Jumat, 11 Juli 2014

MAKALAH FEMINISME: KONSTRUKSI KARAKTER BU GENI DALAM CERPEN “BU GENI DI BULAN DESEMBER” KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO


MAKALAH FEMINISME
KONSTRUKSI KARAKTER BU GENI DALAM CERPEN “BU GENI DI BULAN DESEMBER” KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO


Disusun oleh:

             Farhana Aulia (13/351623/PSA/7460)
             Moh. Badrus Solichin (13/354061/PSA/7568)
   Sri Sumaryani   (13/354553/PSA/7626)
   Arif Furqan (13/355886/PSA/7634)


PROGRAM STUDI ILMU SASTRA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
MEI 2014



Arswendo dan Karakter Wanita Jawa dalam Karya-karyanya
Arswendo Atmowiloto adalah pengarang yang produktif dan kontroversial. Ia dikenal sebagai sosok pengarang yang serba bisa dan nyentrik dalam melukiskan kegelisahannya terhadap realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari ke dalam karya satra. Arswendo dikenal sebagai pengarang best seller, baik dari karya fiksi maupun non-fiksinya. Karya-karya tersebut antara lain adalah: Sleko (1971), Sang Pemahat (1976), Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980), Serangan Fajar (1982) yang diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada Festival Film Indonesia (1982), Canting: sebuah roman keluarga (1986), Keluarga Cemara, dan Mengarang itu Gampang. Karyanya dimuat di media massa, antara lain; Kompas, Sinar Harapan, Aktual, dan Horison, penerbit Gramedia, Pustaka Utama Grafiti, Ikapi, dan PT Temprint. Atas kepiawainnya dalam menulis, ia pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa University, Amerika Serikat. Selain itu, ia sibuk menulis skenario cerita untuk sinetron dan film televisi pada rumah produksi yang dimilikinya sendiri, PT Atmochademas Persada. Predikat sebagai wartawan Kompas, wartawan koran Dharma Kandha dan Dharma Nyata, wartawan majalah humor Astaga, dan sebagai Pemimpin Redaksi majalah Hai dan Monitor pernah disandang Arswendo Atmowiloto.
Selain produktif, sisi lain dari Arswendo adalah kontroversial. Hal itu ia buktikan ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor (1986). Ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat mengenai tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW, yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum dan divonis hukuman lima tahun penjara karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP. Setelah itu, ia menyatakan penyesalannya dan meminta maaf kepada masyarakat melalui media TVRI dan beberapa surat kabar ibu kota.
Bahkan, selama Arswendo Atmowiloto menikmati masa tahananya, ia masih tetap bisa eksis di media masa melalui karyanya. Kenapa bisa sedemikian misterius? Arswendo Atmowiloto memanfaatkan jasa sipir, dan setiap ia menuliskan identitas pengarang dalam karyanya ia mengunakan nama yang berbeda-beda serta alamat palsu. Seperti halnya dalam cerita bersambungnya, Sudesi (Sukses dengan Satu Istri) yang dimuat harian Kompas, ia memakai nama “Sukmo Sasmito”. Dalam cerita Auk yang dimuat di Suara Pembaruan, ia memakai nama “Lani Biki”, kependekan dari Laki Bini Bini Laki. Nama-nama lain yang pernah dipakainya adalah “Said Saat” dan “B.M.D Harahap”.  
Arswendo Atmowiloto selalu menyuguhkan cerita dalam novel atau cerpennya dengan gaya yang sensasional, sering mengangkat kearifan lokal namun juga diselingi unsur tendensius yang mengkarakterisasi tokohnya. Tulisannya juga dikenal mengandung humor, walau terkadang absurd untuk dimaknai. Ia juga pernah mengutarakan sebuah pendapat yang dikecam oleh rekan-rekannya, yaitu opini bahwa “Sastra Jawa telah mati!”. Akan tetapi, dari asumsinya itu ia malah mampu menghasilkan beberapa karya fiksi yang menyuarakan tradisi Jawa beserta problematikannya dengan sebebas-bebasnya, termasuk penggambaran tokoh wanita Jawa yang nyentrik. Sebagai contoh, dalam cerpennya sering dijumpai penggambaran tokoh perempuan yang sudah mengalamai perubahan akibat lintas peradaban. Perempuan bukan lagi diposisikan seanggun mekarnya bunga mawar, akan tetapi, perempuan diharuskan berani mengelak dari zona anggunnya mawar itu, berani menampakkan daya tariknya seatraktif mungkin sesuai hasratnya. Tanpa mengindahkan siapa yang tergoda, karena menggoda itu tak lain dari apa yang disebut halusinasi semata dari sisi kecerdasan yang ada pada perempuan. Mawar memiliki duri sebagai tamengnya, perempuan memiliki kekuatan yang terselubung dalam dirinya. Ia pernah menciptakan beberapa karakter perempuan yang melegenda seperti Bu Bei serta Bu Geni sebagaimana yang terceritakan dalam cerpen Bu Geni di Bulan Desember yang termuat di harian Kompas, edisi Minggu 24 Mei 2012.
Bu Geni di Bulan Desember merupakan cerpen yang bercerita tentang seorang juru rias pengantin yang masih mempertahankan praktik tradisional dalam merias pengantin, terutama pengantin wanita. Keterampilan merias Bu Geni begitu tersohor di kalangan masyarakat.  Bahkan Bu Geni mampu mendandani wujud sang pengantin yang aslinya bermuka biasa saja menjadi sangat cantik sehingga sering menyebabkan orang tua pengantin perempuan itu pangling kemudian pingsan karena tidak yakin bahwa pengantin itu anaknya.
Sekilas, sosok Bu Geni digambarkan layaknya perempuan Jawa biasanya. Namun, ia diilustrasikan memiliki karakter yang kuat seperti berani, pantang menyerah, dan berpendirian teguh. Ia juga tidak mau diatur oleh orang lain. Bu Geni hanya mengenal bulan Desember, sehingga baginya semua bulan adalah Desember. Sampai peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus pun dianggap Bu Geni terjadi di bulan Desember. Ia juga tidak ragu dalam mengungkapkan pendapatnya. Ketika ia disuruh merias anak bupati, ia mengetahui bahwa calon mempelai perempuan hamil duluan. Ia dengan lantang dan enteng membicarakan hal tersebut, walaupun ia tahu pengantin itu anak seorang Bupati. Tidak ada orang yang berani menentangnya karena segan dan takut kalau nanti Bu Geni tidak mau ditanggap untuk merias pengantin lagi. Namun, bertolak belakang dengan sifat-sifatnya tadi, ia cenderung nrimo saat dikabarkan Pak Geni akan menikah lagi.  
Dari analisis perwatakan, Bu Geni termasuk tokoh bulat dan kompleks. Walau dalam cerita ia terilustrasikan mewujud perempuan Jawa yang masih berpegang kuat dengan tradisinya, namun ia memiliki beberapa sifat yang berbeda dengan wanita Jawa umumnya. Walaupun unik dan cenderung menyimpang, ia diterima dan justru disegani oleh masyarakat di lingkungannya. Kompleksitas karakter ini akan diteliti menggunakan teori feminisme Judith Butler tentang performance dan performativity di bab berikutnya untuk menjawab dua rumusan masalah, yaitu: 
Mengapa tokoh Bu Geni berbeda dari wanita Jawa pada umumnya? 
Performativity apa yang ditampilkan Bu Geni dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”?

Teori Performance dan Performativity Judith Butler 
Menurut Judith Butler, gender adalah sebuah aktivitas, lebih tepatnya rangkaian aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dalam sebuah kerangka aturan yang tidak rigid (Butler, 2002: 43-44). Peran masyarakat sangat berpengaruh karena masyarakatlah yang mengkonstruksi keberadaan gender yang diakui melalui aktivitas yang repetitif sampai kemudian menjadi nilai atau sesuatu yang dianggap alamiah. Hal ini senada dengan yang dikatakan Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, “One is not born but rather becomes a woman”. Gender adalah hasil performance individu yang dilakukan secara berulang-ulang sampai kemudian diakui. Ini berarti bahwa seseorang dapat memilih atribut gender mana yang sesuai dengannya, sama halnya ketika memilih sebuah pakaian sebelum berangkat ke kantor. Namun, pilihan tadi tidak serta merta bisa dilakukan secara bebas karena dalam menentukan sebuah pilihan, seorang individu sangat terpengaruh oleh konstruksi sosial yang ada di sekitarnya. Bukan berarti bahwa gender yang bisa dipilih oleh seorang individu hanya terdiri dari pilihan-pilihan yang umum berada di masyarakat namun lebih diartikan menjadi proses pengambilan pilihan yang dilakukan seorang individu sangat dipengaruhi oleh masyarakat. 
Seorang individu tidak bisa dikatakan memiliki identitas gender sebelum ia melakukan pilihan dengan cara menunjukkan performance sebagai aktualisasi dari pilihannya tersebut. Identitas adalah hasil dari performance dan tidak pernah ada sebelum adanya performance (Butler, 2002: 25). Performance harus dilakukan berulang-ulang sehingga membentuk performativity. Performativity bisa diartikan sebagai repetisi performance yang dilakukan oleh seorang individu secara publik (Butler, 2002: 178-179). Aksi ini adalah bentuk strategi yang dilakukan individu untuk meneguhkan gender apa yang menjadi pilihannya kepada masyarakat. Konsep performativity Butler ini dipengaruhi oleh konsep habitus milik Pierre Bourdieu yang diartikan sebagai sekumpulan nilai, kepercayaan, gaya hidup, atau ekspektasi dari suatu kelompok sosial tertentu yang dirumuskan melalui aktivitas dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. 
Identitas gender ditentukan oleh bahasa yang berarti bahwa tidak ada identitas gender yang mendahului bahasa. Dengan kata lain, subjek adalah hasil atau efek dari sebuah discourse (Butler, 2002: 33). Performance akan ada jika tubuh melakukan aktivitas berdasar orientasi tertentu. Karena keberadaan identitas gender berasal dari adanya discourse, sangat mungkin untuk merundingkan atau menegosiasikan kemungkinan gender lain dengan menggunakann alternatif discourse yang lain. 
Dalam mengkonstruksi identitas gender, proses repetisi menjadi mutlak karena gender bukan proses pilihan yang mudah. Pilihan itu harus diikuti oleh repetisi yang terus menerus untuk meneguhkan posisi gender yang dipilih. Terkadang individu harus menghadapi keadaan yang sangat opresif saat menjalankan repetisi tersebut. Prosesnya sering disebut sebagai proses yang subversive karena bagi beberapa individu, prosesnya sering bertentangan dengan norma hegemonik gender yang ada di masyarakat, misalnya anggapan bahwa heteroseksual adalah hal normal dan alamiah sehingga yang menyimpang dianggap tidak normal dan alamiah (Butler, 1993: 5).  
Karena gender bukan sekedar pilihan, pertanyaan yang muncul kemudian saat seseorang sudah menentukan gendernya adalah bagaimana cara untuk melakukan performativity (Butler, 2002: 189). Dalam melakukan performativity, hubungan seorang individu yang melakukan performance dengan individu dan lingkungan sekitarnya sangat resiprokal. Performativity adalah sebuah aksi yang menggunakan ruang publik dan individu sangat terpengaruh oleh lingkungannya dalam menentukan pilihan dan performancenya. 
Identitas gender yang selama ini terdapat dalam masyarakat hanya terbatas pada identitas yang heteroseksual. Gender yang berada di luar kategori tersebut dianggap tidak normal dan tidak alami. Karena gender yang ada selama ini dibentuk dari proses historis lewat performance yang dilakukan secara terus menerus, Butler berpendapat bahwa kategori gender tersebut bisa dilawan menggunakan alternatif performance yang juga dilakukan secara repetitif (Butler, 2002: 174). 
Seperti yang telah disebutkan di awal, gender tidak begitu saja ada bersamaan saat kita dilahirkan. Atribut gender yang melekat pada diri seseorang ditentukan oleh performance yang dilakukan. Seseorang bisa memilih gender yang sudah ditetapkan dalam masyarakat atau memilih gender lain di luar pilihan yang ada. Apapun pilihan yang diambil, performativity yang dilakukan oleh seorang individu tidak akan pernah bisa membawanya mencapai status yang komplit. Hal ini karena subjek tersebut adalah hasil proses sosial yang terus berubah.

Analisis Karakter Bu Geni dalam Hubungannya dengan Konstruksi Wanita dalam Masyarakat Patriarki Jawa
Gender ditentukan oleh serangkaian performa yang diulang secara terus menerus sehingga gender sesungguhnya adalah sebuah endapan. Dalam masyarakat, khususnya masyarakat patriarki, wanita identik dengan sosok ibu rumah tangga, seseorang yang pekerjaannya memasak, mengurusi anak, dan mengurusi segala kepentingan rumah. Anggapan seperti ini ada karena performa seperti itu terus dilakukan, diduplikasi, dalam jangka waktu yang sangat lama dan mengendap dengan kuat dalam konstruksi sosial. Ketika suatu hal dilakukan secara berulang ulang dalam jangka waktu yang cukup lama, maka secara tidak langsung terbentuk semacam mekanisme otomatis berkenaan dengan hal tersebut. Hal ini disebut performativity, yaitu serangkaian performance yang dilakukan secara berulang dan terus menerus.  Ketika ada seorang wanita yang berperilaku tidak seperti ‘wanita’ pada umumnya, maka yang pertama muncul dalam pandangan masyarakat adalah label ‘tidak normal’ karena masyarakat sendiri memiliki konsep wanita ‘normal’ sesuai yang tersirat dalam konstruksi sosial. 
Pada karakter Bu Geni di cerpen Arswendo, perilaku yang ia tampilkan secara berulang-ulang sangat berbeda dengan wanita, bahkan masyarakat pada umumnya. Dalam awalan cerpen diungkapkan bahwa bagi Bu Geni semua bulan adalah Desember, juga dalam menerima calon pengantin yang akan dirias, Bu Geni lebih suka menggunakan patokan hari, bukan tanggal. Berbeda sekali dengan apa yang ada pada masyarakat pada saat ini yang lebih suka menggunakan penanda waktu yang spesifik, hari, tanggal, bulan serta tahun. Bu Geni lebih suka dipesan dengan menyebutkan Jumat depan, atau Jumat dua Jumat lagi, bukan Jumat tanggal 17 misalnya. Jika tidak dipenuhi, maka bisa-bisa Bu Geni tidak akan datang untuk merias. Berbicara mengenai performance dan performativity, sebenarnya penggunaan tanggal tersebut merupakan salah satu konstruksi sosial yang dihasilkan dari kebiasaan yang diulang-ulang. Masyarakat Indonesia misalnya, menggunakan tanggal dan bulan Januari hingga Desember dalam penanggalannya, bukan penanggalan Jawa karena memang hal tersebut yang telah lama dipakai sebagai penanggalan nasional. Dan itulah yang membentuk masyarakat Indonesia pada saat ini, yaitu masyarakat yang sistem penanggalannya memakai penanggalan Eropa. Sedangkan Bu Geni yang memilih untuk menggunakan mode penanggalannya sendiri bisa dibilang telah sedikit menyimpang dari konstruksi tersebut. Hal ini merupakan salah satu bentuk performance dari karakter Bu Geni itu sendiri yang ia terapkan pada pelanggan atau calon pelanggannya. Namun itu hanyalah sekilas pembahasan dalam soal penanggalan. Di balik itu, ada hal-hal yang menyebabkan performance Bu Geni dalam penanggalan itu berhasil dan tetap diulang-ulang bahkan oleh orang lain. 
Sebagai wanita dan seorang istri, Bu Geni mampu hidup secara mandiri dan tidak tergantung pada nafkah suaminya. Dalam konstruksi yang tersebar di masyarakat, peran pria adalah sebagai pencari nafkah. Seorang wanita pada umumnya, terutama wanita Jawa, haruslah sopan, santun, dan halus dalam berbahasa. Berbeda dengan Bu Geni, performance dan performativitynya membentuk karakternya sendiri. Sehingga ciri khas seorang wanita Jawa tidak hadir seacara penuh dalam identitas dirinya. Kata wanita dalam bahasa Jawa berasal dari kata wadon yang berarti kawula atau abdi. Secara istilah, diartikan bahwa perempuan dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki. Masyarakat Jawa menganggap bahwa perempuan harus hidup di rumah dan dibentuk oleh masyarakat melalui sistem patriarki keluarganya. Bahkan dalam pemahaman masyarakat Jawa, tugas istri/wanita berkenaan dengan prinsip 3M; macak, masak, manak, yaitu berias, memasak, dan melahirkan anak dari suaminya. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan karakter Bu Geni dimana ia bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Bahkan profesinya sebagai juru rias yang handal mampu menjadi modal baginya untuk tidak terikat pada suaminya.  
Wacana di dalam cerpen ini menyebutkan beberapa hal (performance) yang dilakukan oleh Bu Geni secara terus menerus (performativity) dan kemudian menjadi identitasnya dalam masyarakat di sekitarnya. Menurut catatan rekor kerjanya, Bu Geni mampu mengubah perempuan menjadi sedemikian cantiknya sehingga kecantikannya benar-benar keluar bahkan sampai orang tidak percaya bahwa itulah sang pengantin yang telah dirias karena kecantikannya membuatnya tidak dikenali lagi. Performance Bu Geni sebagai seorang juru rias telah begitu lama dilakukan berulang-ulang sehingga kemudian identitas tentang Bu Geni sebagai seorang juru rias yang luar biasa itu tersebar pada masyarakat. Bourdieu menyebut hal ini sebagai modal, dan pemanfaatan modal tersebut mampu membuat Bu Geni menjadi semacam karakter yang moncer dan berkuasa atas arena tertentu. Bahkan watak Bu Geni yang tidak selalu menyenangkan dan kadang kasar pun tidak menjadi masalah bagi pelanggannya karena riasan Bu Geni merupakan hal yang dianggap lebih berharga. Kata-kata kasar Bu Geni cukup setimpal dengan hasil riasannya. Cara berbicara Bu Geni yang demikian pun dilakukannya secara terus menerus dan kemudian melekat padanya.
Jika hal ini dipandang dari teori Judith Butler, bahwa gender itu dibentuk oleh aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang, maka dalam setiap sisi yang terkandung dalam wacana novel tersebut, Bu Geni mempunyai dua sisi gender, yaitu maskulin dan feminin. Maskulinitas tersebut juga hadir dalam diri Bu Geni, yang secara biologis adalah seorang wanita. Gender (maskulin dan feminin) yang ada pada masyarakat sesungguhnya bukanlah diwariskan sejak lahir secara biologis, namun bersifat sosial dan terus berproses. Identitas dalam diri seseorang tidak bisa begitu saja penuh, bahkan tidak akan pernah penuh dalam proses yang tidak pernah berhenti tersebut. 
Namun, di balik performance dan performativity tersebut, Bu Geni juga memiliki modal yang memberinya sebuah kekuatan simbolik. Bu Geni mempunyai sebuah modal yaitu performativitynya sebagai juru rias yang handal, seorang perias yang mampu menyulap seseorang, bahkan mayat, kerbau, atau pohon menjadi sedemikian cantiknya. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya pasti memilih Bu Geni untuk jadi juru rias pengantin, tidak ada salon ataupun perias lain yang bisa menyamai riasan Bu Geni. 
Salah satu keistimewaan beliau adalah menyemburkan asap rokok ke wajah calon pengantin. Menurut tradisi, katanya ini disembagani, dijadikan seperti kulit tembaga. Bukan emas. Hampir semua perias pengantin memakai cara yang sama, namun tak ada yang menyamai kelebihannya…… banyak sekali yang berhubungan dengan Bu Geni. Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. (Atmowiloto, 2013: 103)
Hal tersebut merupakan modal yang dihasilkan dari performance Bu Geni yang diulang terus menerus. Kemudian sosok Bu Geni pada akhirnya dilekatkan pada kemampuan meriasnya yang luar biasa. Performativity ini kemudian menjadi modal melalui pemahaman masyarakat atas kemampuan Bu Geni dalam merias. Modal sosial tersebut kemudian memberikannya sebuah kekuatan simbolik karena dalam profesinya, Bu Geni berhubungan dengan banyak orang. Kharisma sosok Bu Geni hadir melalui modalnya dalam konstruksi masyarakat dan kemudian memberikannya kekuatan simbolik. Dengan modalnya tersebut Bu Geni berhasil menciptakan arenanya sendiri dimana orang-orang yang berhubungan dengaanya harus mengikuti tata caranya. Bahkan lurah dan menteri patuh pada syarat-syarat dalam dunia Bu Geni. Disebutkan di dalam novel bahwa Bu Geni menolak permintaan menteri. 
Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan. (Atmowiloto, 2013: 104)
Bu Geni menolak untuk datang dan menganjurkan anak menteri tersebut datang ke rumahnya. Padahal dalam strata sosial, seorang menteri pastinya lebih dihargai dan hampir selalu dituruti kemauannya karena dianggap berkuasa. Namun pada kasus ini, Bu Geni berani mengambil keputusan untuk menolak datang ke rumah menteri, malahan sang anak yang ingin dirias dipersilakan datang ke rumah Bu Geni. Modal yang melekat dalam sosok Bu Geni sedemikian kuat pengaruhnya terhadap arena rias pengantin. Sehingga semua pengantin, dan bahkan anak menteri sekalipun hanya mau dirias oleh Bu Geni. Seperti yang diungkapkan Bordieu bahwa modal berperan dalam proses dominasi dengan melegitimasi praktik-praktik tertentu sebagai praktik yang unggul. Dalam kasus ini Bu Geni menerapkan aturan (yang otonom) dalam arena rias pengantin, sehingga siapapun yang ingin dirias oleh Bu Geni harus patuh dengan aturan-aturan tersebut. 
Kekuatan yang ada dalam sosok Bu Geni tidaklah ia dapatkan secara alamiah, melainkan melalui sebuah proses. Kekuatan tersebut kemudian menjadikannya seorang wanita yang mandiri, mempunyai kuasa, dan berani berbeda dengan wanita pada umumnya. Sebagai contoh yaitu pandangannya terhadap pernikahan. Dalam cerpen tersebut Bu Geni banyak menyatakan pendangannya terhadap pernikahan. Bu Geni melihat bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang pasti terjadi jika sudah tiba waktunya. Namun ia juga memandang pernikahan sebagai suatu hal yang aneh. 
Perkawinan adalah upacara yang paling tidak masuk akal, sangat merepotkan. Kalian semua ribut memperhitungkan hari baik, pakaian seragam apa, dan itu tak ada hubungannya dengan perkawinan itu sendiri. Lihat saja mereka yang pidato saat perkawinan, yang memberi wejangan, itu yang paling membosankan, paling tidak didengarkan. Tapi selalu diadakan. Begitulah perkawinan…. perkawinan kan keanehan. Karena yang aneh dianggap wajar, maka yang tidak menikah, yang janda atau duda, malah dianggap aneh. (Atmowiloto, 2013: 105)
Pandangan-pandangan Bu Geni mengenai perkawinan yang terekan dalam wacana cerpen ini mengisyaratkan bahwa persepsinya tentang perkawinan sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam ungkapan Bu Geni di atas, disebutkan bahwa keanehan perkawinan menurutnya berada pada ritual-ritual yang dianggap tidak perlu namun tetap dilakukan hanya karena sudah menjadi tradisi. Seperti memakai seragam, memperhitungkan hari baik, dan pidato serta wejangan pernikahan. Serupa dengan pemakaian penanggalan, dalam hal ini digambarkan bahwa Bu Geni cenderung keluar dari mitos-mitos kultural yang ada di masyarakat. Pandangan terhadap perkawinan tersebut terus diulang-ulang. Setiap kali ia merias ia selalu menyempatkan untuk bercerita atau berbicara tentang pandangan pribadinya. Hal ini kemudian menjadi sebuah performativity terhadap karakter Bu Geni. Di lain kesempatan ia menyebutkan. 
Menurut Bu Geni, tak ada perkawinan yang gagal, karena perkawinan sendiri bukanlah keberhasilan. ”Yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan, itulah modal kawin. Untuk bercerai, diperlukan banyak keberanian dan sedikit kebodohan.” (Atmowiloto, 2013: 106)
Ketika ditanya mengapa dulu ia menikah dengan Pak Geni, ia dengan enteng menjawab, “Ya karena sudah waktunya kawin, seperti yang lain”. Tanggapan Bu Geni mengesankan seolah-olah perkawinan merupakan kodrat bagi manusia jika waktunya sudah tiba. Hal ini karena dalam masyarakat Jawa Bu Geni menyebutkan bahwa yang tidak menikah dan duda atau janda dianggap tidak wajar. Dalam kutipan dialog diatas Bu Geni menyatakan bahwa perkawinan bukanlah sebuah prestasi, bahkan ia menganggap perkawinan adalah kebodohan, karena wanita dalam pernikahan pada umumnya hanya berperan sebagai 3M; macak, masak, manak. Sedangkan dalam perceraian modal keberanian sangat diperlukan, karena menjadi seorang janda dalam masyarakat dikonstruksikan sebagai ketidakmampuan menjaga rumah tangga, atau ketidak mampuan melayani suami. Label yang melekat pada masyarakat seperti itulah yang harus dihadapi dalam perceraian, karena bagaimanapun label-label tersebut diciptakan dan dikonstruksi oleh masyarakat. Dalam arti bahwa sekuat apapun seorang melawan konstruksi, resiko yang harus dihadapi adalah menerima konstruksi dalam masyarakat itu. Hal ini sama seperti apa yang dilakukan Bu Geni. Ia menganggap institusi pernikahan tidak penting, tapi ia tidak bisa melepaskannya. 
Selain pandangan tentang pernikahan, pendapat Bu Geni tentang poligami juga tertulis di dalam cerpen ini. Menyikapi kabar tentang suaminya, Pak Geni yang akan kawin lagi, Bu Geni dengan enteng, santai, dan nyaris tanpa emosi menjawab 
Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya. Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.…. Biarlah orang merasakan kegembiraan sekali dalam hidupnya.” Bagi Bu Geni perkawinan adalah kegembiraan, sukacita. ”Kalau saat kawin saja kamu tidak merasa gembira, kamu tak akan menemukan kegembiraan yang lain.” (Atmowiloto, 2013: 105-6)
Dalam adat Jawa yang kental, sangat biasa bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari dua istri. Bahkan kriteria lelaki Jawa yang ideal adalah salah satunya memiliki selir dan juga istri karena begitulah cara mereka menunjukkan pengaruh dan kuasa. Jadi bagi seorang istri, wajar saja kalau suaminya menikah lagi. Begitu pula dengan Bu Geni yang dengan enteng menanggapi kabar bahwa suaminya, Pak Geni akan menikah lagi. Terlebih Bu Geni ingin merias perempuan tersebut agar terlihat cantik seperti calon pengantin yang telah ia rias sebelumnya. Dalam dialog diatas, Bu Geni ingin bahwa setiap pernikahan menjadi kegembiraan, termasuk ketika calon istri muda Pak Geni menikah dengan suaminya sendiri. Sikap di atas membuktikan Bu Geni yang terpengaruh nilai Jawa tentang poligami dan menerima keputusan suaminya. Namun, sebenarnya ia membenci poligami. Dengan terang-terangan ia mengatakan “Saya tak pernah memikirkan bercerai. Kalau ingin membunuhnya, sering” (Atmowiloto, 2013: 106). Kutipan ini membuktikan usaha Bu Geni untuk mengungkapkan penolakannya terhadap poligami. Ia memang tidak melakukan apa yang dikatakannya, namun masyarakat cukup tahu bahwa menolak keputusan suaminya, terlepas apakah Bu Geni memang mencintai suaminya atau tidak. 

Simbolisasi dalam Cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”
Narasi-narasi dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember” tentu saja tidak lepas dari simbol-simbol yang melekat dalam unsur cerita. Seperti nama tokoh utama yaitu Bu Geni, di mana dalam bahasa Jawa geni berarti api. Api bisa memiliki kekuatan yang positif ataupun destruktif. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa dan juga masyarakat pada umumnya, api berperan sebagai sumber kehidupan, misalnya peran api dalam rumah tangga sebagai energi untuk memasak, memanaskan, sebagai penerangan, untuk menempa besi, dan lain lain. Namun api juga bisa menjadi hal yang sangat destruktif dan mendatangkan kehancuran, misalnya api yang terlalu besar dapat menimbulkan kebakaran, juga lahar gunung meletus yang identik dengan lahar yang mengandung api. Selain sifat api dalam alam, api juga sering digunakan untuk merepresentasikan sebagian dari sifat manusia, misalnya nafsu yang berapi-api, kemarahan, api asmara yaitu cinta yang menyala-nyala, atau birahi. Penggambaran ini mungkin sesuai dengan penggambaran karakter singkat tentang Bu Geni, yang digambarkan sebagai wanita yang menyala, yang mempunyai pancaran kharisma yang khas. Karakter Bu Geni juga digambarkan sebagai seorang perokok, dimana rokok identik dengan api, atau boleh dikatakan bahwa rokok adalah wanita yang berapi. Wanita seperti Bu Geni memiliki karakter dan antusiasme yang kuat untuk memiliki kehendak, untuk berjuang secara mandiri, terlebih lagi keberanian Bu Geni yang bisa dibilang menyala seperti api. Bahkan saat ia mengungkapkan ia sering punya pikiran untuk membunuh Pak Geni, hal tersebut membuktikan amarah wanita yang bisa begitu menyala sehingga ia bahkan mengucapkan bahwa ia sering ingin membunuh suaminya. 
Selain itu ada hal yang menarik mengenai bulan Desember yang menjadi bulan penanggalan favorit Bu Geni. Dalam perhitungan masyarakat Jawa, bulan Desember identik dengan musim hujan. Bahkan sempat ada istilah bahwa Desember berarti deres-derese sumber, yang berarti bulan dimana sumber air mengalir deras karena curah hujan yang tinggi. Bulan Desember bagi masyarakat Jawa merupakan bulan ketika air begitu melimpah karena hujan yang deras dan sering muncul. Dalam cerpen ini Bu Geni menganggap semua bulan adalah Desember. Bisa dikatakan bahwa ia ingin selalu berada dalam bulan yang penuh dengan siraman air, agar api dalam dirinya tidak berkobar terlalu besar dan tidak menjadi sebuah penghancur yang berbahaya. Hal ini bisa dikaitkan dengan kondisi perempuan pada hierarki patriari masyarakat Jawa. Sebagai seorang wanita Jawa yang tidak tunduk semerta-merta pada konstruksi sosial, tetap masih ada beberapa hal yang tetap tidak bisa ia rubah. Contohnya seperti kebiasaan lelaki Jawa untuk mempunyai istri lebih dari satu. 
Peran Arswendo dalam Mengkonstruksi Karakter Bu Geni
Dalam esainya yang berjudul “Reading As a Woman”, Jonathan Culler mengatakan bahwa untuk melakukan proses membaca sebagai perempuan, pembaca harus secara kontinu memberikan fokusnya pada situasi dan keadaan psikologi tokoh perempuan. Selain itu, pembaca harus jeli dalam melakukan investigasi terhadap sikap tokoh perempuan, image tokoh perempuan yang dibangun oleh pengarang, genre, serta periode dibuatnya karya tersebut (Culler, 1985: 46). 
Karakter Bu Geni yang diciptakan Arswendo merupakan tipikal perempuan Jawa yang juga biasa ia tampilkan dalam karya-karyanya yang lain. Bu Geni menjadi sedikit berbeda karena ia memiliki keberanian untuk berpikir dan bersikap agak menyimpang dari tradisi Jawa, walaupun tidak benar-benar meninggalkannya. Anehnya, penyimpangan tersebut tidak membuat masyarakat menjauhinya namun justru bertambah segan kepadanya. 
Posisi wanita dalam lingkungan patriarki Jawa yang masih sangat kental biasanya menempatkan wanita sebagai teman dan pendamping pria. Apabila terdapat laki-laki Jawa yang sukses, ada bayang-bayang wanita setia dan patuh di belakangnya. Namun dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember”, karakter Bu Geni justru digambarkan sebagai wanita yang sukses di awal cerpen sebagai perias profesional. 
Semua penduduk yang ingin mengawinkan anaknya, pilihannya hanya satu: Bu Geni, juru rias pengantin. Banyak perias pengantin lain, tapi tak bisa menyamai Bu Geni. Bahkan setelah banyak salon, pilihan tetap pada Bu Geni. (Atmowiloto, 2013: 103)
Tidak ada bayang-bayang laki-laki di balik kesuksesannya. Perkembangan narasi pada akhirnya hanya menyebutkan satu nama yang tidak memberikan kontribusi dan jutsru diberitakan akan menikah lagi, yaitu suaminya. 
Pertanyaan itu terlontar, karena ada kabar Pak Geni akan menikah lagi. ”Ya biar saja, nanti aku akan merias pengantinnya.” Kalimatnya enteng, datar, nyaris tanpa emosi. ”Dilarang juga susah, dan tak ada gunanya. Boleh saja.”
Komentar Bu Geni yang nyaris tanpa emosi dan terkesan membiarkan dalam beberapa hal merepresentasikan hubungan yang dingin di antara keduanya. Tidak pernah diungkapkan apa alasan Pak Geni mau menikah lagi, senada dengan tidak diungkapkannya alasan mengapa Bu Geni bersikap masa bodoh dalam menaggapi berita tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa keduanya tidak memiliki sifat mutualisme dan hidup dengan pilihannya sendiri-sendiri. Kesuksesan Bu Geni juga bisa dikatakan adalah hasil usahanya pribadi tanpa embel-embel peran suaminya. 
Dalam merias, ia menggunakan semburan asap rokok sebagai salah satu ritual untuk semakin mempercantik wajah calon mempelai wanita. Rokok dalam budaya Jawa adalah atribut yang sangat identik dengan laki-laki. Laki-laki Jawa biasa digambarkan merokok dalam kegiatan apapun. Mereka merokok ketika santai, berkumpul dan bincang-bincang, serta waktu-waktu lainnya. Namun jarang digambarkan wanita Jawa yang merokok. Oleh karenanya, rokok menjadi simbol maskulinitas dan secara khusus menjadi keunikan Bu Geni.
Gabungan antara profesi perias pengantin yang termasuk dalam nilai feminin dan rokok sebagai representasi maskulinitas digabungkan oleh Arswendo dalam karakter Bu Geni dan membuatnya menjadi sangat berkarisma. Bukan berarti bahwa apabila Bu Geni hanya memiliki karakter feminin, maka ia akan cenderung menjadi lemah. Dalam kefemininitasnya sebagai penata rias berpengalaman, Arswendo melekatkan satu poin tambahan yang membuat sisi femininnya lebih kuat, yaitu tidak pernahnya Bu Geni gagal dalam merias. Kualitas ini membuat karakter yang dimiliki Bu Geni sudah kuat secara narasi, bahkan apabila tidak ditambah dengan atribut semburan rokoknya yang khas. 
Dalam kesusastraan Indonesia, karakter perempuan yang ditampilkan mengkonsumsi rokok umumnya dekat dengan karakter wanita kuat dan berpengaruh. Karakter Rara Mendut dalam novel Y.B. Mangunwijaya yang berjudul sama menggambarkan betapa berpengaruhnya wanita yang menghisap rokok. Namun, dalam karakter Bu Geni, tanpa rokok pun ia digambarkan sudah memiliki karakter kuat hanya dengan mengandalkan femininitasnya sebagai penata rias profesional yang tidak pernah tersaingi walaupun banyak perias meniru caranya. Keberadaan rokok membuat karakter Bu Geni menjadi berkharisma dan berbeda. 
Arswendo banyak menggunakan kombinasi antara kualitas maskulin dan feminine dalam karakter Bu Geni namun cenderung lebih menonjolkan kekuatan kualitas feminin sebagai yang lebih superior. Contoh lain yang dapat memberikan gambaran adalah suara Bu Geni yang keras dan omongannya yang ceplas ceplos. Kedua sifat ini tidak dekat dengan karakter wanita Jawa dan cenderung dimiliki oleh laki-laki. Sifat ini jugalah yang membuat banyak orang tidak mau berada di dekatnya jika memang ada perlu dengannya. “Padahal Bu Geni tidak selalu menyenangkan. Suara keras, dan membuat pendengarnya panas.“ (Atmowiloto, 2013: 103). 
Kualitas ini dikontraskan dengan kebiasaan Bu Geni yang selalu harus memiliki kesempatan untuk bertemu dengan calon pengantin perempuan sebelum hari pernikahan. Apabila ia melihat wajah pengantin wanita muram, ia meminta orang tua pengantin untuk menunda pernikahan dan menunggu sampai calon mempelai tidak muram lagi. Kulitas kedua ini lebih dekat pada sifat feminin yang lembut karena menunjukkaan solidaritas dan perhatian pada sesama wanita. Akan tetapi, sifat seenaknya ini juga sering menyusahkan orang lain. 
Sewaktu ketemu calon yang dianggap berwajah muram, Bu Geni berkata: ”Tak bisa, kamu harus ceria dulu.” Padahal, undangan sudah disebar. Tempat resepsi sudah diberi uang muka. Yang lebih penting lagi, makanan sudah dipersiapkan. Kisah ini menjadi biasa kalau berakhir dengan pembatalan. (Atmowiloto, 2014: 104)
Akan tetapi, sekali lagi Arswendo menggambarkan bahwa walaupun sama-sama membuat jengkel, karakter feminin Bu Geni dapat mencegah terjadinya sebuah prahara, yaitu calon pengantin laki-laki selamat dari kecelakaan bus masuk jurang karena tanggal pernikahannya ditunda gara-gara permintaan Bu Geni.  
Culler menambahkan bahwa pembaca juga harus jeli menemukan struktur dalam novel yang membuat tokoh perempuan biasanya menjadi musuh atau pihak yang kalah (Culler, 1985: 52). Dalam hal ini, pembaca harus memeriksa hubungan tokoh perempuan dengan tokoh yang lain. Dalam hubungannya dengan tokoh lain yang memiliki status sosial yang lebih tinggi seperti bupati dan menteri koordinator, Bu Geni tidak segan untuk menunjukkan superioritasnya dengan bicara blak-blakan dan menyuruh orang yang memerlukan jasanya untuk bertandang ke rumahnya, bukan sebaliknya. 
Terlebih, kedua tokoh yang berstatus sosial lebih tinggi tersebut tidak pernah disebutkan namanya. Arswendo hanya mencantumkan pangkat sosialnya yang ternyata tidak berpengaruh apapun di mata Bu Geni. Saat menyebut kejadian di rumah Pak Bupati, Arswendo menggunakan kata “kalau tak salah” yang meninggalkan kesan bahwa peristiwa tersebut bukan peristiwa penting. Bahkan saat menyebut Menteri Koordinator, kata “mungkin” yang digunakan Arswendo cenderung berfungsi untuk mengindikasikan tidak pentingnya eksistensi tokoh tersebut. Cara ini digunakan Arswendo untuk membuat Bu Geni menjadi satu-satunya tokoh dalam cerpen yang memiliki identitas. Dengan identitas, ia menjadi satu-satunya fokus cerita dan tokoh yang penting. 
Kalau tak salah, kejadian itu berlangsung di rumah Pak Bupati. Sehingga, kabar menyebar dan masih tergema, jauh setelah peristiwa itu usai. (Atmowiloto, 2013: 104)
Kisah Bu Geni bersambung ketika diminta merias anak menteri—mungkin menteri koordinator, tapi menjawab: ”Anaknya suruh ke sini saja. Kalau saya tinggalkan yang di sini, banyak yang dirugikan.” (Atmowiloto, 2013: 104)
Satu-satunya lelaki yang disebutkan namanya adalah Pak Geni, yang namanya dipergunakan oleh Bu Geni dalam mencapai ketenaranny. Ini berarti pengaruh Pak Geni masih terdapat pada Bu Geni. Namun, walaupun nama adalah bagian penting dalam cerpen ini, terlebih “Geni” adalah satu-satunya nama yang disebutkan, nama tersebut tenggelam dalam karakter kuat Bu Geni. Bahkan bila nama Geni ini tidak dipakai, kesan yang didapatkan pembaca relatif tidak berubah terhadap karakter Bu Geni. 
Secara umum, Arswendo menggunakan gabungan antara kualitas feminin dan maskulin untuk membuat tokoh Bu Geni menjadi kuat dengan lebih menonjolkan kekuatan kualitas feminin di atas maskulin. Hal ini dilakukan Arswendo untuk membangun karakter Bu Geni menjadi tokoh yang paling kuat dalam cerpen “Bu Geni di Bulan Desember” karena memiliki karakter yang menyimpang dari karakter perempuan Jawa namun ia tampilkan secara terus-menerus sehingga penyimpangan tersebut menjadi trade mark dari popularitasnya. Popularitas inilah yang memberinya kekuatan. 
Dengan teknik ini, Arswendo meneguhkan dirinya sebagai seorang pengarang feminis yang menampilkan karakter wanita yang berani menjadi berbeda dan perbedaan tersebut akhirnya menjadi kekuatannya. 

Kesimpulan
Tokoh Bu Geni dalam cerpen berjudul “Bu Geni di Bulan Desember” karya Arswendo Atmowiloto adalah seorang perempuan Jawa yang berprofesi sebagai perias pengantin terkenal. Karakternya berbeda dari perempuan Jawa pada umumnya. Beberapa karakternya tersebut antara lain: tidak bergantung sama sekali pada suaminya, ceplas-ceplos, dan tidak setuju pada pernikahan dan poligami walaupun berstatus menikah dengan Pak Geni yang berniat poligami. Karakter yang berbeda ini menjadi kekuatan dan karisma Bu Geni karena karakter tersebut membuatnya menjadi terkenal dan disegani. 
Kepopuleran dan karisma Bu Geni ia dapatkan melalui performance yang selalu ia ulang dalam setiap kehadirannya. Keterampilannya merias semakin terkenal karena hasil riasannya tidak pernah sekalipun membuat orang kecewa. Pandangannya tentang pernikahan pun sering ia sampaikan pada beberapa kesempatan berbeda pada orang-orang di sekitarnya, baik yang bertanya maupun tidak. Performativity inilah yang membuat keberadaannya semakin disegani karena kombinasi dari keterampilannya yang teruji dan pandangan hidupnya yang berbeda. 
Dalam mengkonstruksi Bu Geni, Arswendo menggunakan kombinasi antara sifat feminin dan maskulin dalam karakter Bu Geni dengan lebih menonjolkan superioritas sifat feminin. Hal ini mengimplikasikan bahwa walaupun Bu Geni tidak bisa lepas seutuhnya dari konstruksi masyarakat Jawa, ia melakukan repetisi dalam menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya sehingga walaupun masyarakat sekitar menganggapnya bukan representasi wanita Jawa dalam konstruksi, ia justru malah disegani. Karakter perempuan Jawa yang berbeda banyak muncul dalam karya Arswendo dan meneguhkan dia sebagai penulis yang ingin menggambarkan wanita Jawa yang berbeda dalam proses pencarian jati diri yang tidak sama dengan konstruksi patriarki. 

Daftar Pustaka:
Atmowiloto, Arswendo. 2013. “Bu Geni di Bulan Desember” dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013: Laki-laki Pemanggul Goni. Jakarta: Kompas. 
Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter. New York: Routledge. 
Butler, Judith. 2002. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York dan London: Routledge. 
Culler, Jonathan. 1986. “Reading As a Woman” dalam On Deconstruction: Theory and Criticism After Structuralism. New York: Cornell University Press. 
Santosa, Yudi. 2012. Pierre Bordieu Analisis Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.
Sumber Elektronik:
Adam, Shendi. 2011. Filosofi 3M bagi Perempuan Jawa. http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/06/filosofi-3m-bagi-perempuan-jawa-353397.html. Diakses pada 4 April.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Tokoh Sastra, Arswendo Atmowiloto. (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/). Diakses 2 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar