Sang MAYAR (Memoar
Pengakuan Luka Lara)
Oleh, Midun Aliassyah*
Siapakah aku, sehingga diriku diperebutkan?
Apakah aku adalah kehormatan, yang
pantas untuk direbutkan. Mungkinkah aku kebaikan, pembawa kunci
pelebur kemuslihatan. Apakah aku seorang bidadari yang dirindukan kaum adam di akhirat nanti.
Apakah semua itu seorang aku?
Sungguhpun itu benar seorang
aku, mungkin aku tidak akan menjadi perempuan seperti yang aku alami
sekarang. Aku hanyalah seorang perempuan penyamun. Merebut paksa hak orang
lain, yang sewajarnya itu bukan hak milikku. Melucuti uang mereka demi saweran. Setiap malam
kerjaanku melalang buana di kerumunan laki-laki hidung belang. Dan aku di
maknakan sebagai perempuan idola. Maskot keramat yang boleh dijamahi mereka.
Tetapi kaum ini, pantas disebut sebagai seorang raja nafsu, yang tak punya rasa
malu kepada Tuhan, istri, bahkan anak-anaknya. Meraka memang lebih
kuat dalam hal pencarian nafkah. Bahkan disandangkan oleh Tuhan sebagai sosok
pemimpin. Tetapi realitanya, meraka hanya seorang
laki-laki yang selalu kalah dengan nafsu, pemburu perempuan
sepertiku!
***
Pagi sudah berayun-ayun
memainkan embun yang berjatuhan. Siang beranjak diterjang mentari yang
memanggang ujung-ujung daun. Matahari seperti telur mata sapi setengah matang.
Dan petang yang selalu dinanti-nantikan masih terlelap, dan sebentar lagi akan
terjaga kembali mengiringi rona-rona gemilang lampu pijar penerang kehidupan.
Aku melangkahkan kaki sore
ini. Mengiringi jalan menuju tempat penaruhan masa depan. Tepatnya aku
sedang melangkahkan kaki menuju Kampus Impian. Kenapa di namakan Kampus Impian?
Karena pasti semua insan, muda-mudi sepertiku datang ketempat itu ingin
menaruh, mengembangbiakkan, dan memanennya hingga hasillah sebuah cita-cita dan
masa depan. Mengharap memiliki modal dan ketangguhan. Sebagai pijakan
nantinya ketika mengarungi dunia fana.
Hal seperti itu sebenarnya,
juga niatanku. Tetapi itu dulu. Sekarang hal itu bagiku hanya
menjadi sebuah sampah murahan yang tak wajar dipertahankan sebagai tekad. Sebab percuma
saja bagiku, jika hanya mengandalkan akal dan kepintaran untuk mendapatkan
sebuah selebaran. Yang menentukan keberhasilan dan kelulusan! Ahh, sungguh
biadab
aku,
jika itu tujuanku melangkahkan kaki capek-capek menuju tempat ranah segala
penjuru.
Hmm, kalau ditanya
sebenarnya apa sih tujuanku ke situ kalau tidak mengakui hal-hal baik seperti
itu? Yaa, sebenarnya aku ke situ cuma ingin mencari teman. Teman yang mau
meluangkan waktu, menari-nari bersamaku dalam dunia kelabu. Tentunya ini tidak
percuma saja aku melakukannya. Tapi pastinya di balik rasa kepuasan yang aku
berikan, ada sebuah imbalan buat mengisi kantong. Ya itu kalau dia mau, kalau
tidak ya tidak apa-apa! Asalkan dia memiliki tampang yang menawan, pintar, dan
mampu memuaskan.
***
MAYAR, itu namaku. Nama yang
hanya terdiri lima huruf berawalan ‘M’ dan berakhiran ‘R’. Tidak tau, kenapa
Bapak dulu memilih nama itu sebagai pengenal identitasku. Kalau dilihat dari
latar belakang keluarga Bapak, ia memang bersuku Jawa. Sampai-sampai berarat-arat
sil-silahnya. Aku tak kuasa menghitungnya, pada saat lebaran tiba, pastinya
tanganku
selalu capek sendiri mengulurkan maaf demi jalinan silaturahmi. Kalau keluarga
Ibu, jangan ditanya karena aku lupa! Sengaja aku melupakannya. Aku sejak kecil
sudah ditinggal dari gendongannya. Tak pernah aku berada dalam buaian dan
tetekkannya. Menyebabkan aku, tidak pernah mengenal sosok prempuan yang bernama
Ibu.
Aku dibesarkan oleh keringat
Bapak. Beliau terlalu sayang, memanjakan, dan meluangkan waktu istirahatnya
dari keletihan sehari penuh bekerja hanya untuk bersamaku. Kami hanya tinggal
berdua,
tapi kami bisa dibilang keluarga sejahtera penuh bahagia. Walaupun terkadang
kesulitan dan ketakadaan menghimpit kami. Kesulitan untuk makan, biaya listrik,
pajak ataupun biaya sekolah. Terkadang hal itu membuatku
menangis, meneteskan air mata kesedihan jika aku terlambat membayar biaya SPP.
Karena ketidakberdayaanku itu, aku selalu dibikin malu oleh teman-teman. Tetapi Bapak selalu
bilang, jangan sedih. Tuhan Maha adil. Pasti nanti ada rejeki buat bayar SPP
ku. Berdoa saja, dan selalu minta kemulyaan kepada-Nya.
Keadaanku seperti itu,
membuatku berpikir kali lipat agar aku bisa membantu beban yang dipikul Bapak.
Kasihan, terlalu berat jika ia pikul sendiri. Hanya mengharapkan rejeki dari
uluran penumpang Lin yang ia
operasikan keliling kampung di Kabupaten kecil ini. Mangkanya aku diam-diam
memiliki inisiatif untuk berjualan pulsa keliling. Alhamdulilah, niatanku ini
dikabulakan. Aku sekarang bisa berjualan pulsa ke teman-teman di sekolah
ataupun para tetangga di rumah. Pertama kali Bapak tau akan tindakan nekatku
ini, Bapak marah besar. Bapak tidak mau nantinya aku keletihan, dan malas
belajar yang akhirnya mengganggu prestasiku di sekolah. Tapi saat itu
pula, aku bilang ke Bapak untuk mengizinkan dan mencoba dulu niatan ini dalam
waktu satu bulan saja. Jika nantinya usaha yang aku pilih ini,
benar-benar menggangu prestasiku, aku akan berhenti saat itu pula. Dan menyudahi
hingga aku berpikir hanya untuk belajar saja dan bukan mencari uang.
Wajar kalau Bapak bingung
begitu terhadap prestasiku. Soalnya sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar,
hingga bangku SMP aku selalu meraih prestasi yang gemilang. Baik di sekolah
ataupun saat ikut lomba adu kepintaran diajang tingkat Kecamatan bahkan
Kabupaten. Walhasil, aku selalu membawa nama baik almamater yang kusandang.
Hingga lulus SMP aku diterima di SMA terbaik dan berkualitas yang ada di
Kabupaten. Saat itu aku melihat Bapak sangat begitu bahagia. Bahagia akan rasa
bangga terhadap prestasi yang diraih sang anak.
Lagi-lagi Tuhan meridhoiku,
terbukti dari hasil rapot akhir semester kenaikan
kelas. Aku meraih juara paralel di sekolah. IPA jurusan yang seharusnya aku
tempuh! namun hatiku mengelak, dan aku menuruti kemauannya untuk
memilih ilmu sosial sesuai pilihan hati nurani.
Di SMA Negeri ini-pun aku
masih menjalani profesi sebagai penjual pulsa keliling. Hingga waktu berjalan
terarah, cepat, dan tak terasa tiga tahun sudah, selesai masa pendidikanku.
Pada awal bulan Juni, aku dinyatakan lulus dari sekolah. Lagi-lagi aku meraih
prestasi yang membanggakan. Atas prestasi yang kuraih, pihak sekolah memberikan
hadiah kepadaku. Berupa pendaftaran masuk tanpa tes ke salah satu
Perguruan Tinggi yang ada di Kota provinsi. Tidak hanya sebatas
itu, mereka juga menanggung biaya pendidikan selama empat semester.
***
Tidak selamanya kapas akan
abadi mempertahankan warna putih, tidak selalu lembut dan mulus.
Seterjal apapun batu karang yang terhempas muncratan air, ia akan rapuh juga
jika kekokohan tak lagi menampiknya. Akan goyah, terpecah belah, menjadi abu,
terbang, terhempas angin, berserakan di tanah. Hmm...seperti itulah gambaran perjalanan
kehidupanku.
Seiring usiaku bertambah,
seiring pula masa studiku di bangku perkuliahan. Tak terasa empat semester
selesai sudah kujalani. Saat ini aku berstatus mahasiswa semester enam. Masalah
prestasiku sejak duduk di bangku kuliah, biasa-biasa saja! Tidak menonjol
seperti di bangku-bangku pendidikanku dulu. Mungkin karena factor persaingan,
yang menyebabkan aku kalah dan minder dengan sendirinya
Namun di
balik semua itu, ada kemajuan pada diriku. Aku sekarang tahu sesuatu?! Suatu
perihal, yang menyebabkan rasa menjadi cahaya hati. Ya, tepatnya aku tau
‘cinta’. Kalau secara harfiah aku memang tidak paham dan tak tau artinya! Tapi
kalau ditinjau dan ditelaah dari perasaan, hmm….jangan ditanya? Sebab hatiku sekarang sedang terpaut padanya,
hingga buih-buih asmara merasuk dalam jiwa. Intinya aku tau ada rasa
keistimewaan dengan lawan jenis. Alias aku tau dan sedang jatuh cinta.
Sedikit cerita. Pandangan
pertama; saat itu mataku terpengarah, memandang dengan tatapan, wahh. Merasuk ke dalam jiwa, lewat
celah-celah rongga, dan jatuh tepat pada hati. Hmm, sungguh menawan senyuman
cowok itu?! Siapa gerangan? Body atletis, tinggi, berambut cepak, bibir merah,
dan kelihatannya ia anak konglomerat. Terbukti dari segi pakaian, gaya, dan
terlihat tingkahnya dengan segerombolan genknya yang selalu bersama dimanapun dan
kapanpun.
***
Hari demi hari kulalui di
kehidupan anak kos, sekedar biasa-biasa saja, dan tak ada yang istimewa. Pagi kuliah,
tidur-tiduran, ngobrol sama teman, ngalor-ngidul dengan topik bahasan
tetap-tetap saja, tak ada rasa kejenuhan: C-O-W-O-K?! Mulai yang berinisial ‘A’
hingga ‘Z’. Pasti dibahas secara tuntas, hingga kegosip-gosip
terbarunya. Uptodate lagi. Biasalah….
Kehidupanku di kampus, aku
terkenal anak yang pendiam, sederhana, dan jarang bergaul dengan
teman-teman sekelas. Teman mahasiswa di kampus hanya
satu, dua, tiga, yang aku kenal. Ya maklumlah, aku sedikit kuper dengan model
pergaulan teman-teman di Kampus Impian. Tapi aku punya satu kelebihan, banyak
yang bilang kalau aku ini cantik, anggun, dan memiliki mata teduh. Terbukti,
banyak cowok mendekati dan berterus terang di depan mataku, bilang kalau dia
mau menjadikan aku sebagai pacarnya. Setiap ada tawaran seperti
itu,
jawabanku hanya satu! Selalu aku tolak mentah-mentah. Wajar saja,
mereka belum masuk kriteria penilaianku. Walaupun aku kuper dalam
pergaulan, namun aku harus bersikap pandai dalam hal memilih pasangan.
Cuma satu orang, yang mampu
membuat hatiku luluh, lumpuh, tak berdaya karna rasa. Ya, cowok yang bernama Iqbal, kakak
seniorku. Tanpa aku perhitungkan, akhirnya aku dapat jadian dengannya,
berpacaran. Pergi ke mana-mana selalu bersama, bahkan ia membelikan aku hand
phone biar komunikasi kami bisa terjalin di tiap detik, menitnya selagi kami
rindu. Tapi sayangnya, aku belum cukup berpengetahuan dengan dunia yang
dibawa Iqbal. Diam-diam menghanyutkan! Aku bisa-bisanya begitu rela menyerahkan
apa yang seharusnya tidak aku serahkan kepada orang yang belum tentu jelas
menjadi lindunganku di masa depan nanti. Aku menyesal dengan sendirinya, ketika
pertama kali kejadian itu menimpa jiwa dan ragaku. Tetapi aku tak mau
kalah atas penderitaan yang menimpaku. Tak membuatku jera, bahkan aku
menikmatinya sebagai keterlanjuran yang membuatku jadi begitu. Dan tiap
melakukannya aku tidak lagi berlandaskan atas dasar cinta, hal ini
menjadi biasa sebab sudah berkali-kali Alex mengajakku melakukan perihal yang
biadab itu.
Ahh, suatu kali aku merasakan
kelelahan jalan hidup yang aku lalui. Namun kelelahan yang
aku alami ini, tidak aku cerikatan kepada Bapak. Biarkan Bapak menganggap, bahwa
aku masih menjadi anak yang patuh dan berakhlak baik seperti remaja dulu. Biarkan
hanya diriku yang merasakan kegetiran dan kepahitan luka lara. Tak tau sampai kapan takdir pilu
ini berakhir melumat. Hingga jiwa dan raga ini aku serahkan akan
kepasrahan, masuk ke jurang nafsu lelaki hidung belang yang kenal dengan sosokku.
Aku memiliki gelar ganda. Di
satu sisi hanya orang-orang tertentu yang tau, dan di lain sisi hanya
orang-orang tertentu pula yang tau! Biarkan. Biarkan aku menari-nari bersama
luka lara yang bersemayam dalam raga. Hingga aku setia menanti sampai titik
kejenuhan dan ketobatan. Walaupun begitu, aku tetap punya
satu impian dan doa jika usia senja telah menyapa dan menghinggapiku. Bahwa aku ingin
menjadi perempuan yang berguna, dan penuh pengabdian kepada Yang Maha Kuasa.
***
(Pernah Dimuat di Radar Jember (Jawa Pos), Minggu 24 Oktober 2010 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar