Rabu, 10 November 2010

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME: KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

PSIKOBUDAYA DEWI SARTIKA DALAM PROSES KREATIF NOVEL DADAISME:
KAJIAN PSIKOLOGI PENGARANG

Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010






A. KAJIAN TEORI
1. Psikobudaya Pengarang
Kekayaan jiwa adalah pengalaman berharga yang menempa pengarang lebih dewasa. Atas dasar ini, orisinalitas karya akan lebih terjaga. Hal ini seperti telah dikemukakan oleh Suwardi Endraswara (Metode penilitian Psikologi Sastra. 2008:96), bahwa di dalam penilitian psikologi pengarang terdapat empat model kajian, dari memori psikologi pengarang, tipologi psikis pengarang, psikobudaya pengarang, dan kepribadian pengarang. Tetapi peniliti di sini akan mencoba melakukan penilitian dari aspek psikobudaya pengarang novel Dadaisme.
Psikobudaya pengarang adalah kondisi kehidupan pengarang yang tidak lepas dari aspek budaya. Faktor budaya, pribadi, dan moral yang mengitari jiwa akan menjadi landasan pengarang di dalam menuangkan ide ke dalam bentuk cerita, baik berpengaruh dari segi internal maupun eksternalnya. Oleh sebab itu, kreativitas pengarang sebenarnya merupakan hasil “cetak ulang” dari dalam jiwanya. Kebanyakan pengarang dalam menggambarkan proses kreatif pada dirinya mengakui bahwa menulis dan mengarang membutuhkan iklim tertentu, sebagaimana dikemikakan oleh Sitor Situmorang (Eneste. 1984:3) bahwa ”Sajak lahir dan tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya…. Penciptaan sebuah sajak, dilakukan oleh seseorang dalam iklim budaya dan juga sastra”. Pernyataan ini memang belum secara langsung terkait dengan iklim psikologis. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa budaya pengarang akan membentuk kejiwaanya. Maka peneliti, perlu merunut budaya apa saja yang dapat mempengaruhi kreativitas sastrawan.
Menurut Arieti (1976), pengarang sebagai makhluk yang hidup di dalam lingkungan masyarakat akan terpengaruh berbagai faktor sosio kultural yang creativogenic (menumbuhkan kreativitas). Faktor yang berpengaruh tersebut diantaranya;
 Faktor pertama tersedianya sarana atau prasarana budaya. Misalnya di Jakarta, adanya Taman Ismail Marzuki yang memungkinkan para seniman, budayawan, sastrawan, dan sebagainya bisa saling bertemu, berdiskusi, dan memaparkan karya-karya seni yang mereka hasilkan.
 Factor yang kedua adanya keterbukaan terhadap berbagai rangsangan kebudayaan, baik berskala nasional maupun internasional. Indonesia beruntung memiliki kekayaan dan keragaman budaya etnis, yang tentunya memperluas dan memperkaya wawasan dan pengalaman pengarang.
 Faktor yang ketiga timbulnya kemerdekaan (kebebasan) setelah masa tindasan atau pengekangan. Kondisi ini dapat menumbuhkan daya citra para pengarang.
 Faktor yang keempat ialah factor paparan (exposure) terhadap rangsangan yang berbeda-beda, bahkan saling kontras. Dengan memperoleh rangsangan baru dari berbagai budaya, seseorang meningkatkan kemungkinan diperolehnya “sintesis kreatif”. Yakni konsep kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru dari unsur atau konsep-konsep yang sudah ada sebelumnya.
Di sini peniliti ingin melakukan studi kasus terhadap pengarang novel Dadaisme dengan menggunakan tinjauan psikologi sastra. Tepatnya peniliti menggunakan kajian psikologi pengarang dengan menggunakan pendekatan psikobudaya pengarang.Sehingga peniliti melakukan analisis psikobudaya pengarang novel Dadaisme ini, berlandaskan empat factor di atas.

2. Biografi Pengarang Novel Dadaisme
Dewi Sartika adalah pemenang I sayembara novel pada tahun 2003 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), melalui karyanya yang berjudul Dadaisme. Saat itu namanya mulai dikenal masyarakat atas prestasi yang diraihnya. Walaupun darah minang di keluarganya sangat kental, ia lahir di kota Cilegon pada tanggal 27 bulan Desember tahun 1980.
Dewi Sartika sudah aktif menulis sejak ia duduk di bangku SD. Bisa dibilang ia pertama kali memulai niatnya untuk benar-benar serius terjun ke dunia tulis-menulis ketika usia SMA. Hal ini terbukti cerpen pertamanya yang bertema remaja di muat di majalah sekolah dengan judul Kakekku Arjuna,dan menjadi pilihan favorit redaksi majalah.
Riwayat pendidikan Dewi Sartika, yakni ia lulusan dari SMPN 10 Bandung (angkatan 1995), dan melanjutkan di SMUN 7 Bandung (angkatan 1996), hingga ia melanjutkan kuliah dengan memilih Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai program pendidikannya di Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI Bandung (angkan 2000). Hingga ia menghasilkan beberapa novel Dadaisme, Natsuka, My Silly Enggagement, Numeric Uno, Dunia-Duniya dan novel yang terbaru berjudul Ranah Sembilan. Selain Dadaisme, karya Dewi Sartika yang pernah mendapat penghargaan yaitu Natsuko sebagai buku remaja terbaik IKAPI 2005, dan satu cerpennya masuk dalam antologi cerpen terbaik majalah Republika. Perempuan yang memiliki hobi membaca, menulis, makan, mendengarkan musik dan ngisengin adiknya ini, memiliki cita-cita sebagai seorang sutradara terkenal. Hal ini dirintisnya sejak usia dini dengan menulis skenario di salah satu TV swasta yang bertajuk The Coffee Bean Show. Di sela kesibukkannya, ia meluangkan waktunya untuk menyapa para penggemarnya yang tergabung (dewi.sartika@yahoo.com) dalam milis. (www.sembilan-publishing.com)

B. PEMBAHASAN
1. Cara Berpikir Pengarang Terhadap Karya dan Modernisasi
Banyak penikmat sastra terpukau, setelah membaca novel Dadaisme. Baik dari penikmat kalangan masyarakat biasa, ataupun sastrawan dan para kritikus sastra. Mereka tidak segan-segan mengatakan, bahwa Dadaisme ini novel luar biasa dan membawa pembaruhan tersendiri dikhasanah dunia sastra Indonesia. Hal ini terungkap dari pendapat ketua dewan juri sayembara novel DKJ tahun 2003, Prof. Budi Darma, memberikan catatan khusus untuk Dadaisme. Menurut novelis dan kritikus sastra Indonesia itu, kekacauan tokoh dan peristiwa, perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel ini pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini. Juga masa ketika masing-masing orang sibuk menghadapi masalah tanpa sempat mendalaminya.
Pendapat Prof. Budi Darma atas gaya tulisan dan tema yang diambil penulis novel Dadaisme, menunjukan bahwa penulis novel Dadaisme ini memiliki cara berpikir yang cerdas sehingga menghasilkan suatu karya yang menggugah realita kehidupan jaman sekarang. Bisa dibilang cara berpikir pengarang modern, hal ini nampak pada paragraph pembuka di halaman pertama.

Sebut saja kota ini sebagai Metropolis dan ada banyak alasan kenapa tidak pernah bisa disebutkan namanya sebuah kota yang bila disamakan layaknya kota-kota di belahan bumi, di manapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan layang membelah langit, mulusnya aspal yang berkilat disiram cahaya matahari.Tidak lupa lampu-lampu berkelip-kelip atau lebih mudah mengejanya: neon berwarna. (Dadaisme; 1)

Kutipan di atas merupakan alinea yang mengawali cerita. Metropolis yang tidak perlu dirujuk pada suatu ruang nyata, referensi yang jelas. Bila dilihat dari kode budaya, metropolis mengindikasikan wilayah rantau, nama yang tidak perlu merujuk ke suatu wilayah konkrit, tempat segala kegamangan dan ketidakpastian, harapan dan sekaligus kebebasan dapat diperoleh. Berarti dapat disimpulkan tokoh Nedena berada di wilayah rantau, dalam pengertian harfiah maupun filosofis. Pada paragaraf selanjutnya, pengarang mencoba memberikan gambaran umum kota metropolitan tersebut. Tetapi pengarang cara ganbaranya tidak mampu dipahami pembaca secara jelas, pengarang terlalu abstrak mengmbarkannya.

Seperti apa gambaran kota metropolis? Seperti seorang pelukis melukis gambar Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, ataupun lainnya. Ada banyak mobil entah mengapa benda padat berbentuk aneh itu dinamakan mobil? Bangunan-bangunan yang persegi empat memanjang ke atas, seakan hendak menarik langit dari peraduannya yang angkuh. (Dadaisme;1)

Dari kutipan di atas pembaca dipaksa mengikuti gambaran cerita yang membingungkan. Gambaran kota-kota besar disebutkan, walaupun sebenarnya tujuan pengarang ingin menyampaikan gambaran kota metropolitan itu seperti apa.
Selain itu pengarang juga memberikan cara berpikir modern, pada cerita tokoh Nedena, Bibi. Pengarang dalam memberikan solusi pada tokoh Nedena yang dicurigai guru di sekolahnya menderita gangguan kejiwaan. Guru memberikan menyarankan kepada Nedena dan Bibiknya, bahwa Nedena seharusnya dibawa ke psikiater. Bukan menyarankan ke dukun atau orang pintar seperti yang dilakukan orang-orang desa. Hal tersebut menunjukkan daya pikir masyarakat sekarang di era globalisasi.

“Saya pikir, sebaiknya Nedena dibawa ke psikolog saja. Saya memiliki kenalan di kota. Dia seorang psikolog ahli, dia bisa menangani masalah-masalah seperti ini.” Tawar Guru tersebut pada bibi Nedena. (Dadaisme; 3)

2. Pengarang dan Kebudayaan
Dewi Sartika lahir di Cilegon, tetapi darah Minangnya sangat melekat dalam diri dan keluarganya. Hal ini berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau. Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar belakang Dewi Sartika.
Dewi Sartika selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Ia bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik. Secara sosiologis dia dapat berada di mana saja, dan mampu beradaptasi dengan baik, tetapi mereka akan tetap mempertahankan ke Minangkabauannya secara ideologis. Terbukti di dalam isi novel ini ada beberapa percakapan antar tokoh yang disajikan pengarang dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Pengarang memanfaatkan bahasa ibunya tersebut tidak sedikit, ada 25 kali antar tokoh menggunakan bahasa Minang di dalam percakapannya.

“Wow! Rancanabana pengantin uni. Warnonyo aneh, bakilau dan suntingnyo gadang!” puji Issabella ketika Etek Is datang membawa sejumlah peralatan pengantin yang jadi.
“Etek indak mangarti. Yusna tu tak mau menjadi pengantin.” Sungut Yusna.
“Yo, Etek mengerti. Tapi Issabella kan indok tahu opo-opo. Janganlah tumpahkan kemarahanmu padonyo.” Nasehat Etek Is. (Dadaisme; 41)

Di dalam cerita Dadaisme pengarang juga mengambarkan bagaimana persiapan orang Minangkabau sebelum menyelenggarakan prosesi pernikahan sesuai dengan adat dan kebiasaan mereka.

Rumah Datuk Malinda tampak ramai oleh para tetangga yang merapikan rumahnya. Hari sabtu besok ijab Kabul akan dilakukan dan pesta meriah akan dilangsungkan. Tulisan MOHON DOA RESTU dan SELAMAT DATANG sudah ditempel di beberapa temapt di rumah tersebut. Etek Is bangga akan pekerjaannya mengubah sudut ruang tamu menjadi tempat singgasana sang pengantin nanti. Tinggal tugasnya mendandani pengantin hingga secantik putri. (Dadaisme; 42)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakan sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat. Sehingga dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal, di sisi lain berhadapan dengan ideologi Minangkabau yang dipandang sakral. Bagi pengarang sendiri perantauan menjadi batu ujian membentuk diri menjadi pembentukan manusia Minangkabau sejati.
Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia. Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.

Sutan Bahri adalah seorang pengusaha Minang yang sukses di pulau Jawa. Usahanya bisa dihitung dari supermarket dan beberapa perhotelan yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Bukit Tinggi. Sutan Bahri adalah orang yang etguh memegang adat. Keinginannya untuk menikahkan putranya dengan gadis Minang pun menjatuhkan pilihan pada Yusna, putrid seorang datuk yang terkemuka bersuku Koto. Uang jemputan sudah ditetapkan, dan pakaian pengantin sudah dipesan. (Dadaisme; 41)

3. Kebebasan dan Daya Citra Pengarang
Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun, memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana kesehatan modern, pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau. Hal ini pengarang mencoba mengambarkan kebebasan globalisasi itu pada orang Minangkabau namapak pada cerita yang dialami anatar tokoh Yusna. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.
Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya, yang jelas-jelas di situ bahwa Sutan Bahri adalah orang yang sangat disegani di Minangkabau dan memegang adat istiadat nenek moyang yang sangat kuat ditentang oleh pengarang. Dalam cerita terbukti, Sutan Bahari berpikir melihat nilai ideal dalam relasi antar orang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah. Hal ini nampak saat prosesi pernikahan akan berlangsung, Yusna calon pengantin perempuan melarikan diri. Sehingga keluarga Yusna dan keluarga Rendi binggug akan ketiadaan pengantin perempuan. Tetapi adanya Issabella prosesi pernikahan tetap berlangsung, karena ia dengan terpaksa menyanggupi untuk menikah dengan Rendi. Adanya jalan keluar tersebut, Sutan Bahri menyanggupi tanpa pertimbangan yang matang dan tidak mempertahankan hal jodoh yang seperti diperhitungkan sebelumnya.

“Kau tahu, Nak. Mula-mula papa berharap kau menikah dengan Yusna. Tapi ketika papa melihat Isabella, dia tampak pantas untukmu. Kau tahu Nak, dia gadis yang kuat dan bias memberimu anak, berapa pun yang kau inginkan. Papa tidak sabar ingin menimang cucu…” suara Sutan Bahari terdengar gembira. Tawa riang anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki rapuhnya, memeluknya. Pipi bayi yang montok, ranum dengan tawa yang mengemaskan. Nafas kehidupan baru di dalam keluarganya. Dutan Bahari merindukan itu semua. (Dadaisme; 64)

4. Konsep Kreatif Pengarang dan Kombinasi Pikir yang Berbeda
Konsep kreatif pengarang nampak dari keseluruhan episode cerita. Pengarang membawa pembaca akan ketidak jelasan atau keruwetan alur di dalam setiap bagian episode di dalam ruang cerita yang sempit. Pembaca harus setia dan sabar membuntuti ke mana jalan cerita: dari Nedena ke Yossy, dari Kota Metropolis ke kampung (tidak disebut), ke kota lagi, ke Padang, ke Bandung, ke Jo dan Bim, ke Aleda, ke Magnos, demikian seterusnya sampai berakhir di ruang tempat Nedena gantung diri. Bisa saja semua tujuan kombinasi pengarang, yang menggambarkan keruwetan jaman modern di masa sekarang dan yang akan datang.
Proses kreatif yang ditampilkan Dewi Sartika dalam Dadaisme, bisa dibilang melampaui dari hal kewajaran seperti apa yang ditampilkan oleh pengarang lain. Seperti halnya gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena. Warna langit secara umum selalu digambarakan berwarna biru sesuai dengan warna kenyataanaya. Tetapi ketidak kewajaran dialami oleh tokoh Nedena. Ia tidak pernah memberi warna langit dengan warna biru, melainkan warna merah muda, kuning, ataupun ungu.

Lukisan di dinding rumah yang berlatar langit dan pemandangan desa selalu menggambarkan langit dengan warna biru. Tapi tidak selalu dengan lukisan anak itu. Dia tidak menggambarkan langit seperti warna angkuh itu.Dia menggambarkan langit dengan waran merah muda dan matahari berwarna oranye seperti jeruk. (Dadaisme; 6)
Langit adalah tempatnya, dia boleh menuangkan warna apa saja yang diinginkannya. entah itu merah muda. Bahkan dia pernah mewarnai langit dengan warna kuning dan matahari berwarna hitam. (Dadaisme; 6)

Selain keanehan atau gangguan kejiwaan yang dialami tokoh Nedena, pengarang juga memberikan ketidakwajaran pada sosok malaikat yang seperti kebanyakan diyakini manusia di bumi. Secara harfiah malaikat adalah makhluk yang sempurna yang diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, bentuk dan keadaan malaikat pastilah sempurna. Tetapi itu semua berbeda dengan gambaran malaikat yang ditawarkan Dewi Sartika. Ia mencoba menggambarkan sosok malaikat pada tokoh Michail.

“Kaulihat kan, Nedena. Sayapku Cuma satu. Aku tidak bisa terbang menggapai langit ketujuh. Malaikat-malaikat lainnya bersayap dua dan berwarna putih, sedangkan sayapku berwarna hitam. Aku tidak pernah bisa menyampaikan pertanyaanmu itu ke langit.” Jawab Michail kepada Nedena. (Dadaisme; 10)

Tidak hanya itu saja, cara berpikir Dewi Sartika terhadap kombinasi pikir dengan keilmuan juga jauh berbeda. Hal ini nampak dalam tokoh novel Dadaisme, di dalam mengartikan surga dan neraka itu seperti apa.
 Gamabaran Surga:
“Michail…. Surga itu langitnya berwarna apa? Apa berwarna biru?” tanya Nedena kepada Michail.
“Tidak. Langit surga berwarna perak. Terkadang berubah warna menjadi emas.” (Dadaisme; 5)
 Gambaran Neraka:
Tokoh Nedena menggambarkan neraka itu dengan tidak sesuatu hal buruk, panas api, dan banyak siksaan yang menyakitkan, melainkan sebaliknya.
Tapi, aku juga tidak pernah mengaggap neraka itu buruk! Memang semua orang bilang, neraka itu tempat yang menyakitkan. Tapi, tidak ada bukti bahwa neraka itu panas dan menyakitkan. (Dadaisme; 262)


C. KESIMPULAN
Dewi Sartika bisa dibilang, memang baru hadir di dunia kesusastraan Indonesia. Ia anak muda yang memiliki kemauan tinggi, bercita-cita menjadi seorang sutradara professional. Walaupun kemampuannya dibidang perfiliman belum seberapa, tetapi ia memiliki kelebihan di bidang tulis menulis. Sehingga memungkinkan psikobudaya Dewi Sartika sangat menarik untuk diteliti, mulai dari kondisi kehidupan pengarang, aspek budaya pengarang, cara berpikir dan proses kreatif pengarang terhadap novel Dadaisme.
Dadaisme memunculkan pandangan dunia tragis. Pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali poros kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi kemungkinan Dadaisme baru sebuah alternative. Belum ketahap menemukan cara, seperti rumah tampak jalan tak tahu karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh.

D. DAFTAR RUJUKAN
Antara Dunia Kebingungan dan Pencarian Pegangan. Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika. www.cermin-sastra.blogspot.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Biografi Singkat Dewi Sartika. www.sembilan-publishing.com. (Di akses tanggal 4 November 2010).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar