Rabu, 30 Mei 2018

EKOFEMINISME: SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS DALAM MENGEMBALIKAN KODRAT CI TARUM


EKOFEMINISME: SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS
DALAM MENGEMBALIKAN KODRAT CI TARUM

Ditulis oleh, M. Badrus Solichin*

 
(Potret Ci Tarum. Foto Milik @inimahandrei)

I.     CI TARUM, RIWAYATMU KINI!
Pembahasan tulisan ini dimulai dari pertanyaan, bagaimana cara mengembalikan Ci Tarum menjadi sungai yang harum? Jawabannya, jikapun pihak pemerintah menganggarkan dana bertriliun rupiah untuk merevitalisasi sungai Ci Tarum, akan tetapi kalau masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai dan tidak memiliki kepedulian terhadap pelestarian ekosistem sungai, maka dana bertriliun rupiah tersebut akan menguap begitu saja. Asumsi ini sesuai dengan pernyataan Siti Nurbaya (Menteri LHK RI) saat diwawancarai oleh wartawan media Satu Harapan di Balai Kota Bandung (Minggu, 21/1/18) yang menyatakan bahwa, “masalah utama Ci Tarum yakni berasal dari limbah padat masyarakat yang tidak terkelola dengan baik.” Bagi Siti Nurbaya pentingnya pengelolaan sampah dapat dilakukan secara maksimal bila dimulai sedini mungkin dan dari kebiasan-kebiasaan kecil, sebagaimana buang sampah pada tempatnya dan tidak mengotori sungai dengan sampah.
Lanjut dari pernyataan Siti Nurbaya yang menyadari akan pertumbuhan volume sampah rumah tangga masyarakat tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah dengan baik, sebagaimana terbatasnya tempat pembuangan akhir (TPA) di lingkungan masyarakat sekitar Ci Tarum. Oleh karena itu, masyarakat harus mampu mengedukasi dan mengevaluasi diri sendiri terkait kebiasaannya tersebut. Sepertinya masyarakat selama ini terlalu apatis terhadap kebiasaan buruknya, alias tidak sadar bila kebiasaannya sangat merugikan masa depan kehidupan mereka. Perilaku sadar akan kebersihan lingkungan harus ditanamkan kepada setiap masyarakat yang tinggal di sekitar Ci Tarum, supaya mereka sadar bahwa kebiasaan membuang sampah di sungai akan berakibat fatal terhadap kelestarian Ci Tarum. Dampaknya tidak akan berimbas pada ekosistem sungai, akan tetapi berdampak pula pada terjadinya musibah yang siap datang kapan saja yang mengancam keselamatan masyarakat.
Peran pemerintah setempat bahkan pusat seringkali terkesan lamban di dalam menangani problematika Ci Tarum. Kegagapan pemerintah ini terungkap dari viralnya sebuah video yang berkontenkan kondisi buruk Ci Tarum yang dipenuhi sampah rumah tangga dan kondisi warna air Ci Tarum yang tercemar limbah industri. Video yang dibuat oleh bule yang bernama Gary Bencheghib menjadi perbincangan hangat di Instagram ataupun pemberitaan media nasional bahkan internasional. Dari viralnya postingan tersebut sepertinya benar-benar menampar pemerintah Indonesia. Bagaimana seketika itu juga Jokowi memberikan respons dalam menanggapi kehebohan tersebut dengan mencanangkan sebuah program yang dinamai Citarum Harum Bestari yang bekerjasama dengan pemerintah Jawa Barat. Bahkan ada sebagaian masyarakat yang berkomentar bahwa program tersebut dibuat karena rasa malu pemerintah pada saat terbongkarnya problematika Ci Tarum yang selama ini terlewatkan dari pengawasan pemerintah atau program tersebut merupakan usaha pemerintah di dalam meredam gunjingan dari berbagai kalangan masyarakat dan netizen di dunia maya. Akan tetapi yang jelas, dari hasil pengamatan penulis sampai hari ini program Citarum Harum Bestari belum terealisasi dengan baik sebagaimana program-program sebelumnya yang pernah dibuat oleh pemerintah ataupun organisasi yang peduli terhadap Ci Tarum. Buktinya pada bulan-bulan ini masih terjadi musibah banjir di bantaran sungai Ci Tarum dan masih banyaknya media masa yang meliput kondisi Ci Tarum yang dipenuhi sampah dan terjadinya pencemaran air sungai dari limbah industri. Padahal kita tahu, setiap program-program yang dibuat pastinya menganggarkan dana baik dari pemerintah atau mendatangkan donatur dari luar negeri yang tidak sedikit nominal rupiahnya.

II.  MELIHAT CI TARUM, DARI KACAMATA EKOFEMINISME            
Apakah kita tahu bahwa ada faktor penyebab yang lebih fatal dari ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian Ci Tarum? Pertanyaan ini akan penulis kaji berdasarkan teori ekofeminisme dari Vandana Shiva. Sekilas perkenalan tentang siapa Vanda Shiva? Shiva merupakan seorang ilmuwan dari India yang berkonsentrasi terhadap persoalaan alam dan problematikanya yang dikaji dari perspektif feminisme. Mengapa teori ini dirasa pas di dalam memberikan solusi terhadap problematika Ci Tarum? Karena antara air dan perempuan memiliki relasi yang kuat. Ruang gerak kedomestikan perempuan selalu berdekatan dengan air, contohnya aktivitas mencuci, memasak, dan aktivitas kedomestikan lainnya.
Dari hasil investigasi WALHI Jawa Barat (Dipublish pada Senin, 9 April 2018. Dikutip dari akun Twitter @walhi.jabar) terindikasi 25 perusahaan yang berada di wilayah Bandung Barat telah membuang limbah industri di Ci Tarum. Pencemaran tersebut diduga WALHI Jawa Barat sudah dilakukan sejak lama tanpa ada teguran atau sanksi tegas dari pemerintah. Dari persolan ini bila dikaji dari perspektif ekofeminisme ditemukan fakta bahwa bukti pencemaran Ci Tarum yang dilakukan oleh perusahan-perusahan yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap pembuangan limbahnya merupakan titik temu dari aktor utama dari pengrusakan ekosistem Ci Tarum. Karena perusahaan-perusahaan tersebut dibangun dari misiologi pembangunan yang diskenarioi oleh ide-ide maskulinitas yang telah menyingkirkan kaum perempuan dari alam. Bagaimana dalam hal ini Shiva (1988: xxxi) melalui ekofeminisnya menduga atas apa yang terjadi di Ci Tarum telah terjadinya praktik antroposentris yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut ketika menggeser kedomestikan perempuan ke dalam sekat-sekat pembangunan yang telah dicanangkan melalui gagasan pembangunan bangsa Barat. Di saat inilah, ekofeminisme memperlihatkan peran perempuan yang lebih berdekatan dengan alam diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya dan masa depan ekosistem alam sebagaimana kondisi Ci Tarum. Lantas mengapa sosok perempuan yang dijadikan solusi dari penyelesaian persoalan Ci Tarum? Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa, ‘bumi adalah ibu’. Wacana tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu posisi perempuan. Menurut Mies (1986: 55) bangsa barat memanfaatkan wacana tersebut untuk menundukkan dan menyingkirkan kaum perempuan dari peran pentingnya terhadap alam. Akibatnya ketika itu kaum perempuan tidak lagi mampu memproduksi kehidupan, baik secara biologis dan sosial mereka dalam menyediakan kebutuhan hidup.
Sudah sepatutnya kita mencurigai bahwa perusahaan-perusahaan yang membuang limbah industrinya ke Ci Tarum adalah perusahan yang dijalankan melalui proyek-proyek pembangunan demi tuntutan pembangunan peradaban dengan mengesampingkan kearifan terhadap ekosistem alam. Dalam persolan ini Shiva (1988: 27) menyikapi kalau bangsa barat sengaja menciptakan pembangunan yang berideologi kapitalisme, sehingga dampaknya menghancurkan sendi-sendi kehidupan dunia ketiga yang memegang teguh konservatisme. Parahnya lagi, pembangunan dikampanyekan bebarengan dengan pengenalan teknologi modern yang menjamin segala sesuatu persoalan kehidupan akan terselesaikan secara gampang dan cepat.
Dan, apakah kita sadar bahwa bangsa barat di balik menciptakan ilmu pengetahuan ada misi terselubung? Menurut Shiva (1988: 17) bangsa barat mengkonsepsi gagasan-gagasan imperialismenya ke sebuah sistem yang disebut ‘ilmu pengetahuan’ dan kemudian disebarluaskan demi tercapainya afirmasi pelaksanaan proyek-proyek pembangunan industri. Shiva (1988: 20) menduga ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan universal dan bebas nilai. Karena kebebasan itu mengakibatkan penggusuran terhadap semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain seperti kearifan tradisional khas timur. Revolusi ilmu pengetahuan ini menyingkirkan semua kendala etika dan kognitif yang menghalangi penindasan dan penjarahan alam. Dengan demikian, alam dunia ketiga tidak lagi dipandang liar, karena keliarannya ditaklukan melalui tangan-tangan reduksionis ilmu pengetahuan. Alam menjadi sebuah mesin dan pemasok bahan mentah industri kapitalis barat. Dari sinilah Shiva menilai antroposentrisme abad modern lahir. Shiva berusaha membongkar perilaku antroposentris yang secara sosial, politik, dan ekonomi telah melegalkan proyek-proyek pembangunan kapitalisme. Dampak dari proyek tersebut diafirmasi oleh ilmu pengetahuan sebagai proses ‘ilmiah’ guna mewujudkan keseragaman, sentralisasi dan pengendalian (Shiva, 1988: 19).
Melihat problematika ekosistem Ci Tarum sebagaimana diketahui bahwa problematika itu terjadi karena atas dasar kekuasaan. Bumi beserta alamnya dieksploitasi dengan melanggengkan kaki-tangan maskulinitas yang memprakarsai patriarkat dan feodal. Menyebabkan komponen-komponen bumi hancur dan mengalami kepunahan. Terjadinya penjarahan inilah, ekofeminisme hadir ibarat seorang kesatria penyelamat bumi. Melalui kekuatan yang berbasiskan pada kekhasan perempuan akan kepiawaiannya dalam mengelola lingkungan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Maklum saja bila perspektif ilmu ini lebih dinaungi oleh perempuan.

III.  SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS: MENGGALAKAN GERAKAN PEREMPUAN SADAR PELESTARIAN CI TARUM
Seberapa tangguh kaum perempuan untuk menyelesaikan problematika Ci Tarum? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita bisa mengambil pembelajaran dari kisah kehidupan perempuan Bale, Donggala, Sulawesi Tengah. Bagaimana kehidupan perempuan Bale menurut Sri Wahyuningsih melalui publikasi hasil penelitian tesisnya yang diwartakan oleh koran Tempo (Sabtu, 15/4/18), mengungkap kehidupan mereka kenyataannya mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih. Hal itu dikarenakan pelayanan PDAM belum menjangkau wilayahnya, sehingga dalam memenuhi kebutuha air sehari-harinya masyarakat Bale mempergunakan sungai untuk segala aktivitas, seperti kebutuhan air minum, memasak, mandi dan mencuci.
Perempuan Bale memiliki program kegiatan yang berbentuk antusiasme akan rasa sadar mereka terhadap kelestarian sungai. Hal ini mereka buktikan dengan memiliki kepedulian dalam menjaga eksositem alam dan sungai yang mereka implementasikan dalam program kerja yang disusun melalui musyawarah antar masyarakat desa. Antusiasme perempuan Bale begitu besar terhadap pelestarian ekosistem alam dan sungai sebagaimana yang diungkap Sri Wahyuningsih melalui tesisnya (2004) yakni dikendarai oleh kesadaran atau perubahan pola pikir perempuan Bale untuk menerima suatu kemajuan hidup yang lebih maju tanpa meninggalkan tradisi gotong royong yang mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang direpresentasikan perempuan Bale melalui kisah hidupnya, selayaknya dimaknai sebagai usaha dalam menyuarakan penderitaan kaum perempuan yang terposisikan sebagai korban penindasan oleh program-program pembangunan berideologikan antroposentrisme kapitalis. Memperlihatkan posisi kaum perempuan yang semakin terpinggirkan dari kedomestikan terhadap alamnya. Melalui sikap perubahan pola pikir akan sadar terhadap kelestarian ekosistem di sekitarnya samahalnya perilaku perempuan Bale tersebut berusaha merintis gerakan peduli terhadap lingkungan. Gerakan yang merepresentasikan peran kaum perempuan dalam melestarikan alam berlandaskan pada tindakan kooperatif feminism.
Gerakan kaum perempuan yang kemudian diafirmasi oleh ekofeminisme dalam memperlihatkan posisi kaum perempuan tampak lebih siap membuka ruang masyarakat baru. Entah pemerintah setempat atau orang-orang yang tergabung dalam organisasi peduli terhadap kelestarsian Ci Tarum seharusnya mampu menggerakan kaum perempuan yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum. Gerakan ini bisa dipraktikan atas kesadaran kaum perempuan sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan, membuat kaum perempuan tampak lebih siaga dalam berjuang memunguti puing-puing tatanan alam yang berserakan. Singkatnya, upaya ini merupakan perwujudan prinsip feminitas dan ekologi menjadi satu-kesatuan paham yang mana guna memperjuangkan ketercapaian ‘kedamaian’ di dunia. Dunia yang kini terancam oleh tekanan antroposentrisme kapitalis dalam mewujudkan pembangunan peradaban modern serta mengagung-agungkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama berkehidupan.
Kedomestikan perempuan yang lebih berdekatan dengan alam secara tidak langsung diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya sendiri yang adalah korban. Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa bumi adalah ibu. Wacana tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu peran perempuan. Akan tetapi, perempuan seiring kodrat saling merelasi bumi (alam). Relasi keduanya semakin tampak bila ditelaah dari karakter yang ada. Perempuan dan alam sering dikatakan memiliki keidentikan yang sama-sama memikat.
Kaum perempuan diposisikan sebagai pelaku perlawanan, dikarenakan perempuan yang masih tetap memelihara dan mendukung prinsip feminine. Oleh sebab itu, perempuan tampak lebih siap membuka dan menata ruang baru dibandingkan kaum laki-laki. Sebagaimana contohnya perempuan membuat gerakan atau komunitas Minggu Bersih, bagaimana dari gerakan ini setiap hari minggu pagi kaum perempuan dan ditemani masyarakat lainnya melakukan kerja bakti dengan membersihkan sampah yang ada di sungai Ci Tarum. Harus disadari tanggung jawab kebersihan sungai adalah tanggu jawab bersama. Dari gerekan tersebut mencerminkan kesiagaan kaum perempuan yang mengindikasikan usahanya dalam menyinergikan dengan prinsip ekologi. Karakter perempuan yang lebih feminine dan ekologis serta feminine dan etnisitas adalah kesatuan karakter yang alami, saling menyatukan dan sebangun. Prinsip feminine tersebut melahirkan gerakan kaum perempuan yang mengindikasikan naluri untuk empati, belas kasih, solidaritas, dan melestarikan ekosistem alam. 
Dari pembahasan di atas, penulis berharap adapun ada oknum pemerintah ataupun organisasi sosial di dalam menyelesaikan problematika Ci Tarum harap mengkaji ulang penyusunan program-program yang ada. Karena penulis sangat berharap masyarakat yang tinggal di daerah dekat Ci Tarum, terutama kaum perempuannya untuk dilibatkan secara aktif mulai dari penyusunan program kegiatan dan praktiknya. Karena kita harus sadar bahwa kaum perempuan memiliki kedekatan domestik dengan ekosistem alam.

DAFTAR REFERENSI
Affeltranger, Bastian. 2007. Hidup Akrab Dengan Bencana: Sebuah Tinjauan Global Tentang Inisiatif-inisiatif Pengurangan Bencana, Jakarta: MPBI.

Boserup, Ester. 1970. Women’s Role in Economic Development. London: Allen and Unwin.

Candraningrum, Dewi. 2013. Ekofeminisme I: Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Faqih, Abdullah. Dipublikasikan Sabtu, 15 April 2017. Belajar dari Perempuan Bale: Perempuan Lokal dan Air Bersih. (https://indonesiana.tempo.co/kanal/nasional). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.

Mies, Maria. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books.

Shiva, Vandana. 1988. Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. London: Zed Books.

WALHI Jawa Barat. Dipublikasikan 22 Juli 2012. Lingkungan dan Energi Bersih. (https://walhijabar.wordpress.com/category/artikel-tentang-energy/). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.

Wardani, Dewasasri M. Dipublikasikan Senin, 22 Januari 2018. Masalah Utama Citarum Limbah Padat. (http://www.satuharapan.com/read-detail/read/masalah-utama-citarum-limbah-padat). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
Solichin, Badrus Moh. Ketika Alam dan Perempuan Lembah Baliem Diperkosa oleh Antroposentrisme Kapitalis: Kajian Ekofeminisme dalam Novel Tanah TabuDiakses pada tanggal 22 Mei 2021.


*Esai ini diikutkan dalam Writingthon Citarum Harum yang diselenggarakan oleh Bitread dan Ristekdikti.

Selasa, 29 Agustus 2017

Cerpen BAURENO (Yang Ditulis Tidak Selesai)

BAURENO, 
cinta mendayung duka, antara aku dan sepuluh juta.... *





Sebagaimana aku, perempuan. Penenun kerinduan. Pendamba kasih sayang. Mengurai pelayaran kisah aku dan asmara. Berpuja kenang, menghadirkan jumpa dan perpisahan. Jumpa, mengalun dalam peluk, kecup, mesra. Pisah, menderu rindu bertalun pilu, resah, dan mengurai air mata.   

Malam, lagi-lagi menyenandungkan aku dan resistansi. Sebab apa aku menderma perjalanan dari kota ke kota. Sampai menyisakan rahasia bertuah di sanubari kota Jakarta. Berpasang ribuan kisah. Bertonggak pada bentangan tanah yang aku pijak. Sebentar kemudian, aku mengebiri resistansi. Pada Kota ini, seringkali orang membentangkan masa depan pada pongah yang menyengsarakan akal. Merayu kegamangan asa, atas maksud apa manusia diberi nyawa? Pada Kota ini, seringkali pula orang melacurkan keluguannya biar dibilang, aku anak kota. 

Namun, aku bukan demikian. Perjalanan menggembarakan aku selayaknya pemenang. Aku menang atas duka lajang seorang perempuan. Duka berlagu dalam syair sendu, cinta sejati bukan berarti mampu bersambut mesra di pelaminan. Bagiku pelaminan tak ubahnya persinggahsanaan dari keputusasaan. Ya, putus asa, saat jemu memadu kasih tanpa ikrar atas nama Tuhan dan keturunan.      

Kepongahan kota Jakarta, menyambut kedatanganku dengan rinai hujan yang melaju lentik, menggenangkan kegamangan. Jujur, aku sedikit gelisah. Kegelisahan yang menyadarkan aku; jauh-jauh berpelesiran menantang kengerian malam kota Jakarta hanya demi esok pagi. Pagi yang barangkali paling menyayat hati dan tanpa sekalipun aku pernah mendamba kehadirannya. Tepatnya, besok aku akan menyaksikan laki-laki yang aku damba kegagahannya mengucap janji suci di depan penghulu. Didampingi pengantin perempuan, mengenakan gaun pernikahan terhindah, anggun, dan dihiasi rajutan harum melati kebahagiaan. Namun sayang, bukan denganku ia mengikrar keabadian cinta.
*


Punggung kesunyian. Menderu keadaan, aku dan pengap gerbong kereta yang menghantarkan kepulangan. Selayaknya pulang dari pelesiran membawa buah tangan. Berupa album kenangan, tak lagi mengabadikan. Entah pada gerbong deretan keberapa, aku menjumpai nomor yang membilangkan kursi sesuai tiket yang aku pegang. Masih dalam isak yang seolah-olah tiada habis untuk dialirkan. Aku bermalas-malasan menyandarkan punggung kesunyian. Untung, kursi kereta menyambut keakraban. Kursi yang sengaja didesain saling berhadap-hadapan agar si penumpang selama perjalanan saling menyapa antar penumpang. Aku mendapati pertama kali, belum ada penumpang pun yang memantatinya. 
Aku merebahkan diri pada punggung kursi. Sambil mengurai kembali peristiwa yang aku alami satu jam sebelumnya. Bagaimana aku bukan selayaknya aku yang biasanya. Aku sebagaimana kesatria. Begitu tegar menyaksikan setiap prosesi pernikahan sang mantan. Hahahaa… ya kini, aku cukup menyebutnya, ‘sang mantan’. Sengaja aku memilih duduk deretan terdepan di antara sejibun tamu walimatul’ursy yang memenuhi gedung pernikahan. Tanpa rasa cengeng dan cemburu, aku menyaksikan penuh keikhlasan. Sang mantan duduk bersanding dengan mempelainya. Sungguh, pasangan pengantin pembuat iri yang memandang. Mengumbar senyum mengembang ke arah tamu undangan. Mengadegankan beberapa ritual adat, yang berakhir kecupan mesra di pipi mempelai perempuan. Aku lihat, perempuan yang bukan aku seketika pipinya memerah binal nan penuh cinta. Sekali, dua kali berpose selayaknya kemesraan suami istri dihadapan silau kamera. Ahh… aku juga mau?!
“Permisi.. hallo… permisiii….”
Jedak. Seketika anganku terpental, sadar, dari sapa seseorang. 
“Maaf Mbak, bolehkah saya duduk.”
Sekali lagi, aku masih terbuai dalam angan. Kewarasanku belum sepenuhnya menyinergi kesadaran. Sedikit aku paksakan, akan sosok yang berdiri jangkung dihadapan. Sekali pandang, wouhh.. begitu rupawan. Jantan. 
“Ohh… maaf, ya silahkan mas…” sembari aku menata diri, sekiranya ada posisi yang harus aku perbaiki. 
Semerbak kejantanannya mengaura saat ia lewat di depan kekagumanku. Ia memilih posisi duduk dekat jendela. Dan aku, mencuri-curi pandang dari setiap perangai laki-laki dihadapanku.
Jeda sunyi pun, menghardik kecanggungan.  
   
 
(Belum ending.....:()

Kamis, 07 Januari 2016

HIPOTESIS DAN VARIABEL PENELITIAN SASTRA


ANTROPOSENTRISME KAPITALIS
TERHADAP ALAM DAN PEREMPUAN TANAH TABU:  
PERSPEKTIF EKOFEMINISME


 
#Judul Penelitian: 
 "Antroposentrisme Kapitalis Terhadap Alam dan Perempuan Tanah Tabu"

#Pertanyaan Penelitian:
  1. Bagaimana karakter antroposentrisme kapitalis terhadap alam Tanah Tabu dari perspektif ekofeminisme?
  2. Bagaimana ekofeminisme memosisikan tokoh perempuan Tanah Tabu?
  3. Mengapa tokoh perempuan dihadirkan pengarang sebagai pelaku perlawanan antroposentris?
 
    1. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini merupakan asumsi jawaban sementara atas tiga pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan. Pada pertanyaan pertama, bagaimana karakter antroposentrisme kapitalis terhadap alam Tanah Tabu dari perspektif ekofeminisme. Dari pertanyaan pertama, didapatkan asumsi jawaban bahwa perilaku antroposentrisme kapitalis yang opresif, berusaha mengebiri paham konservatif suku Dani melalui reduksionis ilmu pengetahuan modern, dan mengambil alih kekuasaan SDA Lembah Baliem atas nama perorangan serta membangun kawasan industry modern mengakibatkan alam Lembah Baliem berada pada ujung kepunahan.
Pertanyaan kedua, bagaimana ekofeminisme memosisikan tokoh perempuan Tanah Tabu. Asumsi jawaban yang didapatkan bahwa kehidupan tokoh perempuan Tanah Tabu yang bergantung dengan alam, mengakibatkan dirinya menjadi korban sekaligus pelaku perlawanan antroposentrisme kapitalis Freeport.
Pertanyaan ketiga, mengapa tokoh perempuan dihadirkan pengarang sebagai pelaku perlawanan antroposentris. Asumsi jawaban yang didapat bahwa kedomestikan tokoh perempuan Tanah Tabu dalam hal bertani dan berdagang atau sebagai tulang punggung keluarga, secara tidak langsung akan melakukan perlawanan ketika alam Lembah Baliem tidak lagi bereproduksi lagi.
    1. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini terdiri variable bebas dan variable terikat. Varibel bebas dalam penelitian ini terdiri dari dua poin. Variable bebas pertama adalah kerangka konseptual antroposentrisme kapitalis yang superioritas atas alam, melanggengkan proyek pembangunan kapitalis, berpondasikan ilmu pengetahuan modern yang reduksionis telah mengakibatkan alam sebagaimana objek jajahan serta menempatkan kaum perempuan dalam wilayah kemiskinan dari alamnya.
Variabel bebas kedua adalah terjadinya antroposentris alam menyebabkan dualisme peran kaum perempuan, sebagai korban dan pelaku perlawanan. Oleh karena itu, menjadikan kaum perempuan memiliki peran utama dalam menentang terjadinya antroposentrisme kapitalis terhadap alamnya.
Sedangkan, variable terikat adalah tatanan alam Lembah Baliem yang hancur dan tidak bereproduksi lagi serta bentuk-bentuk ketimpangan sosial tokoh perempuan dalam Tanah Tabu.


Senin, 02 November 2015

Legenda Air Terjun Sedudo Nganjuk

SEDUDO
 Legenda, dalam rimba peradaban yang tak teruntuhkan masa
 



KONON, air paling jujur mencerminkan peradaban. Kejernihannya mampu merengkuh tilas waktu. Membekukan angkara, mencairkan segala rupa yang dinamai kesucian. Sosoknya tenang dan mengalir, seiring irama, telah menyuarakan pada pelayaran kisah. Kisah sebuah keluarga pengagum air. Dari bumi Pace kisah ini bergema. Menyenandung kesakralan Gunung Wilis. Nyaring tanpa sungkan, merindu masa lampau. Dan demikianlah kisah ini bermula.
“Bagaimana peradaban dibangun dengan kejujuran air?”
Sejatinya pengagum. Segala sesuatunya ingin diketahui. Lewat percakapan keingintahuannya didapat. Sambil bergurau. Khidmat. Sesekali pun berdebat. Ya, saat berdebat inilah, membuat aku bangga menjadi bagian keluarga ini. Walaupun terkadang membuat aku sakit hati. Lantaran aku seringkali dibiaskan.
Namun tak apalah. Aku tahu bagaimana cara mereka menganggapku ada. Lagi pula tidak selayaknya aku mengeluh sakit hati. Selayaknya aku bercerita keharmonisan.
Dikala malam mulai singgah menyepi. Alam melarutkan rasa kantuk. Meninabobokan lelah. Mengusir kekalutan siang, mengundang berupa-rupa harum wewangian. Mistik. Menyeruak ke dalam sudut-sudut rumah. Lewat celah-celah dinding anyaman bambu. Bersamanya kabut kemarau menggugah dingin. Membuat sesiapa ingin berselimut dalam kidung malam.
“Yah…, kenapa diam?”
“Iya. Maaf Nak.” Aku melihat Ayahanda tertegur linglung. Atas apa yang ditanya Bara.
“Peradaban kok bisa dibangun dari kejujuran air?”
“Sejatinya air bertalian hidup dengan yang lain.”
“Maksud Ayah, berteman dengan tanah, udara, dan juga api kah?”
Ayahanda tersenyum. Degup bangganya tertolehkan ke rasa penasaran Bara yang bersandar di pangkuannya. Dan aku semakin khidmat menyimak obrolan mereka.
“Iya Nak.” Ia mengangguk meyakinkan.
“Mereka satu-kesatuan hidup yang tak terpisahkan. Mereka tercipta untuk saling melengkapi bumi.”
“Api dan air kan saling bermusuhan?”
“Bermusuhannya api dan air bukan saling tikam-menikam demi kekuasaan. Tak seperti peperangan yang kau lihat antar kerajaan itu. Justru, sifat air yang cair dan mendinginkan. Api yang berupa bara dan memanaskan. Ibarat kebohongan akan teredamkan oleh kejujuran. Mereka saling beradu untuk kedamaian.”
“Sekarang paham maksud cerita Ayah. Aku ingin menjadi air. Jujur bersikap biar disayang Ayah.” Si Bara kecil menggeliat senang di pangkuan Ayahanda.
“Pasti kalian menjadi putra yang jujur. Ayah sayang kalian.” Didekapnya kedua putranya yang mulai merajuk diserang kantuk. Sedangkan aku terkesima diam dari balik jendela kamar. Dinginnya desau angin malam tak aku hiraukan. Lagi-lagi aku belajar kehidupan dari keluarga ini.
Dari kejahuan, sayup-sayup suara burung hantu mulai menandai kesunyian. Re-ke-teg bambu-bambu beradu, terdengar dari kebun belakang rumah. Waktunya kegelapan malam meraja. Kegelapannya menidurkan keresahan dan mendongengkan mimpi.
*

Sangking khidmat menyimak cerita Ayahanda tadi malam, membuatku kalang kabut. Mbangkong. Mendapati sang surya sudah nampak dari balik kaki gunung Wilis. Dahan pinus berayun-ayun, gegap gempita, seiring desau angin menyambut kehidupan. Pohon jati tak berdaun, meranggas kemarau, bertelanjang diri tanpa sedaun pun menutupi. Kehidupan kembali bersinergi, mengeja masa meraup asa.
Tanpa aku sadari, dari balik punggung siul burung Prenjak menghardik. Siulannya sengaja ditujukan menertawaiku. Aku tak terima dengan ulahnya. Aku terpanggil mengejarnya dari pohon jati satu ke pohon lainnya. Semakin aku berusaha mendekatinya, semakin pula Prenjak muda memacu kecepatan terbangnya. Ia terbang melesat, aku kalap mengejar. Menyerah kalah. Barangkali sebab usia tua yang tak lagi mendaya.
Aku beranjak menuju pintu dapur rumah. Menoleh aktivitas sekeliling. Aku dapati Ayahanda sedang menaruh dandang di atas tungku. Kerumunan tiwul menyembul dari dandang yang tak bertutup. Sungguh sedap disantap saat tiwul masih hangat dengan tumbukan cabai rawit. Pedas-panas. Seperti itulah sensasi yang terujar dari Ayahanda. Tapi jujur, jika pun sensasinya selezat itu tidak pernah sekalipun membuatku tertarik mencicipi. Mencium baunya, membuatku cepat-cepat menghindar dari jangkauannya.
“Air… airr… aaiiirrrr… menyegarkan badanku.” Teriak Bara. Ia bersemangat mandi pagi. Teriakannya bersumber dari balik salah satu batu besar yang memadati aliran air sungai Temburi. Selain hamparan hutan, sungai Temburi sejatinya sumber penghidupan penduduk Pace.
Tidak ingin Bara mengetahui kehadiranku, aku bergegas menjauh darinya. Sebab ketika Bara mandi, samahalnya ia akan mendatangkan musibah. Ia akan begitu kegirangan memercikkan air ke tubuhku. Padahal aku tidak selalu menyukai air. Aku benci basah.
Aku mencari sosok lain. Pastinya selain Bara ataupun Ayahanda. Namun semakin aku pergi menjauh dari rumah dan menapaki perbukitan, belum aku jumpai pula sosok itu. Entah di mana keberadaannya. Sambil mencari, sesekali aku mengumpat diri. Gara-gara mbangkong aku kehilangan jejaknya. Benar-benar menyesal. Aku sibak dahan-dahan pinus yang menghalangi jangkauan penglihatan. Dan akhirnya, aku dapati sosoknya.
“Tolong bantu menyingkirkan semut-semut merah itu.”
Tanpa ia berteriak-teriak dari atas pohon pinus pun, pasti aku dengan senang hati membantunya. Ini sudah tugasku. Memunguti semut-semut merah yang mendiami sarang burung Walet. Kita selayaknya sahabat.
Perkenalkan sahabatku ini. Awan, namanya. Ayahanda dikaruniai dua putra. Walaupun sekandung, dipandanganku keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Bara sosok ragil yang mulai terlihat gagah dan cerdas di usia kekanakannya. Ia banyak tingkah. Sedangkan Awan, si sulung yang lebih pendiam dan berbadan kurus tinggi. Di antara mereka bertiga, kedekatanku hanya dengan Awan. Semenjak ia usia balita, aku sudah mengenalnya. Mengenal bau ingus, cara ia merengek ketika lapar, ataupun bau badannya.
Sebagai anak seorang tabib, Awan seringkali ditugasi mencari sarang burung Walet untuk diolah menjadi obat. Resep obat sarang Walet menjadi primadona para pasien yang berobat ke Ayahanda. Sarang ini bisa mengobati berbagai penyakit. Terkadang Awan juga mencari beraneka tanaman obat lainnya yang tumbuh liar di perbukitan kaki gunung Wilis.
“Kik….kik….kikkk,” terdengar suara Kidang di balik rimba yang terhampar lebat di tubuh gunung Wilis. Aku melihat Awan sudah selesai memasukkan sarang Walet ke keranjang punggung untuk dibawa pulang. Bila kik-kikan induk Kidang mulai terdengar itu pertanda waktu kami untuk menyelesaikan aktivitas buruan. Kik-kikan sang induk yang lagi menyusui anaknya itu akan berbunyi selalu tepat waktu. Tepat sang surya mulai condong di barat. Ketepatan inilah dijadikan penduduk Pace yang berprofesi berburu apapun di hutan akan mengakhiri pekerjaannya. Tanpa dipandu pulang pun, mereka dengan sendirinya akan bergegas pergi.
Sesampai di rumah, senja sudah mengangkasa begitu elok di ufuk barat. Kilauan abu-abu awan maghribnya, sedikit demi sedikit memudar dari pandangan. Tanpa segan, rasa lapar menyerangku. Tapi aku balas menghardiknya untuk bersabar. Menunggu Awan beranjak dari dapur menyelesaikan makan malamnya. Dan kemudian ia akan mengambilkan biji jagung seperti biasanya. Butiran-butiran jagung muda, gurih dan menyehatkan. Awan tidak akan pernah lupa dengan hal ini. Karenanya aku selalu bersahabat setia dengan Awan.
“Banyak pasien hari ini?” Tanya Awan, sembari ia membantu Ayahanda membereskan berbagai wadah ramuan obat yang berserakan di atas meja praktiknya. Di ujung meja, temaram api oncor mencahayai obrolan mereka.
“Lumayan Nak. Ohya, tadi Gerhana berobat sama ayahnya.” Timpal balik Ayahanda.
“Dia tergigit ular lagikah?”
“Tidak. Ayahnya yang berobat. Bisulan di sekujur tubuh.”
“Kok bisa?”
“Maklum, ia kena tulah leluhur. Menebang anak beringin di makam Ki Kanjeng tanpa pamit.”
Tiba-tiba raut muka Awan meradang. Diikuti gelengan kepala. Aku tahu ia membatin gelisah-marah. Ada-ada saja perilaku warga Pace yang tidak patut ditiru. Bagi Awan, alam begitu melimpah ruah sumber dayanya. Tapi anehnya, masih ada saja yang menebangi pepohonan.
“Tadi Gerhana juga berpesan, kapan kamu mengajak dia berburu jamur lagi?”
Nah, ini yang aku rindukan. Berburu jamur di hutan. Menemukan jejak jamur, samahalnya menjajaki teka-teki berpetualangan. Aku rindu mengundus keberadaan jamur yang tumbuh di bantaran sungai. Tumbuh di antara ilalang kering, di batang pepohonan jati, ataupun di ranting-ranting yang berserakan di bantaran sungai.
Jamur kuping. Bentuknya yang lucu, kenyal, kemerah-merahan. Begitu imut menggemaskan. Aku percaya, kalau jamur kuping tidak lain dari kuping kurcaci. Para kurcaci yang tinggal di lembah pucuk gunung Wilis. Ketika kurcaci mati, kuping-kupingnya akan abadi berwujud jamur. Pernah sesekali aku bercerita asal mula jamur kuping ini ke Awan. Seketika ia membantah tidak percaya. Dianggapnya aku sedang mengutarkan mimpi.
Namun sekarang aku tidak lagi bermimpi. Rasa penasaran yang terpendam hingga belasan tahun lamanya, kini akhirnya terkuak. Membuat aku terharu menyimaknya.
“Aku kangen sosok ibu. Bagaimana cara menemuinya, Yah?” lagi-lagi Bara. Ia membuat Ayahanda tersontak di malam buta.
“Hmm… sudahlah Nak. Sudah malam!” Nampak gusar Ayahanda menjawab.
“Tidak. Selagi Ayah belum memberitahu, aku tidak tidur. Sekarang usiaku semakin dewasa. Dulu Ayah berjanji akan bercerita keberadaan ibu.”
Keingintahuan Bara tidak bisa dicegah. Ia memburu keingintahuannya. Semakin Ayahanda diam tidak menjawab, ia semakin polah di atas dipan reot yang tiap malamnya dijadikan sandaran mimpi. Tingkah Bara tidak terkendalikan. Kepalan tangannya ia pukul-pukulkan di tubuh dipan. Kereotan dipan terdengar memekik kesakitan. Tanpa disadari, kaki kecil Bara yang tidak terkendalikan menendang oncor yang disandarkan di ujung bawah dipan. Seketika, “Brakkk….” Oncor terjatuh. Apinya meluap.
“Cepat siram dengan air kendi di sampingmu?” ulah kesigapan Ayahanda yang biasa meletakkan kendi di meja kecil dekat dipan. Awan pun tanggap, dan…
“Byuurr…byuurr….” Api padam. Amarah Ayahanda padam.
Di luar sana. Burung hantu berlagu. Suaranya syahdu mencekam. Diiringi temaram sinar rembulan, masuk menyeruak jengah. Berpendar dari selah-selah genting yang tak tertata rapi.
Setelah Ayahanda memungut oncor basah yang tergeletak di kolong dipan, ia kembali merebahkan diri bersama dua putranya. Ia sadar, dalam keadaan begini tidak perlu ada amarah. Ia sentuh kepala Bara dengan penuh kasih sayang.
“Bara… jangan kamu ulangi lagi ya. Ayah percaya kamu sudah tumbuh dewasa.”
Entah merasa bersalah atau tidak, Bara seketika diam. Ia luluh akan tutur Ayahanda.
“Mungkin memang sudah saatnya ayah bercerita.” Ayahanda menarik nafas sebelum melanjutkan bercerita.
“Ibu…. ibu kamu tidak lain dari pepohonan yang tumbuh di hutan gunung Wilis!” tanpa keraguan ia mulai bercerita.
“Maksud Ayah, aku anak pepohonan?”
Kecerdasan Bara membuat Ayahanda tertawa kecil.
“Ha..haa… bukan. Maksud ayah, semenjak kamu balita, ibu kamu menjelma diri, di antara pepohonan kokoh itu. Jadi kalau kangen sosok ibu, jangan pernah ada niatan menyakiti pepohonan-pepohonan itu. Dengan mencintai dan merawat alam, kangenmu akan terobati.”
Takjub. Bilamana air mata bagian dari ungkapan ketakjuban, pada saat inilah aku ingin meneteskan butiran-butirannya. Sayangnya aku tidak tahu, bagaimana caranya.
Ayahanda memang sosok ayah sesungguhnya. Tuturannya tidak lain dari sabda alam yang sering kali aku agungkan. Syarat makna. Lantas, bagaimana tanggapan Bara, setelah rasa keingintahuannya terjawab? Entah, aku tidak memerhatikan. Seketika perhatianku tertuju pada sahabatku, Awan. Semenjak Ayahanda dibuat gusar dengan keingintahuannya Bara, sahabatku tidak bergeming sedikitpun. Ia lebih memilih posisi telentang miring. Memunggungi Bara yang disampingnya dan juga Ayahanda. Dan aku tahu, sahabatku berlinangan air mata.
*

Pada masa beradu kegersangan kemarau. Meresahkan angin barat bertiup tanpa sabar. Ranting-ranting pepohonan jati bersilat garang. Rintihannya mengeluh sengsara. Serbuk bunga jambu gugur sebelum masamnya. Beterbangan ke segala penjuru. Menebar serabut-serabut putih. Berjatuhan. Laksana hujan salju di tanah tropis.
Begitupun gunung Wilis. Raganya semakin memanas. Kemarau panjang, membuat kesegaran alam tidak lain dari khayalan. Alam semakin tua mengeja usia. Ilalang kering tak ubahnya kemilau rambut uban. Reranting pepohonan menari-nari goyah sebab dehitrasi.
Menuanya alam bukan berarti menuanya masa depan Awan. Jiwanya semakin dewasa. Raganya semakin perkasa. Dewasanya usia, ditandai pula dewasanya bersikap. Entah tutur sikap untuk dirinya sendiri ataupun bagi yang lain. Dan aku, semakin gamang dengan masa depan. Tapi aku yakin, kegamangan itu suatu saat akan luntur selagi bersahabat dengan Awan.
Dan saat kedewasaan inilah, Awan mengenal perempuan. Bermula ketika kemarau benar-benar lagi berkuasa. Angin bertiup gersang. Mengundang berbagai macam penyakit yang entah dari mana rimbanya. Penduduk Pace, semakin gelisah meratapi kehidupan. Hutan tak lagi menyuburkan pundi-pundi alam. Ladang tanaman merekah kerontang tanahnya. Barisan hewan ternak puasa sepanjang waktu. Saat di mana alam benar-benar sekarat.
Satu, persatu penduduk Pace berdatangan ke rumah Ayahanda. Mengeluh kesakitan. Berbagai penyakit ingin disembuhkan. Dengan rasa sabar dan kepedulian, Ayahanda meramu ramuan sesuai keluhan. Tanpa lagi mengenal siang kemarau, tanpa lagi takut akan kegelapan malam, warga datang tiada henti. Saat genting seperti inilah, aku tidak lagi menemukan perbedaan Awan dan Bara. Mereka sama-sama anak dermawan.
Keluarga tabib dermawan. Kebaikannya tersiar di jagat orang. Tidak hanya penduduk Pace yang berbincang. Keluarga Kepatihan Anjuk Ladang, juga seringkali datang merujuk sebotol air ramuan. Maklum saja bila Ayahanda berteman baik dengan orang kerajaan ataupun pembesarnya. Salah satunya, ia sejak lama berkawan baik dengan Raja Kediri. Dan kunjungan Raja Kediri saat senja tiba inilah yang mengajarkan Awan jatuh hati kepada perempuan.
“Bukan berarti saat aku terkena musibah, lalu berkenan bertamu ke kediamanmu.”
Ungkap malu-malu Raja Kediri. Seusai ia dan rombongannya dipersialahkan duduk di hamparan tikar pandan.
“Oh tidak apa-apa kawan. Ada apakah gerangan engkau jauh-jauh dari Kediri datang menyambang?” Walaupun kenal akrab, Ayahanda berujar santun dan penuh hormat kepada tamunya.
“Sudi kiranya, kawan mau membantu penderitaan putri saya.”
Ayahanda tersentak kaget. Saat di mana Raja Kediri menunjukan jarinya mengarah putrinya. Aku lihat Ayahanda semakin mengamati penderitaan yang ditujukan pada putri kawannya. Memang ia terlihat amat paling menderita di antara rombongan raja yang datang.
Obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Tanpa menghiraukan waktu semakin petang, Raja Kediri beserta rombongan pergi meninggalkan putrinya.
Sang Putri yang sungguh malang. Seharusnya kecantikannya membuat sesiapa terpana ketika memandang. Tubuhnya semampai. Layak berpredikat putri kerajaan. Helaian rambutnya tergerai panjang menghitam. Tapi sungguh malang, bila kecantikan itu sebuah luka. Alias, sekujur kulit Sang Putri dihinggapi bisul yang menjijikan. Sampai-sampai seseorang akan kesulitan saat mewarnai kulitnya itu sebangsa apa. Putih atau kegelapan.
“Awan, Bara… kalian malam ini mengalah. Biarlah Sang Putri tidur di dipan kalian.” Tutur Ayahanda yang menemui kedua putranya di dapur. Mereka bersembunyi mulai dari kedatangan Raja Kediri bertandang ke rumah.
Terlihat, sebetulnya Bara tidak rela dipannya dipakai tidur Sang Putri. Aku pun sebenarnya juga tidak menyalahkan ketidakrelaan Bara. Bagaimana tidak, bau bisul Sang Putri sungguh menyengat basi. Memualkan. Sepertinya setiap bisulnya didiami makhluk kecil yang menyebabkan bau begitu menyengat. Namun berkat Awan, ketidakrelaan Bara luluh seketika. Mereka bertiga malam ini tidur tergeletak di lantai dapur.
Kehadiran Sang Putri, membuat kekacauan nafsu makan keluarga Ayahanda. Walapun ia seorang tabib yang pastinya seringkali menemui perihal menjijikan yang diakibatkan suatu penyakit. Tapi tidak ada yang terpaling menjijikan dibandingkan bisul Sang Putri.
Aku yakin, Ayahanda begitu menaruh haru dan kasihan kepada putri kawannya. Walaupun Bara selalu saja menghindar dari jangkauannya, Ayahanda malah dari subuh buta berbincang-bincang dengan Sang Putri. Dan tahukah pula, di antara mereka berdua ada sahabatku yang sesekali nyengir-nyengir sendiri. Ya, Awan. Seolah-seolah ia bersuka cita menemukan sahabat baru. Bersemangat bertanya tentang berbagai hal mengenai Sang Putri. Di balik bisulnya yang menganga, ternyata Sang Putri sosok perempuan yang humoris dan cerdas.
“Mungkin sudah tidak selayaknya ayah membebani tugas kepadamu. Tapi apa boleh buat. Ayah tahu kamu anak baik. Untuk itu, ayah membebankan tanggung jawab kepadamu. Antarkan Sang Putri sampai Roro Kuning.”
Seusai berpamitan, Awan dan Sang Putri menelusuri ruas hutan dan menapaki bukit demi bukit. Kepercayaan yang diberikan Ayahanda menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Walau dalam keluarganya, Awan dikenal anak pendiam. Namun keberduannya bersama Sang Putri malah membuat Awan selayaknya laki-laki banyak tahu.
Awan bercerita, bagaimana keluarganya sebagai pengagum air. Segala sesuatunya tentang air seringkali diperbincangkan. Air sebagaimana sumber kehidupan yang tidak akan habis seiring bergantinya peradaban. Bahkan begitu percaya dirinya, ia menirukan ekspresi Ayahanda ketika bercerita, “Bumi ini bermula dari air. Airlah sumber kehidupan pertama kali!”
Ternyata Sang Putri begitu menikmati bualan Awan. Sesekali terkekeh. Saat itulah aku tahu, bahwa senyuman Sang Putri merupakan senyuman termanis yang dimiliki perempuan. Mungkin sebab inilah, Awan tidak terlihat merasa jijik sekalipun berdekatan dengan Sang Putri. Aku semakin menaruh kagum kepada sahabatku.
“Kakanda apa tidak merasa jijik berdekatan dengan saya?” Tanya Sang Putri kepada laki-laki yang dari awal bertemu tidak menaruh curiga apapun terhadap dirinya.
Awan pun tersentak dengan pertanyaan mengejutkan Sang Putri.
“Kenapa harus jijik? Setiap orang memiliki cara pandang berbeda-beda tentang kehidupan. Bagiku perihal paling menjijikan adalah menjemput kematian tanpa berbuat kebaikan kepada orang lain.”
Seketika Sang Putri tahu bahwa Awan benar-benar laki-laki baik. Dan ia mengalihkan topic pembicaraan.
“Sungai apa ini?” memang patut dipertanyakan. Semenjak perjalanan, rutenya seringkali melewati bantaran sungai yang mengalir deras airnya.
“Sungai Temburi. Tahukah kamu. Sungai ini satu-satunya sumber penghidupan penduduk Pace di kala kemarau datang.” Awan kegirangan menjawab.
Tanpa sekalipun memberi jeda bertanya, Awan masih bercerita keistimewaan sungai Temburi.
“Airnya selalu jernih menyejukan. Walaupun tak ada rerumputan, hewan ternak masih bisa bertahan hidup gara-gara air sungai ini.”
“Kamu tahu muasal sumber air ini mengalir?” Sang Putri semakin penasaran.
“Nah itu yang membuat kami terbungkam. Sampai sekarang pun penduduk Pace belum ada yang tahu sumber mata airnya ada di mana. Sebab inilah aku ditantang ayah mengembara di hutan demi mencarinya.”
“Kamu mau melakukannya?”
“Ya kenapa tidak. Suatu saat pasti aku menemukannya!”
Perjalanan yang melelahkan, tapi penuh suka cita. Akhirnya Awan dan Sang Putri sampai di Roro Kuning. Mereka disambut baik oleh dua tabib yang dulunya pernah berguru ke Ayahanda. Sebelum Awan berpamitan pulang, ia menyerahkan sebongkah garam dan tiga botol ramuan kepada Sang Putri. Pesan Ayahanda, kedua wasiat itu digunakan saat Sang Putri melakukan semedi di bawah guyuran air. Sang Putri akan bersemedi selama tujuh hari.
Roro Kuning merupakan salah satu air terjun yang berada di gunung Wilis. Airnya sejak lama dipercaya masyarakat sebagai penyembuh dari segala kutukan apapun. Menurut Ayahanda, penderitaan Sang Putri tidak lain wujud guna-guna atau sihir yang dilakukan oleh Raja kerjaan lain. Raja yang menaruh dendam terhadap kerajaan Kediri.
*

“Jangan beri aku alasan untuk mencintaimu lagi!”
Begitu beramarah mengungkapkannya. Bara naik tikam. Matanya memerah garang. Dahinya menyatu padu. Tinjuannya tertuju pada dinding rumah. Segala apapun yang ada di sekitarnya menjadi lapiasan. Berbagai botol ramuan pecah berserakan. Meja pun ia tendang kuat-kuat. Terbelah menjadi beberapa bagian. Beberapa warga yang saat itu mengantri berobat, seketika berlari tanpa arah. Ayahanda begitu terpukul dengan ulah Bara. Ia tidak mampu mencegah amarah putra ragilnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa semuanya berantakan!”
Sesampainya di rumah, Awan dibuat bingung oleh keadaan. Ia mendapati Ayahanda duduk termangu di antara botol pecah dan bau ramuan yang menyesakkan. Rasa penasarannya ia ungkapkan berkali-kali. Ayahanda tetap saja tak bergeming. Kemudian Awan mendekati dan merengkuh punggung ringkih ayahnya.
“Ini perbuatan Bara. Ia merasa dikhianati Sang Putri.”
“Bagaimana bisa?”
Panjang lebar Ayahanda bercerita. Sepulang dari semedinya di Roro Kuning, kecantikan Sang Putri memancar begitu rupawan. Bisul yang menjangkiti sekujur kulitnya hilang tanpa bekas. Saat perubahan itulah, ternyata membuat Bara seketika jatuh cinta kepada Sang Putri. Cinta itu berlanjut hingga pandangan berikutnya. Karena Sang Putri sempat menginap di rumah Ayahanda hingga tiga hari lamanya.
Amarah itu memuncak ketika kedatangan Raja Kediri yang berniat menjemput pulang Sang Putri. Pada saat pamitan itulah, Raja Kediri juga menyampaikan maksud lain. Ia meminta restu Ayahanda. Sesampai di kerajaan, Sang Putri akan dinikahkan. Dipersunting oleh anak raja yang ketahtaannya dikenal hebat oleh Raja Kediri. Sebetulnya anak raja itu, pernah menolak lamaran Raja Kediri. Namun semenjak tersiar kabar, Sang Putri sembuh dari bisulnya ia menerima lamaran itu.
Tubuh Awan seketika gemetaran. Ia limbung di pangkuan Ayahanda. Untuk kedua kalinya aku melihat Awan berlinangan air mata. Bahkan ia meronta-ronta di atas botol-botol pecah. Darah pun mulai bercucuran. Aku tahu beberapa bagian kaki Awan luka.
“Kenapa harus orang lain yang merenggutnya? Padahal akulah yang tahu pertama kali kesempurnaan itu!”
“Sudahlah anakku.” Ayahanda menenangkan.
“Tidak hanya satu perempuan di bumi ini yang menjelma bidadari.”
Namun tetap saja, ucapan Ayahanda tidak membuat keadaan putranya tenang. Apalagi Ayahnda semakin gusar mengingat Bara belum kembali ke rumah.
Keesokan harinya. Halaman rumah Ayahanda begitu semarak akan rupa-rupa. Berbagai rupa wajah penduduk Pace yang memadati halaman rumah. Penduduk Pace bertumpah ruah. Anak kecil hingga nenek-kakek tua ikut merupa kegembiraan. Lebih semaraknya lagi, rupa dua belas gadis cantik yang berjalan padu mengarak bunyi gamelan. Inilah tarian, ‘Mongde’. Kesenian yang begitu mentradisi penduduk Pace. Dan aku mengamati pertunjukan ini begitu khidmat.
Kian lama gadis-gadis itu berjalan memutar dalam bentuk lingkaran. Para gadis bergincu merah. Berikat udheng gilig di kepala. Berbaju putih, bercelana panji hitam. Dibalut jarit parang kuning terikat kuat di pinggang. Gadis-gadis gagah itu disebut prajurit. Pementasan kesenian Mongde dimulai.
Penonton bersorak riuh saat prajurit serempak mengacungkan keris pada langit. Perpaduan musik gamelan semakin keras dibunyikan. Ada kemunculan lakon lain yang dinamai Penthul dan Tembem. Inti dari kesenian Mongde yakni terjadi adegan peperangan Lombo Rangkep. Penthul dan Tembem yang berlaga. Pada saat peperangan berlangsung, akan terdengar suara alat musik yang ditabuh bergantian.
“Mung…Mung…Munggg….” Telingaku semakin peka.
Terdengar Penitir ditabuh keras tanpa jeda. Bentuk Penitir serupa kempul. Dan berselang kemudian terdengar suara yang tak kalah kerasnya mengikuti irama, “...Dhe..Dhe..Dhe..” alat suara ini biasa disebut Bendhe. Dari bebunyian Penitir dan Bendhe ditabuh, menghasilkan alunan syahdu. Sinkronisasi nada; “Mung, Dhe, Mung, Dhe....” dari perpaduan bebunyian itulah kesenian ini dinamai, Mongde.
Pertunjukan Mongde usai, setelah Tembem mengalahkan Penthul dalam peperangan Lombo Rangkep. Namun sebelum pertunjukan benar-benar diakhiri, penduduk dibuat semakin bersorak gembira saat Tembem memanggul Awan di pundaknya. Tak mau kalah, Bara pun juga dinaikan di atas pundak Penthul. Hal itu dilakukan setelah mereka memeluk Ayahanda. Berpamitan untuk melakukan pengembaraan. Tepatnya, demi menghapus rasa kekecewaan dan penghianatan yang diperbuat Sang Putri. Sebab itu Ayahanda menyuruh kedua putranya untuk menemukan sumber mata air sungai Temburi.
Selangkah demi selangkah pengembaraan dimulai. Menelusuri hutan Gunung Wilis tak selamanya mendatangkan rasa senang. Semakin menjajaki arah puncak, rimba kegelapan semakin menyambut tak bersahabat. Apalagi ketika petang menjelma. Seolah-olah sekawanan makhluk rimba mengawasi dengan mata jahatnya. Siap menerkam jika kami terlelap.
Tepatnya sudah hari kelima, kami hampir sampai di salah satu puncak Gunung Wilis. Namun sumber mata air itu tidak kunjung kami temui. Terlebih mengenaskan, persediaan bekal makan mulai habis. Selama perjalanan kami hanya mengandalkan bekal yang dibawa. Kemarau tak bisa menghasilkan pundi-pundi alam yang bisa diharapkan.
“Aku mulai lapar.” Keluh Bara memelas.
“Tidak ada makanan lagi untuk memulihkan tenaga.” Awan pun menanggapi gusar.
“Yasudah, kita malam ini tidak usah melanjutkan perjalanan. Istirahat di antara tumpukan daun pohon ini.” Kedua tangan Awan direbahkan di atas tumpukan daun. Aku melihat sekeliling. Banyak pepohonan besar tumbuh besar memadati bentangan alam. Sangking besarnya, menghalangi sang surya menyentuh dataran tanah. Dan tak tahunya, kami benar-benar terlelap kelelahan.
“Buukkk….” Tiba-tiba ada yang membekap tubuhku.
Aku meronta. Namun ternyata semakin kuat dekapannya membuatku kesulitan untuk meoleh siapa dia. Bekapannya diperkuat, tubuhku merasa kesakitan.
“Hei… kamu gila apa? Lepaskan!!!” Awan bangkit dari tidurnya. Ia terdengar menghardik kepada sesiapa yang membekapku.
“Laparku tidak bisa semakin tertahan!” ia berujur. Dan aku tahu dari suaranya. Ternyata Bara yang ingin memakanku.
“Tidak seharusnya kau makan dia sebagai santapanmu!”
“Kenapa tidak? Ini hanya seekor burung Gagak. Kodratnya untuk disantap.”
“Benar-benar gila. Lepaskan dia!!!”
Mereka terdengar saling beradu emosi. Hanya indera pendengaranku yang masih berfungsi. Indera lain terbekap tanpa aksi.
“Apa yang harus dimakan? Dedaunan kering ini.” Tangan kiri Bara terlepas menggenggamku. Seketika aku merasakan kelegaan dari ancaman maut. Aku lihat tangannya ia gunakan memunguti dedaunan. Daun kering yang ia hamburkan ke arah Awan.
Awan sengaja tak menghidar dari hamburan daun yang menerjang wajahnya.
“Apa kau lupa? Keberadaan Ibu yang selalu mengamati di sekeliling kita.”
Bara diam. Sepertinya ia terpengaruh dengan omongan Awan. Pandangan Bara ia tolehkan ke sekelilingnya. Ia dapati barisan pepohonan besar tumbuh mengangkasa. Tak dinyana, Bara menangis sesenggukan. Dan aku terlepas dari genggamannya.
Pada saat itu sesuatu datang tiba-tiba. Tetesan air. Mungkinkah ini air hujan. Ternyata memang benar. Air hujan yang menghidupkan kegersangan.
Seketika daun-daun basah kuyup. Kami bertiga saling pandang. Mungkin dipikiran kita masing-masing sedang mempertanyakan, keajabaian dari mana ini? Kehidupan kembali datang. Kami semakin keheranan, saat daun-daun kuyup merekah dan di balik merekahnya muncul jamur kuping begitu banyaknya. Kami pun menyambutnya kegirangan.
Kegirangan kami semalam menghantarkan tidur terpaling nyaman. Paginya kami melanjutkan perjalanan. Semakin bertenaga menapaki pucuk gunung Wilis. Sebelum kami benar-benar sampai di puncak Wilis, kami beradu nyali dengan memanjat tebing yang di samping bawahnya jurang menganga.
Kami selamat. Lagi-lagi kami dibuat tertegun oleh keajaiban alam. Di balik tebing yang kami panjat, ternyata terhampar daratan. Keindahan daratan ini begitu elok. Di tengah-tengah daratan yang tak luas ini, terdapat sumber mata air.
“Inilah tujuan akhir pengembaraan.” Awan mengungkapkannya dalam linangan air mata.
“Apakah disinilah kita akan bertapa?” Bara masih tidak percaya dengan apa yang dilihat.
“Bukan di daratan ini. Tepatnya di gua yang tersembunyi di balik air terjun yang mengalir ini.” Telunjuk Awan ia arahkan ke pinggir tebing.
Sebelum mata air ini mengalir sampai di sungai Temburi, alur airnya ternyata melewati dua tebing. Dan masing-masing tebing di tengah-tengahnya terdapat gua. Sesuai amanat Ayahanda, mereka berdua akan bertapa di dalam gua entah hingga berapa lamanya.
“Sekarang kita perlu sesuatu untuk membungkam lubang mata air itu. Bila airnya mengalir kita tidak bakalan bisa menerjang derasnya dan singgah kedalam gua!” kegusaran Awan mendatangkan sesuatu dalam pikirku. Membungkam lubang mata air dengan batu besar di ujung itu bakalan tidak mungkin.
Namun di saat ketidakmungkinan merajai, aku menemukan sesuatu untuk mewujudkan harapan keabadian mereka. Entah gimanapun derita atau kebahagiaan yang aku dapat. Seketika itu aku dekati lubang mata air. Paruh yang selama ini menjadi perisai, tertancap tepat pada lubang mata air. Saat itulah aku pertama kali menemukan cara bagaimana mengurai air mata.
Sebelum kegelapan menghardik kesadaran, aku mendengar sesuatu yang terujar dari mereka. Semacam sumpah sebelum melakukan pertapaan.
“Sing mendudo”. Terdengar gaungnya dari gua yang terletak paling atas.
“Sing ora kromo.” Gaungnya terdengar lebih lirih.
Sing mendudo, Awan menyatu dengan sumpahnya. Sing ora kromo, penyesalan berujung keabadian Bara.
Mereka menyatu dengan alam. Gunung Wilis berkhidmat dalam kuasanya. Mengabadikan dua air terjun, “Sedudo” dan “Singokromo”.
*


*Naskah legenda ini, pernah diikutkan dalam "Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015". Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia.

Senin, 21 September 2015

Cerpen Bekakak Ngakak



 BEKAKAK NGAKAK


“Masih ingat tradisi yang diwariskan leluhur, Pak?”
Cetar. Barangkali efek itulah yang membuat kepala Pak Lurah cenat-cenut. Diderita hingga tiga malam, melek menggelantung, pada kesunyian malam. Gelisah gara-gara ungkapan Sekretaris desa. Pertanyaan yang bisa dimaknai mengingatkan sekaligus menyidir. Semenjak itu perangai Pak Lurah kusut kayak kancut.
Karepmu piye tha Bah? Lontang-lantung setiap harinya.”
“Menggalau sungguh keadaan Abah.”
“Gula-galu. Mboh, apa maksudmu. Mending berangkat ke kantor sana.”
Sang istri mulai risih dengan kemurungan suaminya. Walaupun ia tahu penyebab dari kemurungannya apa. `
Safar. Desa Amket memiliki gawe penting setiap bulan Safar. Bagaimana saat Saparan, tepatnya hari Jumat minggu kedua. Amket akan begitu riuh oleh pagelaran yang dianggap melestarikan tradisi leluhur. Berpuluh ribu orang dari berbagai macam tampang, berdiri berjubel, penuh sorak kekaguman, memadati sepanjang jalan Amket. Tepatnya jalan yang dilewati arakan Bekakak. Ya, Bekakak inilah yang membuat Pak Lurah menggalau hingga berhari-hari lamanya.
“Kalian sudah berpengalaman, dana yang dibutuhkan tidak cukup sekali menjual mobil Jazz.”
Sembari jari telunjuk Pak Lurah ditudingkan ke arah mobil mengkilap terparkir di depan kantor kelurahan. Mobil yang terbeli dengan menjual sebidang tanah warisan mertuanya. Sedangkan perangkat lain, ada enam orang dengan jabatan yang berbeda-beda. Dari awal rapat hanya terdiam menyimak di kursi masing-masing. Namun seketika itu mereka terbius telunjuk Pak Lurah, sembari menoleh dan mengangguk-angguk paham.
“Apalagi di bulan ini kita juga memiliki agenda besar. Pemilihan Wali Kota.”
“Dua-duanya sama-sama penting.” Perangkat lain mulai ikut bicara.
“Sama-sama butuh anggaran dana.”
“Tapi mengingat kas kita yang pailit, mending kita jalankan satu agenda saja.” Pak Lurah semakin putus asa. Terlihat perangkat lain yang sebelumnya khusyuk menyimak, kemudian masing-masing mata sontak memandang tajam ke Pak Lurah.
“Satu agenda. Pilih yang mana?”
Pak Lurah diam, raut mukanya semakin pucat menggalau. “Pesta demokrasi Wali Kota. Ya, itu saja. Ini penting, memilih pemimpin masa depan kita.”
“Dimana pentingnya dibandingkan menghormati leluhur? Jelas-jelas leluhur sudah nyata memberikan kemakmuran hidup kita.” Sanggah ketus terlontar dari mulut Sekretaris.
Pak Lurah merasa tertusuk dengan pernyataan Sekretarisnya. Ia begitu paham dan sangat menghormati atas apa yang dikhawatirkannya. Maka itu, ia lebih memilih mengakhiri rapat tanpa suatu jalan temu. Dari pada berdebat dengan sekretaris mudanya. Namun seusai rapat, Pak Lurah memanggil sekretaris untuk ke ruangannya.
“Apa yang memberatkan Bapak tidak menggelar Bekakak tahun ini?”
“Dana. Pasti itu? Saya tahu kondisi keuangan desa. Tapi yang saya sesalkan kenapa Bapak begitu mudahnya putus asa.”
“Tidak menggelar Bekakak samahalnya Bapak melupa perjuangan leluhur. Secara tidak langsung pula, Bapak mengundang bencana yang siap menimpa warga Amket.”
Lagi-lagi Pak Lurah terdiam. Tidak menyangkal sekalipun penjelasan sekretarisnya dari awal masuk ruangan sudah nyrocos tanpa titik.
“Lha terus harus gimana?” terlontar melas. Roman Pak Lurah terlihat semakin putus asa.
“Solusi. Sekarang itu yang kita cari. Harus menjalankan kedua-duanya, tanpa menuai beban bagi kita.” Sekretaris terlihat berpikir keras. Sesekali terdengar ketukan sepatu high hills nya.
“Nah…begini Pak. Inti dari perayaan Bekakak tak lain penyembelihan pengantin Bekakak kan?”
“He’eh.”Pak Lurah mengangguk setuju.
“Sepasang pengantin inilah yang membuat anggaran dana membengkak. Mulai dari bahan pokok yang sekarang harganya melambung akibat kegalauan BBM. Dan juga proses pembuatan yang biasa melibatkan banyak orang hingga waktunya sampai semalam suntuk. Bagaimana kalau tahun ini pembuatan Bekakak diambil alih satu orang saja?”
“Maksudmu?”
“Saya punya kenalan. Ibu pembuat jajanan pasar, terkenal rasa kue-kuenya menggiurkan lidah. Ia sangat professional dengan profesinya. Kita suruh saja dia sebagai pembuat Bekakak.”
Seusai rapat intim dengan sekretarisnya, pada sore hari, Pak Lurah bersama istri bertandang ke rumah Ibu pembuat jajanan pasar. Ketika menemuinya, Pak Lurah melakukan semua apa yang disarankan sekretaris. Mulai dari gaya ramah tamah bertamu, tanpa adanya canda-tawa, sekali bicara langsung pada inti pembicaraan, dan yang terpenting jangan sampai ada tawar-menawar harga. Kata sekretaris, tarif jualan Ibu pembuat jajanan pasar dijamin jauh di bawah tarif normal. Alias murah meriah. Memang benar, seusai sang Ibu menyanggupi pesanan, Pak Lurah cukup membayar ratusan ribu saja. Padahal anggaran ratusan ribu, sudah memenuhi semua apa yang dibutuhkan perayaan Bekakak. Boneka sepasang pengantin, pernak-perniknya, ataupun atribut arak-arakan. Namun yang membuat Pak Lurah gelisah dan bertanya-tanya dalam diam, ketika bertatap muka dengan sosok Ibu beroman datar, tidak banyak tingkah, sekali ucap terlontar kata, iya dan terima kasih. Dalam benak Pak Lurah membenarkan apa yang dimisteriuskan sekretarisnya.
“Ibu pembuat jajanan pasar tidak bisa tertawa. Banyak orang bilang ia benci keriuhan!”
*
Mak Tin dan Arum. Perempuan gila bekerja. Sejoli yang adalah ibu dan anak, tiap waktunya hanya untuk di dapur, mamasak dan memasak. Seringkali tetangganya menegur, kalau mereka sungguh keterlaluan. Seolah-olah kesempatan hidup di dunia ini, hanya untuk urusan dapur dan berburu uang. Tapi apa yang dikata tidak memengaruhi sejoli yang memiliki keahlian membuat jajanan pasar secara turun-menurun. Mereka malah cuek dan asyik dengan profesinya.
“Serius, tekun, dan hasilkan olahan menggiurkan. Jangan bikin pelanggan kecewa!”
Walaupun perkataan ibunya terdengar sengau, tidak membuat Arum gagal memaknai. Arum paham, kali ini usahanya memeroleh pesanan skala besar. Mulai jam empat subuh, ia sudah sibuk di dapur. Sembari menepis rasa dingin di musim penghujan, tak lupa ia seruput secangkir kopi sekali-dua kali.
“Pesanan Pak Lurah diambil besok siang. Sebelum terselenggaranya midodareni di balai desa.”
Pesan Mak Tin sebelum dirinya berangkat menuju pasar menjajakan dagangannya. Sepeninggal kepergian ibunya, Arum sibuk sendiri di dapur. Ia mulai kesibukannya dengan menumbuk biji ketan hingga menjadi serbuk tepung di lumpang besar, kayu nangka. Jrukk…jrukk…Seketika hawa dingin yang sebelumnya menyeruak tubuhnya, kini terhasut oleh butiran-butiran peluh bercucuran.
Arum, menyadari bahwa dirinya perempuan sepi. Dalam hidupnya tidak pernah merasakan suatu kebahagian, selain bahagia karena setiap waktu ia sukses membuat kue dan membantu ibunya bekerja. Sebenarnya ia begitu berharap, kebahagian datang dari sumber lain. Entah berwujud apa. Sejak kecil, Arum tidak dikenalkan ibunya cara tertawa itu membuat hidup bahagia. Setiap harinya, ia selalu sepi selayaknya rumah yang dihuni.
Dua jam kemudian Mak Tin pulang dari pasar. Tanpa mengenal jam istirahat, ia bantu putrinya yang sibuk di dapur.
“Adonannya sudah siap. Tinggal Emak yang bikin pasangan bonekanya.”
He’eh, Nduk siapkan gula merahnya. Gula 4 kg itu dirajang semua ya…”
Tanpa keluh kesah, Arum menyanggupi perintah Ibunya. Pekerjaanya kali ini memang terberat, dibandingkan setiap harinya. Tapi Arum menepis rasa lelahnya jauh-jauh. Sebab baginya ada suatu kebanggan, ketika ia dan sang ibu dipasrahi Pak Lurah untuk membuat keperluan pagelaran Bekakak.
Di luar rumah sepi, alam meraya senja di musim hujan. Berbinar temaram jingga mengaura indahnya langit. Arum sudah menghabiskan beberapa jam untuk merajang gula merah yang digunakan selai dari boneka Bekakak yang dibuat ibunya. Gula merah ini nantinya akan mencair seperti aliran darah, ketika boneka Bekakak disembelih saat prosesi tumbal Bekakak digelar.
Adzan maghrib terdengar dikumandangkan. Arum beranjak dari dapur menuju sumur untuk berwudlu. Sebelum menunaikan sholat, Arum dibuat tercengang akan fenomena yang ternyata mampu membuat perubahan hidupnya. Seketika itu, ia menemukan hidupnya terang dan berbinar. Kemudian Arum mengetahui sejatinya cara tertawa. Dari hatinya yang sekian lama sepi, tercengang menyala. Ia benar-benar merasakan nikmatnya kebahagian dari tertawa. Bagaimana bermula dari ibunya, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tertawa melihat pasangan boneka Bekakak yang dibuat tertukar kepalanya. Kepala laki-laki di tubuh perempuan, dan sebaliknya. Saat itu, Arum mengetahui kalau tawa ibunya, semerdu sholawat surga. Gemanya menghadirkan kedamaian di lubuk hati.
Mak Tin. Akhirnya kembali menemukan hasrat tawanya setelah sekian tahun tidak mampu menemukan cara tertawa. Semenjak menyaksikan langsung penyebab kematian sang suami. Menuai ajal, hanya gara-gara tersedak butiran pentol bakso.
*