Beberapa Catatan untuk Urip Ngurip karya Midun Aliassyah
Oleh: Muntijo
Dalam penciptaan sebuah karya sastra seorang sastrawan tidak pernah dalam kondisi/situasi yang kosong secara politik, sosial, budaya bahkan ideologi. Hal ini terjadi karena karya sastra merupakan hasil curahan keindahan yang dihasilkan oleh sastrawan, dan seorang sastrawan adalah manusia yang hidup di arena politik dalam arti luas, lingkungan sosial dan budaya tertentu bahkan memiliki kecenderungan ideologi tertentu pula. Karena karya sastra (cerpen) adalah curahan keindahan maka setiap kata dan gaya bahasa maupun gaya penceritaan dan gaya pencitraan dipilah dan dipilih untuk mewakili dan menggambarkan keindahan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, cerpen Urip Ngurip karya Mas Midun Aliassyah yang dimuat Radar Jember, Minggu 13 Juni 2010 patut diberi beberapa catatan. Karena karya sastra sangat dipengaruhi oleh sastrawannya, maka terlebih dahulu akan ditunjukkan latar belakang Mas Midun Dia berasal dari Nganjuk. Jadi jelas orang Jawa dan mampu berbahasa Jawa. Penguasaannya terhadap bahasa Jawa tampak pada Urip Ngurip ini, untuk lebih jelasnya dibahas dibagian belakang. Dia adalah mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang lebih dikenal sebagai penyair daripada sebagai seorang cerpenis (puisi-puisinya dimuat erje, 20/5/10) sehingga pengaruh gaya bahasa puisi tampak jelas pada (khususnya bagian pertama) cerpen Urip Ngurip.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi tameng persembunyiann di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala pertiwi…
Penggunaan gaya bahasa bermajas yang lebih sering digunakan dalam puisi menambah unsur keindahan cerpen ini. Namun, dalam memilih kata, Mas Midun kurang jelai (padahal dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) sehingga juga memengaruhi kenyamanan pembaca dalam menikmati cerpennya. Hal ini tampak pada bagian kedua Urip Ngurip,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama.
Apa yang dimaksud dengan lulusan ijazah? Mungkin lebih baik jika ditulis ‘aku cuma memiliki ijazah menengah pertama’ atau ‘aku cuma lulusan sekolah menengah pertama’ bukankah menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Kekurangtepatan yang lain, ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealisku’ Mungkin yang dimaksud adalah ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku’. Makna dari idealis dan idealisme jauh berbeda. Idealisme adalah pahamnya, sedangkan idealis adalah orang yang menganut paham tersebut.
Dari unsur intrinsik yang lain, yaitu masalah sudut pandang pengarang. Dalam membuat prosa (cerpen ataupun novel) ada beberapa cara penceritaan oleh pengarang diantaranya: orang petama pelaku utama, pengarang menyebut tokoh utama dalam prosanya dengan menggunakan kata ganti ‘aku’; orang kedua, pengarang ikut terlibat dalam cerita namun sebagai orang kedua, jadi tokoh utama disebut ‘kamu’; orang ketiga serba tahu, pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, namun mengetahui segala yang terjadi bahkan alam pikiran tokoh dalam cerita. Pengarang menggunakan kata ganti ‘dia’ atau nama tokoh secara langsung.
Dalam Urip Ngurip, terjadi kerancuan sudut pandang yang diambil oleh Mas Midun. Dia mencampuradukkan antara sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini tampak hampir pada setiap plot (bagian cerpen yang dibedakan oleh latar tempat dan situasi) khususnya pada tiga plot terakhir dari cerpen yang terdiri dari lima plot ini.
Brukk!! Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. (plot ketiga)
Pada paragraf pertama, pengarang menggunakan kata ganti nama ‘Urip’ dan kata ganti orang ketiga ‘-nya’ untuk menyebut tokoh utama. Hal ini menunjukkan posisi pengarang sebagai orang ketiga serba tahu. Namun, paragraf selanjutnya pengarang menggunakan kata ganti ‘aku’ untuk menyebut tokoh utama (Urip). Hal ini berarti sudut pandang pengarang telah berpindah menjadi orang pertama pelaku utama.
Pencampuradukan sudut pandang pengarang seperti itu juga terpadapat pada plot keempat,
“Waduh!!!” tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku.
Bandingkan dengan,
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai denan keadaannya sekarang ke Narti.
Begitu juga dengan plot yang terakhir,
“Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya…
“Oh, begitu bangga aku menjadi orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” bangga Urip atas negeri mimpinya…
Dalam plot yang keempat ini jelas terlihat. Padahal sama-sama menjelaskan kalimat langsung yang diucapkan oleh tokoh Urip, tapi sudut pandang yang digunakan berbeda.
Konstruksi Sosial dan Ideologis (keagamaan)
Usaha Mas Midun mengostruksikan Urip sebagai kaum yang termarginalkan, maupun konstruksi sosial cerpen Urip Ngurip secara keseluruhan tidak kuat (tidak jelas). Di satu sisi Urip Ngurip menggambarkan kehidupan Ibukota,
Tiap hari kutelusuri Ibuk kota. Ku langkahi trotoar jalan…(plot pertama)
Menujulah Urip ke kontrakannya. Yang sebetulnya kontrakannya tak layak disebut kontrakan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan…(plot keempat)
Penggambaran kehidupan ibukota juga tampak pada penggunaan kata-kata yang dipilih, diantaranya, sekarang sudah gak berlaku, bang!; juga dalam ucapan tokoh Narti, “gini Bang!!” Jelas Narti, “aku kesini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum abang bayar…” penggunaan ‘abang’ dan ‘babe’ merupakan usaha untuk menggambarkan bahwa kehidupan itu terjadi di Jakarta karena disanalah diksi (pilihan kata) semacam itu digunakan masyarakat. Namun, hal ini tidak sejalan sebangun dengan pernyataan dalam cerpen Urip Ngurip, Cak To orang asli Surabaya. Orang yang berasalh dari Surabaya dipanggil ‘babe’ oleh anaknya?, juga ucapan Cak To, “Tiap hari kerjanya tidur melulu” penggunaan kata ‘babe’ dan ‘melulu’ melemahkan usaha mengonstruksikan Cak To sebagai orang asli Surabaya.
Di samping itu, Mas Midun banyak menggunakan kata bahasa Jawa dalam Urip Ngurip antara lain: menungso, berselonjor, teyeng (berkarat) pada frase seng teyeng, emperan, mbako lenteng dan reot. Interferensi (masuknya) bahasa Jawa dalam cerpen ini, seperti telah disebut diatas, karena Mas Midun orang Jawa sehingga bahasa Jawa adalah bahasa Ibu baginyua. Namun, interferensi ini melemahkan usaha untuk mengonstruksikan lingkungsn sosial ibukota dalam cerpen Urip Ngurip.
Selain dari penggunaan diksi yang campur-aduk, usaha pengonstruksian kehidupan Urip bertentangan antara satu bagian dengan bagian lain. Bahkan dalam satu paragraf, satu kalimat tidak mendukung (menguatkan) kalimat yang lain, justru melemahkannya.
Dalam plot pertama, paragraf ketujuh,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal di persyaratan tak dibutuhkan, dan orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! …
Urip mengaku sebagai orang yang tak terpelajar karena tidak menempuh wajib belajar sembilan tahun yang diwajibkan oleh orang-orang atasan. Sudah dikatan sendiri bahawa wajib belajar sembilan tahun, Urip memiliki ijazah sekolah menengah pertama, berarti dia telah menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, enam tahun di SD dan tiga tahu di SMP. Pernyataan ketidakterpelajaran dirinya dibantah sendiri oleh Urip pada plot keempat dalam percakapannya dengan pelayan “Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” sangat bertentangan dengan pernyataan bukan anak terpelajar! Seperti telah disebutkan di atas tadi.
Pertentangan antar bagian dan pelemahan konstruksi yang dibangun dalam Urip Ngurip yang lain terjadi dalam pengonstruksian religiusitas yang dimiliki tokoh Urip.
…Tidak mengenal Tuhan adalah idealis(me)ku… pada bagian ini tokoh Urip digambarkan sebagai seseorang yang tidak mengenal tuhan apalagi memiliki tuhan.
Pernyataan ini bertentangan dengan beberapa kalimat lain dalam cerpen Urip Ngurip, diantaranya pada kalimat terakhir paragraf pertama, oh tidak Ya Tuhan… Bagian lain yang menyatakan Urip bertuhan adalah,
“Tuhan…” keluh Urip kepada Tuhannya. Sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya Urip mengenal Tuhan atau tidak?
Nasionalisme
Disamping ketidakjelasan usaha penceritaan dan pencitraan dalam cerpen Urip Ngurip, sebenarnya ada tema besar yang di usung oleh Mas Midun dalam cerpen ini, yaitu rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini ditampakkan pada kecintaan Urip kepada Negeri Mimpinya,
Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati…
Urip marah kepada orang yang telah menjajah negerinya (Indonesia)
“Habis manis sepah dibuang” seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh orang –yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan,…
“gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Peremapuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi… terlaknat! …”
Tidak hanya itu, kecintaan terhadap negeri ini sebenarnya tercermin dari usahnya menggambarkan tokoh Urip, warga negara yang masih belum ‘merdeka’ di era yang merdeka. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme mau menggambarkan dan menyuarakan keadaan sosial masyarakat negeri ini yang masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Muntijo, Mahasisawa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
Alamat rumah,
Pelosok Jember, Dusun Mangaran desa Sukamakmur kecamatan Ajung.
Telp. 085336117036
hahahaha mas dun... ternyata kau unggah tulisanku. itu pembajakan.
BalasHapusMengenai Muntijo yang lain bisa dilihat di http://muntijo.wordpress.com dan http://ludhes.blogspot.com
sekarang pindah ke pustamun.blogspot.com
BalasHapus