Rabu, 30 Mei 2018

EKOFEMINISME: SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS DALAM MENGEMBALIKAN KODRAT CI TARUM


EKOFEMINISME: SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS
DALAM MENGEMBALIKAN KODRAT CI TARUM

Ditulis oleh, M. Badrus Solichin*

 
(Potret Ci Tarum. Foto Milik @inimahandrei)

I.     CI TARUM, RIWAYATMU KINI!
Pembahasan tulisan ini dimulai dari pertanyaan, bagaimana cara mengembalikan Ci Tarum menjadi sungai yang harum? Jawabannya, jikapun pihak pemerintah menganggarkan dana bertriliun rupiah untuk merevitalisasi sungai Ci Tarum, akan tetapi kalau masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai dan tidak memiliki kepedulian terhadap pelestarian ekosistem sungai, maka dana bertriliun rupiah tersebut akan menguap begitu saja. Asumsi ini sesuai dengan pernyataan Siti Nurbaya (Menteri LHK RI) saat diwawancarai oleh wartawan media Satu Harapan di Balai Kota Bandung (Minggu, 21/1/18) yang menyatakan bahwa, “masalah utama Ci Tarum yakni berasal dari limbah padat masyarakat yang tidak terkelola dengan baik.” Bagi Siti Nurbaya pentingnya pengelolaan sampah dapat dilakukan secara maksimal bila dimulai sedini mungkin dan dari kebiasan-kebiasaan kecil, sebagaimana buang sampah pada tempatnya dan tidak mengotori sungai dengan sampah.
Lanjut dari pernyataan Siti Nurbaya yang menyadari akan pertumbuhan volume sampah rumah tangga masyarakat tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah dengan baik, sebagaimana terbatasnya tempat pembuangan akhir (TPA) di lingkungan masyarakat sekitar Ci Tarum. Oleh karena itu, masyarakat harus mampu mengedukasi dan mengevaluasi diri sendiri terkait kebiasaannya tersebut. Sepertinya masyarakat selama ini terlalu apatis terhadap kebiasaan buruknya, alias tidak sadar bila kebiasaannya sangat merugikan masa depan kehidupan mereka. Perilaku sadar akan kebersihan lingkungan harus ditanamkan kepada setiap masyarakat yang tinggal di sekitar Ci Tarum, supaya mereka sadar bahwa kebiasaan membuang sampah di sungai akan berakibat fatal terhadap kelestarian Ci Tarum. Dampaknya tidak akan berimbas pada ekosistem sungai, akan tetapi berdampak pula pada terjadinya musibah yang siap datang kapan saja yang mengancam keselamatan masyarakat.
Peran pemerintah setempat bahkan pusat seringkali terkesan lamban di dalam menangani problematika Ci Tarum. Kegagapan pemerintah ini terungkap dari viralnya sebuah video yang berkontenkan kondisi buruk Ci Tarum yang dipenuhi sampah rumah tangga dan kondisi warna air Ci Tarum yang tercemar limbah industri. Video yang dibuat oleh bule yang bernama Gary Bencheghib menjadi perbincangan hangat di Instagram ataupun pemberitaan media nasional bahkan internasional. Dari viralnya postingan tersebut sepertinya benar-benar menampar pemerintah Indonesia. Bagaimana seketika itu juga Jokowi memberikan respons dalam menanggapi kehebohan tersebut dengan mencanangkan sebuah program yang dinamai Citarum Harum Bestari yang bekerjasama dengan pemerintah Jawa Barat. Bahkan ada sebagaian masyarakat yang berkomentar bahwa program tersebut dibuat karena rasa malu pemerintah pada saat terbongkarnya problematika Ci Tarum yang selama ini terlewatkan dari pengawasan pemerintah atau program tersebut merupakan usaha pemerintah di dalam meredam gunjingan dari berbagai kalangan masyarakat dan netizen di dunia maya. Akan tetapi yang jelas, dari hasil pengamatan penulis sampai hari ini program Citarum Harum Bestari belum terealisasi dengan baik sebagaimana program-program sebelumnya yang pernah dibuat oleh pemerintah ataupun organisasi yang peduli terhadap Ci Tarum. Buktinya pada bulan-bulan ini masih terjadi musibah banjir di bantaran sungai Ci Tarum dan masih banyaknya media masa yang meliput kondisi Ci Tarum yang dipenuhi sampah dan terjadinya pencemaran air sungai dari limbah industri. Padahal kita tahu, setiap program-program yang dibuat pastinya menganggarkan dana baik dari pemerintah atau mendatangkan donatur dari luar negeri yang tidak sedikit nominal rupiahnya.

II.  MELIHAT CI TARUM, DARI KACAMATA EKOFEMINISME            
Apakah kita tahu bahwa ada faktor penyebab yang lebih fatal dari ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian Ci Tarum? Pertanyaan ini akan penulis kaji berdasarkan teori ekofeminisme dari Vandana Shiva. Sekilas perkenalan tentang siapa Vanda Shiva? Shiva merupakan seorang ilmuwan dari India yang berkonsentrasi terhadap persoalaan alam dan problematikanya yang dikaji dari perspektif feminisme. Mengapa teori ini dirasa pas di dalam memberikan solusi terhadap problematika Ci Tarum? Karena antara air dan perempuan memiliki relasi yang kuat. Ruang gerak kedomestikan perempuan selalu berdekatan dengan air, contohnya aktivitas mencuci, memasak, dan aktivitas kedomestikan lainnya.
Dari hasil investigasi WALHI Jawa Barat (Dipublish pada Senin, 9 April 2018. Dikutip dari akun Twitter @walhi.jabar) terindikasi 25 perusahaan yang berada di wilayah Bandung Barat telah membuang limbah industri di Ci Tarum. Pencemaran tersebut diduga WALHI Jawa Barat sudah dilakukan sejak lama tanpa ada teguran atau sanksi tegas dari pemerintah. Dari persolan ini bila dikaji dari perspektif ekofeminisme ditemukan fakta bahwa bukti pencemaran Ci Tarum yang dilakukan oleh perusahan-perusahan yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap pembuangan limbahnya merupakan titik temu dari aktor utama dari pengrusakan ekosistem Ci Tarum. Karena perusahaan-perusahaan tersebut dibangun dari misiologi pembangunan yang diskenarioi oleh ide-ide maskulinitas yang telah menyingkirkan kaum perempuan dari alam. Bagaimana dalam hal ini Shiva (1988: xxxi) melalui ekofeminisnya menduga atas apa yang terjadi di Ci Tarum telah terjadinya praktik antroposentris yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut ketika menggeser kedomestikan perempuan ke dalam sekat-sekat pembangunan yang telah dicanangkan melalui gagasan pembangunan bangsa Barat. Di saat inilah, ekofeminisme memperlihatkan peran perempuan yang lebih berdekatan dengan alam diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya dan masa depan ekosistem alam sebagaimana kondisi Ci Tarum. Lantas mengapa sosok perempuan yang dijadikan solusi dari penyelesaian persoalan Ci Tarum? Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa, ‘bumi adalah ibu’. Wacana tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu posisi perempuan. Menurut Mies (1986: 55) bangsa barat memanfaatkan wacana tersebut untuk menundukkan dan menyingkirkan kaum perempuan dari peran pentingnya terhadap alam. Akibatnya ketika itu kaum perempuan tidak lagi mampu memproduksi kehidupan, baik secara biologis dan sosial mereka dalam menyediakan kebutuhan hidup.
Sudah sepatutnya kita mencurigai bahwa perusahaan-perusahaan yang membuang limbah industrinya ke Ci Tarum adalah perusahan yang dijalankan melalui proyek-proyek pembangunan demi tuntutan pembangunan peradaban dengan mengesampingkan kearifan terhadap ekosistem alam. Dalam persolan ini Shiva (1988: 27) menyikapi kalau bangsa barat sengaja menciptakan pembangunan yang berideologi kapitalisme, sehingga dampaknya menghancurkan sendi-sendi kehidupan dunia ketiga yang memegang teguh konservatisme. Parahnya lagi, pembangunan dikampanyekan bebarengan dengan pengenalan teknologi modern yang menjamin segala sesuatu persoalan kehidupan akan terselesaikan secara gampang dan cepat.
Dan, apakah kita sadar bahwa bangsa barat di balik menciptakan ilmu pengetahuan ada misi terselubung? Menurut Shiva (1988: 17) bangsa barat mengkonsepsi gagasan-gagasan imperialismenya ke sebuah sistem yang disebut ‘ilmu pengetahuan’ dan kemudian disebarluaskan demi tercapainya afirmasi pelaksanaan proyek-proyek pembangunan industri. Shiva (1988: 20) menduga ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan universal dan bebas nilai. Karena kebebasan itu mengakibatkan penggusuran terhadap semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain seperti kearifan tradisional khas timur. Revolusi ilmu pengetahuan ini menyingkirkan semua kendala etika dan kognitif yang menghalangi penindasan dan penjarahan alam. Dengan demikian, alam dunia ketiga tidak lagi dipandang liar, karena keliarannya ditaklukan melalui tangan-tangan reduksionis ilmu pengetahuan. Alam menjadi sebuah mesin dan pemasok bahan mentah industri kapitalis barat. Dari sinilah Shiva menilai antroposentrisme abad modern lahir. Shiva berusaha membongkar perilaku antroposentris yang secara sosial, politik, dan ekonomi telah melegalkan proyek-proyek pembangunan kapitalisme. Dampak dari proyek tersebut diafirmasi oleh ilmu pengetahuan sebagai proses ‘ilmiah’ guna mewujudkan keseragaman, sentralisasi dan pengendalian (Shiva, 1988: 19).
Melihat problematika ekosistem Ci Tarum sebagaimana diketahui bahwa problematika itu terjadi karena atas dasar kekuasaan. Bumi beserta alamnya dieksploitasi dengan melanggengkan kaki-tangan maskulinitas yang memprakarsai patriarkat dan feodal. Menyebabkan komponen-komponen bumi hancur dan mengalami kepunahan. Terjadinya penjarahan inilah, ekofeminisme hadir ibarat seorang kesatria penyelamat bumi. Melalui kekuatan yang berbasiskan pada kekhasan perempuan akan kepiawaiannya dalam mengelola lingkungan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Maklum saja bila perspektif ilmu ini lebih dinaungi oleh perempuan.

III.  SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS: MENGGALAKAN GERAKAN PEREMPUAN SADAR PELESTARIAN CI TARUM
Seberapa tangguh kaum perempuan untuk menyelesaikan problematika Ci Tarum? Dalam menjawab pertanyaan ini, kita bisa mengambil pembelajaran dari kisah kehidupan perempuan Bale, Donggala, Sulawesi Tengah. Bagaimana kehidupan perempuan Bale menurut Sri Wahyuningsih melalui publikasi hasil penelitian tesisnya yang diwartakan oleh koran Tempo (Sabtu, 15/4/18), mengungkap kehidupan mereka kenyataannya mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih. Hal itu dikarenakan pelayanan PDAM belum menjangkau wilayahnya, sehingga dalam memenuhi kebutuha air sehari-harinya masyarakat Bale mempergunakan sungai untuk segala aktivitas, seperti kebutuhan air minum, memasak, mandi dan mencuci.
Perempuan Bale memiliki program kegiatan yang berbentuk antusiasme akan rasa sadar mereka terhadap kelestarian sungai. Hal ini mereka buktikan dengan memiliki kepedulian dalam menjaga eksositem alam dan sungai yang mereka implementasikan dalam program kerja yang disusun melalui musyawarah antar masyarakat desa. Antusiasme perempuan Bale begitu besar terhadap pelestarian ekosistem alam dan sungai sebagaimana yang diungkap Sri Wahyuningsih melalui tesisnya (2004) yakni dikendarai oleh kesadaran atau perubahan pola pikir perempuan Bale untuk menerima suatu kemajuan hidup yang lebih maju tanpa meninggalkan tradisi gotong royong yang mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang direpresentasikan perempuan Bale melalui kisah hidupnya, selayaknya dimaknai sebagai usaha dalam menyuarakan penderitaan kaum perempuan yang terposisikan sebagai korban penindasan oleh program-program pembangunan berideologikan antroposentrisme kapitalis. Memperlihatkan posisi kaum perempuan yang semakin terpinggirkan dari kedomestikan terhadap alamnya. Melalui sikap perubahan pola pikir akan sadar terhadap kelestarian ekosistem di sekitarnya samahalnya perilaku perempuan Bale tersebut berusaha merintis gerakan peduli terhadap lingkungan. Gerakan yang merepresentasikan peran kaum perempuan dalam melestarikan alam berlandaskan pada tindakan kooperatif feminism.
Gerakan kaum perempuan yang kemudian diafirmasi oleh ekofeminisme dalam memperlihatkan posisi kaum perempuan tampak lebih siap membuka ruang masyarakat baru. Entah pemerintah setempat atau orang-orang yang tergabung dalam organisasi peduli terhadap kelestarsian Ci Tarum seharusnya mampu menggerakan kaum perempuan yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum. Gerakan ini bisa dipraktikan atas kesadaran kaum perempuan sebagai korban sekaligus pelaku perlawanan, membuat kaum perempuan tampak lebih siaga dalam berjuang memunguti puing-puing tatanan alam yang berserakan. Singkatnya, upaya ini merupakan perwujudan prinsip feminitas dan ekologi menjadi satu-kesatuan paham yang mana guna memperjuangkan ketercapaian ‘kedamaian’ di dunia. Dunia yang kini terancam oleh tekanan antroposentrisme kapitalis dalam mewujudkan pembangunan peradaban modern serta mengagung-agungkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama berkehidupan.
Kedomestikan perempuan yang lebih berdekatan dengan alam secara tidak langsung diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya sendiri yang adalah korban. Hal demikian dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa bumi adalah ibu. Wacana tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu peran perempuan. Akan tetapi, perempuan seiring kodrat saling merelasi bumi (alam). Relasi keduanya semakin tampak bila ditelaah dari karakter yang ada. Perempuan dan alam sering dikatakan memiliki keidentikan yang sama-sama memikat.
Kaum perempuan diposisikan sebagai pelaku perlawanan, dikarenakan perempuan yang masih tetap memelihara dan mendukung prinsip feminine. Oleh sebab itu, perempuan tampak lebih siap membuka dan menata ruang baru dibandingkan kaum laki-laki. Sebagaimana contohnya perempuan membuat gerakan atau komunitas Minggu Bersih, bagaimana dari gerakan ini setiap hari minggu pagi kaum perempuan dan ditemani masyarakat lainnya melakukan kerja bakti dengan membersihkan sampah yang ada di sungai Ci Tarum. Harus disadari tanggung jawab kebersihan sungai adalah tanggu jawab bersama. Dari gerekan tersebut mencerminkan kesiagaan kaum perempuan yang mengindikasikan usahanya dalam menyinergikan dengan prinsip ekologi. Karakter perempuan yang lebih feminine dan ekologis serta feminine dan etnisitas adalah kesatuan karakter yang alami, saling menyatukan dan sebangun. Prinsip feminine tersebut melahirkan gerakan kaum perempuan yang mengindikasikan naluri untuk empati, belas kasih, solidaritas, dan melestarikan ekosistem alam. 
Dari pembahasan di atas, penulis berharap adapun ada oknum pemerintah ataupun organisasi sosial di dalam menyelesaikan problematika Ci Tarum harap mengkaji ulang penyusunan program-program yang ada. Karena penulis sangat berharap masyarakat yang tinggal di daerah dekat Ci Tarum, terutama kaum perempuannya untuk dilibatkan secara aktif mulai dari penyusunan program kegiatan dan praktiknya. Karena kita harus sadar bahwa kaum perempuan memiliki kedekatan domestik dengan ekosistem alam.

DAFTAR REFERENSI
Affeltranger, Bastian. 2007. Hidup Akrab Dengan Bencana: Sebuah Tinjauan Global Tentang Inisiatif-inisiatif Pengurangan Bencana, Jakarta: MPBI.

Boserup, Ester. 1970. Women’s Role in Economic Development. London: Allen and Unwin.

Candraningrum, Dewi. 2013. Ekofeminisme I: Dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Faqih, Abdullah. Dipublikasikan Sabtu, 15 April 2017. Belajar dari Perempuan Bale: Perempuan Lokal dan Air Bersih. (https://indonesiana.tempo.co/kanal/nasional). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.

Mies, Maria. 1986. Patriarchy and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books.

Shiva, Vandana. 1988. Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. London: Zed Books.

WALHI Jawa Barat. Dipublikasikan 22 Juli 2012. Lingkungan dan Energi Bersih. (https://walhijabar.wordpress.com/category/artikel-tentang-energy/). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.

Wardani, Dewasasri M. Dipublikasikan Senin, 22 Januari 2018. Masalah Utama Citarum Limbah Padat. (http://www.satuharapan.com/read-detail/read/masalah-utama-citarum-limbah-padat). Diakses pada tanggal 22 Mei 2018.
Solichin, Badrus Moh. Ketika Alam dan Perempuan Lembah Baliem Diperkosa oleh Antroposentrisme Kapitalis: Kajian Ekofeminisme dalam Novel Tanah TabuDiakses pada tanggal 22 Mei 2021.


*Esai ini diikutkan dalam Writingthon Citarum Harum yang diselenggarakan oleh Bitread dan Ristekdikti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar