EKOFEMINISME: SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS
DALAM
MENGEMBALIKAN KODRAT CI TARUM
Ditulis
oleh, M. Badrus Solichin*
I.
CI
TARUM, RIWAYATMU KINI!
Pembahasan tulisan ini dimulai dari pertanyaan, bagaimana
cara mengembalikan Ci Tarum menjadi sungai yang harum? Jawabannya, jikapun pihak
pemerintah menganggarkan dana bertriliun rupiah untuk merevitalisasi sungai Ci
Tarum, akan tetapi kalau masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum
masih memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai dan tidak memiliki
kepedulian terhadap pelestarian ekosistem sungai, maka dana bertriliun rupiah
tersebut akan menguap begitu saja. Asumsi ini sesuai dengan pernyataan Siti
Nurbaya (Menteri LHK RI) saat diwawancarai oleh wartawan media Satu Harapan di
Balai Kota Bandung (Minggu, 21/1/18) yang menyatakan bahwa, “masalah utama Ci
Tarum yakni berasal dari limbah padat masyarakat yang tidak terkelola dengan
baik.” Bagi Siti Nurbaya pentingnya pengelolaan sampah dapat dilakukan secara
maksimal bila dimulai sedini mungkin dan dari kebiasan-kebiasaan kecil,
sebagaimana buang sampah pada tempatnya dan tidak mengotori sungai dengan
sampah.
Lanjut dari pernyataan Siti Nurbaya yang menyadari akan pertumbuhan
volume sampah rumah tangga masyarakat tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah
dengan baik, sebagaimana terbatasnya tempat pembuangan akhir (TPA) di
lingkungan masyarakat sekitar Ci Tarum. Oleh karena itu, masyarakat harus mampu
mengedukasi dan mengevaluasi diri sendiri terkait kebiasaannya tersebut. Sepertinya
masyarakat selama ini terlalu apatis terhadap kebiasaan buruknya, alias tidak
sadar bila kebiasaannya sangat merugikan masa depan kehidupan mereka. Perilaku sadar
akan kebersihan lingkungan harus ditanamkan kepada setiap masyarakat yang
tinggal di sekitar Ci Tarum, supaya mereka sadar bahwa kebiasaan membuang
sampah di sungai akan berakibat fatal terhadap kelestarian Ci Tarum. Dampaknya
tidak akan berimbas pada ekosistem sungai, akan tetapi berdampak pula pada
terjadinya musibah yang siap datang kapan saja yang mengancam keselamatan
masyarakat.
Peran pemerintah setempat bahkan pusat seringkali terkesan
lamban di dalam menangani problematika Ci Tarum. Kegagapan pemerintah ini
terungkap dari viralnya sebuah video yang berkontenkan kondisi buruk Ci Tarum
yang dipenuhi sampah rumah tangga dan kondisi warna air Ci Tarum yang tercemar
limbah industri. Video yang dibuat oleh bule yang bernama Gary Bencheghib
menjadi perbincangan hangat di Instagram ataupun pemberitaan media nasional
bahkan internasional. Dari viralnya postingan tersebut sepertinya benar-benar
menampar pemerintah Indonesia. Bagaimana seketika itu juga Jokowi memberikan
respons dalam menanggapi kehebohan tersebut dengan mencanangkan sebuah program
yang dinamai Citarum Harum Bestari yang bekerjasama dengan pemerintah Jawa
Barat. Bahkan ada sebagaian masyarakat yang berkomentar bahwa program tersebut dibuat
karena rasa malu pemerintah pada saat terbongkarnya problematika Ci Tarum yang
selama ini terlewatkan dari pengawasan pemerintah atau program tersebut
merupakan usaha pemerintah di dalam meredam gunjingan dari berbagai kalangan
masyarakat dan netizen di dunia maya. Akan tetapi yang jelas, dari hasil pengamatan
penulis sampai hari ini program Citarum Harum Bestari belum terealisasi dengan
baik sebagaimana program-program sebelumnya yang pernah dibuat oleh pemerintah
ataupun organisasi yang peduli terhadap Ci Tarum. Buktinya pada bulan-bulan ini
masih terjadi musibah banjir di bantaran sungai Ci Tarum dan masih banyaknya
media masa yang meliput kondisi Ci Tarum yang dipenuhi sampah dan terjadinya
pencemaran air sungai dari limbah industri. Padahal kita tahu, setiap
program-program yang dibuat pastinya menganggarkan dana baik dari pemerintah
atau mendatangkan donatur dari luar negeri yang tidak sedikit nominal
rupiahnya.
II. MELIHAT
CI TARUM, DARI KACAMATA EKOFEMINISME
Apakah kita tahu bahwa ada faktor penyebab yang lebih fatal
dari ketidakpedulian masyarakat terhadap kelestarian Ci Tarum? Pertanyaan ini akan penulis kaji
berdasarkan teori ekofeminisme dari Vandana Shiva. Sekilas perkenalan tentang
siapa Vanda Shiva? Shiva merupakan seorang ilmuwan dari India yang berkonsentrasi
terhadap persoalaan alam dan problematikanya yang dikaji dari perspektif
feminisme. Mengapa teori ini dirasa pas di dalam memberikan solusi terhadap
problematika Ci Tarum? Karena antara air dan perempuan memiliki relasi yang
kuat. Ruang gerak kedomestikan perempuan selalu berdekatan dengan air,
contohnya aktivitas mencuci, memasak, dan aktivitas kedomestikan lainnya.
Dari hasil investigasi WALHI Jawa Barat (Dipublish pada Senin,
9 April 2018. Dikutip dari akun Twitter @walhi.jabar) terindikasi 25 perusahaan
yang berada di wilayah Bandung Barat telah membuang limbah industri di Ci
Tarum. Pencemaran tersebut diduga WALHI Jawa Barat sudah dilakukan sejak lama
tanpa ada teguran atau sanksi tegas dari pemerintah. Dari persolan ini bila
dikaji dari perspektif ekofeminisme ditemukan fakta bahwa bukti pencemaran Ci
Tarum yang dilakukan oleh perusahan-perusahan yang tidak memiliki tanggung
jawab terhadap pembuangan limbahnya merupakan titik temu dari aktor utama dari
pengrusakan ekosistem Ci Tarum. Karena perusahaan-perusahaan tersebut dibangun
dari misiologi pembangunan yang diskenarioi oleh ide-ide maskulinitas yang telah
menyingkirkan kaum perempuan dari alam. Bagaimana dalam hal ini Shiva (1988:
xxxi) melalui ekofeminisnya menduga atas apa yang terjadi di Ci Tarum telah
terjadinya praktik antroposentris yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
tersebut ketika menggeser kedomestikan perempuan ke dalam sekat-sekat
pembangunan yang telah dicanangkan melalui gagasan pembangunan bangsa Barat. Di
saat inilah, ekofeminisme memperlihatkan peran perempuan yang lebih berdekatan
dengan alam diposisikan sebagai penyelamat dari dirinya dan masa depan
ekosistem alam sebagaimana kondisi Ci Tarum. Lantas mengapa sosok perempuan
yang dijadikan solusi dari penyelesaian persoalan Ci Tarum? Hal demikian
dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa, ‘bumi adalah ibu’. Wacana
tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu posisi perempuan. Menurut Mies
(1986: 55) bangsa barat memanfaatkan wacana tersebut untuk menundukkan dan
menyingkirkan kaum perempuan dari peran pentingnya terhadap alam. Akibatnya ketika
itu kaum perempuan tidak lagi mampu memproduksi kehidupan, baik secara biologis
dan sosial mereka dalam menyediakan kebutuhan hidup.
Sudah sepatutnya kita mencurigai bahwa perusahaan-perusahaan
yang membuang limbah industrinya ke Ci Tarum adalah perusahan yang dijalankan melalui
proyek-proyek pembangunan demi tuntutan pembangunan peradaban dengan
mengesampingkan kearifan terhadap ekosistem alam. Dalam persolan ini Shiva
(1988: 27) menyikapi kalau bangsa barat sengaja menciptakan pembangunan yang
berideologi kapitalisme, sehingga dampaknya menghancurkan sendi-sendi kehidupan
dunia ketiga yang memegang teguh konservatisme. Parahnya lagi, pembangunan
dikampanyekan bebarengan dengan pengenalan teknologi modern yang menjamin
segala sesuatu persoalan kehidupan akan terselesaikan secara gampang dan cepat.
Dan, apakah kita sadar bahwa bangsa barat di balik
menciptakan ilmu pengetahuan ada misi terselubung? Menurut Shiva (1988: 17) bangsa
barat mengkonsepsi gagasan-gagasan imperialismenya ke sebuah sistem yang
disebut ‘ilmu pengetahuan’ dan kemudian disebarluaskan demi tercapainya
afirmasi pelaksanaan proyek-proyek pembangunan industri. Shiva (1988: 20)
menduga ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan
universal dan bebas nilai. Karena kebebasan itu mengakibatkan penggusuran
terhadap semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain seperti kearifan
tradisional khas timur. Revolusi ilmu pengetahuan ini menyingkirkan semua
kendala etika dan kognitif yang menghalangi penindasan dan penjarahan alam.
Dengan demikian, alam dunia ketiga tidak lagi dipandang liar, karena
keliarannya ditaklukan melalui tangan-tangan reduksionis ilmu pengetahuan. Alam
menjadi sebuah mesin dan pemasok bahan mentah industri kapitalis barat. Dari
sinilah Shiva menilai antroposentrisme abad modern lahir. Shiva berusaha
membongkar perilaku antroposentris yang secara sosial, politik, dan ekonomi
telah melegalkan proyek-proyek pembangunan kapitalisme. Dampak dari proyek
tersebut diafirmasi oleh ilmu pengetahuan sebagai proses ‘ilmiah’ guna
mewujudkan keseragaman, sentralisasi dan pengendalian (Shiva, 1988: 19).
Melihat problematika ekosistem Ci Tarum sebagaimana
diketahui bahwa problematika itu terjadi karena atas dasar kekuasaan. Bumi
beserta alamnya dieksploitasi dengan melanggengkan kaki-tangan maskulinitas
yang memprakarsai patriarkat dan feodal. Menyebabkan komponen-komponen bumi
hancur dan mengalami kepunahan. Terjadinya penjarahan inilah, ekofeminisme
hadir ibarat seorang kesatria penyelamat bumi. Melalui kekuatan yang
berbasiskan pada kekhasan perempuan akan kepiawaiannya dalam mengelola
lingkungan dan sumber-sumber kehidupan lainnya. Maklum saja bila perspektif ilmu
ini lebih dinaungi oleh perempuan.
III. SINERGISME FEMINIS DAN EKOLOGIS: MENGGALAKAN GERAKAN PEREMPUAN SADAR
PELESTARIAN CI TARUM
Seberapa tangguh kaum perempuan untuk menyelesaikan
problematika Ci Tarum?
Dalam menjawab pertanyaan ini, kita bisa mengambil pembelajaran dari kisah
kehidupan perempuan Bale, Donggala, Sulawesi Tengah. Bagaimana kehidupan
perempuan Bale menurut Sri Wahyuningsih melalui publikasi hasil penelitian
tesisnya yang diwartakan oleh koran Tempo (Sabtu, 15/4/18), mengungkap kehidupan
mereka kenyataannya mengalami kesulitan dalam memperoleh air bersih. Hal itu
dikarenakan pelayanan PDAM belum menjangkau wilayahnya, sehingga dalam memenuhi
kebutuha air sehari-harinya masyarakat Bale mempergunakan sungai untuk segala
aktivitas, seperti kebutuhan air minum, memasak, mandi dan mencuci.
Perempuan Bale memiliki program kegiatan yang berbentuk
antusiasme akan rasa sadar mereka terhadap kelestarian sungai. Hal ini mereka
buktikan dengan memiliki kepedulian dalam menjaga eksositem alam dan sungai
yang mereka implementasikan dalam program kerja yang disusun melalui musyawarah
antar masyarakat desa. Antusiasme perempuan Bale begitu besar terhadap
pelestarian ekosistem alam dan sungai sebagaimana yang diungkap Sri
Wahyuningsih melalui tesisnya (2004) yakni dikendarai oleh kesadaran atau
perubahan pola pikir perempuan Bale untuk menerima suatu kemajuan hidup yang
lebih maju tanpa meninggalkan tradisi gotong royong yang mereka pegang teguh
dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang direpresentasikan perempuan Bale melalui kisah
hidupnya, selayaknya dimaknai sebagai
usaha dalam menyuarakan penderitaan kaum perempuan yang terposisikan sebagai
korban penindasan oleh program-program pembangunan berideologikan
antroposentrisme kapitalis. Memperlihatkan posisi kaum perempuan yang semakin
terpinggirkan dari kedomestikan terhadap alamnya. Melalui sikap perubahan pola
pikir akan sadar terhadap kelestarian ekosistem di sekitarnya samahalnya
perilaku perempuan Bale tersebut berusaha merintis gerakan peduli terhadap lingkungan.
Gerakan yang merepresentasikan peran kaum perempuan dalam melestarikan alam
berlandaskan pada tindakan kooperatif feminism.
Gerakan kaum perempuan yang kemudian diafirmasi oleh
ekofeminisme dalam memperlihatkan posisi kaum perempuan tampak lebih siap
membuka ruang masyarakat baru. Entah pemerintah setempat atau orang-orang yang
tergabung dalam organisasi peduli terhadap kelestarsian Ci Tarum seharusnya
mampu menggerakan kaum perempuan yang tinggal di sekitar sungai Ci Tarum.
Gerakan ini bisa dipraktikan atas kesadaran kaum perempuan sebagai korban
sekaligus pelaku perlawanan, membuat kaum perempuan tampak lebih siaga dalam
berjuang memunguti puing-puing tatanan alam yang berserakan. Singkatnya, upaya
ini merupakan perwujudan prinsip feminitas dan ekologi menjadi satu-kesatuan
paham yang mana guna memperjuangkan ketercapaian ‘kedamaian’ di dunia. Dunia yang kini terancam oleh tekanan
antroposentrisme kapitalis dalam mewujudkan pembangunan peradaban modern serta
mengagung-agungkan ilmu pengetahuan sebagai pilar utama berkehidupan.
Kedomestikan
perempuan yang lebih berdekatan dengan alam secara tidak langsung diposisikan
sebagai penyelamat dari dirinya sendiri yang adalah korban. Hal demikian
dikarenakan legitimasi wacana yang menyatakan bahwa bumi adalah ibu. Wacana
tersebut dalam perkembangannya malah membelenggu peran perempuan. Akan tetapi,
perempuan seiring kodrat saling merelasi bumi (alam). Relasi keduanya semakin
tampak bila ditelaah dari karakter yang ada. Perempuan dan alam sering
dikatakan memiliki keidentikan yang sama-sama memikat.
Kaum perempuan diposisikan sebagai pelaku perlawanan,
dikarenakan perempuan yang masih tetap memelihara dan mendukung prinsip
feminine. Oleh sebab itu, perempuan tampak lebih siap membuka dan menata ruang
baru dibandingkan kaum laki-laki. Sebagaimana contohnya perempuan membuat
gerakan atau komunitas Minggu Bersih, bagaimana dari gerakan ini setiap hari
minggu pagi kaum perempuan dan ditemani masyarakat lainnya melakukan kerja
bakti dengan membersihkan sampah yang ada di sungai Ci Tarum. Harus disadari
tanggung jawab kebersihan sungai adalah tanggu jawab bersama. Dari gerekan
tersebut mencerminkan kesiagaan kaum perempuan yang mengindikasikan usahanya
dalam menyinergikan dengan prinsip ekologi. Karakter perempuan yang lebih
feminine dan ekologis serta feminine dan etnisitas adalah kesatuan karakter
yang alami, saling menyatukan dan sebangun. Prinsip feminine tersebut
melahirkan gerakan kaum perempuan yang mengindikasikan naluri untuk empati,
belas kasih, solidaritas, dan melestarikan ekosistem alam.
Dari pembahasan di atas, penulis berharap adapun ada oknum
pemerintah ataupun organisasi sosial di dalam menyelesaikan problematika Ci
Tarum harap mengkaji ulang penyusunan program-program yang ada. Karena penulis
sangat berharap masyarakat yang tinggal di daerah dekat Ci Tarum, terutama kaum
perempuannya untuk dilibatkan secara aktif mulai dari penyusunan program
kegiatan dan praktiknya. Karena kita harus sadar bahwa kaum perempuan memiliki
kedekatan domestik dengan ekosistem alam.
DAFTAR REFERENSI
Affeltranger, Bastian. 2007. Hidup Akrab Dengan Bencana: Sebuah
Tinjauan Global Tentang Inisiatif-inisiatif Pengurangan Bencana,
Jakarta: MPBI.
Boserup, Ester. 1970. Women’s Role in Economic Development. London: Allen and Unwin.
Candraningrum, Dewi. 2013. Ekofeminisme I: Dalam Tafsir Agama,
Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Faqih, Abdullah. Dipublikasikan Sabtu, 15
April 2017. Belajar dari Perempuan Bale:
Perempuan Lokal dan Air Bersih. (https://indonesiana.tempo.co/kanal/nasional). Diakses pada tanggal
22 Mei 2018.
Mies, Maria. 1986. Patriarchy
and Accumulation on a World Scale. London: Zed Books.
Shiva, Vandana. 1988. Staying
Alive: Women, Ecology and Survival in India. London: Zed Books.
WALHI Jawa Barat. Dipublikasikan 22 Juli 2012. Lingkungan dan Energi Bersih. (https://walhijabar.wordpress.com/category/artikel-tentang-energy/). Diakses pada tanggal 22
Mei 2018.
Wardani, Dewasasri M. Dipublikasikan Senin, 22 Januari 2018. Masalah Utama Citarum Limbah Padat. (http://www.satuharapan.com/read-detail/read/masalah-utama-citarum-limbah-padat). Diakses pada tanggal
22 Mei 2018.
Solichin, Badrus Moh. Ketika Alam dan Perempuan Lembah Baliem Diperkosa oleh Antroposentrisme Kapitalis: Kajian Ekofeminisme dalam Novel Tanah Tabu. Diakses pada tanggal 22 Mei 2021.*Esai ini diikutkan dalam Writingthon Citarum Harum yang diselenggarakan oleh Bitread dan Ristekdikti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar