Minggu, 08 April 2012

CERPEN: GADIS PEMUNGUT SENJA (Midun Aliassyah)


GADIS PEMUNGUT SENJA
Oleh, Midun Aliassyah*





            Sudah pada senja keberapa, kehadiranmu selalu dinantikan. Kenapa kau menghilang tanpa sebab, sehingga orang-orang yang ada di kompleks Perumahan Permai Senja mencari-carimu.
            Kau begitu manis untuk dirindukan. Keramahan dan ketekunanmu selalu menjadi perbicangan warga. Hal itu seperti yang terdengar dari pembicaraan mereka. Mereka begitu rindu kehadiran dan bantuannmu. Kau sudah membuat barisan jejak indah setiap memasuki kompleks. Karena ketekunanmu itulah, kompleks menjadi bersih, sehat dan terawat. Tak terdengar wabah DBD lagi melanda warga perumahan ini seperti peristiwa lima tahun yang lalu. Kau sungguh berarti.
Warga kompleks tidak merendahkanmu, walaupun kau seorang gadis kecil yang setiap harinya memunguti sampah. Mereka malahan bersyukur bisa mengenalmu. Kau adalah malaikat kecil yang dikirimkan Tuhan untuk memberikan keteduhan dan pelajaran bermakna bagi warga. Di mana kau dijadikan contoh teladan atas kerja kerasmu, mampu mempertahankan hidup dengan memunguti sampah. Setiap kau ditanya kenapa kau memunguti sampah dan tidak sekolah saja? Jawabmu, memunguti sampah adalah pekerjaan mulia. Dan alasanmu tidak sekolah karena tidak punya biaya. Sungguh kasihan kau, seharusnya gadis seusiamu tidak ditakdirkan seperti itu. Dimanjakan orang tua dan belajar yang tekun seharusnya yang kau peroleh.
Tersiar kabar, kalau kau akan di sekolahkan oleh salah satu warga terkaya yang ada di perumahan ini. Namanya Pak Sulaiman, ia seorang pengusaha sukses pemilik rumah makan mewah yang ada di Kota. Tetapi kemanakah keberadaanmu sekarang? Kau tidak meninggalkan identitas apapun. Harus mencari kemanakah agar bisa berjumpa denganmu. Atau jangan-jangan kau menemukan kompleks lain untuk kau punguti sampahnya, sehingga kau tak lagi memunguti sampah di Perumahan Permai Senja. Namun itu sepertinya tidak mungkin kau lakukan, sebab kau pernah berkata kalau kau tidak akan meninggalkan kompleks kecuali kalau warga yang mengusir. Dan mereka percaya, kalau kau gadis yang baik dan pemurah hati. Gadis manis yang selalu tiba ketika senja. 
***

Aku hidup sebatang kara. Kedua orang tuaku telah meninggal lima tahun yang lalu. Gara-gara musibah banjir bandang yang telah menghanyutkan beratus-ratus rumah yang ada di pinggiran sungai Banjaran. Saat itu aku terselamatkan dari musibah, karena kehendak Tuhan.
Musibah yang tak layak dikenang. Karena mulai saat itu pula aku tertekan menjalani hidup ini. Hidup di dunia yang tak ada orang tua, bagai kehilangan butiran emas jatuh di dasar samudera. Bingung mau berbuat apa. Namun sebelum hari kematian Ibu dan Bapak, mereka pernah berpesan kepadaku. Kalau sudah tidak ada mereka, aku diamanahkan menjadi pengganti pemungut sampah di kompleks Perumahan Permai Senja. Karena dari perumahan itulah Ibu dan Bapak selama hidupnya bisa menyambung nyawa. Warga yang baik hati dan peduli dengan kaum fakir. Selain itu kedua orangtuaku juga berpesan kalau datang ke kompleks itu ketika senja datang. Mengapa harus menunggu senja? Hal itu pernah aku pertanyakan. Jawab Ibu, sebab pada senja datang akan dapat melihat keindahaan karunia Tuhan yang Maha Agung. Teduh, menyejukkan, dan sampah-sampah yang akan dipungut lebih bersahabat. Intinya akan memperoleh berkah di setiap senja datang.
Hari berlalu menuju bulan, dan terhitung tahun tanpa ada halangan. Seperti itu pula masa pengembaraanku setelah ditinggal orang tua, begitu terarah melintasi setiap peristiwa yang ada dalam hidup. Dan aku begitu bangga dengan apa yang aku jalani. Aku sudah menjalankan amanat yang dianjurkan orang tua, menjadi gadis pemulung sampah di kompleks Perumahan Permai Senja di saat senja tiba. Ternyata benar apa yang dikata orang tuaku, kalau warga kompleks tersebut begitu baik hati dan suka menolong kepada kaum sepertiku. Mereka tidak memperhitungkan jika memberikan sesuatu kepadaku. Makanan, uang, serta pakaian, walaupun pakaian bekas aku tetap berterimakasih dan menerima dengan rasa syukur. Mungkin hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan mereka. Sepulang dari kompleks Perumahan Permai Senja aku tidak mendapatkan segerobak sampah saja, namun aku juga mendapatkan nikmat duniawi, yaitu tercukupinya kebutuhan raga.
 Senja kali ini datang tak sendiri, ia beradu bersama lebatnya hujan yang turun. Mendung bergelantungan gelap menakuti Kotaku. Gemuruh menggelegar seram dan petir menjelujurkan lidahnya yang terang dari langit. Menakutkan. Namun peristiwa alam seperti ini bukanlah suatu penghalang untuk aku tidak berbuat menjadi gadis pemungut sampah. Sudah hal biasa.
Akhirnya aku melangkahkan kaki keluar dari gubuk reot yang selama ini aku namai sebagai tempat tinggal. Aku berjalan di atas tumpukan sampah basah yang berkleleran di sekeliling tempat tinggalku. Hujan masih berjatuhan deras dan suara gemuruh masih gemar memekakan telinga. Tak aku pedulikan, karena aku tidak ingin absen seharipun meninggalkan sampah di Perumahan Permai Senja. Karena itu sudah menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh aku tinggalkan. Kecuali kalau aku sakit, itupun jika parah. Kalau sekedar demam saja, tetap bertindak.
             Sambil menikmati indahnya butiran air mata hujan yang berjatuhan, aku sesekali mendongakkan kepala ke arah langit untuk melihat kehadiran senja. Namun aku sedikit kecewa, sebab kali ini aku tidak melihat ia hadir di peraduan. Mungkin ia mengalah dengan kehadiran hujan, pikirku. Padahal sore ini aku ingin melihatnya. Ingin menikmati keindahan karunia Tuhan.
Tanpa aku sadari, langkahku sudah menjajaki aspal jalan raya menuju Kota. Berlalu-lalang mobil mewah berseliweran di sampingku. Begitu mengerikan ketika mobil-mobil itu melintasi hujan. Dalam jalan aku tetap memikirkan ketidakhadiran senja kali ini. Kenapa? Sekarang aku sudah berada di perempatan lampu merah, jika menyebrang ke arah Timur maka aku akan menuju jalan ke kompleks Perumahan Permai Senja. Aku memperhatikan lampu hijau untuk penyebrang. Beberapa menit kemudian, giliranku melangkah. Namun tak aku ketahui dari arah kananku ada sebuah truk yang masih kelihatan samar-samar di balik derasnya air hujan. Kendaraan itu sangat dekat dengan jangkauanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa!
Gelap menyelimuti ubun-ubun. Sesaat terdengar lirih suara orang mempeributkanku. Ada sesuatu yang mengganjal, sakit tiada perih. Dan aku terlelap menutup mata.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar