SEDUDO
Legenda,
dalam rimba peradaban yang tak teruntuhkan masa
KONON,
air paling jujur mencerminkan peradaban. Kejernihannya mampu
merengkuh tilas waktu. Membekukan angkara, mencairkan segala rupa
yang dinamai kesucian. Sosoknya tenang dan mengalir, seiring irama,
telah menyuarakan pada pelayaran kisah. Kisah sebuah keluarga
pengagum air. Dari bumi Pace kisah ini bergema. Menyenandung
kesakralan Gunung Wilis. Nyaring tanpa sungkan, merindu masa lampau.
Dan demikianlah kisah ini bermula.
“Bagaimana peradaban dibangun dengan kejujuran air?”
Sejatinya pengagum. Segala sesuatunya ingin diketahui. Lewat
percakapan keingintahuannya didapat. Sambil bergurau. Khidmat.
Sesekali pun berdebat. Ya, saat berdebat inilah, membuat aku bangga
menjadi bagian keluarga ini. Walaupun terkadang membuat aku sakit
hati. Lantaran aku seringkali dibiaskan.
Namun tak apalah. Aku tahu bagaimana cara mereka menganggapku ada.
Lagi pula tidak selayaknya aku mengeluh sakit hati. Selayaknya aku
bercerita keharmonisan.
Dikala malam mulai singgah menyepi. Alam melarutkan rasa kantuk.
Meninabobokan lelah. Mengusir kekalutan siang, mengundang berupa-rupa
harum wewangian. Mistik. Menyeruak ke dalam sudut-sudut rumah. Lewat
celah-celah dinding anyaman bambu. Bersamanya kabut kemarau menggugah
dingin. Membuat sesiapa ingin berselimut dalam kidung malam.
“Yah…, kenapa diam?”
“Iya. Maaf Nak.” Aku melihat Ayahanda tertegur linglung. Atas apa
yang ditanya Bara.
“Peradaban kok bisa dibangun dari kejujuran air?”
“Sejatinya air bertalian hidup dengan yang lain.”
“Maksud Ayah, berteman dengan tanah, udara, dan juga api kah?”
Ayahanda tersenyum. Degup bangganya tertolehkan ke rasa penasaran
Bara yang bersandar di pangkuannya. Dan aku semakin khidmat menyimak
obrolan mereka.
“Iya Nak.” Ia mengangguk meyakinkan.
“Mereka satu-kesatuan hidup yang tak terpisahkan. Mereka tercipta
untuk saling melengkapi bumi.”
“Api dan air kan saling bermusuhan?”
“Bermusuhannya api dan air bukan saling tikam-menikam demi
kekuasaan. Tak seperti peperangan yang kau lihat antar kerajaan itu.
Justru, sifat air yang cair dan mendinginkan. Api yang berupa bara
dan memanaskan. Ibarat kebohongan akan teredamkan oleh kejujuran.
Mereka saling beradu untuk kedamaian.”
“Sekarang paham maksud cerita Ayah. Aku ingin menjadi air. Jujur
bersikap biar disayang Ayah.” Si Bara kecil menggeliat senang di
pangkuan Ayahanda.
“Pasti kalian menjadi putra yang jujur. Ayah sayang kalian.”
Didekapnya kedua putranya yang mulai merajuk diserang kantuk.
Sedangkan aku terkesima diam dari balik jendela kamar. Dinginnya
desau angin malam tak aku hiraukan. Lagi-lagi aku belajar kehidupan
dari keluarga ini.
Dari kejahuan, sayup-sayup suara burung hantu mulai menandai
kesunyian. Re-ke-teg bambu-bambu beradu, terdengar dari kebun
belakang rumah. Waktunya kegelapan malam meraja. Kegelapannya
menidurkan keresahan dan mendongengkan mimpi.
*
Sangking
khidmat menyimak cerita Ayahanda tadi malam, membuatku kalang kabut.
Mbangkong. Mendapati sang surya sudah nampak dari balik kaki
gunung Wilis. Dahan pinus berayun-ayun, gegap gempita, seiring desau
angin menyambut kehidupan. Pohon jati tak berdaun, meranggas kemarau,
bertelanjang diri tanpa sedaun pun menutupi. Kehidupan kembali
bersinergi, mengeja masa meraup asa.
Tanpa aku sadari, dari balik punggung siul burung Prenjak
menghardik. Siulannya sengaja ditujukan menertawaiku. Aku tak
terima dengan ulahnya. Aku terpanggil mengejarnya dari pohon jati
satu ke pohon lainnya. Semakin aku berusaha mendekatinya, semakin
pula Prenjak muda memacu kecepatan terbangnya. Ia terbang
melesat, aku kalap mengejar. Menyerah kalah. Barangkali sebab usia
tua yang tak lagi mendaya.
Aku beranjak menuju pintu dapur rumah. Menoleh aktivitas sekeliling.
Aku dapati Ayahanda sedang menaruh dandang di atas tungku.
Kerumunan tiwul menyembul dari dandang yang tak
bertutup. Sungguh sedap disantap saat tiwul masih hangat
dengan tumbukan cabai rawit. Pedas-panas. Seperti itulah sensasi yang
terujar dari Ayahanda. Tapi jujur, jika pun sensasinya selezat itu
tidak pernah sekalipun membuatku tertarik mencicipi. Mencium baunya,
membuatku cepat-cepat menghindar dari jangkauannya.
“Air… airr… aaiiirrrr… menyegarkan badanku.” Teriak Bara.
Ia bersemangat mandi pagi. Teriakannya bersumber dari balik salah
satu batu besar yang memadati aliran air sungai Temburi. Selain
hamparan hutan, sungai Temburi sejatinya sumber penghidupan penduduk
Pace.
Tidak ingin Bara mengetahui kehadiranku, aku bergegas menjauh
darinya. Sebab ketika Bara mandi, samahalnya ia akan mendatangkan
musibah. Ia akan begitu kegirangan memercikkan air ke tubuhku.
Padahal aku tidak selalu menyukai air. Aku benci basah.
Aku mencari sosok lain. Pastinya selain Bara ataupun Ayahanda. Namun
semakin aku pergi menjauh dari rumah dan menapaki perbukitan, belum
aku jumpai pula sosok itu. Entah di mana keberadaannya. Sambil
mencari, sesekali aku mengumpat diri. Gara-gara mbangkong aku
kehilangan jejaknya. Benar-benar menyesal. Aku sibak dahan-dahan
pinus yang menghalangi jangkauan penglihatan. Dan akhirnya, aku
dapati sosoknya.
“Tolong bantu menyingkirkan semut-semut merah itu.”
Tanpa ia berteriak-teriak dari atas pohon pinus pun, pasti aku dengan
senang hati membantunya. Ini sudah tugasku. Memunguti semut-semut
merah yang mendiami sarang burung Walet. Kita selayaknya
sahabat.
Perkenalkan sahabatku ini. Awan, namanya. Ayahanda dikaruniai dua
putra. Walaupun sekandung, dipandanganku keduanya memiliki
kepribadian yang berbeda. Bara sosok ragil yang mulai terlihat gagah
dan cerdas di usia kekanakannya. Ia banyak tingkah. Sedangkan Awan,
si sulung yang lebih pendiam dan berbadan kurus tinggi. Di antara
mereka bertiga, kedekatanku hanya dengan Awan. Semenjak ia usia
balita, aku sudah mengenalnya. Mengenal bau ingus, cara ia merengek
ketika lapar, ataupun bau badannya.
Sebagai anak seorang tabib, Awan seringkali ditugasi mencari sarang
burung Walet untuk diolah menjadi obat. Resep obat sarang Walet
menjadi primadona para pasien yang berobat ke Ayahanda. Sarang ini
bisa mengobati berbagai penyakit. Terkadang Awan juga mencari
beraneka tanaman obat lainnya yang tumbuh liar di perbukitan kaki
gunung Wilis.
“Kik….kik….kikkk,” terdengar suara Kidang di balik
rimba yang terhampar lebat di tubuh gunung Wilis. Aku melihat Awan
sudah selesai memasukkan sarang Walet ke keranjang punggung untuk
dibawa pulang. Bila kik-kikan induk Kidang mulai terdengar itu
pertanda waktu kami untuk menyelesaikan aktivitas buruan. Kik-kikan
sang induk yang lagi menyusui anaknya itu akan berbunyi selalu tepat
waktu. Tepat sang surya mulai condong di barat. Ketepatan inilah
dijadikan penduduk Pace yang berprofesi berburu apapun di hutan akan
mengakhiri pekerjaannya. Tanpa dipandu pulang pun, mereka dengan
sendirinya akan bergegas pergi.
Sesampai di rumah, senja sudah mengangkasa begitu elok di ufuk barat.
Kilauan abu-abu awan maghribnya, sedikit demi sedikit memudar dari
pandangan. Tanpa segan, rasa lapar menyerangku. Tapi aku balas
menghardiknya untuk bersabar. Menunggu Awan beranjak dari dapur
menyelesaikan makan malamnya. Dan kemudian ia akan mengambilkan biji
jagung seperti biasanya. Butiran-butiran jagung muda, gurih dan
menyehatkan. Awan tidak akan pernah lupa dengan hal ini. Karenanya
aku selalu bersahabat setia dengan Awan.
“Banyak pasien hari ini?” Tanya Awan, sembari ia membantu
Ayahanda membereskan berbagai wadah ramuan obat yang berserakan di
atas meja praktiknya. Di ujung meja, temaram api oncor mencahayai
obrolan mereka.
“Lumayan Nak. Ohya, tadi Gerhana berobat sama ayahnya.” Timpal
balik Ayahanda.
“Dia tergigit ular lagikah?”
“Tidak. Ayahnya yang berobat. Bisulan di sekujur tubuh.”
“Kok bisa?”
“Maklum, ia kena tulah leluhur. Menebang anak beringin di makam Ki
Kanjeng tanpa pamit.”
Tiba-tiba raut muka Awan meradang. Diikuti gelengan kepala. Aku tahu
ia membatin gelisah-marah. Ada-ada saja perilaku warga Pace yang
tidak patut ditiru. Bagi Awan, alam begitu melimpah ruah sumber
dayanya. Tapi anehnya, masih ada saja yang menebangi pepohonan.
“Tadi Gerhana juga berpesan, kapan kamu mengajak dia berburu jamur
lagi?”
Nah, ini yang aku rindukan. Berburu jamur di hutan. Menemukan jejak
jamur, samahalnya menjajaki teka-teki berpetualangan. Aku rindu
mengundus keberadaan jamur yang tumbuh di bantaran sungai. Tumbuh di
antara ilalang kering, di batang pepohonan jati, ataupun di
ranting-ranting yang berserakan di bantaran sungai.
Jamur kuping. Bentuknya yang lucu, kenyal, kemerah-merahan. Begitu
imut menggemaskan. Aku percaya, kalau jamur kuping tidak lain dari
kuping kurcaci. Para kurcaci yang tinggal di lembah pucuk gunung
Wilis. Ketika kurcaci mati, kuping-kupingnya akan abadi berwujud
jamur. Pernah sesekali aku bercerita asal mula jamur kuping ini ke
Awan. Seketika ia membantah tidak percaya. Dianggapnya aku sedang
mengutarkan mimpi.
Namun sekarang aku tidak lagi bermimpi. Rasa penasaran yang terpendam
hingga belasan tahun lamanya, kini akhirnya terkuak. Membuat aku
terharu menyimaknya.
“Aku kangen sosok ibu. Bagaimana cara menemuinya, Yah?” lagi-lagi
Bara. Ia membuat Ayahanda tersontak di malam buta.
“Hmm… sudahlah Nak. Sudah malam!” Nampak gusar Ayahanda
menjawab.
“Tidak. Selagi Ayah belum memberitahu, aku tidak tidur. Sekarang
usiaku semakin dewasa. Dulu Ayah berjanji akan bercerita keberadaan
ibu.”
Keingintahuan Bara tidak bisa dicegah. Ia memburu keingintahuannya.
Semakin Ayahanda diam tidak menjawab, ia semakin polah di atas dipan
reot yang tiap malamnya dijadikan sandaran mimpi. Tingkah Bara
tidak terkendalikan. Kepalan tangannya ia pukul-pukulkan di tubuh
dipan. Kereotan dipan terdengar memekik kesakitan. Tanpa
disadari, kaki kecil Bara yang tidak terkendalikan menendang oncor
yang disandarkan di ujung bawah dipan. Seketika, “Brakkk….”
Oncor terjatuh. Apinya meluap.
“Cepat siram dengan air kendi di sampingmu?” ulah kesigapan
Ayahanda yang biasa meletakkan kendi di meja kecil dekat dipan.
Awan pun tanggap, dan…
“Byuurr…byuurr….” Api padam. Amarah Ayahanda padam.
Di luar sana. Burung hantu berlagu. Suaranya syahdu mencekam.
Diiringi temaram sinar rembulan, masuk menyeruak jengah. Berpendar
dari selah-selah genting yang tak tertata rapi.
Setelah Ayahanda memungut oncor basah yang tergeletak di kolong
dipan, ia kembali merebahkan diri bersama dua putranya. Ia sadar,
dalam keadaan begini tidak perlu ada amarah. Ia sentuh kepala Bara
dengan penuh kasih sayang.
“Bara… jangan kamu ulangi lagi ya. Ayah percaya kamu sudah tumbuh
dewasa.”
Entah merasa bersalah atau tidak, Bara seketika diam. Ia luluh akan
tutur Ayahanda.
“Mungkin memang sudah saatnya ayah bercerita.” Ayahanda menarik
nafas sebelum melanjutkan bercerita.
“Ibu…. ibu kamu tidak lain dari pepohonan yang tumbuh di hutan
gunung Wilis!” tanpa keraguan ia mulai bercerita.
“Maksud Ayah, aku anak pepohonan?”
Kecerdasan Bara membuat Ayahanda tertawa kecil.
“Ha..haa… bukan. Maksud ayah, semenjak kamu balita, ibu kamu
menjelma diri, di antara pepohonan kokoh itu. Jadi kalau kangen sosok
ibu, jangan pernah ada niatan menyakiti pepohonan-pepohonan itu.
Dengan mencintai dan merawat alam, kangenmu akan terobati.”
Takjub. Bilamana air mata bagian dari ungkapan ketakjuban, pada saat
inilah aku ingin meneteskan butiran-butirannya. Sayangnya aku tidak
tahu, bagaimana caranya.
Ayahanda memang sosok ayah sesungguhnya. Tuturannya tidak lain dari
sabda alam yang sering kali aku agungkan. Syarat makna. Lantas,
bagaimana tanggapan Bara, setelah rasa keingintahuannya terjawab?
Entah, aku tidak memerhatikan. Seketika perhatianku tertuju pada
sahabatku, Awan. Semenjak Ayahanda dibuat gusar dengan
keingintahuannya Bara, sahabatku tidak bergeming sedikitpun. Ia lebih
memilih posisi telentang miring. Memunggungi Bara yang disampingnya
dan juga Ayahanda. Dan aku tahu, sahabatku berlinangan air mata.
*
Pada
masa beradu kegersangan kemarau. Meresahkan angin barat bertiup tanpa
sabar. Ranting-ranting pepohonan jati bersilat garang. Rintihannya
mengeluh sengsara. Serbuk bunga jambu gugur sebelum masamnya.
Beterbangan ke segala penjuru. Menebar serabut-serabut putih.
Berjatuhan. Laksana hujan salju di tanah tropis.
Begitupun
gunung Wilis. Raganya semakin memanas. Kemarau panjang, membuat
kesegaran alam tidak lain dari khayalan. Alam semakin tua mengeja
usia. Ilalang kering tak ubahnya kemilau rambut uban. Reranting
pepohonan menari-nari goyah sebab dehitrasi.
Menuanya
alam bukan berarti menuanya masa depan Awan. Jiwanya semakin dewasa.
Raganya semakin perkasa. Dewasanya usia, ditandai pula dewasanya
bersikap. Entah tutur sikap untuk dirinya sendiri ataupun bagi yang
lain. Dan aku, semakin gamang dengan masa depan. Tapi aku yakin,
kegamangan itu suatu saat akan luntur selagi bersahabat dengan Awan.
Dan
saat kedewasaan inilah, Awan mengenal perempuan. Bermula ketika
kemarau benar-benar lagi berkuasa. Angin bertiup gersang. Mengundang
berbagai macam penyakit yang entah dari mana rimbanya. Penduduk Pace,
semakin gelisah meratapi kehidupan. Hutan tak lagi menyuburkan
pundi-pundi alam. Ladang tanaman merekah kerontang tanahnya. Barisan
hewan ternak puasa sepanjang waktu. Saat di mana alam benar-benar
sekarat.
Satu,
persatu penduduk Pace berdatangan ke rumah Ayahanda. Mengeluh
kesakitan. Berbagai penyakit ingin disembuhkan. Dengan rasa sabar dan
kepedulian, Ayahanda meramu ramuan sesuai keluhan. Tanpa lagi
mengenal siang kemarau, tanpa lagi takut akan kegelapan malam, warga
datang tiada henti. Saat genting seperti inilah, aku tidak lagi
menemukan perbedaan Awan dan Bara. Mereka sama-sama anak dermawan.
Keluarga
tabib dermawan. Kebaikannya tersiar di jagat orang. Tidak hanya
penduduk Pace yang berbincang. Keluarga Kepatihan Anjuk Ladang, juga
seringkali datang merujuk sebotol air ramuan. Maklum saja bila
Ayahanda berteman baik dengan orang kerajaan ataupun pembesarnya.
Salah satunya, ia sejak lama berkawan baik dengan Raja Kediri. Dan
kunjungan Raja Kediri saat senja tiba inilah yang mengajarkan Awan
jatuh hati kepada perempuan.
“Bukan
berarti saat aku terkena musibah, lalu berkenan bertamu ke
kediamanmu.”
Ungkap
malu-malu Raja Kediri. Seusai ia dan rombongannya dipersialahkan
duduk di hamparan tikar pandan.
“Oh
tidak apa-apa kawan. Ada apakah gerangan engkau jauh-jauh dari Kediri
datang menyambang?” Walaupun kenal akrab, Ayahanda berujar santun
dan penuh hormat kepada tamunya.
“Sudi
kiranya, kawan mau membantu penderitaan putri saya.”
Ayahanda tersentak kaget. Saat di mana Raja Kediri menunjukan jarinya
mengarah putrinya. Aku lihat Ayahanda semakin mengamati penderitaan
yang ditujukan pada putri kawannya. Memang ia terlihat amat paling
menderita di antara rombongan raja yang datang.
Obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Tanpa menghiraukan waktu
semakin petang, Raja Kediri beserta rombongan pergi meninggalkan
putrinya.
Sang Putri yang sungguh malang. Seharusnya kecantikannya membuat
sesiapa terpana ketika memandang. Tubuhnya semampai. Layak
berpredikat putri kerajaan. Helaian rambutnya tergerai panjang
menghitam. Tapi sungguh malang, bila kecantikan itu sebuah luka.
Alias, sekujur kulit Sang Putri dihinggapi bisul yang menjijikan.
Sampai-sampai seseorang akan kesulitan saat mewarnai kulitnya itu
sebangsa apa. Putih atau kegelapan.
“Awan, Bara… kalian malam ini mengalah. Biarlah Sang Putri tidur
di dipan kalian.” Tutur Ayahanda yang menemui kedua putranya di
dapur. Mereka bersembunyi mulai dari kedatangan Raja Kediri
bertandang ke rumah.
Terlihat, sebetulnya Bara tidak rela dipannya dipakai tidur Sang
Putri. Aku pun sebenarnya juga tidak menyalahkan ketidakrelaan Bara.
Bagaimana tidak, bau bisul Sang Putri sungguh menyengat basi.
Memualkan. Sepertinya setiap bisulnya didiami makhluk kecil yang
menyebabkan bau begitu menyengat. Namun berkat Awan, ketidakrelaan
Bara luluh seketika. Mereka bertiga malam ini tidur tergeletak di
lantai dapur.
Kehadiran Sang Putri, membuat kekacauan nafsu makan keluarga
Ayahanda. Walapun ia seorang tabib yang pastinya seringkali menemui
perihal menjijikan yang diakibatkan suatu penyakit. Tapi tidak ada
yang terpaling menjijikan dibandingkan bisul Sang Putri.
Aku yakin, Ayahanda begitu menaruh haru dan kasihan kepada putri
kawannya. Walaupun Bara selalu saja menghindar dari jangkauannya,
Ayahanda malah dari subuh buta berbincang-bincang dengan Sang Putri.
Dan tahukah pula, di antara mereka berdua ada sahabatku yang sesekali
nyengir-nyengir sendiri. Ya, Awan. Seolah-seolah ia bersuka cita
menemukan sahabat baru. Bersemangat bertanya tentang berbagai hal
mengenai Sang Putri. Di balik bisulnya yang menganga, ternyata Sang
Putri sosok perempuan yang humoris dan cerdas.
“Mungkin sudah tidak selayaknya ayah membebani tugas kepadamu. Tapi
apa boleh buat. Ayah tahu kamu anak baik. Untuk itu, ayah membebankan
tanggung jawab kepadamu. Antarkan Sang Putri sampai Roro Kuning.”
Seusai berpamitan, Awan dan Sang Putri menelusuri ruas hutan dan
menapaki bukit demi bukit. Kepercayaan yang diberikan Ayahanda
menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Walau dalam keluarganya, Awan
dikenal anak pendiam. Namun keberduannya bersama Sang Putri malah
membuat Awan selayaknya laki-laki banyak tahu.
Awan bercerita, bagaimana keluarganya sebagai pengagum air. Segala
sesuatunya tentang air seringkali diperbincangkan. Air sebagaimana
sumber kehidupan yang tidak akan habis seiring bergantinya peradaban.
Bahkan begitu percaya dirinya, ia menirukan ekspresi Ayahanda ketika
bercerita, “Bumi ini bermula dari air. Airlah sumber kehidupan
pertama kali!”
Ternyata Sang Putri begitu menikmati bualan Awan. Sesekali terkekeh.
Saat itulah aku tahu, bahwa senyuman Sang Putri merupakan senyuman
termanis yang dimiliki perempuan. Mungkin sebab inilah, Awan tidak
terlihat merasa jijik sekalipun berdekatan dengan Sang Putri. Aku
semakin menaruh kagum kepada sahabatku.
“Kakanda apa tidak merasa jijik berdekatan dengan saya?” Tanya
Sang Putri kepada laki-laki yang dari awal bertemu tidak menaruh
curiga apapun terhadap dirinya.
Awan pun tersentak dengan pertanyaan mengejutkan Sang Putri.
“Kenapa harus jijik? Setiap orang memiliki cara pandang
berbeda-beda tentang kehidupan. Bagiku perihal paling menjijikan
adalah menjemput kematian tanpa berbuat kebaikan kepada orang lain.”
Seketika Sang Putri tahu bahwa Awan benar-benar laki-laki baik. Dan
ia mengalihkan topic pembicaraan.
“Sungai apa ini?” memang patut dipertanyakan. Semenjak
perjalanan, rutenya seringkali melewati bantaran sungai yang mengalir
deras airnya.
“Sungai Temburi. Tahukah kamu. Sungai ini satu-satunya sumber
penghidupan penduduk Pace di kala kemarau datang.” Awan kegirangan
menjawab.
Tanpa sekalipun memberi jeda bertanya, Awan masih bercerita
keistimewaan sungai Temburi.
“Airnya selalu jernih menyejukan. Walaupun tak ada rerumputan,
hewan ternak masih bisa bertahan hidup gara-gara air sungai ini.”
“Kamu tahu muasal sumber air ini mengalir?” Sang Putri semakin
penasaran.
“Nah itu yang membuat kami terbungkam. Sampai sekarang pun penduduk
Pace belum ada yang tahu sumber mata airnya ada di mana. Sebab inilah
aku ditantang ayah mengembara di hutan demi mencarinya.”
“Kamu mau melakukannya?”
“Ya kenapa tidak. Suatu saat pasti aku menemukannya!”
Perjalanan yang melelahkan, tapi penuh suka cita. Akhirnya Awan dan
Sang Putri sampai di Roro Kuning. Mereka disambut baik oleh dua tabib
yang dulunya pernah berguru ke Ayahanda. Sebelum Awan berpamitan
pulang, ia menyerahkan sebongkah garam dan tiga botol ramuan kepada
Sang Putri. Pesan Ayahanda, kedua wasiat itu digunakan saat Sang
Putri melakukan semedi di bawah guyuran air. Sang Putri akan
bersemedi selama tujuh hari.
Roro Kuning merupakan salah satu air terjun yang berada di gunung
Wilis. Airnya sejak lama dipercaya masyarakat sebagai penyembuh dari
segala kutukan apapun. Menurut Ayahanda, penderitaan Sang Putri tidak
lain wujud guna-guna atau sihir yang dilakukan oleh Raja
kerjaan lain. Raja yang menaruh dendam terhadap kerajaan Kediri.
*
“Jangan beri aku alasan untuk mencintaimu lagi!”
Begitu beramarah mengungkapkannya. Bara naik tikam. Matanya memerah
garang. Dahinya menyatu padu. Tinjuannya tertuju pada dinding rumah.
Segala apapun yang ada di sekitarnya menjadi lapiasan. Berbagai botol
ramuan pecah berserakan. Meja pun ia tendang kuat-kuat. Terbelah
menjadi beberapa bagian. Beberapa warga yang saat itu mengantri
berobat, seketika berlari tanpa arah. Ayahanda begitu terpukul dengan
ulah Bara. Ia tidak mampu mencegah amarah putra ragilnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa semuanya berantakan!”
Sesampainya di rumah, Awan dibuat bingung oleh keadaan. Ia mendapati
Ayahanda duduk termangu di antara botol pecah dan bau ramuan yang
menyesakkan. Rasa penasarannya ia ungkapkan berkali-kali. Ayahanda
tetap saja tak bergeming. Kemudian Awan mendekati dan merengkuh
punggung ringkih ayahnya.
“Ini perbuatan Bara. Ia merasa dikhianati Sang Putri.”
“Bagaimana bisa?”
Panjang lebar Ayahanda bercerita. Sepulang dari semedinya di Roro
Kuning, kecantikan Sang Putri memancar begitu rupawan. Bisul yang
menjangkiti sekujur kulitnya hilang tanpa bekas. Saat perubahan
itulah, ternyata membuat Bara seketika jatuh cinta kepada Sang Putri.
Cinta itu berlanjut hingga pandangan berikutnya. Karena Sang Putri
sempat menginap di rumah Ayahanda hingga tiga hari lamanya.
Amarah itu memuncak ketika kedatangan Raja Kediri yang berniat
menjemput pulang Sang Putri. Pada saat pamitan itulah, Raja Kediri
juga menyampaikan maksud lain. Ia meminta restu Ayahanda. Sesampai di
kerajaan, Sang Putri akan dinikahkan. Dipersunting oleh anak raja
yang ketahtaannya dikenal hebat oleh Raja Kediri. Sebetulnya anak
raja itu, pernah menolak lamaran Raja Kediri. Namun semenjak tersiar
kabar, Sang Putri sembuh dari bisulnya ia menerima lamaran itu.
Tubuh Awan seketika gemetaran. Ia limbung di pangkuan Ayahanda. Untuk
kedua kalinya aku melihat Awan berlinangan air mata. Bahkan ia
meronta-ronta di atas botol-botol pecah. Darah pun mulai bercucuran.
Aku tahu beberapa bagian kaki Awan luka.
“Kenapa harus orang lain yang merenggutnya? Padahal akulah yang
tahu pertama kali kesempurnaan itu!”
“Sudahlah anakku.” Ayahanda menenangkan.
“Tidak hanya satu perempuan di bumi ini yang menjelma bidadari.”
Namun tetap saja, ucapan Ayahanda tidak membuat keadaan putranya
tenang. Apalagi Ayahnda semakin gusar mengingat Bara belum kembali ke
rumah.
Keesokan harinya. Halaman rumah Ayahanda begitu semarak akan
rupa-rupa. Berbagai rupa wajah penduduk Pace yang memadati halaman
rumah. Penduduk Pace bertumpah ruah. Anak kecil hingga nenek-kakek
tua ikut merupa kegembiraan. Lebih semaraknya lagi, rupa dua belas
gadis cantik yang berjalan padu mengarak bunyi gamelan. Inilah
tarian, ‘Mongde’. Kesenian yang begitu mentradisi penduduk Pace.
Dan aku mengamati pertunjukan ini begitu khidmat.
Kian lama gadis-gadis itu berjalan memutar dalam bentuk lingkaran.
Para gadis bergincu merah. Berikat udheng gilig di kepala.
Berbaju putih, bercelana panji hitam. Dibalut jarit parang kuning
terikat kuat di pinggang. Gadis-gadis gagah itu disebut prajurit.
Pementasan kesenian Mongde dimulai.
Penonton bersorak riuh saat prajurit serempak mengacungkan keris pada
langit. Perpaduan musik gamelan semakin keras dibunyikan. Ada
kemunculan lakon lain yang dinamai Penthul dan Tembem. Inti dari
kesenian Mongde yakni terjadi adegan peperangan Lombo Rangkep.
Penthul dan Tembem yang berlaga. Pada saat peperangan
berlangsung, akan terdengar suara alat musik yang ditabuh bergantian.
“Mung…Mung…Munggg….” Telingaku semakin peka.
Terdengar Penitir ditabuh keras tanpa jeda. Bentuk Penitir serupa
kempul. Dan berselang kemudian terdengar suara yang tak kalah
kerasnya mengikuti irama, “...Dhe..Dhe..Dhe..” alat suara ini
biasa disebut Bendhe. Dari bebunyian Penitir dan Bendhe ditabuh,
menghasilkan alunan syahdu. Sinkronisasi nada; “Mung, Dhe, Mung,
Dhe....” dari perpaduan bebunyian itulah kesenian ini dinamai,
Mongde.
Pertunjukan Mongde usai, setelah Tembem mengalahkan Penthul dalam
peperangan Lombo Rangkep. Namun sebelum pertunjukan
benar-benar diakhiri, penduduk dibuat semakin bersorak gembira saat
Tembem memanggul Awan di pundaknya. Tak mau kalah, Bara pun juga
dinaikan di atas pundak Penthul. Hal itu dilakukan setelah mereka
memeluk Ayahanda. Berpamitan untuk melakukan pengembaraan. Tepatnya,
demi menghapus rasa kekecewaan dan penghianatan yang diperbuat Sang
Putri. Sebab itu Ayahanda menyuruh kedua putranya untuk menemukan
sumber mata air sungai Temburi.
Selangkah demi selangkah pengembaraan dimulai. Menelusuri hutan
Gunung Wilis tak selamanya mendatangkan rasa senang. Semakin
menjajaki arah puncak, rimba kegelapan semakin menyambut tak
bersahabat. Apalagi ketika petang menjelma. Seolah-olah sekawanan
makhluk rimba mengawasi dengan mata jahatnya. Siap menerkam jika kami
terlelap.
Tepatnya sudah hari kelima, kami hampir sampai di salah satu puncak
Gunung Wilis. Namun sumber mata air itu tidak kunjung kami temui.
Terlebih mengenaskan, persediaan bekal makan mulai habis. Selama
perjalanan kami hanya mengandalkan bekal yang dibawa. Kemarau tak
bisa menghasilkan pundi-pundi alam yang bisa diharapkan.
“Aku mulai lapar.” Keluh Bara memelas.
“Tidak ada makanan lagi untuk memulihkan tenaga.” Awan pun
menanggapi gusar.
“Yasudah, kita malam ini tidak usah melanjutkan perjalanan.
Istirahat di antara tumpukan daun pohon ini.” Kedua tangan Awan
direbahkan di atas tumpukan daun. Aku melihat sekeliling. Banyak
pepohonan besar tumbuh besar memadati bentangan alam. Sangking
besarnya, menghalangi sang surya menyentuh dataran tanah. Dan tak
tahunya, kami benar-benar terlelap kelelahan.
“Buukkk….” Tiba-tiba ada yang membekap tubuhku.
Aku meronta. Namun ternyata semakin kuat dekapannya membuatku
kesulitan untuk meoleh siapa dia. Bekapannya diperkuat, tubuhku
merasa kesakitan.
“Hei… kamu gila apa? Lepaskan!!!” Awan bangkit dari tidurnya.
Ia terdengar menghardik kepada sesiapa yang membekapku.
“Laparku tidak bisa semakin tertahan!” ia berujur. Dan aku tahu
dari suaranya. Ternyata Bara yang ingin memakanku.
“Tidak seharusnya kau makan dia sebagai santapanmu!”
“Kenapa tidak? Ini hanya seekor burung Gagak. Kodratnya untuk
disantap.”
“Benar-benar gila. Lepaskan dia!!!”
Mereka terdengar saling beradu emosi. Hanya indera pendengaranku yang
masih berfungsi. Indera lain terbekap tanpa aksi.
“Apa yang harus dimakan? Dedaunan kering ini.” Tangan kiri Bara
terlepas menggenggamku. Seketika aku merasakan kelegaan dari ancaman
maut. Aku lihat tangannya ia gunakan memunguti dedaunan. Daun kering
yang ia hamburkan ke arah Awan.
Awan sengaja tak menghidar dari hamburan daun yang menerjang
wajahnya.
“Apa kau lupa? Keberadaan Ibu yang selalu mengamati di sekeliling
kita.”
Bara diam. Sepertinya ia terpengaruh dengan omongan Awan. Pandangan
Bara ia tolehkan ke sekelilingnya. Ia dapati barisan pepohonan besar
tumbuh mengangkasa. Tak dinyana, Bara menangis sesenggukan. Dan aku
terlepas dari genggamannya.
Pada saat itu sesuatu datang tiba-tiba. Tetesan air. Mungkinkah ini
air hujan. Ternyata memang benar. Air hujan yang menghidupkan
kegersangan.
Seketika daun-daun basah kuyup. Kami bertiga saling pandang. Mungkin
dipikiran kita masing-masing sedang mempertanyakan, keajabaian dari
mana ini? Kehidupan kembali datang. Kami semakin keheranan, saat
daun-daun kuyup merekah dan di balik merekahnya muncul jamur kuping
begitu banyaknya. Kami pun menyambutnya kegirangan.
Kegirangan kami semalam menghantarkan tidur terpaling nyaman. Paginya
kami melanjutkan perjalanan. Semakin bertenaga menapaki pucuk gunung
Wilis. Sebelum kami benar-benar sampai di puncak Wilis, kami beradu
nyali dengan memanjat tebing yang di samping bawahnya jurang
menganga.
Kami selamat. Lagi-lagi kami dibuat tertegun oleh keajaiban alam. Di
balik tebing yang kami panjat, ternyata terhampar daratan. Keindahan
daratan ini begitu elok. Di tengah-tengah daratan yang tak luas ini,
terdapat sumber mata air.
“Inilah tujuan akhir pengembaraan.” Awan mengungkapkannya dalam
linangan air mata.
“Apakah disinilah kita akan bertapa?” Bara masih tidak percaya
dengan apa yang dilihat.
“Bukan di daratan ini. Tepatnya di gua yang tersembunyi di balik
air terjun yang mengalir ini.” Telunjuk Awan ia arahkan ke pinggir
tebing.
Sebelum mata air ini mengalir sampai di sungai Temburi, alur airnya
ternyata melewati dua tebing. Dan masing-masing tebing di
tengah-tengahnya terdapat gua. Sesuai amanat Ayahanda, mereka berdua
akan bertapa di dalam gua entah hingga berapa lamanya.
“Sekarang kita perlu sesuatu untuk membungkam lubang mata air itu.
Bila airnya mengalir kita tidak bakalan bisa menerjang derasnya dan
singgah kedalam gua!” kegusaran Awan mendatangkan sesuatu dalam
pikirku. Membungkam lubang mata air dengan batu besar di ujung itu
bakalan tidak mungkin.
Namun di saat ketidakmungkinan merajai, aku menemukan sesuatu untuk
mewujudkan harapan keabadian mereka. Entah gimanapun derita atau
kebahagiaan yang aku dapat. Seketika itu aku dekati lubang mata air.
Paruh yang selama ini menjadi perisai, tertancap tepat pada lubang
mata air. Saat itulah aku pertama kali menemukan cara bagaimana
mengurai air mata.
Sebelum kegelapan menghardik kesadaran, aku mendengar sesuatu yang
terujar dari mereka. Semacam sumpah sebelum melakukan pertapaan.
“Sing mendudo”. Terdengar gaungnya dari gua yang terletak paling
atas.
“Sing ora kromo.” Gaungnya terdengar lebih lirih.
Sing mendudo, Awan menyatu dengan sumpahnya. Sing ora
kromo, penyesalan berujung keabadian Bara.
Mereka menyatu dengan alam. Gunung Wilis berkhidmat dalam kuasanya.
Mengabadikan dua air terjun, “Sedudo” dan “Singokromo”.
*
*Naskah legenda ini, pernah diikutkan dalam "Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015". Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar