Orkes Sebaskom Air Mata
Oleh; Midun Aliassyah
Rindung pilu memburu-buru,
Luka lara betah nian kemurkaan melumat kasih tiada haru,
Tak cukup sedetik, semenit, sejengkal tapi membabi buta memurka dalam balas kekufuran. Kekufuran yang dianggap perbuatan angin lalu, tanpa sadar, acuh jika ditanya itu hanya khilaf belaka.
Tapi tau kah kau binatang jalang, atas perbuatanmu itu? itu dosa. Dosa yang menghitamkan keputihan kepemilikanmu. Hitam menjadi batu sandungan dalam jiwa dan ragamu. Membuat hitamnya tambah hitam, lekat, pekat, seperti gendruwo beringas akan kenafsuan.
Kalau sudah begitu, celaka sudah, fatal sudah.
Kemurkaan akan memburu; keberkahan tak lagi kenikmatan, karunia tak lagi anugerah, doa menjadi tabu, kehidupan menjadi kematian, revolusi menjadi kebobrokan, moderenisasi menjadi kegagapan, globalisasi menjadi kegendengan pikir. Hingga akhirnya, terciptalah makhluk yang tak mampu mendeskripsikan SEMPURNA itu apa?!
Terciptalah makhluk berakal; tapi tak tau apa itu gunanya. Terciptalah makhluk mengaku beriman; tapi tak tau apa keyakinannya. Terciptalah makhluk berilmu; tapi tak tau pengatahuan, hingga tak mampu menglogikakan “duluan mana lahirnya ayam dengan sebutir telur?!” Terciptalah makhluk cendikiawan; tapi hanya mampu membual dalam keteroian, tak mampu mempraktekkan. Terciptalah makhluk nan rupawan; tapi tak tau apa itu kehormatan. Hingga ia menjual dan mengedarkan kemahkotaan secara cuma-cuma kepada siapa saja. Kepada penggelandang, pengemis keliaran, bahkan penyamunpun itu berlaku. Seperti orang jualan sayur bayam. Sewu telu, sewu telu, sewu telu….
Yang hanya mengejar keutungan, kenikmatan, kegairahan, kepuasan mengulup terong dan mengulekkan dalam cobek-cobek berongga. (Ahhh, sungguh biadab! Jaman edan!)
Jika dipertanggungjawaban nanti, dan ditanya ini semua perbuatan siapa dan atas dasar apa?? Jawaban yang berlaku pastinya; tak tau, ini perilaku siapa….!!!
Kita lihat saja diperadilan, adakah pahlawan sejati. Yang berani mengacungkan jarinya, mau mengakui semua perbuatan ini! Seperti para maha(siswa) yang kehausan pertanyaan akan ketidaktauhan. Dan merelakan rohnya menanggung semua hukaman kekal yang penuh kengerian dan kesakitan.
Tapi percuma saja, paling-paling yang ada hanya pahlawan kesiangan. Suka membusungkan dada, berkutat kedua tangan dipetetekan pada pinggang, dan tolah-toleh dalam kecongkakan. Sama saja itu, pahlawan yang pandai mengobral janji, di atas sumpah serapah basi. Suka membuat janji yang hanya untuk ia ingkari!! Ihhh, asumsinya pantaskah disebut bajingan….
Ingat dan sadar. Masih berlakukah jika itu dijadikan kebijakan akan perubahan diri?? Jika dalam keadaan tak memungkinkan seperti ini… (hehehe, hanya satu jawabannya. Biarkan takdir yang menjawab!)
Lihat dan tolehlah pandanganmu kepenjuru penderitaan! Sekarang sudah tidak ada kata; bahagia!? Tak ada frasa; kebahagiaan hakiki!? Tak ada klausa; selalu hidup berbahagia!? Sudah tidak ada lagi, koma, titik, seru, tanya, tanya dan tanya….
Tetapi yang ada hanya kesimpulan, banyak individu yang bahagia di atas penderitaan orang lain!!!!
Potret dalam baskom terpantul;
-Cecungok-cecungok berbusana compang camping, mengais-ngais rejeki seperti tikus dalam rimba kenistaan fana. -Seniman makin gencar melukiskan kemlaratan dan keglamoran dalam sketsa-sketsa kusam berona abu-abu komersial. -Permainan spekulasi menjadi-jadi dalam pengayoman atap makhluk kecil yang tak memiliki derajat di mata mereka. -Si petinyoel bebas melalang buana, tak tau malam ataupun siang, bermuslihat dalam tingkat berbintang-bintang dalam remang keteduhan selambu, -Tikus celurut bebas berkeliaran bertingkah serakah, rakus akan kelimpahan rempah-rempah hasil bumi. Sampai kenyang, perut gendut-gendut, tak mampu kentut, sekali buang hajat di sembarang sudut, tinjanya-pun berkleleran di emperan. Menyebabkan wabah beribu-ribu macam virus, menyerang, menggrogoti, menuai kebobrokan lapis langit-langit atsmofer. Menyebabkan atap Pertiwi gampang goyah diterpa angin, tiang penyangga Pertiwi gampang rapuh, pondasi Pertiwi mudah retak, hingga menimbulkan bunyi gelegar membahana dalam jagad alam raya. Menggelegar dalam telingga-telingga bersekala sempit ataupun lebar.
Jika sudah seperti itu, sidang darurat dilakukan. Siding-sidang para atasan yang seperti memasak kue instan; menu raciknya banyak, tapi tak mampu membedakan apa yang dimasak antara mana granat dengan lemper ketan. (hahaha, koplak!)
Banyak air keharuan tumpah, meleleh dari pelupuk mata. Kura-kura dalam perahu. Menangis hanya untuk kepamoran, resah dalam omongan kebasian mulut blaka.
Aahh percuma, percuma saja. Sekarang kondisinya sudah benar-benar parah!! Separahnya lumpur muncratan, banjir bandang, tsunami buatan Japan, Tornado buatan Pamansam. Yang asli produk dalam negeri; Guncangan akibat patahan pantat Depe, api-api buatan Petrok kademen turun gunung.
Musibah sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan karena keseringan. Keseringan yang mampu terwadah dalam satu baskom yang hanya terisi butiran air mata-air mata. Air mata jernih, menggumpal butiran mutiara penderitaan dan kenistaan. Sebaskom air mata; mendendangkan bunyi gendang kebisuan, meniupkan seruling kedukaan, mendawaikan longlongan kelaparan dalam tiap sinar-sinar kesolidaritasan. Hingga bunyi-bunyian ini disebut nada, nada berirama, bernotasi, DoReMiFaSolLa… Akhirnya jadilah perpaduan Orkes Sebaskom Air Mata.
Ahhh, biarkan saja ia bernada dalam kebisuan. Tanpa jeda dan tanda berhenti. Hingga sampai kapan kah?? Ahhh, semua ini biarkanlah takdir yang menjawab…..
Ending: 02.00 (Malam Takbir, 10 Dzulhijah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar