MATA MENGGANTUNG DUNIA
Oleh Midun Aliassyah*
Saat itu, entah Tuhan berada di mana!
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Sekelompok sel
kecil berbentuk anggur yang berbaris di pinggir kelopak mata atas dan bawah,
tepat di balik bulu mata. Menjadikan mata menggantung lara, dan aku
memercayainya jika air mata yang aku punya merupakan anugerah. Bukan air mata
biasa, pasti sedikit orang bernasib sama denganku. Aku cukup bangga, dengan
penderitaan yang aku alami. Karena kebanggan inilah yang membuatku bertahan
hidup.
Kali ini, aku benar-benar merasa tersiksa. Siksaan
yang melebihi deritanya ketika aku tak makan lima hari. Dan perihal tidak makan
itu memang sudah menjadi garis nasib yang menjadikan kebiasaan, dan aku sangat memahami.
Tetapi apa yang aku derita, serasa berlari mendekati ajal. Badan demam,
menggigil, tulang terasa lunglai, linu merejang, tak ada daya di bawah guyuran
hujan deras bulan Desember. Di bawah naungan pohon jambu yang rimbun memang
bisa dijadikan tempat berteduh, tapi percuma, sebab kali ini hujan turun deras
sekali.
Aku sadar, kalau sebenarnya tempat yang aku jadikan
berteduh bukanlah tepat. Tapi mau bagaimana lagi. Sebelumnya, aku benar-benar
kebingungan dan tenaga yang aku punya sudah habis untuk mencari tempat layak,
rasa capek sungguh menyergapku luar biasa. Gara-gara setelah lari
terpontang-panting di sela-sela jalan kecil gank perumahan Bandur Permai. Atas
usaha yang aku perbuat untuk menghindari kejaran Om Surya. Dan gerimis pun
datang saat aku terengah-engah menata nafas setelah berhasil menghindari
kejaraan penjabat gila yang ingin mencelakakanku. Helaian rambutku mulai basah,
rasa dahaga mulai menyerang, dan aku benar-benar butuh sesuatu untuk diminum.
Tapi apa aku punya? Tidak. Dengan terpaksa aku menengadahkan tangan untuk
menampung air hujan. Tangan kecilku ternyata tak cukup untuk menjadi cawan,
akhirnya kepalaku menengadah ke langit gelap dan mulut terbuka lebar. Lumayan,
tak ada gelas mulut pun tetap mampu meneguk air.
Langit semakin
menggelegar, petir kelihatan terang menghunus ke daratan bumi. Semakin lama
hujan pun semakin ganas menjatuhkan diri dari langit. Lebat, butirannya begitu
kasar bersentuhan dengan pipi. Air mataku bercampur dengan kesucian hujan.
Putih merah. Kepala terasa terpukul-pukul oleh benda kecil yang tak wujud itu,
sakit. Kemudian aku berteduh di bawah pohon jambu yang tak jauh dari tempatku
berdiri. Dengan harapan aku bisa terlindungi dari amarah hujan. Tapi berselang
beberapa waktu kemudian, tubuhku menggigil, aku merasakan kedinginan yang amat sangat.
Gigiku bergemrutuk mengadu, kedua tanganku menyilang mendekap erat badan,
lama-lama kedua kaki tak mampu menopang lagi. Air mataku berhenti menetes,
terganti dengan air mata bumi. Akhirnya aku merebahkan tubuh di atas trotoar di
pinggiran jalan. Dan aku tak tahu, sekarang berada di mana. Yang pasti sekarang
aku berteduh di bawah pohon jambu lebat, berbuah kesumba ranum, tumbuh subur di
depan rumah sederhana yang memiliki pagar tak cukup tinggi untuk dijangkau. Aku
merasakan penderitaan. Antara harapan dan ajal.
***
Pagi sudah
berayun-ayun memainkan embun yang berjatuhan. Siang beranjak, diterjang mentari
yang memanggang ujung daun dan menelanjangi kegagahan gedung-gedung bertingkat.
Dan petang yang dinantikan masih terlelap, dan sebentar lagi akan terjaga
kembali mengiringi rona-rona gemilang lampu pijar penerang kehidupan Kota.
Terpojok. Aku
selalu sendiri menggiring hingar-bingar kekalutan orang-orang Kota. Terkadang
aku menyelinap pada bayang tungkai yang melenggang begitu saja. Terkadang pula
aku berusaha meraih keegoisan mereka jika tak memedulikanku. Atau aku berpura-pura
untuk mengutil belas kasihnya dengan cara merupa wajah melas demi sekeping
recehan di antara kartu kredit tersimpan. Itu saja yang aku lakukan terhadap
orang-orang Kota, dan tak lebih karena aku sadar sebagai seorang Anjal, si Anak
Jalanan.
“Anjali....”
Serasa ada yang mengenal identitasku. Dengan sergap kutoleh sumber suara itu berasal.
Serasa ada yang mengenal identitasku. Dengan sergap kutoleh sumber suara itu berasal.
“Akhirnya aku
menemukanmu!”
Benarkah orang
ini mengenal namaku? Tapi siapakah dia. Sebelumnya aku tidak pernah menemui
wajah Laki-laki seperti ini. Memakai baju rapi dan beralas sepatu pantofel yang
sedikit membuat penglihatan jadi silau ketika memandang.
“Ayo ikut saya.
Ada orang yang menunggumu di sana!”
Laki-laki itu
berkata seraya senyum kepadaku, dan sekejap itu aku menganggap dia bukanlah
orang jahat. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah mobil mewah yang ada di
seberang kanan jalan. Dan aku melihat sesaat, langsung terkesima. Aku mengikuti
ajakan si laki-laki dan melangkahkan kaki mengarah ke tempat mobil itu terparkir.
Tanpa basa-basi
aku disuruhnya masuk ke dalam mobil. Sedikit terlintas keraguan di benakku,
tetapi, hmm...aku merasakan kenikmatan.
Ternyata mobil ini kemewahannya tidak hanya terlihat dari luar. AC, full musik,
dan juga tempat duduk yang nyaman. Di dalam mobil aku berkenalan dengan Laki-laki
paruh baya. Ia berpawakan lebih elegan. Laki-laki ini juga sangat baik,
keramahan dan rasa peduli ia curahkan kepadaku. Padahal aku gadis bau, tak baik
untuk dihirup hidung Laki-laki kaya seperti dia. Perihal bau sepertinya memang
kodratku, maklum saja, karena aku tidak mengenal mandi, ganti baju, intinya aku
tidak mengenal kebersihan. Dan ternyata ia tahu kalau aku kelaparan, dan
diajaknya aku ke suatu rumah makan yang ada di pusat kota.
Sebelum
sesampainya di rumah makan yang dituju, aku diajak Om Surya mampir ke toko
pakaian. Ohiya, aku sekarang memanggil laki-laki paruh baya ini dengan sebuatan
Om Surya. Dia yang menyuruhku, aku-pun tidak keberatan.
Wahh...aku begitu kagum
dengan semua apa yang aku lihat sekarang. Beraneka pakaian anak terpajang rapi
di sana-sini. Mengagumkan. Jujur, ini baru pertama kalinya aku masuk ke toko
pakaian anak, biasanya aku hanya cukup memandangi dari luar atau hanya bisa iri
melihat orang tua menggandeng ananknya keluar dari toko sambil menjinjing tas pembungkus
pakaian yang dibeli.
Sekarang aku
seorang gadis cantik. Itu pujian dari Om Surya. Dan aku senang jika ada orang
menyebutku cantik. Menawan. Satu jam kemudian, tidak membutuhkan waktu lama aku
sudah menghabiskan semua makanan yang terhidang di depanku. Om Surya tidak ikut
makan, ia hanya senyum-senyum melihat aku terburu-buru melahap semua makanan.
Aku begitu kekenyangan. Dan hari ini adalah hari yang paling membahagiakan
dalam hidupku.
***
“Perkenalkan
namaku Anjali. Nama kamu siapa?”
Aku
menedekatinya, ingin kupeluk begitu saja gadis yang malang ini. Dia terlihat
manis, seusia denganku. Gadis ini pun juga memakai pakaian yang bagus. Namun
sayangnya ia tidak memiliki sepasang mata cantik sepertiku. Gadis malang ini
ternyata tidak menggubris kedatanganku. Ia masih diam saja, duduk sambil memegangi
boneka Tedy Bear lucu di atas ranjang tidur.
“Beginilah
kondisi Rara. Anak Om satu-satunya. Ia menderita seperti itu semenjak kelas
lima SD. Gara-gara peristiwa nahas yang sulit untuk Om ceritakan.”
Suara Om Surya terdengar sayu, aku jadi sedih
mendengarnya.
“Bagaimana
Anjali, apakah kamu mau membantu Om?” Om Surya mendekatiku, tangan kanannya
mengelus-elus helaian rambutku. Aahh...serasa
aku memiliki seorang Bapak.
“Menolong untuk
apa Om?” aku mencoba menimpali pertanyaan.
“Memberikan
pertolongan demi kesembuhan Rara. Biar dia mampu melihat keindahan dunia.” Dari
kedua pelupuk mata Om Surya meneteskan air.
Om Surya
kemudian memeluk tubuh mungilku.
“Bagaimana, apa
kamu bisa menolongnya?” Dari pelukan, Om Surya beralih menatap kedua mataku.
Dan aku lebih tak kuasa memandangnya. Dan ini sudah menjadi kebiasaan, karena aku
tak suka jika ada seseorang menatap mataku. Intinya aku tak rela orang lain
melihat sesuatu dari mataku.
***
Keesokan
harinya, aku diajak Om Surya berkunjung ke salah satu rumah sakit terkenal yang
ada di kota. Ternyata di rumah pesakitan ini, aku akan dipertemukan dengan
dokter spesialis yang biasa merawat Rara.
Sepanjang
menyusuri koridor rumah sakit, Om Surya selalu menggandeng tanganku. Seperti anak
dan bapak. Ketika kami lewat, orang-orang yang ada di rumah sakit selalu memerhatikan
aku dan Om Surya. Ada yang memberikan anggukan hangat, sekedar sapaan, bahkan
ada pula yang menjabat tangan Om Surya. Walaupun sapa atau jabat tak ada yang
mengarah padaku, tapi aku cukup bangga berada di sisi Om Surya. Serasa aku
menjadi artis yang disambut sang penggemar.
Ketika mendatangi
dokter, Om Surya dapat menemuinya tidak sesulit orang-orang lain. Dan aku
dengar dari perbincangan orang-orang di depan ruang, bahwa ada yang sudah
mengantri dua jam. Aku heran kenapa Om Surya berbeda! Tapi tak apalah, pikirku mungkin
Om Surya merupakan sahabat dokter, jadi ia tidak perlu mengantri.
“Oh ini ya anak
yang menjadi pendonor mata untuk Rara. Mata kamu cukup elok.” kata Pak Dokter
setelah menyapaku.
Om Surya
mengangguk. Dan sekejap itu, kebingungan merajai otakku. Sebenarnya apa tujuan
dari Om Surya mengenalku? Apa benar yang dibilang Pak Dokter? Dan anehnya,
pertanyaan yang seharusnya aku pertanyakan di awal, kenapa baru aku pertanyakan
sekarang!
Saat itu pula
aku keluar dari ruang periksa. Aku berlari di antara gerombolan orang. Tak aku
pedulikan teriakan Om Surya memanggil namaku. Tidak sedikit orang yang
memerhatikan. Aku tak peduli, terus berlari ke arah pintu keluar rumah sakit.
Ternyata Om Surya tidak menyerah begitu saja.
Ia tetap mengejarku. Akupun semakin mengencangkan langkah lariku. Tak peduli
ada orang, ataupun sesuatu yang menghadang jalan. Dan tanpa aku sadari, air
mataku serasa akan mengalir. Aku takut jika hal ini terjadi. Sebab aku tak
ingin ada orang melihat air mata yang aku punya. Ini harta satu-satunya yang
paling berharga, aku harus menjaganya. Air mata merah.
Dalam
lari, aku tak henti-hentinya berpikir tentang kejadian yang baru saja terjadi. Mengulang
peristiwa, pertama kali kenalan dengan Om Surya, Rara dan juga seorang Dokter
yang memberitahuku dari percakapannya, bahwa Om Surya ternyata seorang Wali
Kota. Perkenalan sesaat, namun membekas amat dalam batin.
Lagi-lagi aku
menyalahkan diriku, aku terlalu liar untuk mengenal orang. Seharusnya tak
semudah itu aku percaya dengan orang yang baru aku kenal. Walaupun orang yang
mengenalku seorang Wali Kota yang kaya harta. Aku benar-benar menyesal
berkenalan dengannya, Om Surya. Mungkin ini pelajaran berarti bagiku. Orang
kaya selalu berkuasa di atas penderitaan orang terlantar sepertiku. Jadi
semau-maunya ia ingin berbuat apa, walaupun itu akan berakibat menyakitkan atau
menghilangkan nyawa. Tetapi baginya, mungkin ini suatu hal biasa jika ia
lakukan terhadap kaum sepertiku. Aku bersumpah, tidak akan lagi memercayai
orang seperti Om Surya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar