah muncul dalam otak atau pikiran manusia berdasarkan pengalaman. Sedangkan tanda memiliki arti yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu, baik itu gejala, bukti, pengenal, ataupun petunjuk. Lambang merupakan unsur bahasa yang bersifat arbitrer dan konvensional yang mewakili hubungan objek dan signifikasinya.

B.KARAKTERISTIK BAHASA ALAY

1.Latar Belakang Bahasa Alay
Alay adalah singkatan dari Anak layangan, Alah lebay, Anak Layu, atau Anak keLayapan yang menghubungkannya dengan anak JARPUL (Jarang Pulang). Tapi yang paling populernya adalah anak layangan. Dominannya istilah Alay ini untuk menggambarkan anak yang sok keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secara umum. Konon asal usulnya, alay diartikan "anak kampung", karena anak kampung yang rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap karena kebanyakan main layangan. Berikut ini pengertian bahasa Alay menurut beberapa ahli (http://lupherblueniz.blogspot.com).
Koentjara Ningrat:
"Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya di antara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca: Pengguna internet sejati,kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar.
Selo Soemaridjan:
"Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu."

2.Ciri-ciri Pemakai Bahasa Alay
Pemakai bahasa Alay sering diidentifikasikan menjadi narsis, fotogenic, sok gaul, emo, dan lain-lain. Secara garis besar, mungkin karena salah pergaulan, maka yang merupakan ciri-ciri pemakai bahasa Alay dapat diketahui sebagai berikut (http://andriew.blogspot.com).
a)Selalu merasa paling tahu tentang sepedah dan kegiatan bersepedah. Padahal jarang banget, palingan pas ada Event atau ada liputan aja untuk memburu Goodie Bag atau sekedar Narsis.com.
b)Tongkrongannya di pinggir pinggir jalan.
c)Ketika sedang berkumpul, membawa handshet untuk mendengerkan lagu dari handphone sehingga terkesan pamer. Mereka bergaya bertelfon dan ber-SMS. Kondisi terparah adalah suka menunjukkan SMS dari cewek atau cowok kepada temannya agar dibilang pacarnya perhatian.
d)Terkesan ingin 'gaul' mengikuti tren yang sekarang tapi terlalu lebay (contoh: padu-padan pakaian tetapi tidak serasi; baju hijau,celana kotak kotak, sepatu merah, kacamata biru!)
e)Dimana-mana selalu berfoto-foto narsis (entah itu di track sepeda, WC, mobil, kamar, stasiun , angkot, dan lain-lain).
f)Kalau yang berkelamin cewek, setiap hari kerjaannya membahas pacar. (contoh: eh tau ga si A tadi gini loh sama gue hahaha lucu bgt ya?)
g) Buat cowok, tiap hari kerjaannya mencari musuh (ribut) agar dianggap keren.
h) Pada akun Facebook, Friendster ataupun Twitter, bagi yang cewek di album fotonya memajang foto cowok-cowok ganteng. Meskipun tidak kenal, supaya dianggap cantik dan gaul. Untuk yang cowok, majang foto cewek semua walau tidak kenal agar disangka cowok ganteng.
i)Nama profil di jejaring social, menggunakan nama dengan mengagung-agungkan dirinya sendiri. (Contoh: pRinceSs cuTez,sHa luccU, cAntieqq, dan lain-lain).







3.Contoh Kosa Kata Bahasa Alay
Bentuk kosa kata bahasa Alay sekarang sudah menjadi bahasa sehari-hari anak muda. Banyaknya kosakata bahasa Alay hingga terkumpulkan dalam kamus bahasa Alay. Kosa kata bahasa Alay ini memang menjadi fenomena, sering kita temui dari SMS, status jejaring sosial seperti Facebook ataupun Twitter.
Berikut ini contoh beberapa kosa kata bahasa Alay:


Aku : Akyu, Akuwh, Akku, q.
Anak : Nax, Anx, Naq
Apa : Pa, PPa (PPa ???)
Baru : Ru
Belum : Lom, Lum
Boleh : Leh
Buat : Wat, Wad
Cakep : Ckepp
Cewek : Cwekz
Cowok : Cwokz
Cuekin : Cuxin
Curhat : Cvrht
Halo : Alow
Ini : Iniyh, Nc
Kakak : Kakagg
Kalau : Kaluw, Klw, Low
Kalian : Klianz
Kamu : Kamuh, Kamyu, Qmu, Kamuwh
Karena/Soalnya : Coz, Cz
Kenal : Nal
Keren : Krenz, Krent
Kurang : Krang, Krank (Crank?)
Lagi : Ghiy, Ghiey, Gi
Lucu : Luthu, Uchul, Luchuw
Lupa : Lupz
Maaf : Mu’uv, Muupz, Muuv
Main : Men
Makan : Mumz, Mamz
Manis : Maniezt, Manies
Masuk : Suk, Mzuk, Mzug, Mzugg
Mengeluh : Hufft
Paling : Plink, P’ling
Pasti : Pzt
Punya : Pya, P’y
Rumah : Humz, Hozz
Salam : Lam
Sayang : Saiank, Saiang
Sempat : S4
Setiap : Styp
Siapa : Sppa, Cppa, Cpa, Spa
Telepon : Tilp
Tempat : T4
Terus : Rus, Tyuz, Tyz
Tiap : Tyap
Ya/Iya : Yupz, Ia, Iupz






C.PARADIGMA PERGESERAN KAIDAH BAHASA INDONESIA KE DALAM KARAKTER BAHASA ALAY : TINJAUAN ANALISIS KONTRASTIF DAN ILMU SEMANTIK


1.Paradigma Pergeseran Kaidah Bahasa Indonesia ke dalam Karakter Bahasa Alay : Tinjauan Analisis Kontrastif
Paradigma pergeseran bahasa menunjukkan adanya suatu bahasa yang benar-benar ditinggalkan oleh komunitas penuturnya. Hal ini berarti bahwa ketika pergeseran bahasa terjadi, anggota suatu komunitas bahasa secara kolektif lebih memilih menggunakan bahasa baru, daripada bahasa lama yang secara fungsional biasa dipakai sebagai sebagai bahasa nasional. Sebaliknya, dalam pemertahan bahasa para penutur suatu komunitas bahasa secara kolektif memutuskan untuk terus menggunakan bahasa yang mereka miliki atau yang secara tradisional biasanya digunakan.
Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya pergeseran dan pemertahan bahasa pun dapat diamati. Misalnya, ketika ada gejala yang menunjukkan bahwa penutur suatu komunitas bahasa mulai memilih menggunakan bahasa baru dalam domain-domain tertentu yang menggantikan bahasa lama, hal ini memberikan sinyal bahwa proses pergeseran bahasa sedang berlangsung. Akan tetapi, apabila komunitas penutur bahasanya monolingual dan secara kolektif tidak menggunakan bahasa lain, maka dengan jelas ini berarti bahwa komunitas bahasa tersebut mempertahankan pola penggunaan bahasanya.
Seperti halnya bahasa Indonesia, yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai bahasa nasional. Dimana bahasa Indonesia memiliki kaidah tersendiri yang berbeda dengan bahasa daerah ataupun bahasa slank (gaul). Kaidah bahasa Indonesia sendiri menjadi pegangan keutuhan dinamikan bahasa Indonesia. Sehingga jika ada perkembangan bahasa slank yang terjadi seperti di jaman sekarang ini merupakan suatu gejala bahasa yang sudah harap dimaklumi. Karena pastinya bahasa slank yang muncul memiliki tempat atau komunitas tersendiri yang nantinya tidak akan merusak kaidah bahasa nasional yang seharusnya dijunjung tinggi. Seperti halnya keberadaan bahasa Alay yang digemari generasi muda Indonesia sekarang ini.
Di kalangan pendidikan di negara ini, hendaknya tidak perlu gelisah berlebihan menganggap perkembangan bahasa Alay dapat merusak Bahasa Indonesia. Bahasa alay yang banyak digunakan oleh generasi muda Indonesia hanya mempunyai syarat mengancam dan merusak bahasa Indonesia apabila digunakan pada media yang tidak pada tempatnya. Bahasa kawula muda itu akan mengancam Bahasa Indonesia jika digunakan pada forum resmi seperti seminar, perguruan tinggi, sekolah atau dalam tata cara surat menyurat resmi di perkantoran.
Tapi, jika hanya diigunakan sebagai bahasa pergaulan di media baru yang memilih cara interaksi baru seperti SMS, jejaring sosial facebook atau twitter, tak ada alasan untuk mengkhawatirkan bahasa Alay. Bahasa gaul itu hanya berinteraksi pada tempatnya. Oleh karena itu, tidak perlu mengambil langkah berlebihan dalam melindungi kaidah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia justru akan teruji dan berkembang sesuai jamannya, dengan adanya berbagai variasi bahasa di sekitarnya.

2.Mengkaji Karakteristik Bahasa Alay dari Segi Ilmu Semantik
Bahasa yang telah digunakan orang telah membuka cara baru tentang bagaimana menggunakan bahasa dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dan hal inilah harus mampu disadari secara bersama oleh kalangan pengguna bahasa. Misalkan saja cara baru menggunakan bahasa di kalangan anak muda yang menggunakan bahasa Alay, pastinya mereka memiliki tujuan tersendiri untuk menggunakan bahasa tersebut sebagai sarana komunikasi di kalangan mereka yang mampu menunjukkan karakteristik menarik. Sehingga kalangan pemakai bahasa Alay ini mampu menunjukkan identitas diri untuk eksis atau bersaing dengan bahasa induk, seperti bahasa Indonesia ataupun daerah. Mereka pemakai bahasa Alay menggunakan bahasanya bukan dalam laporan ilmiah atau pidato resmi. Mereka berbahasa Alay hanya dalam ruang-ruang bahasa yang sifatnya lebih santai seperti di situs jejaring sosial, obrolan pribadi, dan pesan singkat.
Di dalam ilmu semantik pemakai bahasa dapat menunjukkan identitas bahasanya dapat diketahui dari perubahan sikap pemakai bahasa yang tercermin dari ujaran yang mencakup makna yang telah diutarakan. Sehingga kajian ilmu semantik membagi ke dalam beberapa aspek yang meliputi konsep, tanda, dan lambang yang ada dalam bahasa. Jika meninjau pemakaian bahasa Alay oleh kalangan muda bangsa Indonesia ini, konsep dari bahasa Alay sendiri merupakan gambaran mental dari objek, proses apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Sedangkan konsep dari yang diciptakan pemakai bahasa Alay, dapat dipahami keberadaannya telah muncul dalam otak atau pikiran pemakai kalangan anak muda yang berdasarkan pengalaman atau pola hidup yang mereka ciptakan. Sedangkan tanda yang terdapat dalam bahasa Alay, memiliki arti yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu, baik itu gejala, bukti, pengenal, ataupun petunjuk dimana mereka mampu eksis di lingkungan bahasa induk yang sudah ada.
Para pemakai bahasa Alay yang menulis atau menggunakan cara ejaan Alay, pastinya mereka juga berpikir apa yang dihasilkannya merupakan hasil dari proses kreatif dari pengembangan bahasa yang sudah ada. Dan gaya ejaan itu menunjukkan kompetensi penuh atas ortografi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Gaya ejaan alay bekerja pada tataran linguistik bahasa. Jika menelaah lebih lanjut dari bentuk kosa kata bahasa Alay yang ada pada contoh di atas: bukankah gaya ejaan itu menggunakan anasir-anasir serupa homofon, atau bahkan semiotika yang berdasarkan kesatuan semantik? Gaya ejaan Alay memperlakukan abjad (lambang), tanda baca (tanda), dan bilangan sebagai simbol yang memanifestasikan bunyi atau huruf tertentu sehingga dapat menikmati kekreatifan linguistik semacam itu.




DAFTAR RUJUKAN



Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Pateda, Mansur.1989. Analisis Kesalahan. Ende: Nusa Indah.

Tarigan, H.G., dan Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa Bandung.

Sumber On Line:
http://andriew.blogspot.com/2011/02/tinjauan-sosiolinguistik-bahasa-alay.html.

http://lupherblueniz.blogspot.com/2010/03/definisi-alay-menurut-para-ahli-kamus.html.

http://pribadiuntuksemua.blogspot.com/2010/11/anakon.html