Minggu, 08 April 2012

CERPEN: TERSELIP WAJAH BAPAK DI KOTA-KOTA




TERSELIP WAJAH BAPAK DI KOTA-KOTA
Oleh, Midun Aliassyah








            Gambar wajah Bapak yang sedang termenung. Terseketsa di antara barisan mendung. Terlihat sedikit adanya kejelasan, tapi makin lama dipandang wajah itu ternyata tak menampakkan ketermenungan saja. Banyak aura yang bisa digambarkan dari wajah tak buruk rupa itu. Penuh warna dan rasa. Terkadang nampak warna merah, putih pula, hitam, kuning dan keangkuhan biru. Dan di setiap citra warna itu memiliki keanekaragaman rasa seperti saat mencicipi Lolipop.  Hmm...memang cukup enak dinikmati keelokan wajah Bapak.
            Ketulusan wajah Bapak bagiku suatu anugerah. Suatu kebanggaan yang menurutku tidak ada bandingannya. Wajah yang mampu dijadikan penerang kehidupan. Menghadirkan sejuta rupa warna, baik di antara genangan kedukaan maupun kebahagiaan. Kemunculan dan membaurnya wajah Bapak ini selalu mampu aku lihat dan dapat aku amati lekuk-lekuknya secara nyata. Namun hal ini adalah sebuah rahasia besar yang tidak dapat aku ceritakan kepada orang lain. Cukup hanya aku saja yang tau, anak dari pemilik wajah yang selalu memberikan kehangatan bagi seluruh Kota.
            Bapak di masa hidupnya merupakan seorang pengembara sejati yang gemar mengunjungi kota-kota yang ada di Negeri ini. Setiap singgah di setiap kota, beliau tidak hanya melihat-lihat isi kota dan duduk manis menikmati hidangan khas atau menikmati keindahan wisata yang dimiliki Kota. Bukan, bukan itu yang diniati Bapak. Bapak beringkah selayaknya seorang Bapak yang memberikan suatu pelajaran kepada ananknya. Sebab bagi Bapak, Kota-kota yang ada di negeri ini masih terlalu dungu dalam hal menghidupi penghuninya. Bapak sungguh kasihan melihat fenomena itu. Membuat rasa belas kasih Bapak mengembang bersama penderitaan itu.
            Dan aku adalah seorang anak Bapak yang sangat disayanginya. Anak satu-satunya, entah kenapa aku tidak memiliki saudara. Bahkan dalam hidupku, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan sosok Ibu. Ketika kecil aku selalu didongengi oleh Bapak tentang pahlawan-pahlawan kesatria dari negeri langit. Aku begitu kagum dengan sosok pahlawan yang dikisahkan Bapak. Berjiwa lelaki pemberani, pembela dan sosok pemimpin yang kuat. Saat itu pikiranku langsung terbayang dengan sosok Bapak. Tepatnya aku menganggap Bapak-lah sosok kesatria dari negeri langit itu.
            Berkunjunglah ke Kota-kota yang dulu Bapak singgahi, temukan dan cari perubahan apa saja yang ada. Inilah amanah dari Bapak, beliau katakan sebelum menuai sang ajal. Aku begitu sedih dengan kematian Bapak, dan pula aku bakalan tidak akan mendengarkan kembali cerita-cerita menarik dan menantang tentang Kota-kota yang pernah disinggahi Bapak. Semenjak kematian Bapak itu aku mengerti betapa besarnya jasa Bapak ketika menyinggahi Kota demi Kota yang pernah beliau jadikan ladang pengembaraan.
***
           
Wajah Bapak selalu ada.
            Tak tau, ini sudah Kota yang keberapa. Jejak yang aku lukis, tak tau juga sudah terdenah seperti apa. Sebab aku hanya sekedar mampir, tak lebih dari cukup. Dan tak ada ikhwal lain. Sekedar menghitung jumlah gedung-gedung yang semakin semarak, tinggi menjulang langit, terlihat angkuh ketika bersentuhan angin. Sekedar menyuluti jembatan-jembatan tua yang dulunya kerdil kini berdiri jangkung. Sekedar mengakumulasi butiran-butiran air mata kaum penderita. Cukup sudah, itu saja yang aku cari di setiap Kota.     
            Namun aku sungguh kagum dengan perihal apa yang aku amati dari setiap Kota. Karena apa, bunga-bunga yang tak mampu kuncup tanpa adanya asupan gizi itu telah mencipta nasibnya sendiri. Dan sebelum benar-benar hilang dari apa yang terlihat, aku selalu memberikan bingkisan kecil kebahagiaan dan kecintaan. Jadi aku tidak menjadikan Kota-kota yang aku kunjungi sebagai pesinggahan air mata. Sebab Bapak tak pernah mengajarkanku seperti itu. Aku bangga memberikan bingkisan itu, walaupun tak berbobot. Dan aku sangat begitu bahagia menjalaninya, berkat wajah Bapak tercinta yang selalu menjadi peneduh luka di setiap kaki melangkah.
            Wajah Bapak selalu ada.
Tak tau pula, ini sudah Kota yang keberapa. Kota yang menurut pengamatanku terlalu aneh. Tak aku jumpai gedung-gedung bertingkat, jembatan jangkung, mal ataupun swalayan yang biasanya berjibun memadati isi kota. Hanya saja ketika memasuki gerbang utama kota ini, pendatang sepertiku akan disambut tulisan ‘SELAMAT DATANG DI KOTA POHON’ yang terpampang besar melingkar memanjang di sebuah gapura kukuh. Mungkin gapura inilah, dijadikan simbol identitas daerah ini sebagai Kota. sepanjang mata mendelik, yang ada hanya hamparan hutan lebat.
Di sana-sini yang terlihat tidak lain pepohonan besar yang menurut perkiraanku umurnya sudah berabad-abad lamanya. Anehnya pohon-pohon besar itu ternyata merupakan tempat tinggal warga kota ini. Jalanan disini hanya berupa tanah liat yang di atasnya ditumpuki batu-batu kerikil. Ketika aku menginjakkan kaki di atasnya, terasa sedikit gembur dan becek. Tapi hal itu tidak aku permasalahkan, karena aku singgah ke kota ini hanya ingin mencari wajah Bapak yang kebetulan aku temui di balik legamnya kulit warga. Entah itu wajah Bapak terbias rapi di kulit laki-laki perempuan dewasa, remaja, dan juga anak-anak. Ketika mengamatinya aku sungguh menyayangkan keberadaan wajah Bapak. Namun anehnya terlintas dari wajah Bapak kelihatan begitu menikmati keberadaanya. Dan aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya kesalah satu warga. Kenapa wajah Bapak ada di balik kelegaman kulit warga? Spontanitas warga itu menjawab keterherananku, kalau wajah Bapak adalah hati. Dengan hati yang berwujud wajah Bapak itulah mereka bisa bertahan hidup dan betah tinggal di Kota Hutan ini.    
Wajah Bapak selalu ada.
            Sekali lagi, tak tau ini Kota yang keberapa. Tepatnya di perempatan jalan menikung sebelah Istana Sang Pelopor. Kota yang aku rasa berbeda. Aku mencoba menenangkan diri. Memusatkan pikiran, sorotan mata lurus tajam, menelanjangi objek bangunan kokoh tempat di mana Sang Pelopor bercas-cis-cus lewat bualan-bualan yang tak tertakar manisnya. Bangunan itu di kelilingi pagar megah menjulang, dihiasi beraneka tumbuhan hijau menawan. Dan di sebelah sisi kanan, aku lihat sepasang Kidang sedang asyik merumput. Kemudian pandanganku tepat pada pintu masuk utama bangunan itu, tiba-tiba saja memoriku mengulang. Mencoba mereka-reka kejadian lima belas tahun yang lalu. Sepertinya bangunan beserta perangkatnya itu bukanlah hal asing bagiku. Sebab aku masih melihat wajah Bapak terselip di antara penyangga bangunan di Kota yang keberapa ini. Namun ada yang berbeda dengan wajah Bapak, nampaknya lebih muram dan sendu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar