TERSELIP
WAJAH BAPAK DI KOTA-KOTA
Oleh, Midun Aliassyah
Gambar wajah
Bapak yang sedang termenung. Terseketsa di antara barisan mendung. Terlihat
sedikit adanya kejelasan, tapi makin lama dipandang wajah itu ternyata tak
menampakkan ketermenungan saja. Banyak aura yang bisa digambarkan dari wajah
tak buruk rupa itu. Penuh warna dan rasa. Terkadang nampak warna merah, putih
pula, hitam, kuning dan keangkuhan biru. Dan di setiap citra warna itu
memiliki keanekaragaman rasa seperti saat mencicipi Lolipop. Hmm...memang
cukup enak dinikmati keelokan wajah Bapak.
Ketulusan
wajah Bapak bagiku suatu anugerah. Suatu kebanggaan yang menurutku tidak ada
bandingannya. Wajah yang mampu dijadikan penerang kehidupan. Menghadirkan
sejuta rupa warna, baik di antara genangan kedukaan maupun kebahagiaan.
Kemunculan dan membaurnya wajah Bapak ini selalu mampu aku lihat dan dapat aku
amati lekuk-lekuknya secara nyata. Namun hal ini adalah sebuah rahasia besar
yang tidak dapat aku ceritakan kepada orang lain. Cukup hanya aku saja yang
tau, anak dari pemilik wajah yang selalu memberikan kehangatan bagi seluruh
Kota.
Bapak di
masa hidupnya merupakan seorang pengembara sejati yang gemar mengunjungi
kota-kota yang ada di Negeri ini. Setiap singgah di setiap kota, beliau tidak
hanya melihat-lihat isi kota dan duduk manis menikmati hidangan khas atau
menikmati keindahan wisata yang dimiliki Kota. Bukan, bukan itu yang diniati
Bapak. Bapak beringkah selayaknya seorang Bapak yang memberikan suatu pelajaran
kepada ananknya. Sebab bagi Bapak, Kota-kota yang ada di negeri ini masih
terlalu dungu dalam hal menghidupi penghuninya. Bapak sungguh kasihan melihat
fenomena itu. Membuat rasa belas kasih Bapak mengembang bersama penderitaan
itu.
Dan aku
adalah seorang anak Bapak yang sangat disayanginya. Anak satu-satunya, entah
kenapa aku tidak memiliki saudara. Bahkan dalam hidupku, sekalipun aku belum
pernah bertemu dengan sosok Ibu. Ketika kecil aku selalu didongengi oleh Bapak
tentang pahlawan-pahlawan kesatria dari negeri langit. Aku begitu kagum dengan
sosok pahlawan yang dikisahkan Bapak. Berjiwa lelaki pemberani, pembela dan sosok
pemimpin yang kuat. Saat itu pikiranku langsung terbayang dengan sosok Bapak.
Tepatnya aku menganggap Bapak-lah sosok kesatria dari negeri langit itu.
Berkunjunglah ke Kota-kota yang dulu Bapak
singgahi, temukan dan cari perubahan apa saja yang ada. Inilah amanah dari
Bapak, beliau katakan sebelum menuai sang ajal. Aku begitu sedih dengan
kematian Bapak, dan pula aku bakalan tidak akan mendengarkan kembali
cerita-cerita menarik dan menantang tentang Kota-kota yang pernah disinggahi
Bapak. Semenjak kematian Bapak itu aku mengerti betapa besarnya jasa Bapak
ketika menyinggahi Kota demi Kota yang pernah beliau jadikan ladang
pengembaraan.
***
Wajah
Bapak selalu ada.
Tak tau, ini
sudah Kota yang keberapa. Jejak yang aku lukis, tak tau juga sudah terdenah
seperti apa. Sebab aku hanya sekedar mampir, tak lebih dari cukup. Dan tak ada
ikhwal lain. Sekedar menghitung jumlah gedung-gedung yang semakin semarak,
tinggi menjulang langit, terlihat angkuh ketika bersentuhan angin. Sekedar
menyuluti jembatan-jembatan tua yang dulunya kerdil kini berdiri jangkung.
Sekedar mengakumulasi butiran-butiran air mata kaum penderita. Cukup sudah, itu
saja yang aku cari di setiap Kota.
Namun aku
sungguh kagum dengan perihal apa yang aku amati dari setiap Kota. Karena apa,
bunga-bunga yang tak mampu kuncup tanpa adanya asupan gizi itu telah mencipta
nasibnya sendiri. Dan sebelum benar-benar hilang dari apa yang terlihat, aku
selalu memberikan bingkisan kecil kebahagiaan dan kecintaan. Jadi aku tidak
menjadikan Kota-kota yang aku kunjungi sebagai pesinggahan air mata. Sebab
Bapak tak pernah mengajarkanku seperti itu. Aku bangga memberikan bingkisan
itu, walaupun tak berbobot. Dan aku sangat begitu bahagia
menjalaninya, berkat wajah Bapak tercinta yang selalu menjadi peneduh
luka di setiap kaki melangkah.
Wajah Bapak selalu ada.
Tak tau pula, ini sudah Kota yang
keberapa. Kota yang menurut pengamatanku terlalu aneh. Tak aku jumpai
gedung-gedung bertingkat, jembatan jangkung, mal ataupun swalayan yang biasanya
berjibun memadati isi kota. Hanya saja ketika memasuki gerbang utama kota ini,
pendatang sepertiku akan disambut tulisan ‘SELAMAT DATANG DI KOTA POHON’ yang
terpampang besar melingkar memanjang di sebuah gapura kukuh. Mungkin gapura
inilah, dijadikan simbol identitas daerah ini sebagai Kota. sepanjang mata
mendelik, yang ada hanya hamparan hutan lebat.
Di sana-sini yang terlihat tidak
lain pepohonan besar yang menurut perkiraanku umurnya sudah berabad-abad
lamanya. Anehnya pohon-pohon besar itu ternyata merupakan tempat tinggal warga
kota ini. Jalanan disini hanya berupa tanah liat yang di atasnya ditumpuki
batu-batu kerikil. Ketika aku menginjakkan kaki di atasnya, terasa sedikit
gembur dan becek. Tapi hal itu tidak aku permasalahkan, karena aku singgah ke
kota ini hanya ingin mencari wajah Bapak yang kebetulan aku temui di balik legamnya
kulit warga. Entah itu wajah Bapak terbias rapi di kulit laki-laki perempuan
dewasa, remaja, dan juga anak-anak. Ketika mengamatinya aku sungguh
menyayangkan keberadaan wajah Bapak. Namun anehnya terlintas dari wajah Bapak
kelihatan begitu menikmati keberadaanya. Dan aku mencoba memberanikan diri
untuk bertanya kesalah satu warga. Kenapa wajah Bapak ada di balik kelegaman
kulit warga? Spontanitas warga itu menjawab keterherananku, kalau wajah Bapak
adalah hati. Dengan hati yang berwujud wajah Bapak itulah mereka bisa bertahan
hidup dan betah tinggal di Kota Hutan ini.
Wajah
Bapak selalu ada.
Sekali lagi,
tak tau ini Kota yang keberapa. Tepatnya di perempatan jalan menikung sebelah
Istana Sang Pelopor. Kota yang aku rasa berbeda. Aku mencoba menenangkan diri.
Memusatkan pikiran, sorotan mata lurus tajam, menelanjangi objek bangunan kokoh
tempat di mana Sang Pelopor bercas-cis-cus lewat bualan-bualan
yang tak tertakar manisnya. Bangunan itu di kelilingi pagar megah menjulang,
dihiasi beraneka tumbuhan hijau menawan. Dan di sebelah sisi kanan, aku lihat
sepasang Kidang sedang asyik merumput. Kemudian pandanganku tepat pada pintu
masuk utama bangunan itu, tiba-tiba saja memoriku mengulang. Mencoba
mereka-reka kejadian lima belas tahun yang lalu. Sepertinya bangunan beserta
perangkatnya itu bukanlah hal asing bagiku. Sebab aku masih melihat wajah Bapak
terselip di antara penyangga bangunan di Kota yang keberapa ini. Namun ada yang
berbeda dengan wajah Bapak, nampaknya lebih muram dan sendu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar