GADIS
PEMUNGUT SENJA
Oleh,
Midun Aliassyah*
Sudah
pada senja keberapa, kehadiranmu selalu dinantikan. Kenapa kau menghilang tanpa
sebab, sehingga orang-orang yang ada di kompleks Perumahan Permai Senja mencari-carimu.
Kau begitu
manis untuk dirindukan. Keramahan dan ketekunanmu selalu menjadi perbicangan
warga. Hal itu seperti yang terdengar dari pembicaraan mereka. Mereka begitu
rindu kehadiran dan bantuannmu. Kau sudah membuat barisan jejak indah setiap
memasuki kompleks. Karena ketekunanmu itulah, kompleks menjadi bersih, sehat
dan terawat. Tak terdengar wabah DBD lagi melanda warga perumahan
ini seperti
peristiwa lima tahun yang lalu. Kau sungguh berarti.
Warga kompleks tidak
merendahkanmu, walaupun kau seorang gadis kecil yang setiap harinya memunguti
sampah. Mereka malahan bersyukur bisa mengenalmu. Kau adalah malaikat kecil
yang dikirimkan Tuhan untuk memberikan keteduhan dan pelajaran bermakna bagi
warga. Di mana kau dijadikan contoh teladan atas kerja kerasmu,
mampu mempertahankan hidup dengan memunguti sampah. Setiap kau ditanya kenapa
kau memunguti sampah dan tidak sekolah saja? Jawabmu, memunguti sampah adalah
pekerjaan mulia. Dan alasanmu tidak sekolah karena tidak punya biaya. Sungguh kasihan
kau, seharusnya gadis seusiamu tidak ditakdirkan seperti itu. Dimanjakan orang
tua dan belajar yang tekun seharusnya yang kau peroleh.
Tersiar kabar, kalau kau
akan di sekolahkan oleh salah satu warga terkaya yang ada di perumahan
ini.
Namanya Pak Sulaiman, ia seorang pengusaha sukses pemilik rumah
makan mewah yang ada di Kota. Tetapi kemanakah keberadaanmu sekarang? Kau tidak
meninggalkan identitas apapun. Harus mencari kemanakah agar bisa berjumpa
denganmu. Atau jangan-jangan kau menemukan kompleks lain untuk kau punguti
sampahnya, sehingga kau tak lagi memunguti sampah di Perumahan Permai Senja.
Namun itu sepertinya tidak mungkin kau lakukan, sebab kau pernah berkata kalau
kau tidak akan meninggalkan kompleks kecuali kalau warga yang mengusir. Dan
mereka percaya, kalau kau gadis yang baik dan pemurah hati. Gadis manis yang
selalu tiba ketika senja.
***
Aku hidup sebatang kara.
Kedua orang tuaku telah meninggal lima tahun yang lalu. Gara-gara musibah
banjir bandang yang telah menghanyutkan beratus-ratus rumah yang ada di pinggiran
sungai Banjaran. Saat itu aku terselamatkan dari musibah, karena
kehendak Tuhan.
Musibah yang tak layak
dikenang. Karena mulai saat itu pula aku tertekan menjalani hidup ini. Hidup di
dunia yang tak ada orang tua, bagai kehilangan butiran emas jatuh di dasar samudera.
Bingung mau berbuat apa. Namun sebelum hari kematian Ibu dan Bapak, mereka
pernah berpesan kepadaku. Kalau sudah tidak ada mereka, aku diamanahkan menjadi
pengganti pemungut sampah di kompleks Perumahan Permai Senja. Karena dari
perumahan itulah Ibu dan Bapak selama hidupnya bisa menyambung nyawa. Warga
yang baik hati dan peduli dengan kaum fakir. Selain itu kedua orangtuaku juga
berpesan kalau datang ke kompleks itu ketika senja datang. Mengapa harus
menunggu senja? Hal itu pernah aku pertanyakan. Jawab Ibu, sebab pada senja
datang akan dapat melihat keindahaan karunia Tuhan yang Maha Agung. Teduh,
menyejukkan, dan sampah-sampah yang akan dipungut lebih bersahabat. Intinya
akan memperoleh berkah di setiap senja datang.
Hari berlalu menuju bulan,
dan terhitung tahun tanpa ada halangan. Seperti itu pula masa pengembaraanku
setelah ditinggal orang tua, begitu terarah melintasi setiap peristiwa yang ada
dalam hidup. Dan aku begitu bangga dengan apa yang aku jalani. Aku sudah
menjalankan amanat yang dianjurkan orang tua, menjadi gadis pemulung sampah di
kompleks Perumahan Permai Senja di saat senja tiba. Ternyata benar apa yang
dikata orang tuaku, kalau warga kompleks tersebut begitu baik hati dan suka
menolong kepada kaum sepertiku. Mereka tidak memperhitungkan jika memberikan
sesuatu kepadaku. Makanan, uang, serta pakaian, walaupun pakaian bekas aku
tetap berterimakasih dan menerima dengan rasa syukur. Mungkin
hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan mereka. Sepulang dari
kompleks Perumahan Permai Senja aku tidak mendapatkan segerobak sampah saja,
namun aku juga mendapatkan nikmat duniawi, yaitu tercukupinya kebutuhan raga.
Senja kali ini datang tak sendiri, ia beradu
bersama lebatnya hujan yang turun. Mendung bergelantungan gelap menakuti
Kotaku. Gemuruh menggelegar seram dan petir menjelujurkan lidahnya yang terang
dari langit. Menakutkan. Namun peristiwa alam seperti ini bukanlah suatu
penghalang untuk aku tidak berbuat menjadi gadis pemungut sampah. Sudah hal biasa.
Akhirnya aku melangkahkan
kaki keluar dari gubuk reot yang selama ini aku namai sebagai tempat tinggal.
Aku berjalan di atas tumpukan sampah basah yang berkleleran di sekeliling
tempat tinggalku. Hujan masih berjatuhan deras dan suara gemuruh masih gemar
memekakan telinga. Tak aku pedulikan, karena aku tidak ingin absen seharipun
meninggalkan sampah di Perumahan Permai Senja. Karena itu sudah
menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh aku tinggalkan. Kecuali kalau aku sakit, itupun
jika parah. Kalau sekedar demam saja, tetap bertindak.
Sambil menikmati indahnya butiran air mata
hujan yang berjatuhan, aku sesekali mendongakkan kepala ke arah langit untuk
melihat kehadiran senja. Namun aku sedikit kecewa, sebab kali ini aku tidak
melihat ia hadir di peraduan. Mungkin ia mengalah dengan kehadiran hujan,
pikirku. Padahal sore ini aku ingin melihatnya. Ingin menikmati keindahan
karunia Tuhan.
Tanpa aku sadari, langkahku
sudah menjajaki aspal jalan raya menuju Kota. Berlalu-lalang mobil mewah
berseliweran di sampingku. Begitu mengerikan ketika mobil-mobil itu melintasi
hujan. Dalam jalan aku tetap memikirkan ketidakhadiran senja kali ini. Kenapa?
Sekarang aku sudah berada di perempatan lampu merah, jika menyebrang ke arah
Timur maka aku akan menuju jalan ke kompleks Perumahan Permai Senja. Aku memperhatikan
lampu hijau untuk penyebrang. Beberapa menit kemudian, giliranku melangkah.
Namun tak aku ketahui dari arah kananku ada sebuah truk yang masih kelihatan
samar-samar di balik derasnya air hujan. Kendaraan itu sangat dekat dengan
jangkauanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa!
Gelap menyelimuti ubun-ubun.
Sesaat terdengar lirih suara orang mempeributkanku. Ada sesuatu yang
mengganjal, sakit tiada perih. Dan aku terlelap menutup mata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar