MASKULINITAS DAN PHALLOGOSENTRISME DALAM
CERPEN-CERPEN AYU UTAMI DAN DJENAR MAESA AYU
Achmad Fawaid
[Prodi S2 Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta]
Pendahuluan
Benarkah cerpen-cerpen pengarang perempuan, seperti Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu (selanjutnya disebut pengarang “sastrawangi”), memperlihatkan kecenderungan feminisme sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak penelitian akhir-akhir ini? Tulisan ini sebenarnya berangkat dari pertanyaan tersebut, dan mencoba—alih-alih mengkritik—mencari cara lain untuk membaca cerpen-cerpen pengarang sastrawangi itu dari perspektif Lacanian, sekaligus menunjukkan bahwa apa yang kita sebut sebagai ‘maskulin’ dan ‘feminin’ itu, yang sering diasosiakan sebagai ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ itu adalah oposisi biner yang tidak lagi memadai untuk menjelaskan problem yang lebih mendasar: hasrat (desire). Benarkah maskulinitas itu selalu berkaitan dengan ‘laki-laki’? Apakah perempuan tidak memiliki sisi maskulinitas? Apa arti “maskulinitas” di sini?
Akhir-akhir ini, ada semacam ‘trend’ dalam semesta riset kita belakangan untuk memosisikan para pengarang sastrawangi itu sebagai “pejuang feminis tanpa jargon.” Annisa Rahayuni (2013) menyebutkan bahwa semangat feminis dalam novel Saman Ayu Utami dan Nayla Djenar Maesa Ayu terlihat dari beberapa aspek: 1) pantang menyerah; 2) tidak bergantung pada orang tua; dan 3) berperilaku menyimpang. Harry Aveling juga menyatakan bahwa Ayu Utami merupakan penulis wanita yang cutting edge setelah reformasi Indonesia. Indikatornya adalah karena si penulis sastrawangi itu mampu memperlihatkan—meminjam istilah Henk Meir—eksklusi realisme, reaksi terhadap keterbatasan akan kebebasan berekspresi sebelum reformasi. Seperti yang diakui Aveling, Saman berisi aspek penting, yakni kebebasan mengekspresikan kehendak individu, termasuk juga seksualitas wanita. Widyasari Listyowulan (2010) juga memperlihatkan kecenderung ‘feminis’ dalam trilogi novel Ayu Utami: Saman, Larung, dan Bilangan Fu. Kecenderungan itu bisa dilihat dari bagaimana Ayu Utami berhasil mengekspresikan kebebasan seksual, agama, dan bahasa sebagai bentuk perlawanan terhadap stabilitas dan tatanan Orde Baru.
Kritik terhadap nuansa feministik dalam karya-karya pengarang sastrawangi itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Katrin Bandel dalam Sastra, Perempuan, Seks (2006). Katrin mempertanyakan sambutan media, penghargaan besar, dan tingginya rating penjualan karya-karya penulis perempuan itu, sehingga mereka sering dianggap hebat, menciptakan gaya penulisan baru, mendobrak tabu, dan sebagainya. Menurut Katrin, tidak ada usaha baru yang dilakukan oleh para penulis wanita tersebut untuk mengkritik pemerintah. Bahkan, ia meragukan alasan di balik reaksi pembaca terhadap karya Ayu Utami: Apakah itu karena adanya tema radikal baru yang terdapat di dalamnya? Atau karena karya sastra Indonesia sedang lapar akan tema-tema yang berkaitan dengan seks? Bagaimana dengan karya-karya klasik semacam Tjerita Njai Dasima-nya G.Francis dan Bumi Manusia-nya Pramoedya yang jelasjelas memperlihatkan sikap kritik terhadap pemerintah (kolonial) saat itu?
Jika Katrin melihat tidak adanya ‘hal baru’ dalam karya pengarang sastrawangi itu, maka penelitian ini ingin memandang karya-karya mereka dari perspektif ‘maskulinitas’nya. Ini berarti bahwa penelitian ini memiliki risiko ganda: 1) dengan mengkritik feminisme dalam karya-karya sastrawangi, dan menganggap karya-karya itu beraliran ‘maskulin’, tesis ini—disadari atau tidak—menjebakkan dirinya pada esensialisasi, tetapi esensialisasi ini juga sekaligus adalah ‘bunuh diri’ karena 2) apa yang disebut ‘maskulin’ dan ‘feminin’ itu pada hakikatnya adalah oposisi gender yang tidak lagi memadai untuk memahami fungsi phallagosentrisme dalam karya-karya sastrawangi.
Jadi, meski menggunakan konsep ‘maskulin’ untuk menandai karya-karya itu, riset ini pada saat yang sama juga ingin mendekonstruksi konsep tersebut, karena maskulinitas yang disebut di sini ternyata tidak hanya merujuk pada kekuasaan ‘laki-laki’ (karena ada banyak konsep “maskulin”—masculinities), melainkan pada hasrat phallic, fungsi phallogosentris yang dimiliki tidak hanya oleh laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Jika maskulin diandaikan sebagai hasrat, maka feminin adalah objek hasrat itu sendiri, sebuah objek yang tak pernah merasa dipuaskan, namun terus dipaksa secara tak sadar untuk tunduk dan berada di bawah ‘kontrol’ maskulin.
Kerangka Konseptual
Untuk mendukung tesis ini, saya menggunakan dua pendekatan: hasrat phallic-nya Lacan dan masculinities-nya R. W. Collin. Kontribusi Lacan terhadap riset ini berkaitan dengan hasrat (desire). Lacan menyebut: “Man’s desire is the desire of the Other.” Perlu diingat bahwa meskipun Lacan di sini menggunakan kata ‘man’ yang terjemahannya merukuk pada laki-laki, itu karena konsepnya ini dimaksudkan untuk mengkritik konsep pennis-nya Freud; di sini, Lacan lebih menggunakan konsep phallus. Pada hakikatnya, menurut Zizek, hasrat phallic itu tidak hanya dimiliki oleh laki-laki, melainkan oleh subjek apapun yang berkehendak pada objek hasrat. Jadi, hasrat phallic merupakan indikator hasrat the Other.
Apa hasrat bagi Lacan? Hasrat ini bisa dipahami dalam dua hal: hasrat terhadap rekognisi (desire for recognition) dan hasrat terhadap apa yang dipercayai sebagai hasrat dari orang lain (desire for what the other desires). Pertama-tama, subjek hasrat berkehendak untuk diakui, tetapi pengakuan ini diyakini oleh subjek tersebut bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari hasrat orang lain. Kita masih ingat misalnya bagaimana relasi Master dan Histeris-nya Lacan. Master berhasrat untuk diakui oleh Histeris, namun Master meyakini bahwa pengakuan itu bukanlah kebutuhannya sendiri, melainkan kebutuhan si Histeris yang berhasrat untuk diakui.
Selanjutnya, apa yang dimaksud the Other bagi Lacan? Yang-lain bagi Lacan juga bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, yang-lain sebagai orang lain, semblance, person, counterpart. Kedua, Yang-Lain—dengan “L” kapital, sebagai yang-sepenuhnya-lain (the wholly other), kuasa virtual yang kepadanya kita percaya bahwa ia ada, namun kita tak pernah tahu bentuknya, hasrat yang diinginkannya. Kita biasa menyebut the Other yang kedua ini sebagai The Big Other, yang merujuk pada agama, negara, kebebasan, Tuhan, dan sebagainya.
Nah, tepat ketika subjek berhasrat pada the other itulah, phallus itu bekerja. Berbeda dengan Freud yang percaya bahwa phallus adalah penanda “yang lebih” pada genital laki-laki, yang berarti menunjukkan “yang-kurang” bagi perempuan, sesuatu yang tak dimiliki perempuan, maka Lacan menganggap phallus sebagai penanda objek hasrat (a signifier of the object of desire). Penanda ini menghubungkan dua ruang yang berbeda: ruang yang-Riil, sang Ayah, dan ruang yang-Imajiner, sang Ibu. Ketika sang anak memperkosa ibunya, ia menganggap bahwa ia bisa menggapai kekuasaan yang-Riil, sang ayah, tetapi kita tahu bahwa yang-Riil itu tak pernah bisa dicapai. Ibu adalah yang-imajiner, yang melalui pemerkosaan-melalui penanda/yang-simbolik-melalui hasrat phallic, ia hendak mencapai yang-Riil.
Keterbelahan subjek terjadi ketika ia tidak bisa lepas dari Yang-Riil di satu sisi, namun untuk mencapai yang-Riil, ia mau tidak mau harus menggunakan Yang-Simbolik di sisi lain, sehingga yang dicapai oleh subjek bukanlah Yang-Riil, melainkan pada akhirnya Yang-Imajiner. Pada saat inilah momen castration, momen yang menandai tertolaknya hasrat phallic, terhadap jouissance akan Yang-Riil, the Other, itu terjadi. Momen ini memiliki struktur ganda: di satu sisi menghubungkan “yang-lebih” dari phallus dan “yang kurang” dari subjek feminin, namun di sisi lain ia juga memisahkan keduanya dalam keterbelahan terus menerus. Cara kerja dari konsep-konsep Lacan ini bisa ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
Keterangan:
Imaginary = Yang-Imajiner
Real = Yang-Riil, The Big Other (dengan “O” besar)
Symbolic = Yang-Simbolik
S (A) = Subjek
Semblance (a) = counterpart, the other, (dengan “o” kecil), subjek yang lain
true = yang terjadi dalam kenyataan
reality (o) = realitas yang tak tergapai
J = jouissance, objet petit a, objek hasrat, hasrat phallic
Akan tetapi, konsep phallus yang digunakan Lacan mendapat banyak kritik dari kaum feminis, utamanya Judith Butler. Menurut Butler, penggunaan Freud dan Lacan terhadap kata-kata pennis dan phallus justru memperkuat naturalisasi simbolik terhadap tubuh laki-laki. Meskipun phallus tidak identik dengan pennis, namun konsep phallus tetap menggunakan penis sebagai instrumen dan tanda naturalnya. Dalam Gender Trouble (1990), Butler menjelaskan:
The law requires conformity to its own notion of 'nature'. It gains its legitimacy through the binary and asymmetrical naturalization of bodies in which the phallus, though clearly not identical to the penis, deploys the penis as its naturalized instrument and sign.
Dalam Bodies that Matter (1993), Butler lebih jauh membahas kemungkinan bagi phallus dalam diskusinya tentang phallus lesbian. Ini menunjukkan bahwa phallus itu tidak hanya dimiliki oleh lelaki terhadap perempuan, tetapi juga oleh perempuan terhadap perempuan, bahkan mungkin oleh perempuan terhadap laki-laki itu sendiri (sebagaimana dalam banyak kasus pemerkosaan perempuan terhadap laki-laki di Afrika).
Kritik Butler ini—dalam pandangan R. W. Connel—memosisikan Freud sebagai psikoanalis yang menggunakan strategi esensialis untuk mendefinisikan maskulin sebagai activity dan feminin sebagai passivity, sebuah definisi yang arbitrer dan tentu saja berisiko. Alih-alih mendefinisikan maskulin dengan satu konsep rigid, Connel justru menawarkan empat strategi yang bisa digunakan untuk mendefinisikan masculinities (1995). Empat strategi itu antara lain:
Definisi esensialis. Pendekatan yang membatasi makna maskulin dan mengasosiasikannya secara langsung hanya pada laki-laki. Misalnya, Freud mengasosiasikan maskulinitas dengan activity dan feminitas dengan passivity.
Definisi positivis. Pendekatan yang mendefinisikan berdasarkan “what men actually are.” Pendekatan ini secara langsung mengesampingkan para wanita yang berperilaku seperti “maskulin”, atau laki-laki yang berperilaku seperti “feminin”. Dalam pendekatan ini, wanita dan laki-laki sudah punya ciri-ciri rigid yang tidak bisa disatukan atau dipraktikkan antarkeduanya.
Definisi normatif. Pendekatan yang mendefinisikan laki-laki berdasarkan “what men ought to be.” Pendekatan ini seringkali digunakan dalam analisis media untuk menjelaskan laki-laki menurut asumsi-asumsi “kultural.”
Definisi semiotik. Pendekatan yang mendefinisikan maskulinitas “sebagai ‘non-feminity’,” yang di dalamnya perbedaan simbolik dalam peran laki-laki dan perempuan saling dipertentangkan. Pendekatan ini memosisikan maskulin sebagai master signifier, sebagai phallus, sementara feminitas sebagai lack.
Tepat pada titik inilah, kontribusi Connel terlihat bagi riset ini. Definisi terakhir tentang maskulin memperlihatkan bahwa apa yang kita anggap sebagai masculinity itu ternyata tidak hanya berkaitan dengan sosok laki-laki, tapi juga master-signifier. Ringkasnya—menganut konsepsi Foucault—relasi gender dalam berbagai institusi dan perjuangan sosial pada hakikatnya dikontrol oleh kekuasaan. Jadi, ada hubungan erat antara maskulinitas dan kekuasaan, karena sebagaimana yang dinyatakan oleh Ratele (2001), kaitan utama kekuasaan sosial umumnya ditentukan oleh gender, kelas, dan maskulinitas heteroseksual.
Sebagaimana Foucault, Connel juga meyakini bahwa power is everywhere. Relasi kekuasaan, menurut Foucault, bersifat “intensional dan nonsubjektif” (1978) dan rasionalitas kekuasaan seringkali ditandai oleh “taktik-taktik” tertentu yang saling berkaitan dan sering diasumsikan sebagai norma. Connel (1987) menyebut taktik semacam ini sebagai “imperatives” di luar ‘sekadar’ relasi antara kekuasaan laki-laki dan subordinasi perempuan.
Nah, tulisan ini sebenarnya berada dalam posisi untuk menggabungkan keduanya dalam membaca cerpen Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Mungkin benar yang dikatakan oleh kaum feminis bahwa Lacan masih menggunakan konsep-konsep patrialkal seperti phallus, tetapi konsep ini sebenarnya digunakan Lacan sebagai analogi semata untuk mengkritik konsep pennis-nya Freud. Lagi pula—jika kita membaca lebih jauh—konsep phallus pada hakikatnya tidak semata-mata berkaitan dengan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, melainkan lebih berkaitan dengan fungsi; bagaimana hasrat itu berfungsi dalam subjek, dan hasrat ini mengandaikan sejenis kelebihan laten atas “kekurangan” dalam genital feminin yang bisa dirujuk pada subjek apapun, termasuk laki-laki itu sendiri. Konsep mengenai hasrat inilah yang tidak dimiliki oleh kaum feminis. Kaum feminis modern pada umumnya tidak menyadari bahwa di balik perjuangan mereka terhadap perempuan, ada The Big Other yang mengontrol mereka. The Big Other itu adalah Kebebasan, dan atas nama kebebasan, subjek perempuan mau tidak mau harus menciptakan the other lain, yakni “laki-laki”, sebagai objeknya, untuk memenuhi hasrat phallic-nya dalam mencapai Yang-Riil itu, di bawah bayang-bayang The Big Other yang sebenarnya ilusif.
Saya lebih suka menyebut ini sebagai phallogosentris, bahwa ada semacam hasrat phallic dalam setiap subjek, entah itu wanita maupun laki-laki, dan hasrat tersebut berfungsi sejauh ia mampu memberikan jaminan reproduksi kenikmatan seksual bagi fungsi sekunder kepada genital feminin sebagai organ yang tidak dapat memuaskan dirinya. Inilah konsepsi Lacan yang akan digunakan dalam tulisan ini. Namun, konsepsi ini memiliki kelemahannya sendiri karena phallus itu sendiri juga bisa dimiliki oleh perempuan lesbi atau perempuan yang memperkosa laki-laki. Inilah yang menjadi dasar konsepsi kaum feminis, termasuk Judith Butler dan Collen, yang akan digunakan pula dalam tulisan ini. Itu artinya, baik konsep Lacan tentang phallus maupun konsep Collen tentang master signifier tidak bisa dipisahkan untuk menjelaskan bagaimana maskulinitas dan phallogosentris itu bekerja. Jadi, singkatnya, phallogosentrisme maskulin itu berkaitan soal fungsi hasrat, bukan sekadar jenis kelamin.
Phallogosentrisme dalam Cerpen “Terbang” Ayu Utami
Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Ari, punya anak dua dan suaminya bernama Jati. Cerita ini bercerita tentang Ari yang pergi naik pesawat tanpa mau ditemani oleh suami. Bahkan, ia tidak mau dibelikan tiket oleh suaminya. Jika sampai dibelikan tiket, ia akan membatalkan dan membeli tiket sendiri. Ia menyebut dirinya “realistis.” Dalam perjalanannya di pesawat, ia bertemu dengan seorang pria yang pernah bekerja sebagai koki, sebagai fotografer di Indonesia Timur. Dalam pesawat itu, terjadilah perbincangan di antara keduanya. Sebagaimana karakter narasi Ayu Utami, selalu ada adegan yang—diyakini banyak orang—memancing hasrat. Misalnya, saat tokoh Ari mendambakan lelaki yang ditemuinya di pesawat itu untuk menemaninya terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali… sepotong jiwa yang dibawa Jati.
Tetapi, alih-alih berfokus pada adegan tersebut, kita bisa melihat bagaimana narasi yang dibangun oleh Utami dalam cerpennya itu memperlihatkan kecenderungan hasrat phallic seorang wanita (Ari) terhadap laki-laki. Bagaimana hasrat phallic itu bekerja? Dan mengapa Ari bisa diasumsikan sebagai maskulin?
Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.
Ari berposisi sebagai suara narator, mewakili Ayu Utami yang “pemberontak.” Apa alasan Ari menolak untuk terbang bersama Jati, suaminya? Jika merujuk pada cerpen itu, alasannya jelas: “agar anak kita tidak jadi yatim piatu.” Tetapi, alasan mengenai “agar anak mereka tidak jadi yatim piatu” adalah momen rekognisi yang tidak ingin diakui oleh subjek. Ia menutupi hasratnya untuk “berkuasa atas suami” dengan mencari alasan yang lain. Hasrat phallic Ari terletak ketika ia menyimbolisasikan ‘kebebasan subjektifnya’ itu dengan alasan yang lain. “Kebebasan” yang ia dambakan sebagai Yang-Riil itu tereduksi—dan terbatas, yang dengan demikian, tidak benar-benar menjadi kebebasan—menjadi sekadar ‘agar anaknya tidak menjadi yatim piatu.’ Pada akhirnya, Kebebasan sebagai Yang-Riil, setelah direduksi oleh Yang-Simbolik (agar anaknya tidak menjadi yatim piatu), pada akhirnya menjadi sekadar imajinasi (Yang-Imajiner).
Kebebasan, sebagai Yang-Riil bagi subjek, pada akhirnya menjadi Yang-Imajiner, karena subjek di sini tidak bisa lepas dari Yang-Simbolik. Yang-Simbolik dari cerpen “Terbang” tidak hanya ditandai oleh narasi tentang “agar anak kita tidak jadi yatim piatu,” tetapi juga pada “tidak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan!”, “aku yang tak memiliki suami ataupun anak-anak”, “keturunan purba yang bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol” seperti lelaki yang ditemuinya di pesawat, “lelaki yang tersenyum tulus seperti hewan”, dan sebagainya.
Semua ini adalah narasi-narasi Yang-Simbolik, yang menandai momen kastrasi (castration) keterputusan hasrat, karena subjek tidak mampu mencapai Yang-Riil. Yang akhirnya ia capai adalah Yang-Imajiner, pantulan dari Yang-Riil, yang ditandai oleh sesuatu yang berasal dari luar dirinya sendiri, dari Yang-Simbolik. Hasrat phallic ini memosisikan narator, sebagai subjek, tengah berada dalam “keterbelahan”. Di satu sisi, ia berhasrat untuk diakui (desire for recognition) sebagai orang yang “realistis”, orang yang mendamba terhadap Kebebasan sebagai the Big Other, namun ia meyakini—dengan cara menutup-nutupinya—bahwa hasrat ini adalah hasrat the other, hasrat si suami atau laki-laki yang dianggap hendak menguasainya. Namun, karena Ari sedang dilanda jouissance, yang menikmati kekuasaannya atas suami, namun ia tersiksa karena menyadari bahwa itu semua tak cukup, maka ia pun mencari objek yang lain, objek yang menjamin hasrat phallicnya tetap bekerja, dan objek itu adalah lelaki yang ditemuinya di pesawat, yang diyakini bisa membawa “sepotong jiwanya yang telah pergi dibawa Jati, suaminya.”
Phallogosentrisme dalam Cerpen “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)” Dejenar Maesa Ayu
Cerpen ini pada hakikatnya menampilkan satu suara narator, namun dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Ada empat epiCerpensode utama dengan narasi yang sama, namun sudut pandang yang berbeda, ditambah dengan satu episode terakhir yang bisa dikatakan sebagai ‘penutup.’ Pada masing-masing episode ini, narator terkadang memiliki sudut pandang orang pertama tunggal (“Aku” sebagai tokoh utama, “Aku” sebagai tokoh tambahan), sudut pandang orang pertama jamak, sudut pandang orang kedua, sudut pandang orang ketiga tunggal (yang mahatahu, yang terbatas), dan sudut pandang orang ketiga jamak. Keempat episode ini pada dasarnya menceritakan tentang perkawinan dan bagaimana status perkawinan itu bisa rusak, bisa bertahan, melalui aktivitas seksual kelamin.
Dalam konteks riset ini, narator juga menunjukkan hasrat phallic melalui berbagai sudut pandangnya. Kita bisa melihat ini dalam salah satu cuplikan adegannya.
“… Saya cantik, ia mapan. Saya butuh uang, ia butuh kesenangan. Serasi, bukan?”
“… Apakah saya tidak berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri?” Saya rasa saya sudah melangkah terlalu dalam. Sudah begitu banyak waktu terbuang hanya untuk urusan gombal-gombalan. Sudah saatnya saya bertindak tegas. Tidak seperti dirinya yang hanya dapat bergumam, saya akan menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri.
Titik klimaks dari hasrat phallic si tokoh wanita terjadi ketika ia merasa perlu melakukan pemberontakan terhadap suaminya. Sama seperti “Terbang”nya Ayu Utami, MJK juga memperlihatkan bagaimana tokoh Saya sebagai subjek berada dalam momen castration ketika ia tidak mampu mencapai hasrat phallic, hasrat jouissance, objet petit a, objek hasrat itu sendiri. Apa yang membuat hasrat phallic si subjek ini terputus? Hasratnya terputus ketika ia hendak mendefinisikan Kebahagiaan sebagai Yang-Riil dengan “tidak ingin membuang waktu hanya untuk urusan gombal-gombalan.”
Subjek berhasrat untuk diakui (desire for recognition) sebagai orang yang “cantik”, orang yang “bahagia”, yang berarti bahwa Kecantikan dan Kebahagiaan merupakan The Big Other baginya, Yang-Riil. Akan tetapi, ia secara tak sadar menutupi Kecantikan dan Kebahagiaan ini dengan meyakininya sebagai hasrat orang-lain (the other), hasrat laki-laki pada umumnya yang menginginkan dirinya “Cantik” dan “Bahagia.” Setiap kali ia menyatakan cantik, ia menyandingkannya dengan “kemapanan” laki-laki; setiap kali ia menyatakan bahagia, ia menyandingkannya dengan “kegombalan” laki-laki. Artinya, Kebahagiaan dan Kecantikan, sebagai Yang-Riil, telah tereduksi menjadi tak lebih dari pantulannya semata (Yang-Imajiner), karena subjek tak bisa lepas dari Yang-Simbolik, dari upayanya untuk mensimbolisasikannya bersama dengan kebutuhannya terhadap laki-laki sebagai counterpart.
Keterbelahan tokoh Saya, dalam cerpen ini, terjadi saat ia di satu sisi memiliki hasrat phallic terhadap Yang-Riil, sementara di sisi lain ia tidak bisa lepas dari Yang-Simbolik, dari batasan-batasan simbolik yang ia buat sendiri, sehingga apa yang ia bayangkan tentang Yang-Riil pada akhirnya tak lebih sebagai Yang-Imajiner. Kecantikan dan Kebahagiaan hanya terjadi—secara terbatas—justru ketika subjek tidak bisa lepas dari simbolisasinya akan yang-lain, akan “kemapanan” dan “kegombalan” laki-laki. Momen keterputusan hasrat phallic inilah yang disebut Lacan sebagai momen castration.
Phallogosentrisme dalam Cerpen “Menyusu Ayah” Djenar Maesa Ayu
Cerpen ini mungkin adalah yang paling kentara menunjukkan bagaimana hasrat phallic itu bekerja. Tokoh Nayla yang sejak kecil menyusu penis ayahnya tidak begitu mempersoalkan jika ia kemudian juga menyusu penis teman-teman ayahnya. Tetapi, ketika salah satu teman ayahnya mulai meraba dadanya dan kemaluannya, ia langsung merasa seakan integritas dirinya diperkosa.
Pada suatu hari ketika saya sedang asyik menyusu salah satu penis teman ayah, ia meraba payudara saya yang rata. Saya merasa tidak nyaman. Ucapan ayah bahwa payudara bukan untuk menyusui namun hanya untuk dinikmati lelaki terngiang-ngiang di dalam telinga saya. Saya tidak ingin dinikmati. Saya hanya ingin menikmati….
Ada phallus dalam tokoh Saya, bersama saya. Siapapun yang memiliki phallus ini, maka ia memiliki kesempatan untuk menakhtakan diri di titik yang, kata Lacan, dicemburui oleh hasrat feminin, titik yang satu-satunya nama yang layak baginya adalah “kematian patriarki,” dan feminitas itu hanya tepat bagi laki-laki. Kutipan di atas memperlihat kita struktur ganda dari phallus itu sendiri. Di satu sisi, hasrat phallic tokoh Saya membuat dirinya berkuasa, menjerat tubuh laki-laki dalam ruang domestik atas nama “kebebasan seksual.” Akan tetapi, di sisi lain, hasrat itu juga memaksa perempuan untuk berada di dalam ruang dengan struktur yang sama, yakni ruang “kebebasan,” yang sebenarnya tidak pernah ia capai karena ia masih membutuhkan the other, penis lelaki, untuk menjamin kekuasannya.
Ketika teman lelaki ayahnya, the other itu, berusaha merusak otonomi subjek si Saya, maka Saya berusaha mencari objek lain, objek yang mungkin tak tampak. Semua ini dilakukan untuk menjamin subjek phallogosentris itu terus bekerja dan memastikan bahwa objek yang dihasratinya tidak lari dan tetap “dalam kontrol.” Apa objek lain yang dimaksud? Tokoh Saya mengatakan “saya merasa tak nyaman”, dan pada akhirnya—di adegan selanjutnya—ia pun “meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya” (hlm. 40). Inilah titik klimaks dari upaya mencari objek yang-lain, objek yang lain itu pada akhirnya bukanlah apa-apa selain menghilangkan the other tersebut.
Momen ini menandai betapa tokoh Saya berada dalam momen castration. Ketika ia merasa bahwa “menyusu penis ayah” adalah jalan memenuhi hasrat phallic-nya, yang berkali-kali ia nikmati itu, ia justru merasa tersiksa. Ia tersiksa karena ternyata hasrat phallic menuntut yang-lebih. Apa yang ia bayangkan sebagai Yang-Riil dari ayah ternyata tak pernah benar-benar menjadi yang-riil, ia ternyata hanya sekadar Yang-Imajiner. Dan ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena hasrat itu selalu berada dalam simulacrum jouissance (kenikmatan yang menyiksa). Ia menikmati menghisap penis ayah, yang dianggapnya sebagai satu-satunya cara untuk mencapai Kebebasan, Yang-Riil, tapi ia merasa tersiksa karena apa yang ia lakukan itu justru tak pernah memberinya Kebebasan yang sebenarnya; Kebebasan itu pada akhirnya tak lebih sebagai Yang-Imajiner baginya, tetapi Kebebasan itu terus menuntutnya untuk melakukan yang-lebih untuk memenuhi hasrat phallic tersebut.
Maskulinitas Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu
Jika menggunakan definisi esensialis, tentu saja kedua wanita ini adalah feminin. Akan tetapi, dilihat dari bagaimana keduanya membentuk narasi-narasi tentang seorang tokoh yang menandai dirinya sendiri sebagai Master-Lacan, bisa dikatakan bahwa mereka adalah maskulin, maskulin yang dipahami oleh Connel (1995) dalam pendekatan semiotik sebagai “non-feminity.” Seperti yang sudah ditunjukkan dalam analisis di atas, mereka berhasil menjadi narator yang memiliki hasrat phallic terhadap setiap simbol feminitas yang dilekatkan pada laki-laki.
Dalam salah satu wawancaranya di Jakarta Post, Ayu Utami pernah berkata:
“Sejauh ini, orang-orang mengeksploitasi seks, tetapi dengan menyudutkan wanita. Apa yang saya tulis tidak lebih dari sebentuk protes daripada sekadar gambaran atau cerita-cerita cabul yang telah mereka tulis. Tetapi saya ingin membuat wanita menjadi subjek. Ini dianggap tabu.”
Pernyataan di atas menjelaskan kesadaran Utami untuk menjadikan wanita sebagai subjek. Subjek ini, dalam narasi-narasinya yang kemudian dikembangkan Utami dalam cerpennya, justru memperlihatkan masalah tersendiri dilihat dari perspektif Lacanian. Subjek-nya Ayu Utami adalah subjek yang memberontak terhadap patriarki, terhadap stabilitas negara, terhadap kemapanan, terhadap dogma-dogma religius, dan sebagainya. Pada akhirnya, narasi tentang Kebebasan, Pluralisme, Pecintaan tanpa Perkawinan, menjadi Yang-Riil bagi Utami. Sayangnya, hasrat terhadap Yang-Riil selalu membutuhkan yang-lain, the other, agar ia terus bekerja. Dan satu-satunya nama yang layak bagi hasrat phallic bagi semua ini—salah satunya—adalah laki-laki.
Dalam salah satu narasinya di cerpen “Terbang”, Utami sangat jelas mendefinisikan laki-laki sebagai mereka yang lack, yang dengan demikian bersifat feminin.
Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup bersama.
Bukan tanpa alasan mengapa Utami sampai pada kesimpulan ini. Sejak kecil, Utami dididik di keluarga yang sangat konservatif terhadap agama, tetapi orang tuanya membebaskan dirinya untuk menikah dengan siapapun, bahkan yang beda agama, kecuali dengan komunis. Akan tetapi, pada masa kuliah, Utami mulai tidak percaya pada agama, bahkan ia sempat menjadi agnostik pada saat itu.
Berbeda dengan Utami, kehidupan Djenar diwarnai dengan sejarahnya yang kandas berumah tangga. Pada 15 Agustus 2005, ia bercerai dengan suaminya Edi Widjaya. Salah satu alasannya adalah perbedaan kultur yang tak bisa disatukan antarkeduanya. Meskipun ia mengakui bahagia dengan suaminya, perbedaan itu tetap membuatnya merasa tersubordinasi sebagai perempuan.
Perceraian, bagi Djenar, tampaknya bukan sesuatu yang aneh. Djenar lahir dari seorang bapak seniman besar Sjumandjaya dan aktris Tutie Kirana. Ia adalah anak tunggal dari perkawinan ayahnya yang kedua kali dan perkawinan kedua sang ibu, yang hanya sempat mengenyam setahun masa pernikahan. Seks baginya adalah sesuatu yang harus diketahui oleh publik, “simpan dulu istilah tabu,” kata Djenar dalam salah satu wawancaranya. Orang tua Djenar sangat terbuka dan membebaskannya untuk kritis, berani bicara banyak hal, termasuk soal seks.
Karya saya berasal dari kehidupan sekitar dan apa yang saya pikirkan. Pelecehan seksual misalnya, sebagai ibu dari dua anak perempuan, saya benar-benar concern dengan masalah itu. Tiap hari ada saja berita yang saya dengar dan lihat baik dari media cetak maupun tivi. Walaupun saya tidak ngalamin, tapi saya bisa merasakan, Walaupun tidak riil, tapi rasa sakitnya terasa riil. Itulah sebabnya saya menganggapnya sebagai problem saya juga,” ujarnya.
Dari pernyataannya ini tampak jelas bahwa—sebagaimana Utami—Djenar juga punya hasrat tentang Yang-Riil itu. Yang-Riil baginya adalah Kebebasan dari pelecehan seksual. Kebebasan dari pelecehan seksual itu, misalnya, ia narasikan dalam cerpennya “Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu)!” Hasrat phallic terhadap Kebebasan sudah dimiliki oleh Djenar sejak kecil. Namun Kebebasan ini justru terbelah pada saat Djenar menyadari bahwa dirinya tidak bisa lepas dari ibu dan bapaknya. Djenar memang seorang wanita, yang tentu saja sama dengan ibunya dari sisi jenis kelamin, tetapi Djenar mengatakan: “Banyak orang bilang saya lebih mirip Bung (panggilan ayahnya, pen.) yang pribadinya berbeda 180 derajat dengan Momom (panggilan ibunya, pen.). Bung adalah seniman yang sangat membumi, punya jiwa bebas, berlaku semaunya, dan suka pakai baju robek-robek. Wuih, pokoknya amburadul banget! Nah, saat itulah saya belajar menyerap dua dunia itu, dunia Momom dan Bung.”
Bukan karena ia mirip dengan ayahnya hingga ia bisa dianggap maskulin, tetapi narasi yang Djenar kembangkan tentang laki-laki, sebagaimana yang terdapat dalam karya-karyanya, menunjukkan bahwa hasrat phallicnya membuatnya dirinya memiliki—meminjam istilah Connel—lebih banyak sisi activity dibanding passivity. Kita bisa melihat aspek activity—atau mungkin agressivity—ini pada saat Djenar menggambarkan tokoh Saya sebagai “penikmat penis” dibanding sebagai “yang-dinikmati-penis.” Connel (1995) menyatakan:
The social semiotics of gender, with its emphasis on the endless play of signification, the multiplicity of discourses and the diversity of subject positions, has been important in escaping the rigidities of biological determinism.
Artinya, bagi Connel, maskulinitas itu bukanlah sekadar tipe karakter atau norma perilaku tertentu, melainkan bagian dari “proses-proses dan relasi-relasi yang di dalamnya laki-laki dan wanita menerapkan kehidupan-kehidupan yang genderistik.” Dari sinilah, maskulinitas itu bisa diukur misalnya dari (1) tempat maskulinitas dalam relasi gender; (2) praktik-praktik yang mendasari keterlibatan laki-laki dan wanita dalam relasi gender; dan (3) efek-efek dari praktik ini dalam pengalaman jasmaniah, kepribadian, dan kebudayaan.
Dari latar belakang sosial kedua pengarang sastrawangi itu, kita bisa menyetujui asumsi Collen (1995) bahwa maskulinitas itu selalu terbentuk dari relasi antara perempuan dan laki-laki yang terjadi dalam tempat-tempat produksi dan konsumsi, atau di lingkungan-lingkungan alamiah dan kultural. Ada kesamaan latar belakang antara Utami dan Djenar. Mereka sama-sama lahir di sebuah keluarga yang membebaskan, tumbuh dengan kesadaran bahwa pembicaraan mengenai seks itu penting, dan sama-sama terlibat dalam praktik-praktik gender yang membuat dirinya memiliki pengalaman dan kepribadian yang lebih maskulin dibanding wanita pada umumnya.
Uniknya, maskulinitas mereka terbentuk justru pada saat mereka memperjelas hasratnya terhadap Yang-Riil itu, hasrat terhadap Kebebasan dari Patriarki, sehingga satu-satunya “objek” yang sah bagi mereka—sebagaimana yang terlihat dari karya-karyanya—adalah laki-laki. Artinya, bisa dikatakan bahwa semakin mereka berhasrat untuk menguasai laki-laki, semakin mereka menarasikan kebejatan laki-laki, semakin mereka berusaha menjadi subjek yang bebas, maka semakin nyata batas yang mengungkung mereka, batas yang lagi-lagi perlu mereka “langgar”, untuk memastikan bahwa hasrat itu tetap bekerja.
Penutup
Dengan berpijak pada konsep hasrat phallic-nya Lacan dan maskulinitas hegemonik-nya Connel, tulisan ini berhasil menunjukkan beberapa temuan penting. Pertama, cerpen-cerpen Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu justru memperlihatkan—meminjam istilah Connel—master signifier atau—dalam bahasa Lacan—hasrat phallic terhadap laki-laki, sehingga alih-alih dianggap sebagai “pejuang feminis tanpa jargon”, mereka bisa dianggap pula sebagai “maskulin tanpa objek.”
Kedua, konsep “maskulin tanpa objek” itu sendiri bersifat ganda, terbelah. Bagaimanapun, baik Djenar maupun Utami tidak bisa menghindari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang perempuan, namun keduanya lahir di lingkungan yang multi-signifikasi, sebuah lingkungan yang hendak membebaskan sekat-sekat esensialis antara laki-laki dan perempuan, sehingga identitas Utami dan Djenar selalu berada dalam simulacrum antara maskulin dan feminin, yang tidak mudah diidentifikasi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar