Sejatinya penyiar, suara dan loyalitas terhadap pendengar adalah modal utama. Pagi dan malam, tak ubahnya medan dedikasi, menghamba kepada pendengar. Bermula dari beriringnya sang fajar menjelma kebangkitan, aku, tertatih-tatih mengeja langkah menuju stasiun radio yang kurang lebih berjarak 4 km dari singgahsana pembaringan. Sembari menjajakan roda motor menapaki jalan, segala harap dan ide dibangkitkan. Harap, semoga pendengar hari ini jauh lebih banyak. Ide, topic apa yang mampu memberikan hiburan dan menyegarkan semangat pagi pendengar.
Kesemuanya itu, tersinergi dalam wadah yang bernama niat. Selagi niat setulus-tulusnya dalam menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab, keberhasilan akan mengiringi tanpa suatu undangan. Namun, bilamana ambisi yang sedemikian gagah kemudian terkoyak lunglai seketika hanya gara-gara masuk angin? Waduhh…pastinya, kegagahan tak menampik keberhasilan. Barangkali, malah kegagalan dan kekecewaan yang didapat.
“Siaran apa ngorok kamu?”
“Call box bukan tempat pembaringan. Kalau ingin berbaring, berbaringlah selagi kamu istirahat. Kerja ya kerja, mana keprofesionalitasanmu?”
Uring-uringan bernada hentakan dari programmer tak bisa ditepis.
Payah, tidak professional, dan mengecewakan, tiga kata yang mewakili inti uring-uringan. Apalagi kekecewaan dari pendengar, wahh….ini lebih mengerikan. Kecewa sebab sang penyiar yang dipuja, bukannya menghadirkan hiburan, malah keluh kesah dan nada menggigil yang bersua. Lantas apa yang diperbuat? Ya seperti biasa….kerokan. Itu solusi yang dihadirkan. Seiring satu, dua, tiga… lagu mengudara, aku berusaha keluar call box mendatangi Teknisi yang pada jam itu bertugas.
“Biasa, masuk angin Pak. Minta tolong kerokne yo Pak….”
Lima menit kemudian, punggung tergambar peta yang tak terpetakan pada bentangan dunia. Di sela kerokan yang menyakitkan dan punggung berlumurkan balsem, tak lupa segelas besar teh hangat menyeruput di tenggorokan.
“Eegggkkkkk….gununge wes mbledos Pak. Tak siaran disek….” Sendawa terdengar beberapa kali, suaranya bak suara gemuruh gunung yang memuntahkan larva.
Kemudian beranjak, kembali menghamba kepada pendengar lewat keceriaan yang dipaksakan.
Keadaan demikian; menggigil, perut mual, badan meriang berlangsung setiap harinya. Selagi ada jadwal siaran subuh. Memang entah sebab apa dan mulai kapan, aku, seringkali menderita masuk angin. Kena air hujan sedikit, mandi malam, atau keluar malam, pasti pada akhirnya menuai masuk angin. Penderitaan seperti itu, tak dapat ditolak lagi kehadirannya setelah memutuskan diri menjadi penyiar radio. Setiap hari siaran malam dari jam 17.00-21.00, kemudian waktu subuh 04.30-07.00 sudah bertandang lagi ke studio.
Penderitan tiada akan habisnya menimpa orang yang ditakdirkan sebagai penerima sial. Subuh-subuh sudah kerja, dalam keadaan masuk angin, ehhh….mau pulang melihat ban motor depan kempes tanpa ditahu sebab! Celaka sudah. Ingin rasanya, seketika jungkir balik, berjalan dengan kepala sebagai tumpuan. Kejadian ban kempes, berlangsung hingga tiga hari, setiap pagi.
Kisah bersama Pak Tua, bermula dari kejadian ban kempes inilah.
Usut-diusut, sebab muasal bagaimana tragedy ban kempes bisa terjadi. Ohh…kurangajar, ternyata Pak Tua lah pelakunya.
Aku ketahui setelah penyelidikan terselubung yang dilakukan Teknisi. Merasa terpanggil melakukan penyelidikan karena kasihan, melihat aku setiap harinya mengeluh bermuka pucat, gara-gara masuk angin dan ditambah ban motor kempes.
Seketika tahu kalau Pak Tua pelakunya, langsung saja ditegur oleh Teknisi. Diusut pula alasan kenapa Pak Tua tega melakukan hal itu? Ehh… ternyata, Pak Tua itu meluapkan rasa dendamnya dengan cara ngempesin ban motorku. Dendam karena Pak Tua ini merasa pernah dibentak aku. Dan itu yang membuatnya sakit hati berkepanjangan. Trgedi ban kempes, tidak bisa ditolak.
Aku pun, menanggapi hal itu, mencoba intropeksi diri atas dendam yang tertanam dalam benak Pak Tua. Ternyata. Tragedinya sehari sebelum Pak Tua ngempesin ban untuk pertama kalinya.
Pada saat itu, seperti subuh biasa. Aku dengan badan yang menggigil-meriang, karena kecapekan semalam siaran. Kemudian datang lagi subuh harinya ke studio lima menit sebelum jadwal kerja. Namun sesampai studio, melihat tempat parkir yang dipenuhi orang tidak dikenal membuat aku semakin kesal dan menderita. Bagaimana tidak, orang berjibun memenuhi areal parkir itu, sebetulnya harap maklum, sebab letak studio berada tepat di pinggir jalan umum.
Bagaimana pinggir jalan sekitar areal parkir studio, biasa digunakan pemberhentian bus untuk mengangkut penumpang atau biasa dinamai terminal bayangan.
Pada subuh itu aku melihat orang berjibun memadati tempat yang biasa digunakan kru radio parkir. Adanya bejibun orang itu, langsung saja aku menegurnya dengan suara pelan, akibat menahan meriang. Namun teguran dalam meriang itu, tidak memengaruhi orang yang lagi berjibun subuh itu. Alias, mereka tidak memberikan celah sejengkal pun untuk aku bisa memarkirkan motor. Mengetahui perilaku demikian, membuat aku memencet klakson.
“Tiiinnn…..Tinnn….Tinnnnn……” diklakson beberapa kali, kok tetap saja tidak ada yang merespon. Kemudian apa yang aku lakukan.
“Wooeeee…permisiiiii!” ya, tepatnya aku meneriaki mereka. Terujar agak garang.
Orang berjibun yang ternyata kebanyakan lansia itu, seketika kaget-jempalikan. Bahkan terdengar ada yang mengekspresikan kelatahannya dengan suatu umpatan. “Gatel!!”
Namun dengan meneriaki itu, manjur juga. Kemudian terbukalah celah untuk memarkir motor. Seiring itu, ada sosok tua yang tiba-tiba keluar dari kerumunan dan mendekati aku. Sambil….
“Kau ini anak muda. Tapi gak tau sopan-santun…..kuwalat tenan!”
Ketika Pak Tua berujar demikian, tidak begitu aku pedulikan. Selayaknya sikap anak muda zaman sekarang. Cuek terhadap sesuatu dan tidak mau tahu!
Apalagi pada saat itu aku memiliki alibi, masuk angin. Males ingin merespon teguran Pak Tua. Si aku langsung saja dengan santainya tanpa merasa bersalah, melenggang ke ruang studio.
Demikian mula dari tragedy ben kempes. Namun di hari kelima kemudian, ban motor depanku tidak kempes lagi. Dengan mata yang semakin sayu-menghitam, roman keletihan, dan derap langkah tak memapakkan kegagahan, aku sedikit bungah melihat keadaan motorku yang normal. Mesin motor aku nyalakan. Namun tanpa tahu arah datangnya, tiba-tiba ada sosok tua yang mendekat.
“Setiap harinya kamu masuk angin ya? Ini ada obat menolak angin, insyallah kalau cocok, manjur tenan mengobati masuk angin.” Diulurkannya tangan Pak Tua sambil menggenggam sachet obat berwarna dasar kuning.
Tergagap-gagap aku menerima uluran Pak Tua. Bagaimana tidak, sebelumnya kami selayaknya musuh di medan perang, kok tiba-tiba sosok musuh ini malah berbuat baik. Waktu itu langsung luluh juga keegoisanku dan merasa bersalah atas apa yang aku perbuat sebelumnya. Walaupun dikala itu aku masih ragu akan kemanjuran obat menolak angin dalam menangani masuk angin yang setiap harinya aku idap.
Tidak lupa saat itu aku ucapkan terima kasih kepada Pak Tua.
Tidak lupa pula aku menyampaikan kata maaf atas keegoisanku. Pak Tua pun membalasnya, dengan ucapan maaf pula karena telah berbuat celaka terhadap motorku.
Setelah peristawa maaf berbagi maaf tersebut, timbul beberapa pertanyaan yang bergejolak. Dari mana Pak Tua bisa tahu aku setiap harinya masuk angin? Terutama bila setiap kerja subuh?
Tanpa aku duga, ternyata usaha Teknisi lah yang mampu mendamaikan kami.
Setelah aku menerima sachet obat menolak angin dari Pak Tua. Aku mengurungkan niat pulang, malah kembali lagi ke studio dan meneguk isi cairan obat menolak angin.
Ketika meminum obat itu, kesan pertama, pahit dan tidak nyaman di tenggorokan. Itu yang aku rasakan ketika meminum obat menolak angin. Maklum, semenjak lahir hingga sedewasa ini aku belum pernah memiliki keyakinan kalau jamu itu enak. Alias si aku anti jamu.
Tapi lima menit kemudian manfaat obat menolak angin bereaksi.
Meriang dan rasa mual sedikit-sedkit mulai hilang. Dan yang lebih hebatnya lagi, badan terasa lebih segar walaupun perut belum diisi sajian sarapan.
Sejak itu, setiap berangkat kerja subuh hari aku dahulukan untuk meminum obat ajaib seperti yang diberikan Pak Tua pertama kalinya. Kebiasaan meminta keroakan dan berlumuran balsem aku tinggalkan.
Berkat Pak Tua, di tiap siaran berikutnya aku mampu mengudara menyapa pendengar lebih leluasa dan bahagia. Pak Tua yang menyadarkan aku betapa buruknya dampak dari keegoisan. Pak Tua bak malaikat, pengiring wahyu kepada penyiar angin.
Menarik sekali ya.
BalasHapusAku sendiri belum pernah membawakan radio secara formal, hanya bersama teman saja membuat siaran radio sederhana :)