Minggu, 08 April 2012

CERPEN: Sang MAYAR, Memoar Pengakuan Luka Lara (Midun Aliassyah)


Sang  MAYAR (Memoar Pengakuan Luka Lara)

Oleh, Midun Aliassyah*




Siapakah aku, sehingga diriku diperebutkan?
Apakah aku adalah kehormatan, yang pantas untuk direbutkan. Mungkinkah aku kebaikan, pembawa kunci pelebur kemuslihatan. Apakah aku seorang bidadari yang dirindukan kaum adam di akhirat nanti. Apakah semua itu seorang aku?
Sungguhpun itu benar seorang aku, mungkin aku tidak akan menjadi perempuan seperti yang aku alami sekarang. Aku hanyalah seorang perempuan penyamun. Merebut paksa hak orang lain, yang sewajarnya itu bukan hak milikku. Melucuti uang mereka demi saweran. Setiap malam kerjaanku melalang buana di kerumunan laki-laki hidung belang. Dan aku di maknakan sebagai perempuan idola. Maskot keramat yang boleh dijamahi mereka. Tetapi kaum ini, pantas disebut sebagai seorang raja nafsu, yang tak punya rasa malu kepada Tuhan, istri, bahkan anak-anaknya. Meraka memang lebih kuat dalam hal pencarian nafkah. Bahkan disandangkan oleh Tuhan sebagai sosok pemimpin. Tetapi realitanya, meraka hanya seorang laki-laki yang selalu kalah dengan nafsu, pemburu perempuan sepertiku!
***

Pagi sudah berayun-ayun memainkan embun yang berjatuhan. Siang beranjak diterjang mentari yang memanggang ujung-ujung daun. Matahari seperti telur mata sapi setengah matang. Dan petang yang selalu dinanti-nantikan masih terlelap, dan sebentar lagi akan terjaga kembali mengiringi rona-rona gemilang lampu pijar penerang kehidupan.
Aku melangkahkan kaki sore ini. Mengiringi jalan menuju tempat penaruhan masa depan. Tepatnya aku sedang melangkahkan kaki menuju Kampus Impian. Kenapa di namakan Kampus Impian? Karena pasti semua insan, muda-mudi sepertiku datang ketempat itu ingin menaruh, mengembangbiakkan, dan memanennya hingga hasillah sebuah cita-cita dan masa depan. Mengharap memiliki modal dan ketangguhan. Sebagai pijakan nantinya ketika mengarungi dunia fana.
Hal seperti itu sebenarnya, juga niatanku. Tetapi itu dulu. Sekarang hal itu bagiku hanya menjadi sebuah sampah murahan yang tak wajar dipertahankan sebagai tekad. Sebab percuma saja bagiku, jika hanya mengandalkan akal dan kepintaran untuk mendapatkan sebuah selebaran. Yang menentukan keberhasilan dan kelulusan! Ahh, sungguh biadab aku, jika itu tujuanku melangkahkan kaki capek-capek menuju tempat ranah segala penjuru.
Hmm, kalau ditanya sebenarnya apa sih tujuanku ke situ kalau tidak mengakui hal-hal baik seperti itu? Yaa, sebenarnya aku ke situ cuma ingin mencari teman. Teman yang mau meluangkan waktu, menari-nari bersamaku dalam dunia kelabu. Tentunya ini tidak percuma saja aku melakukannya. Tapi pastinya di balik rasa kepuasan yang aku berikan, ada sebuah imbalan buat mengisi kantong. Ya itu kalau dia mau, kalau tidak ya tidak apa-apa! Asalkan dia memiliki tampang yang menawan, pintar, dan mampu memuaskan.  
***

MAYAR, itu namaku. Nama yang hanya terdiri lima huruf berawalan ‘M’ dan berakhiran ‘R’. Tidak tau, kenapa Bapak dulu memilih nama itu sebagai pengenal identitasku. Kalau dilihat dari latar belakang keluarga Bapak, ia memang bersuku Jawa. Sampai-sampai berarat-arat sil-silahnya. Aku tak kuasa menghitungnya, pada saat lebaran tiba, pastinya tanganku selalu capek sendiri mengulurkan maaf demi jalinan silaturahmi. Kalau keluarga Ibu, jangan ditanya karena aku lupa! Sengaja aku melupakannya. Aku sejak kecil sudah ditinggal dari gendongannya. Tak pernah aku berada dalam buaian dan tetekkannya. Menyebabkan aku, tidak pernah mengenal sosok prempuan yang bernama Ibu.
Aku dibesarkan oleh keringat Bapak. Beliau terlalu sayang, memanjakan, dan meluangkan waktu istirahatnya dari keletihan sehari penuh bekerja hanya untuk bersamaku. Kami hanya tinggal berdua, tapi kami bisa dibilang keluarga sejahtera penuh bahagia. Walaupun terkadang kesulitan dan ketakadaan menghimpit kami. Kesulitan untuk makan, biaya listrik, pajak ataupun biaya sekolah. Terkadang hal itu membuatku menangis, meneteskan air mata kesedihan jika aku terlambat membayar biaya SPP. Karena ketidakberdayaanku itu, aku selalu dibikin malu oleh teman-teman. Tetapi Bapak selalu bilang, jangan sedih. Tuhan Maha adil. Pasti nanti ada rejeki buat bayar SPP ku. Berdoa saja, dan selalu minta kemulyaan kepada-Nya.
Keadaanku seperti itu, membuatku berpikir kali lipat agar aku bisa membantu beban yang dipikul Bapak. Kasihan, terlalu berat jika ia pikul sendiri. Hanya mengharapkan rejeki dari uluran penumpang Lin yang ia operasikan keliling kampung di Kabupaten kecil ini. Mangkanya aku diam-diam memiliki inisiatif untuk berjualan pulsa keliling. Alhamdulilah, niatanku ini dikabulakan. Aku sekarang bisa berjualan pulsa ke teman-teman di sekolah ataupun para tetangga di rumah. Pertama kali Bapak tau akan tindakan nekatku ini, Bapak marah besar. Bapak tidak mau nantinya aku keletihan, dan malas belajar yang akhirnya mengganggu prestasiku di sekolah. Tapi saat itu pula, aku bilang ke Bapak untuk mengizinkan dan mencoba dulu niatan ini dalam waktu satu bulan saja. Jika nantinya usaha yang aku pilih ini, benar-benar menggangu prestasiku, aku akan berhenti saat itu pula. Dan menyudahi hingga aku berpikir hanya untuk belajar saja dan bukan mencari uang.
Wajar kalau Bapak bingung begitu terhadap prestasiku. Soalnya sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar, hingga bangku SMP aku selalu meraih prestasi yang gemilang. Baik di sekolah ataupun saat ikut lomba adu kepintaran diajang tingkat Kecamatan bahkan Kabupaten. Walhasil, aku selalu membawa nama baik almamater yang kusandang. Hingga lulus SMP aku diterima di SMA terbaik dan berkualitas yang ada di Kabupaten. Saat itu aku melihat Bapak sangat begitu bahagia. Bahagia akan rasa bangga terhadap prestasi yang diraih sang anak.  
Lagi-lagi Tuhan meridhoiku, terbukti dari hasil rapot akhir semester kenaikan kelas. Aku meraih juara paralel di sekolah. IPA jurusan yang seharusnya aku tempuh! namun hatiku mengelak, dan aku menuruti kemauannya untuk memilih ilmu sosial sesuai pilihan hati nurani.
Di SMA Negeri ini-pun aku masih menjalani profesi sebagai penjual pulsa keliling. Hingga waktu berjalan terarah, cepat, dan tak terasa tiga tahun sudah, selesai masa pendidikanku. Pada awal bulan Juni, aku dinyatakan lulus dari sekolah. Lagi-lagi aku meraih prestasi yang membanggakan. Atas prestasi yang kuraih, pihak sekolah memberikan hadiah kepadaku. Berupa pendaftaran masuk tanpa tes ke salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Kota provinsi. Tidak hanya sebatas itu, mereka juga menanggung biaya pendidikan selama empat semester.
***

Tidak selamanya kapas akan abadi mempertahankan warna putih, tidak selalu lembut dan mulus. Seterjal apapun batu karang yang terhempas muncratan air, ia akan rapuh juga jika kekokohan tak lagi menampiknya. Akan goyah, terpecah belah, menjadi abu, terbang, terhempas angin, berserakan di tanah. Hmm...seperti itulah gambaran perjalanan kehidupanku.
Seiring usiaku bertambah, seiring pula masa studiku di bangku perkuliahan. Tak terasa empat semester selesai sudah kujalani. Saat ini aku berstatus mahasiswa semester enam. Masalah prestasiku sejak duduk di bangku kuliah, biasa-biasa saja! Tidak menonjol seperti di bangku-bangku pendidikanku dulu. Mungkin karena factor persaingan, yang menyebabkan aku kalah dan minder dengan sendirinya
Namun di balik semua itu, ada kemajuan pada diriku. Aku sekarang tahu sesuatu?! Suatu perihal, yang menyebabkan rasa menjadi cahaya hati. Ya, tepatnya aku tau ‘cinta’. Kalau secara harfiah aku memang tidak paham dan tak tau artinya! Tapi kalau ditinjau dan ditelaah dari perasaan, hmm….jangan ditanya? Sebab hatiku sekarang sedang terpaut padanya, hingga buih-buih asmara merasuk dalam jiwa. Intinya aku tau ada rasa keistimewaan dengan lawan jenis. Alias aku tau dan sedang jatuh cinta.
Sedikit cerita. Pandangan pertama; saat itu mataku terpengarah, memandang dengan tatapan, wahh. Merasuk ke dalam jiwa, lewat celah-celah rongga, dan jatuh tepat pada hati. Hmm, sungguh menawan senyuman cowok itu?! Siapa gerangan? Body atletis, tinggi, berambut cepak, bibir merah, dan kelihatannya ia anak konglomerat. Terbukti dari segi pakaian, gaya, dan terlihat tingkahnya dengan segerombolan genknya yang selalu bersama dimanapun dan kapanpun.
***

Hari demi hari kulalui di kehidupan anak kos, sekedar biasa-biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Pagi kuliah, tidur-tiduran, ngobrol sama teman, ngalor-ngidul dengan topik bahasan tetap-tetap saja, tak ada rasa kejenuhan: C-O-W-O-K?! Mulai yang berinisial ‘A’ hingga ‘Z’. Pasti dibahas secara tuntas, hingga kegosip-gosip terbarunya. Uptodate lagi. Biasalah….
Kehidupanku di kampus, aku terkenal anak yang pendiam, sederhana, dan jarang bergaul dengan teman-teman sekelas. Teman mahasiswa di kampus hanya satu, dua, tiga, yang aku kenal. Ya maklumlah, aku sedikit kuper dengan model pergaulan teman-teman di Kampus Impian. Tapi aku punya satu kelebihan, banyak yang bilang kalau aku ini cantik, anggun, dan memiliki mata teduh. Terbukti, banyak cowok mendekati dan berterus terang di depan mataku, bilang kalau dia mau menjadikan aku sebagai pacarnya. Setiap ada tawaran seperti itu, jawabanku hanya satu! Selalu aku tolak mentah-mentah. Wajar saja, mereka belum masuk kriteria penilaianku. Walaupun aku kuper dalam pergaulan, namun aku harus bersikap pandai dalam hal memilih pasangan.
Cuma satu orang, yang mampu membuat hatiku luluh, lumpuh, tak berdaya karna rasa. Ya, cowok yang bernama Iqbal, kakak seniorku. Tanpa aku perhitungkan, akhirnya aku dapat jadian dengannya, berpacaran. Pergi ke mana-mana selalu bersama, bahkan ia membelikan aku hand phone biar komunikasi kami bisa terjalin di tiap detik, menitnya selagi kami rindu. Tapi sayangnya, aku belum cukup berpengetahuan dengan dunia yang dibawa Iqbal. Diam-diam menghanyutkan! Aku bisa-bisanya begitu rela menyerahkan apa yang seharusnya tidak aku serahkan kepada orang yang belum tentu jelas menjadi lindunganku di masa depan nanti. Aku menyesal dengan sendirinya, ketika pertama kali kejadian itu menimpa jiwa dan ragaku. Tetapi aku tak mau kalah atas penderitaan yang menimpaku. Tak membuatku jera, bahkan aku menikmatinya sebagai keterlanjuran yang membuatku jadi begitu. Dan tiap melakukannya aku tidak lagi berlandaskan atas dasar cinta, hal ini menjadi biasa sebab sudah berkali-kali Alex mengajakku melakukan perihal yang biadab itu.
Ahh, suatu kali aku merasakan kelelahan jalan hidup yang aku lalui. Namun kelelahan yang aku alami ini, tidak aku cerikatan kepada Bapak. Biarkan Bapak menganggap, bahwa aku masih menjadi anak yang patuh dan berakhlak baik seperti remaja dulu. Biarkan hanya diriku yang merasakan kegetiran dan kepahitan luka lara. Tak tau sampai kapan takdir pilu ini berakhir melumat. Hingga jiwa dan raga ini aku serahkan akan kepasrahan, masuk ke jurang nafsu lelaki hidung belang yang kenal dengan sosokku.
Aku memiliki gelar ganda. Di satu sisi hanya orang-orang tertentu yang tau, dan di lain sisi hanya orang-orang tertentu pula yang tau! Biarkan. Biarkan aku menari-nari bersama luka lara yang bersemayam dalam raga. Hingga aku setia menanti sampai titik kejenuhan dan ketobatan. Walaupun begitu, aku tetap punya satu impian dan doa jika usia senja telah menyapa dan menghinggapiku. Bahwa aku ingin menjadi perempuan yang berguna, dan penuh pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.
***


(Pernah Dimuat di Radar Jember (Jawa Pos), Minggu 24 Oktober 2010 )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar