Senin, 02 November 2015

Legenda Air Terjun Sedudo Nganjuk

SEDUDO
 Legenda, dalam rimba peradaban yang tak teruntuhkan masa
 



KONON, air paling jujur mencerminkan peradaban. Kejernihannya mampu merengkuh tilas waktu. Membekukan angkara, mencairkan segala rupa yang dinamai kesucian. Sosoknya tenang dan mengalir, seiring irama, telah menyuarakan pada pelayaran kisah. Kisah sebuah keluarga pengagum air. Dari bumi Pace kisah ini bergema. Menyenandung kesakralan Gunung Wilis. Nyaring tanpa sungkan, merindu masa lampau. Dan demikianlah kisah ini bermula.
“Bagaimana peradaban dibangun dengan kejujuran air?”
Sejatinya pengagum. Segala sesuatunya ingin diketahui. Lewat percakapan keingintahuannya didapat. Sambil bergurau. Khidmat. Sesekali pun berdebat. Ya, saat berdebat inilah, membuat aku bangga menjadi bagian keluarga ini. Walaupun terkadang membuat aku sakit hati. Lantaran aku seringkali dibiaskan.
Namun tak apalah. Aku tahu bagaimana cara mereka menganggapku ada. Lagi pula tidak selayaknya aku mengeluh sakit hati. Selayaknya aku bercerita keharmonisan.
Dikala malam mulai singgah menyepi. Alam melarutkan rasa kantuk. Meninabobokan lelah. Mengusir kekalutan siang, mengundang berupa-rupa harum wewangian. Mistik. Menyeruak ke dalam sudut-sudut rumah. Lewat celah-celah dinding anyaman bambu. Bersamanya kabut kemarau menggugah dingin. Membuat sesiapa ingin berselimut dalam kidung malam.
“Yah…, kenapa diam?”
“Iya. Maaf Nak.” Aku melihat Ayahanda tertegur linglung. Atas apa yang ditanya Bara.
“Peradaban kok bisa dibangun dari kejujuran air?”
“Sejatinya air bertalian hidup dengan yang lain.”
“Maksud Ayah, berteman dengan tanah, udara, dan juga api kah?”
Ayahanda tersenyum. Degup bangganya tertolehkan ke rasa penasaran Bara yang bersandar di pangkuannya. Dan aku semakin khidmat menyimak obrolan mereka.
“Iya Nak.” Ia mengangguk meyakinkan.
“Mereka satu-kesatuan hidup yang tak terpisahkan. Mereka tercipta untuk saling melengkapi bumi.”
“Api dan air kan saling bermusuhan?”
“Bermusuhannya api dan air bukan saling tikam-menikam demi kekuasaan. Tak seperti peperangan yang kau lihat antar kerajaan itu. Justru, sifat air yang cair dan mendinginkan. Api yang berupa bara dan memanaskan. Ibarat kebohongan akan teredamkan oleh kejujuran. Mereka saling beradu untuk kedamaian.”
“Sekarang paham maksud cerita Ayah. Aku ingin menjadi air. Jujur bersikap biar disayang Ayah.” Si Bara kecil menggeliat senang di pangkuan Ayahanda.
“Pasti kalian menjadi putra yang jujur. Ayah sayang kalian.” Didekapnya kedua putranya yang mulai merajuk diserang kantuk. Sedangkan aku terkesima diam dari balik jendela kamar. Dinginnya desau angin malam tak aku hiraukan. Lagi-lagi aku belajar kehidupan dari keluarga ini.
Dari kejahuan, sayup-sayup suara burung hantu mulai menandai kesunyian. Re-ke-teg bambu-bambu beradu, terdengar dari kebun belakang rumah. Waktunya kegelapan malam meraja. Kegelapannya menidurkan keresahan dan mendongengkan mimpi.
*

Sangking khidmat menyimak cerita Ayahanda tadi malam, membuatku kalang kabut. Mbangkong. Mendapati sang surya sudah nampak dari balik kaki gunung Wilis. Dahan pinus berayun-ayun, gegap gempita, seiring desau angin menyambut kehidupan. Pohon jati tak berdaun, meranggas kemarau, bertelanjang diri tanpa sedaun pun menutupi. Kehidupan kembali bersinergi, mengeja masa meraup asa.
Tanpa aku sadari, dari balik punggung siul burung Prenjak menghardik. Siulannya sengaja ditujukan menertawaiku. Aku tak terima dengan ulahnya. Aku terpanggil mengejarnya dari pohon jati satu ke pohon lainnya. Semakin aku berusaha mendekatinya, semakin pula Prenjak muda memacu kecepatan terbangnya. Ia terbang melesat, aku kalap mengejar. Menyerah kalah. Barangkali sebab usia tua yang tak lagi mendaya.
Aku beranjak menuju pintu dapur rumah. Menoleh aktivitas sekeliling. Aku dapati Ayahanda sedang menaruh dandang di atas tungku. Kerumunan tiwul menyembul dari dandang yang tak bertutup. Sungguh sedap disantap saat tiwul masih hangat dengan tumbukan cabai rawit. Pedas-panas. Seperti itulah sensasi yang terujar dari Ayahanda. Tapi jujur, jika pun sensasinya selezat itu tidak pernah sekalipun membuatku tertarik mencicipi. Mencium baunya, membuatku cepat-cepat menghindar dari jangkauannya.
“Air… airr… aaiiirrrr… menyegarkan badanku.” Teriak Bara. Ia bersemangat mandi pagi. Teriakannya bersumber dari balik salah satu batu besar yang memadati aliran air sungai Temburi. Selain hamparan hutan, sungai Temburi sejatinya sumber penghidupan penduduk Pace.
Tidak ingin Bara mengetahui kehadiranku, aku bergegas menjauh darinya. Sebab ketika Bara mandi, samahalnya ia akan mendatangkan musibah. Ia akan begitu kegirangan memercikkan air ke tubuhku. Padahal aku tidak selalu menyukai air. Aku benci basah.
Aku mencari sosok lain. Pastinya selain Bara ataupun Ayahanda. Namun semakin aku pergi menjauh dari rumah dan menapaki perbukitan, belum aku jumpai pula sosok itu. Entah di mana keberadaannya. Sambil mencari, sesekali aku mengumpat diri. Gara-gara mbangkong aku kehilangan jejaknya. Benar-benar menyesal. Aku sibak dahan-dahan pinus yang menghalangi jangkauan penglihatan. Dan akhirnya, aku dapati sosoknya.
“Tolong bantu menyingkirkan semut-semut merah itu.”
Tanpa ia berteriak-teriak dari atas pohon pinus pun, pasti aku dengan senang hati membantunya. Ini sudah tugasku. Memunguti semut-semut merah yang mendiami sarang burung Walet. Kita selayaknya sahabat.
Perkenalkan sahabatku ini. Awan, namanya. Ayahanda dikaruniai dua putra. Walaupun sekandung, dipandanganku keduanya memiliki kepribadian yang berbeda. Bara sosok ragil yang mulai terlihat gagah dan cerdas di usia kekanakannya. Ia banyak tingkah. Sedangkan Awan, si sulung yang lebih pendiam dan berbadan kurus tinggi. Di antara mereka bertiga, kedekatanku hanya dengan Awan. Semenjak ia usia balita, aku sudah mengenalnya. Mengenal bau ingus, cara ia merengek ketika lapar, ataupun bau badannya.
Sebagai anak seorang tabib, Awan seringkali ditugasi mencari sarang burung Walet untuk diolah menjadi obat. Resep obat sarang Walet menjadi primadona para pasien yang berobat ke Ayahanda. Sarang ini bisa mengobati berbagai penyakit. Terkadang Awan juga mencari beraneka tanaman obat lainnya yang tumbuh liar di perbukitan kaki gunung Wilis.
“Kik….kik….kikkk,” terdengar suara Kidang di balik rimba yang terhampar lebat di tubuh gunung Wilis. Aku melihat Awan sudah selesai memasukkan sarang Walet ke keranjang punggung untuk dibawa pulang. Bila kik-kikan induk Kidang mulai terdengar itu pertanda waktu kami untuk menyelesaikan aktivitas buruan. Kik-kikan sang induk yang lagi menyusui anaknya itu akan berbunyi selalu tepat waktu. Tepat sang surya mulai condong di barat. Ketepatan inilah dijadikan penduduk Pace yang berprofesi berburu apapun di hutan akan mengakhiri pekerjaannya. Tanpa dipandu pulang pun, mereka dengan sendirinya akan bergegas pergi.
Sesampai di rumah, senja sudah mengangkasa begitu elok di ufuk barat. Kilauan abu-abu awan maghribnya, sedikit demi sedikit memudar dari pandangan. Tanpa segan, rasa lapar menyerangku. Tapi aku balas menghardiknya untuk bersabar. Menunggu Awan beranjak dari dapur menyelesaikan makan malamnya. Dan kemudian ia akan mengambilkan biji jagung seperti biasanya. Butiran-butiran jagung muda, gurih dan menyehatkan. Awan tidak akan pernah lupa dengan hal ini. Karenanya aku selalu bersahabat setia dengan Awan.
“Banyak pasien hari ini?” Tanya Awan, sembari ia membantu Ayahanda membereskan berbagai wadah ramuan obat yang berserakan di atas meja praktiknya. Di ujung meja, temaram api oncor mencahayai obrolan mereka.
“Lumayan Nak. Ohya, tadi Gerhana berobat sama ayahnya.” Timpal balik Ayahanda.
“Dia tergigit ular lagikah?”
“Tidak. Ayahnya yang berobat. Bisulan di sekujur tubuh.”
“Kok bisa?”
“Maklum, ia kena tulah leluhur. Menebang anak beringin di makam Ki Kanjeng tanpa pamit.”
Tiba-tiba raut muka Awan meradang. Diikuti gelengan kepala. Aku tahu ia membatin gelisah-marah. Ada-ada saja perilaku warga Pace yang tidak patut ditiru. Bagi Awan, alam begitu melimpah ruah sumber dayanya. Tapi anehnya, masih ada saja yang menebangi pepohonan.
“Tadi Gerhana juga berpesan, kapan kamu mengajak dia berburu jamur lagi?”
Nah, ini yang aku rindukan. Berburu jamur di hutan. Menemukan jejak jamur, samahalnya menjajaki teka-teki berpetualangan. Aku rindu mengundus keberadaan jamur yang tumbuh di bantaran sungai. Tumbuh di antara ilalang kering, di batang pepohonan jati, ataupun di ranting-ranting yang berserakan di bantaran sungai.
Jamur kuping. Bentuknya yang lucu, kenyal, kemerah-merahan. Begitu imut menggemaskan. Aku percaya, kalau jamur kuping tidak lain dari kuping kurcaci. Para kurcaci yang tinggal di lembah pucuk gunung Wilis. Ketika kurcaci mati, kuping-kupingnya akan abadi berwujud jamur. Pernah sesekali aku bercerita asal mula jamur kuping ini ke Awan. Seketika ia membantah tidak percaya. Dianggapnya aku sedang mengutarkan mimpi.
Namun sekarang aku tidak lagi bermimpi. Rasa penasaran yang terpendam hingga belasan tahun lamanya, kini akhirnya terkuak. Membuat aku terharu menyimaknya.
“Aku kangen sosok ibu. Bagaimana cara menemuinya, Yah?” lagi-lagi Bara. Ia membuat Ayahanda tersontak di malam buta.
“Hmm… sudahlah Nak. Sudah malam!” Nampak gusar Ayahanda menjawab.
“Tidak. Selagi Ayah belum memberitahu, aku tidak tidur. Sekarang usiaku semakin dewasa. Dulu Ayah berjanji akan bercerita keberadaan ibu.”
Keingintahuan Bara tidak bisa dicegah. Ia memburu keingintahuannya. Semakin Ayahanda diam tidak menjawab, ia semakin polah di atas dipan reot yang tiap malamnya dijadikan sandaran mimpi. Tingkah Bara tidak terkendalikan. Kepalan tangannya ia pukul-pukulkan di tubuh dipan. Kereotan dipan terdengar memekik kesakitan. Tanpa disadari, kaki kecil Bara yang tidak terkendalikan menendang oncor yang disandarkan di ujung bawah dipan. Seketika, “Brakkk….” Oncor terjatuh. Apinya meluap.
“Cepat siram dengan air kendi di sampingmu?” ulah kesigapan Ayahanda yang biasa meletakkan kendi di meja kecil dekat dipan. Awan pun tanggap, dan…
“Byuurr…byuurr….” Api padam. Amarah Ayahanda padam.
Di luar sana. Burung hantu berlagu. Suaranya syahdu mencekam. Diiringi temaram sinar rembulan, masuk menyeruak jengah. Berpendar dari selah-selah genting yang tak tertata rapi.
Setelah Ayahanda memungut oncor basah yang tergeletak di kolong dipan, ia kembali merebahkan diri bersama dua putranya. Ia sadar, dalam keadaan begini tidak perlu ada amarah. Ia sentuh kepala Bara dengan penuh kasih sayang.
“Bara… jangan kamu ulangi lagi ya. Ayah percaya kamu sudah tumbuh dewasa.”
Entah merasa bersalah atau tidak, Bara seketika diam. Ia luluh akan tutur Ayahanda.
“Mungkin memang sudah saatnya ayah bercerita.” Ayahanda menarik nafas sebelum melanjutkan bercerita.
“Ibu…. ibu kamu tidak lain dari pepohonan yang tumbuh di hutan gunung Wilis!” tanpa keraguan ia mulai bercerita.
“Maksud Ayah, aku anak pepohonan?”
Kecerdasan Bara membuat Ayahanda tertawa kecil.
“Ha..haa… bukan. Maksud ayah, semenjak kamu balita, ibu kamu menjelma diri, di antara pepohonan kokoh itu. Jadi kalau kangen sosok ibu, jangan pernah ada niatan menyakiti pepohonan-pepohonan itu. Dengan mencintai dan merawat alam, kangenmu akan terobati.”
Takjub. Bilamana air mata bagian dari ungkapan ketakjuban, pada saat inilah aku ingin meneteskan butiran-butirannya. Sayangnya aku tidak tahu, bagaimana caranya.
Ayahanda memang sosok ayah sesungguhnya. Tuturannya tidak lain dari sabda alam yang sering kali aku agungkan. Syarat makna. Lantas, bagaimana tanggapan Bara, setelah rasa keingintahuannya terjawab? Entah, aku tidak memerhatikan. Seketika perhatianku tertuju pada sahabatku, Awan. Semenjak Ayahanda dibuat gusar dengan keingintahuannya Bara, sahabatku tidak bergeming sedikitpun. Ia lebih memilih posisi telentang miring. Memunggungi Bara yang disampingnya dan juga Ayahanda. Dan aku tahu, sahabatku berlinangan air mata.
*

Pada masa beradu kegersangan kemarau. Meresahkan angin barat bertiup tanpa sabar. Ranting-ranting pepohonan jati bersilat garang. Rintihannya mengeluh sengsara. Serbuk bunga jambu gugur sebelum masamnya. Beterbangan ke segala penjuru. Menebar serabut-serabut putih. Berjatuhan. Laksana hujan salju di tanah tropis.
Begitupun gunung Wilis. Raganya semakin memanas. Kemarau panjang, membuat kesegaran alam tidak lain dari khayalan. Alam semakin tua mengeja usia. Ilalang kering tak ubahnya kemilau rambut uban. Reranting pepohonan menari-nari goyah sebab dehitrasi.
Menuanya alam bukan berarti menuanya masa depan Awan. Jiwanya semakin dewasa. Raganya semakin perkasa. Dewasanya usia, ditandai pula dewasanya bersikap. Entah tutur sikap untuk dirinya sendiri ataupun bagi yang lain. Dan aku, semakin gamang dengan masa depan. Tapi aku yakin, kegamangan itu suatu saat akan luntur selagi bersahabat dengan Awan.
Dan saat kedewasaan inilah, Awan mengenal perempuan. Bermula ketika kemarau benar-benar lagi berkuasa. Angin bertiup gersang. Mengundang berbagai macam penyakit yang entah dari mana rimbanya. Penduduk Pace, semakin gelisah meratapi kehidupan. Hutan tak lagi menyuburkan pundi-pundi alam. Ladang tanaman merekah kerontang tanahnya. Barisan hewan ternak puasa sepanjang waktu. Saat di mana alam benar-benar sekarat.
Satu, persatu penduduk Pace berdatangan ke rumah Ayahanda. Mengeluh kesakitan. Berbagai penyakit ingin disembuhkan. Dengan rasa sabar dan kepedulian, Ayahanda meramu ramuan sesuai keluhan. Tanpa lagi mengenal siang kemarau, tanpa lagi takut akan kegelapan malam, warga datang tiada henti. Saat genting seperti inilah, aku tidak lagi menemukan perbedaan Awan dan Bara. Mereka sama-sama anak dermawan.
Keluarga tabib dermawan. Kebaikannya tersiar di jagat orang. Tidak hanya penduduk Pace yang berbincang. Keluarga Kepatihan Anjuk Ladang, juga seringkali datang merujuk sebotol air ramuan. Maklum saja bila Ayahanda berteman baik dengan orang kerajaan ataupun pembesarnya. Salah satunya, ia sejak lama berkawan baik dengan Raja Kediri. Dan kunjungan Raja Kediri saat senja tiba inilah yang mengajarkan Awan jatuh hati kepada perempuan.
“Bukan berarti saat aku terkena musibah, lalu berkenan bertamu ke kediamanmu.”
Ungkap malu-malu Raja Kediri. Seusai ia dan rombongannya dipersialahkan duduk di hamparan tikar pandan.
“Oh tidak apa-apa kawan. Ada apakah gerangan engkau jauh-jauh dari Kediri datang menyambang?” Walaupun kenal akrab, Ayahanda berujar santun dan penuh hormat kepada tamunya.
“Sudi kiranya, kawan mau membantu penderitaan putri saya.”
Ayahanda tersentak kaget. Saat di mana Raja Kediri menunjukan jarinya mengarah putrinya. Aku lihat Ayahanda semakin mengamati penderitaan yang ditujukan pada putri kawannya. Memang ia terlihat amat paling menderita di antara rombongan raja yang datang.
Obrolan mereka pun tidak berlangsung lama. Tanpa menghiraukan waktu semakin petang, Raja Kediri beserta rombongan pergi meninggalkan putrinya.
Sang Putri yang sungguh malang. Seharusnya kecantikannya membuat sesiapa terpana ketika memandang. Tubuhnya semampai. Layak berpredikat putri kerajaan. Helaian rambutnya tergerai panjang menghitam. Tapi sungguh malang, bila kecantikan itu sebuah luka. Alias, sekujur kulit Sang Putri dihinggapi bisul yang menjijikan. Sampai-sampai seseorang akan kesulitan saat mewarnai kulitnya itu sebangsa apa. Putih atau kegelapan.
“Awan, Bara… kalian malam ini mengalah. Biarlah Sang Putri tidur di dipan kalian.” Tutur Ayahanda yang menemui kedua putranya di dapur. Mereka bersembunyi mulai dari kedatangan Raja Kediri bertandang ke rumah.
Terlihat, sebetulnya Bara tidak rela dipannya dipakai tidur Sang Putri. Aku pun sebenarnya juga tidak menyalahkan ketidakrelaan Bara. Bagaimana tidak, bau bisul Sang Putri sungguh menyengat basi. Memualkan. Sepertinya setiap bisulnya didiami makhluk kecil yang menyebabkan bau begitu menyengat. Namun berkat Awan, ketidakrelaan Bara luluh seketika. Mereka bertiga malam ini tidur tergeletak di lantai dapur.
Kehadiran Sang Putri, membuat kekacauan nafsu makan keluarga Ayahanda. Walapun ia seorang tabib yang pastinya seringkali menemui perihal menjijikan yang diakibatkan suatu penyakit. Tapi tidak ada yang terpaling menjijikan dibandingkan bisul Sang Putri.
Aku yakin, Ayahanda begitu menaruh haru dan kasihan kepada putri kawannya. Walaupun Bara selalu saja menghindar dari jangkauannya, Ayahanda malah dari subuh buta berbincang-bincang dengan Sang Putri. Dan tahukah pula, di antara mereka berdua ada sahabatku yang sesekali nyengir-nyengir sendiri. Ya, Awan. Seolah-seolah ia bersuka cita menemukan sahabat baru. Bersemangat bertanya tentang berbagai hal mengenai Sang Putri. Di balik bisulnya yang menganga, ternyata Sang Putri sosok perempuan yang humoris dan cerdas.
“Mungkin sudah tidak selayaknya ayah membebani tugas kepadamu. Tapi apa boleh buat. Ayah tahu kamu anak baik. Untuk itu, ayah membebankan tanggung jawab kepadamu. Antarkan Sang Putri sampai Roro Kuning.”
Seusai berpamitan, Awan dan Sang Putri menelusuri ruas hutan dan menapaki bukit demi bukit. Kepercayaan yang diberikan Ayahanda menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Walau dalam keluarganya, Awan dikenal anak pendiam. Namun keberduannya bersama Sang Putri malah membuat Awan selayaknya laki-laki banyak tahu.
Awan bercerita, bagaimana keluarganya sebagai pengagum air. Segala sesuatunya tentang air seringkali diperbincangkan. Air sebagaimana sumber kehidupan yang tidak akan habis seiring bergantinya peradaban. Bahkan begitu percaya dirinya, ia menirukan ekspresi Ayahanda ketika bercerita, “Bumi ini bermula dari air. Airlah sumber kehidupan pertama kali!”
Ternyata Sang Putri begitu menikmati bualan Awan. Sesekali terkekeh. Saat itulah aku tahu, bahwa senyuman Sang Putri merupakan senyuman termanis yang dimiliki perempuan. Mungkin sebab inilah, Awan tidak terlihat merasa jijik sekalipun berdekatan dengan Sang Putri. Aku semakin menaruh kagum kepada sahabatku.
“Kakanda apa tidak merasa jijik berdekatan dengan saya?” Tanya Sang Putri kepada laki-laki yang dari awal bertemu tidak menaruh curiga apapun terhadap dirinya.
Awan pun tersentak dengan pertanyaan mengejutkan Sang Putri.
“Kenapa harus jijik? Setiap orang memiliki cara pandang berbeda-beda tentang kehidupan. Bagiku perihal paling menjijikan adalah menjemput kematian tanpa berbuat kebaikan kepada orang lain.”
Seketika Sang Putri tahu bahwa Awan benar-benar laki-laki baik. Dan ia mengalihkan topic pembicaraan.
“Sungai apa ini?” memang patut dipertanyakan. Semenjak perjalanan, rutenya seringkali melewati bantaran sungai yang mengalir deras airnya.
“Sungai Temburi. Tahukah kamu. Sungai ini satu-satunya sumber penghidupan penduduk Pace di kala kemarau datang.” Awan kegirangan menjawab.
Tanpa sekalipun memberi jeda bertanya, Awan masih bercerita keistimewaan sungai Temburi.
“Airnya selalu jernih menyejukan. Walaupun tak ada rerumputan, hewan ternak masih bisa bertahan hidup gara-gara air sungai ini.”
“Kamu tahu muasal sumber air ini mengalir?” Sang Putri semakin penasaran.
“Nah itu yang membuat kami terbungkam. Sampai sekarang pun penduduk Pace belum ada yang tahu sumber mata airnya ada di mana. Sebab inilah aku ditantang ayah mengembara di hutan demi mencarinya.”
“Kamu mau melakukannya?”
“Ya kenapa tidak. Suatu saat pasti aku menemukannya!”
Perjalanan yang melelahkan, tapi penuh suka cita. Akhirnya Awan dan Sang Putri sampai di Roro Kuning. Mereka disambut baik oleh dua tabib yang dulunya pernah berguru ke Ayahanda. Sebelum Awan berpamitan pulang, ia menyerahkan sebongkah garam dan tiga botol ramuan kepada Sang Putri. Pesan Ayahanda, kedua wasiat itu digunakan saat Sang Putri melakukan semedi di bawah guyuran air. Sang Putri akan bersemedi selama tujuh hari.
Roro Kuning merupakan salah satu air terjun yang berada di gunung Wilis. Airnya sejak lama dipercaya masyarakat sebagai penyembuh dari segala kutukan apapun. Menurut Ayahanda, penderitaan Sang Putri tidak lain wujud guna-guna atau sihir yang dilakukan oleh Raja kerjaan lain. Raja yang menaruh dendam terhadap kerajaan Kediri.
*

“Jangan beri aku alasan untuk mencintaimu lagi!”
Begitu beramarah mengungkapkannya. Bara naik tikam. Matanya memerah garang. Dahinya menyatu padu. Tinjuannya tertuju pada dinding rumah. Segala apapun yang ada di sekitarnya menjadi lapiasan. Berbagai botol ramuan pecah berserakan. Meja pun ia tendang kuat-kuat. Terbelah menjadi beberapa bagian. Beberapa warga yang saat itu mengantri berobat, seketika berlari tanpa arah. Ayahanda begitu terpukul dengan ulah Bara. Ia tidak mampu mencegah amarah putra ragilnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa semuanya berantakan!”
Sesampainya di rumah, Awan dibuat bingung oleh keadaan. Ia mendapati Ayahanda duduk termangu di antara botol pecah dan bau ramuan yang menyesakkan. Rasa penasarannya ia ungkapkan berkali-kali. Ayahanda tetap saja tak bergeming. Kemudian Awan mendekati dan merengkuh punggung ringkih ayahnya.
“Ini perbuatan Bara. Ia merasa dikhianati Sang Putri.”
“Bagaimana bisa?”
Panjang lebar Ayahanda bercerita. Sepulang dari semedinya di Roro Kuning, kecantikan Sang Putri memancar begitu rupawan. Bisul yang menjangkiti sekujur kulitnya hilang tanpa bekas. Saat perubahan itulah, ternyata membuat Bara seketika jatuh cinta kepada Sang Putri. Cinta itu berlanjut hingga pandangan berikutnya. Karena Sang Putri sempat menginap di rumah Ayahanda hingga tiga hari lamanya.
Amarah itu memuncak ketika kedatangan Raja Kediri yang berniat menjemput pulang Sang Putri. Pada saat pamitan itulah, Raja Kediri juga menyampaikan maksud lain. Ia meminta restu Ayahanda. Sesampai di kerajaan, Sang Putri akan dinikahkan. Dipersunting oleh anak raja yang ketahtaannya dikenal hebat oleh Raja Kediri. Sebetulnya anak raja itu, pernah menolak lamaran Raja Kediri. Namun semenjak tersiar kabar, Sang Putri sembuh dari bisulnya ia menerima lamaran itu.
Tubuh Awan seketika gemetaran. Ia limbung di pangkuan Ayahanda. Untuk kedua kalinya aku melihat Awan berlinangan air mata. Bahkan ia meronta-ronta di atas botol-botol pecah. Darah pun mulai bercucuran. Aku tahu beberapa bagian kaki Awan luka.
“Kenapa harus orang lain yang merenggutnya? Padahal akulah yang tahu pertama kali kesempurnaan itu!”
“Sudahlah anakku.” Ayahanda menenangkan.
“Tidak hanya satu perempuan di bumi ini yang menjelma bidadari.”
Namun tetap saja, ucapan Ayahanda tidak membuat keadaan putranya tenang. Apalagi Ayahnda semakin gusar mengingat Bara belum kembali ke rumah.
Keesokan harinya. Halaman rumah Ayahanda begitu semarak akan rupa-rupa. Berbagai rupa wajah penduduk Pace yang memadati halaman rumah. Penduduk Pace bertumpah ruah. Anak kecil hingga nenek-kakek tua ikut merupa kegembiraan. Lebih semaraknya lagi, rupa dua belas gadis cantik yang berjalan padu mengarak bunyi gamelan. Inilah tarian, ‘Mongde’. Kesenian yang begitu mentradisi penduduk Pace. Dan aku mengamati pertunjukan ini begitu khidmat.
Kian lama gadis-gadis itu berjalan memutar dalam bentuk lingkaran. Para gadis bergincu merah. Berikat udheng gilig di kepala. Berbaju putih, bercelana panji hitam. Dibalut jarit parang kuning terikat kuat di pinggang. Gadis-gadis gagah itu disebut prajurit. Pementasan kesenian Mongde dimulai.
Penonton bersorak riuh saat prajurit serempak mengacungkan keris pada langit. Perpaduan musik gamelan semakin keras dibunyikan. Ada kemunculan lakon lain yang dinamai Penthul dan Tembem. Inti dari kesenian Mongde yakni terjadi adegan peperangan Lombo Rangkep. Penthul dan Tembem yang berlaga. Pada saat peperangan berlangsung, akan terdengar suara alat musik yang ditabuh bergantian.
“Mung…Mung…Munggg….” Telingaku semakin peka.
Terdengar Penitir ditabuh keras tanpa jeda. Bentuk Penitir serupa kempul. Dan berselang kemudian terdengar suara yang tak kalah kerasnya mengikuti irama, “...Dhe..Dhe..Dhe..” alat suara ini biasa disebut Bendhe. Dari bebunyian Penitir dan Bendhe ditabuh, menghasilkan alunan syahdu. Sinkronisasi nada; “Mung, Dhe, Mung, Dhe....” dari perpaduan bebunyian itulah kesenian ini dinamai, Mongde.
Pertunjukan Mongde usai, setelah Tembem mengalahkan Penthul dalam peperangan Lombo Rangkep. Namun sebelum pertunjukan benar-benar diakhiri, penduduk dibuat semakin bersorak gembira saat Tembem memanggul Awan di pundaknya. Tak mau kalah, Bara pun juga dinaikan di atas pundak Penthul. Hal itu dilakukan setelah mereka memeluk Ayahanda. Berpamitan untuk melakukan pengembaraan. Tepatnya, demi menghapus rasa kekecewaan dan penghianatan yang diperbuat Sang Putri. Sebab itu Ayahanda menyuruh kedua putranya untuk menemukan sumber mata air sungai Temburi.
Selangkah demi selangkah pengembaraan dimulai. Menelusuri hutan Gunung Wilis tak selamanya mendatangkan rasa senang. Semakin menjajaki arah puncak, rimba kegelapan semakin menyambut tak bersahabat. Apalagi ketika petang menjelma. Seolah-olah sekawanan makhluk rimba mengawasi dengan mata jahatnya. Siap menerkam jika kami terlelap.
Tepatnya sudah hari kelima, kami hampir sampai di salah satu puncak Gunung Wilis. Namun sumber mata air itu tidak kunjung kami temui. Terlebih mengenaskan, persediaan bekal makan mulai habis. Selama perjalanan kami hanya mengandalkan bekal yang dibawa. Kemarau tak bisa menghasilkan pundi-pundi alam yang bisa diharapkan.
“Aku mulai lapar.” Keluh Bara memelas.
“Tidak ada makanan lagi untuk memulihkan tenaga.” Awan pun menanggapi gusar.
“Yasudah, kita malam ini tidak usah melanjutkan perjalanan. Istirahat di antara tumpukan daun pohon ini.” Kedua tangan Awan direbahkan di atas tumpukan daun. Aku melihat sekeliling. Banyak pepohonan besar tumbuh besar memadati bentangan alam. Sangking besarnya, menghalangi sang surya menyentuh dataran tanah. Dan tak tahunya, kami benar-benar terlelap kelelahan.
“Buukkk….” Tiba-tiba ada yang membekap tubuhku.
Aku meronta. Namun ternyata semakin kuat dekapannya membuatku kesulitan untuk meoleh siapa dia. Bekapannya diperkuat, tubuhku merasa kesakitan.
“Hei… kamu gila apa? Lepaskan!!!” Awan bangkit dari tidurnya. Ia terdengar menghardik kepada sesiapa yang membekapku.
“Laparku tidak bisa semakin tertahan!” ia berujur. Dan aku tahu dari suaranya. Ternyata Bara yang ingin memakanku.
“Tidak seharusnya kau makan dia sebagai santapanmu!”
“Kenapa tidak? Ini hanya seekor burung Gagak. Kodratnya untuk disantap.”
“Benar-benar gila. Lepaskan dia!!!”
Mereka terdengar saling beradu emosi. Hanya indera pendengaranku yang masih berfungsi. Indera lain terbekap tanpa aksi.
“Apa yang harus dimakan? Dedaunan kering ini.” Tangan kiri Bara terlepas menggenggamku. Seketika aku merasakan kelegaan dari ancaman maut. Aku lihat tangannya ia gunakan memunguti dedaunan. Daun kering yang ia hamburkan ke arah Awan.
Awan sengaja tak menghidar dari hamburan daun yang menerjang wajahnya.
“Apa kau lupa? Keberadaan Ibu yang selalu mengamati di sekeliling kita.”
Bara diam. Sepertinya ia terpengaruh dengan omongan Awan. Pandangan Bara ia tolehkan ke sekelilingnya. Ia dapati barisan pepohonan besar tumbuh mengangkasa. Tak dinyana, Bara menangis sesenggukan. Dan aku terlepas dari genggamannya.
Pada saat itu sesuatu datang tiba-tiba. Tetesan air. Mungkinkah ini air hujan. Ternyata memang benar. Air hujan yang menghidupkan kegersangan.
Seketika daun-daun basah kuyup. Kami bertiga saling pandang. Mungkin dipikiran kita masing-masing sedang mempertanyakan, keajabaian dari mana ini? Kehidupan kembali datang. Kami semakin keheranan, saat daun-daun kuyup merekah dan di balik merekahnya muncul jamur kuping begitu banyaknya. Kami pun menyambutnya kegirangan.
Kegirangan kami semalam menghantarkan tidur terpaling nyaman. Paginya kami melanjutkan perjalanan. Semakin bertenaga menapaki pucuk gunung Wilis. Sebelum kami benar-benar sampai di puncak Wilis, kami beradu nyali dengan memanjat tebing yang di samping bawahnya jurang menganga.
Kami selamat. Lagi-lagi kami dibuat tertegun oleh keajaiban alam. Di balik tebing yang kami panjat, ternyata terhampar daratan. Keindahan daratan ini begitu elok. Di tengah-tengah daratan yang tak luas ini, terdapat sumber mata air.
“Inilah tujuan akhir pengembaraan.” Awan mengungkapkannya dalam linangan air mata.
“Apakah disinilah kita akan bertapa?” Bara masih tidak percaya dengan apa yang dilihat.
“Bukan di daratan ini. Tepatnya di gua yang tersembunyi di balik air terjun yang mengalir ini.” Telunjuk Awan ia arahkan ke pinggir tebing.
Sebelum mata air ini mengalir sampai di sungai Temburi, alur airnya ternyata melewati dua tebing. Dan masing-masing tebing di tengah-tengahnya terdapat gua. Sesuai amanat Ayahanda, mereka berdua akan bertapa di dalam gua entah hingga berapa lamanya.
“Sekarang kita perlu sesuatu untuk membungkam lubang mata air itu. Bila airnya mengalir kita tidak bakalan bisa menerjang derasnya dan singgah kedalam gua!” kegusaran Awan mendatangkan sesuatu dalam pikirku. Membungkam lubang mata air dengan batu besar di ujung itu bakalan tidak mungkin.
Namun di saat ketidakmungkinan merajai, aku menemukan sesuatu untuk mewujudkan harapan keabadian mereka. Entah gimanapun derita atau kebahagiaan yang aku dapat. Seketika itu aku dekati lubang mata air. Paruh yang selama ini menjadi perisai, tertancap tepat pada lubang mata air. Saat itulah aku pertama kali menemukan cara bagaimana mengurai air mata.
Sebelum kegelapan menghardik kesadaran, aku mendengar sesuatu yang terujar dari mereka. Semacam sumpah sebelum melakukan pertapaan.
“Sing mendudo”. Terdengar gaungnya dari gua yang terletak paling atas.
“Sing ora kromo.” Gaungnya terdengar lebih lirih.
Sing mendudo, Awan menyatu dengan sumpahnya. Sing ora kromo, penyesalan berujung keabadian Bara.
Mereka menyatu dengan alam. Gunung Wilis berkhidmat dalam kuasanya. Mengabadikan dua air terjun, “Sedudo” dan “Singokromo”.
*


*Naskah legenda ini, pernah diikutkan dalam "Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015". Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia.

Senin, 21 September 2015

Cerpen Bekakak Ngakak



 BEKAKAK NGAKAK


“Masih ingat tradisi yang diwariskan leluhur, Pak?”
Cetar. Barangkali efek itulah yang membuat kepala Pak Lurah cenat-cenut. Diderita hingga tiga malam, melek menggelantung, pada kesunyian malam. Gelisah gara-gara ungkapan Sekretaris desa. Pertanyaan yang bisa dimaknai mengingatkan sekaligus menyidir. Semenjak itu perangai Pak Lurah kusut kayak kancut.
Karepmu piye tha Bah? Lontang-lantung setiap harinya.”
“Menggalau sungguh keadaan Abah.”
“Gula-galu. Mboh, apa maksudmu. Mending berangkat ke kantor sana.”
Sang istri mulai risih dengan kemurungan suaminya. Walaupun ia tahu penyebab dari kemurungannya apa. `
Safar. Desa Amket memiliki gawe penting setiap bulan Safar. Bagaimana saat Saparan, tepatnya hari Jumat minggu kedua. Amket akan begitu riuh oleh pagelaran yang dianggap melestarikan tradisi leluhur. Berpuluh ribu orang dari berbagai macam tampang, berdiri berjubel, penuh sorak kekaguman, memadati sepanjang jalan Amket. Tepatnya jalan yang dilewati arakan Bekakak. Ya, Bekakak inilah yang membuat Pak Lurah menggalau hingga berhari-hari lamanya.
“Kalian sudah berpengalaman, dana yang dibutuhkan tidak cukup sekali menjual mobil Jazz.”
Sembari jari telunjuk Pak Lurah ditudingkan ke arah mobil mengkilap terparkir di depan kantor kelurahan. Mobil yang terbeli dengan menjual sebidang tanah warisan mertuanya. Sedangkan perangkat lain, ada enam orang dengan jabatan yang berbeda-beda. Dari awal rapat hanya terdiam menyimak di kursi masing-masing. Namun seketika itu mereka terbius telunjuk Pak Lurah, sembari menoleh dan mengangguk-angguk paham.
“Apalagi di bulan ini kita juga memiliki agenda besar. Pemilihan Wali Kota.”
“Dua-duanya sama-sama penting.” Perangkat lain mulai ikut bicara.
“Sama-sama butuh anggaran dana.”
“Tapi mengingat kas kita yang pailit, mending kita jalankan satu agenda saja.” Pak Lurah semakin putus asa. Terlihat perangkat lain yang sebelumnya khusyuk menyimak, kemudian masing-masing mata sontak memandang tajam ke Pak Lurah.
“Satu agenda. Pilih yang mana?”
Pak Lurah diam, raut mukanya semakin pucat menggalau. “Pesta demokrasi Wali Kota. Ya, itu saja. Ini penting, memilih pemimpin masa depan kita.”
“Dimana pentingnya dibandingkan menghormati leluhur? Jelas-jelas leluhur sudah nyata memberikan kemakmuran hidup kita.” Sanggah ketus terlontar dari mulut Sekretaris.
Pak Lurah merasa tertusuk dengan pernyataan Sekretarisnya. Ia begitu paham dan sangat menghormati atas apa yang dikhawatirkannya. Maka itu, ia lebih memilih mengakhiri rapat tanpa suatu jalan temu. Dari pada berdebat dengan sekretaris mudanya. Namun seusai rapat, Pak Lurah memanggil sekretaris untuk ke ruangannya.
“Apa yang memberatkan Bapak tidak menggelar Bekakak tahun ini?”
“Dana. Pasti itu? Saya tahu kondisi keuangan desa. Tapi yang saya sesalkan kenapa Bapak begitu mudahnya putus asa.”
“Tidak menggelar Bekakak samahalnya Bapak melupa perjuangan leluhur. Secara tidak langsung pula, Bapak mengundang bencana yang siap menimpa warga Amket.”
Lagi-lagi Pak Lurah terdiam. Tidak menyangkal sekalipun penjelasan sekretarisnya dari awal masuk ruangan sudah nyrocos tanpa titik.
“Lha terus harus gimana?” terlontar melas. Roman Pak Lurah terlihat semakin putus asa.
“Solusi. Sekarang itu yang kita cari. Harus menjalankan kedua-duanya, tanpa menuai beban bagi kita.” Sekretaris terlihat berpikir keras. Sesekali terdengar ketukan sepatu high hills nya.
“Nah…begini Pak. Inti dari perayaan Bekakak tak lain penyembelihan pengantin Bekakak kan?”
“He’eh.”Pak Lurah mengangguk setuju.
“Sepasang pengantin inilah yang membuat anggaran dana membengkak. Mulai dari bahan pokok yang sekarang harganya melambung akibat kegalauan BBM. Dan juga proses pembuatan yang biasa melibatkan banyak orang hingga waktunya sampai semalam suntuk. Bagaimana kalau tahun ini pembuatan Bekakak diambil alih satu orang saja?”
“Maksudmu?”
“Saya punya kenalan. Ibu pembuat jajanan pasar, terkenal rasa kue-kuenya menggiurkan lidah. Ia sangat professional dengan profesinya. Kita suruh saja dia sebagai pembuat Bekakak.”
Seusai rapat intim dengan sekretarisnya, pada sore hari, Pak Lurah bersama istri bertandang ke rumah Ibu pembuat jajanan pasar. Ketika menemuinya, Pak Lurah melakukan semua apa yang disarankan sekretaris. Mulai dari gaya ramah tamah bertamu, tanpa adanya canda-tawa, sekali bicara langsung pada inti pembicaraan, dan yang terpenting jangan sampai ada tawar-menawar harga. Kata sekretaris, tarif jualan Ibu pembuat jajanan pasar dijamin jauh di bawah tarif normal. Alias murah meriah. Memang benar, seusai sang Ibu menyanggupi pesanan, Pak Lurah cukup membayar ratusan ribu saja. Padahal anggaran ratusan ribu, sudah memenuhi semua apa yang dibutuhkan perayaan Bekakak. Boneka sepasang pengantin, pernak-perniknya, ataupun atribut arak-arakan. Namun yang membuat Pak Lurah gelisah dan bertanya-tanya dalam diam, ketika bertatap muka dengan sosok Ibu beroman datar, tidak banyak tingkah, sekali ucap terlontar kata, iya dan terima kasih. Dalam benak Pak Lurah membenarkan apa yang dimisteriuskan sekretarisnya.
“Ibu pembuat jajanan pasar tidak bisa tertawa. Banyak orang bilang ia benci keriuhan!”
*
Mak Tin dan Arum. Perempuan gila bekerja. Sejoli yang adalah ibu dan anak, tiap waktunya hanya untuk di dapur, mamasak dan memasak. Seringkali tetangganya menegur, kalau mereka sungguh keterlaluan. Seolah-olah kesempatan hidup di dunia ini, hanya untuk urusan dapur dan berburu uang. Tapi apa yang dikata tidak memengaruhi sejoli yang memiliki keahlian membuat jajanan pasar secara turun-menurun. Mereka malah cuek dan asyik dengan profesinya.
“Serius, tekun, dan hasilkan olahan menggiurkan. Jangan bikin pelanggan kecewa!”
Walaupun perkataan ibunya terdengar sengau, tidak membuat Arum gagal memaknai. Arum paham, kali ini usahanya memeroleh pesanan skala besar. Mulai jam empat subuh, ia sudah sibuk di dapur. Sembari menepis rasa dingin di musim penghujan, tak lupa ia seruput secangkir kopi sekali-dua kali.
“Pesanan Pak Lurah diambil besok siang. Sebelum terselenggaranya midodareni di balai desa.”
Pesan Mak Tin sebelum dirinya berangkat menuju pasar menjajakan dagangannya. Sepeninggal kepergian ibunya, Arum sibuk sendiri di dapur. Ia mulai kesibukannya dengan menumbuk biji ketan hingga menjadi serbuk tepung di lumpang besar, kayu nangka. Jrukk…jrukk…Seketika hawa dingin yang sebelumnya menyeruak tubuhnya, kini terhasut oleh butiran-butiran peluh bercucuran.
Arum, menyadari bahwa dirinya perempuan sepi. Dalam hidupnya tidak pernah merasakan suatu kebahagian, selain bahagia karena setiap waktu ia sukses membuat kue dan membantu ibunya bekerja. Sebenarnya ia begitu berharap, kebahagian datang dari sumber lain. Entah berwujud apa. Sejak kecil, Arum tidak dikenalkan ibunya cara tertawa itu membuat hidup bahagia. Setiap harinya, ia selalu sepi selayaknya rumah yang dihuni.
Dua jam kemudian Mak Tin pulang dari pasar. Tanpa mengenal jam istirahat, ia bantu putrinya yang sibuk di dapur.
“Adonannya sudah siap. Tinggal Emak yang bikin pasangan bonekanya.”
He’eh, Nduk siapkan gula merahnya. Gula 4 kg itu dirajang semua ya…”
Tanpa keluh kesah, Arum menyanggupi perintah Ibunya. Pekerjaanya kali ini memang terberat, dibandingkan setiap harinya. Tapi Arum menepis rasa lelahnya jauh-jauh. Sebab baginya ada suatu kebanggan, ketika ia dan sang ibu dipasrahi Pak Lurah untuk membuat keperluan pagelaran Bekakak.
Di luar rumah sepi, alam meraya senja di musim hujan. Berbinar temaram jingga mengaura indahnya langit. Arum sudah menghabiskan beberapa jam untuk merajang gula merah yang digunakan selai dari boneka Bekakak yang dibuat ibunya. Gula merah ini nantinya akan mencair seperti aliran darah, ketika boneka Bekakak disembelih saat prosesi tumbal Bekakak digelar.
Adzan maghrib terdengar dikumandangkan. Arum beranjak dari dapur menuju sumur untuk berwudlu. Sebelum menunaikan sholat, Arum dibuat tercengang akan fenomena yang ternyata mampu membuat perubahan hidupnya. Seketika itu, ia menemukan hidupnya terang dan berbinar. Kemudian Arum mengetahui sejatinya cara tertawa. Dari hatinya yang sekian lama sepi, tercengang menyala. Ia benar-benar merasakan nikmatnya kebahagian dari tertawa. Bagaimana bermula dari ibunya, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tertawa melihat pasangan boneka Bekakak yang dibuat tertukar kepalanya. Kepala laki-laki di tubuh perempuan, dan sebaliknya. Saat itu, Arum mengetahui kalau tawa ibunya, semerdu sholawat surga. Gemanya menghadirkan kedamaian di lubuk hati.
Mak Tin. Akhirnya kembali menemukan hasrat tawanya setelah sekian tahun tidak mampu menemukan cara tertawa. Semenjak menyaksikan langsung penyebab kematian sang suami. Menuai ajal, hanya gara-gara tersedak butiran pentol bakso.
*




Rabu, 19 Agustus 2015

BUKAN LAGI PANTANGAN, BEKERJA DI LUAR GELAR AKADEMIK


BUKAN LAGI PANTANGAN, BEKERJA DI LUAR GELAR AKADEMIK*


Menganggur setelah lulus kuliah? Ohh, Tidak!!!
Seringkali nasib seperti itu dialami oleh sarjanawan/wati seusai kelulusan. Sejatinya menganggur bukan suatu pilihan bagi fresh graduate. Dinyatakan lulus kuliah, harapannya langsung mendapatkan pekerjaan layak, lembaga pekerjaan bonafide dan bergaji tinggi. Akan tetapi, bagaimana kalau hal itu tidak sesuai ekspektasinya? Alias seusai kelulusan menjadi pengacara, pengangguran banyak acara. Pastinya banyak cara yang dilakukan sarjanawan untuk menyikapinya. Sebab stereotip yang ada di masyarakat, sarjana menganggur adalah aib! Aib yang dijulukan kepada sarjanawan itu sendiri, keluarga ataupun kampusnya. Wajar saja seribu alasan dijadikan alibi ketika ditanya, “Sudah lulus kok belum kerja?”
Stereotip seperti itu bisa hilang di masyarakat, bilamana tahu dan mau menyadari peliknya polemik yang ada di dunia pekerjaan. Saat proses perekrutan tenaga kerja, lembaga pekerjaan tidak akan begitu mudahnya menerima pelamar. Pastinya banyak syarat dan pertimbangan yang dijadikan alasan lembaga untuk memperkerjakan pelamar. Entah mulai lengkap tidaknya berkas administrasi pelamar, etos kerja dan perilaku pelamar yang tidak koheren dengan visi-misi lembaga, ataupun pengalaman minim dan tidak mempunyai skill di bidang pekerjaan yang dilamar. Seringkali polemic inilah yang menjadikan alasan kenapa lembaga pekerjaan sulit menerima tenaga kerja baru, sehingga menyebabkan sarjanawan menganggur seusai kelulusan.
Jika demikian, lalu bagaimana solusi cerdasnya? Niat, nekat, selalu berdoa dan percaya diri dengan skill yang ada di dalam diri. Kesampingkan dulu niatan bekerja sesuai gelar yang diraih. Dengan kemampuan skill diri, sarjanawan bisa melamar pekerjaan di luar gelar akademik. Karena pada dasarnya masing-masing lembaga perusahaan tidak selalu pakem dengan gelar akademik ketika memperkerjakan tenaga baru. Jurusan perkuliahan tidak dipermasalahkan, asalkan memiliki skill dan semangat progres tinggi terhadap tanggung jawab pekerjaan yang akan diemban.
Sebagaimana PT Swevel Universal Media, salah satu perusahaan yang menerapkan prinsip perekrutan tenaga kerja tidak harus sesuai dengan gelar akademik. “Bagi perusahaan kami gelar akademik bukan masalah, terpenting memiliki bakat sesuai misi perusahaan.” Diutarakan Rika, selaku HRD PT Swevel Universal Media. Rika juga menambahkan penyebab banyaknya fresh graduate mengagur dan gagal untuk mendapatkan pekerjaan, juga disebabkan factor kurangnya wawasan pelamar di bidang pekerjaan yang akan diambil. Wajar saja bila selama mengikuti proses pelamaran pekerjaan banyak lembaga yang tidak menerimanya. Untuk itu disarankan Rika untuk memperbanyak relasi dan wawasan tentang dunia pekerjaan terutama yang sesuai dengan skill yang dimiliki.
Sudah sewajarnya ketika sarjanawan duduk di bangku perkuliahaan tidak hanya focus terhadap tugas kuliah. Memperkaya pengetahuan sedini mungkin berkaitan pekerjaan yang akan diambil setelah lulus kuliah, akan menjadikan sarjanawan lebih siap dan tertantang ketika menghadapi dunia pekerjaan. Tidak aka nada lagi wacana menganggur setelah lulus kuliah. Hal ini seperti apa yang diungkapkan Gita, seorang fresh graduate akuntansi UGM yang diwawancarai tim redaksi saat menunggu konsultasi pekerjaan di kantor ECC UGM. Bagi Gita memang mencari pekerjaan sesuai gelar akademik cukuplah sulit, namun kemudian tidak menjadikan alasan pelamar untuk mau mencoba melamar pekerjaan di luar dunia akademiknya. Asal pelamar mampu untuk menjalaninya, kenapa tidak dicoba. Sukses tidaknya seseorang dalam dunia pekerjaan bukan dilihat dari pangkat, gaji besar, perusahaan bonafide, akan tetapi dari bahagia tidaknya ketika menerima target pekerjaan yang harus diselesaikan sesuai deadline, entah sesulit apapun target yang harus diselesaikan.
Apapun jenis pekerjaan seseorang, asalkan sesuai dengan skill dan mau menghadapi tantangannya akan jauh lebih professional dibandingkan pekerjaan yang berjabatan tinggi tetapi tidak berbakat mengembannya. Bekerja tidak harus berkerja di lembaga orang lain. Mampu menciptakan lahan pekerjaan sendiri malah wujud dari apresiasi akan bakat diri. Untuk itu, didalam mencari pekerjaan tidak harus sesuai gelar akademik yang diraih. Bekerja sesuai skill jauh lebih menantang, motivasi kerja semakin membara dan pastinya bakat akan semakin terasah. Dijamin tidak akan ada lagi wacana menganggur seusai kelulusan.

Selasa, 30 Juni 2015

Mobil Morgan Aero 8, Semenawan Mobilitas Anak Muda

Mobil Morgan Aero 8, Semenawan Mobilitas Anak Muda






Ketika anak muda berdamai dengan dunianya; kreativitas, inovasi, dan progress menyongsong masa depan akan terilustrasi begitu menawan dan membanggakan. Impian anak muda tidak lain masa depan peradaban bangsa. Namun, bagaimana dengan alur impian anak muda yang berkeinginan memiliki mobil mewah di usia mudanya?

Tanpa perlu bernegosiasi dengan usia dan kedewasaan, hal itu tidak lain dari karakter anak muda. Ketika anak muda memiliki impian tidak ada sebab musabab yang dapat menghalangi terwujudnya sesuatu yang diimpikan. Segala apa yang dicita_citakan akan begitu saja tergagas, dikejar entah bagaimana pun jalannya, sampai tidak mengenal jera dan putus asa sebelum impiannya benar_benar terwujud di depan mata. Sebab masa muda masa menanamkan sejuta cita. Masa muda masa mengeksplorasi bakat diri. Masa muda masa mengklarifikasi jati diri sesungguhnya. Jadi bukan perihal omong kosong ketika anak muda ditanya apa yang dicita_citakan? Kemudian terdengar jawaban selantang semangatnya, menjadi ‘Presiden’! Apalagi cita_cita memiliki mobil mewah, itu perihal wajar. Mobil baru sebaru si juling Morgan Aero 8, yang pertama kali dikenalkan public di ajang “Geneva Motor Show 2015, Swiss” awal tahun lalu.

Gila bukan? Tentu tidak. Malah hal ini menjadi tantangan spektakuler bagi anak muda. Dari impiannya yang sebagian orang akan menilai jauh dari kewajaran, lantas tidak bakalan meredupkan semangatnya. Ego mudanya malah semakin membara dan berambisi. Untuk itu, jangan sekali_kali mengejek atau merendahkan cita_cita yang digagas anak muda. Kalau tidak ingin dipermalukan. Sebagaimana sejatinya anak muda yang memiliki visi dan misi agent of change, tidak ada hal sulit untuk memimpikan sesuatu. Namun tentu saja, karakter anak muda seperti ini bukan karakter anak muda madesu alias hobi berfoya_foya untuk menghabiskan masa mudanya. Pastinya anak muda yang berakademis dan selalu bergairah positif setiap menapaki jalan hidupnya.

Lantas bagaimana Morgan Aero 8 menjadi mobil impian? Sebetulnya kenal pertama kalinya dengan mobil ini, lewat postingan akun show room mobil baru dan mewah yang ada di lapak IG. Ternyata akun ini begitu update memosting mobil_mobil berkelas dunia. Sekitar bulan April, tanpa sengaja menemukan akun ini memosting potret Morgan Aero 8 disertai ilustrasinya. Sekali melihatnya naluri berkata, “Ini mobil idaman. Ini mobil yang layak diimpikan. Dan aku harus memilikinya!” Seketika itu, hasrat ingin mengetahui latar belakang Morgan Aero 8 semakin tidak tertahan. Dengan meminta bantuan Mbah Google, ditemukan banyak sekali beberapa situs yang mengupas seluk_beluk si juling. Ya, Morgan Aero 8 ternyata memiliki julukan si juling. Mobil eksotik dan menawan ini dijantungi mesin V8 BMW dengaan menghasilkan tenaga 270Kw dan torsi 490Nm. 

Apalagi yang paling disuka dari si juling ini adalah bodinya yang sungguh, aduhai. Bagaimana perusahaan Morgan Motor di Inggris ini, mengeksplorasi bodi Morgan Aero 8 tidak lepas dari leluhurnya. Sekali memandangnya, estetika seninya terkesan nyentrik dan elegan. Bagaimana nilai klasik dari mobil Kodok atau VW, sebagai leluhur yang menginspirasinya masih terepresentasi pada sosok Morgan Aero 8. Lantas dimana kesan menawannya? Sisi depan yang memperlihatkan mata juling LED_nya. Bagian bodi belakang, pantatnya begitu menawan selayaknya mobil kodok. Dan juga, Morgan Aero 8 ini difasilitasi atap buka_tutup. Interiornya pun tidak kalah dengan mobil_mobil sport lainnya. Dashboard serba teknologi modern dan dilapisi karpet kulit cokelat yang menambah estetiknya. 

Mengimpikan Morgan Aero 8, sebanding dengan cita_cita anak muda. Ya, barangkali seperti itulah analogi rasionalnya. Memang realitasnya di usia muda sekarang ini belum kesampaian membeli mobil semenawan Morgan Aero 8 dan kemudian menungganginya keliling keramaian kota. Mobil bekas pun barangkali juga Cuma isapan jempol. Lhawong, biaya hidup di pekuliahan saja masih menggantungkan suplaian orang tua. Lantas tidak menjadi alasan juga membungkam impian untuk memilikinya. Sekarang cukup mengimpikannya dan menyandingkan impian itu pada prestasi dan kompetensi yang dimiliki diri. Apalagi impian tidak harus dibeli dengan uang. Selalu yakin dan berpikir positif bahwa kerja keras di usia muda, tidak lain akan menuai keberhasilan terwujudnya cita_cita di masa mendatang. Selagi masih ada impian dan usaha untuk mewujudkannya, kesuksesan tidak akan diam. Pasti jalan dan petunjuk akan menghantarkan pada labuhan cita-cita. 

Morgan Aero 8, tidak akan hilang dalam impian. Biarlah masa yang mempertemukan. Bertemu atas kepemilikan dan merawatnya sebagaimana merawat masa depan. Biarpun kini harga mobil Morgan Aero 8, sebanding dengan harga total sejumlah sawah dan rumah orang tua. Namun tidak terbersit sekalipun, mengelabuhi orang tua untuk menjual harta bendanya demi memiliki Morgan Aero 8. Kesuksesan yang akan membelinya. Masa akan melaju sesuai peradaban. Dan kau, Morgan Aero 8, akan terbeli selayaknya harga murah di lapak www.rajamobil.com.   

Morgan Aero 8, memilikinya bersama cita_cita, mengendarainya dengan tenaga masa depan gemilang, dan sampai pada titik yang dinamai, Kesuksesan!  




Sumber referensi: 

* “Morgan Aero SuperSport , Jiwa Modern Dalam Bodi Klasik” (http://aptamobil.blogspot.com/). Diakses 28 Juni 2015.

*”Wajah Baru Aero 8, 'Si Juling' Tampil Lebih Kece” (http://www.viva.co.id/). Diakses 28 Juni 2015

*” Mobil 'Made in Indonesia' Didorong 100% Lokal ” (http://www.rajamobil.com/). Diakses 28 Juni 2015.

 

       

Jumat, 12 Juni 2015

ANAK MUDA BERTANYA, MUSEUM MENJAWAB


ANAK MUDA BERTANYA, MUSEUM MENJAWAB!



(Pic by Darmuseum)



Museum, berdedikasi mengabadikan benda purbakala.
Museum, mengklarifikasi kebenaran suka-duka sejarah bangsa. 
Museum, mengilustrasikan masa lampau, masa kini, dan masa depan suatu peradaban.
Museum, tidak lain dari destinasi rekreasi edukasi yang paling mengasyikkan.
Akan tetapi, semua itu tanpa ‘Anak Muda’, bakalan penuh dengan kesiasiaan. Sehingga segala fungsi, makna dan keluhuran Museum tidak ubahnya bangkai, mati, yang tidak mampu bercerita!

Peran Anak Muda sebagai agent of change, merupakan motif utama pelestari Museum yang ada di Indonesia. Kenapa harus Anak Muda? Anak Muda memiliki masa depan yang terbentang luas; semangat juang Anak Muda tidak lain dari pahlawan masa kini; impian Anak Muda menorehkan peta peradaban yang progresif dan bernas keluhuran nasionalisme. Sebab itu, Museum di genggaman Anak Muda merupakan langkah komprehensif yang harus dicanangkan oleh pemerhati Museum.

Memang disadari realitasnya, tidak mudah mempraktikkan langkah tersebut. Perlu niatan besar dan strategi yang cerdas agar imbasnya tepat pada misi besar, untuk apa Museum didirikan. Strategi cerdas yang dimaksudkan berkenaan dengan pengelolaan. 

Mengelola dan melestarikan Museum, agar megah dan menarik dijadikan destinasi utama dalam berekreasi edukasi, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Anggaran dana, mesti menjadi alasan klasik kenapa perawatan terabaikan. Lagilagi pengelola Museum yang akan disalahkan. Padahal, perihal dana tidak sederas terguyurkan dari atasan. Donasi pengunjung pun bakalan tidak mencukupi kebutuhan revitalisasi. Apalagi donasi bisa sangat menyedihkan, bagi Museum yang berskala pribadi/swasta. Inilah realitas birokrasi Museum yang kita temui di Negara ini. Menuntut serba kelayakan, tetapi miskin kesadaran akan rasa layak!

Bagaimana solusinya? Strategi cerdas pengelolaan Museum jawabannya. Tanpa guyuran derasnya dana, sebetulnya problematika seperti itu bisa diatasi. Asalkan pemerhati atau pengelola Museum dengan gigih menuangkan gagasan strategisnya. Dimulai dari program revitalisasi. Sebetulnya tidak hanya bangunan Museum, pengelola Museum juga layak direvitalisasi. Dalam hal, kesadaran akan profesinya, niatan, tanggung jawab dan semangat kerja kerasnya. Karena pada dasarnya, merawat Museum beserta isinya, samahalnya merawat organ tubuh masa depan anak cucunya. 

Bagaimana menarik daya pengunjung Museum?  Hal ini barangkali menjadi polemic utama pengelola Museum. Mengingat, Museum didirikan untuk mengabadikan, mengenang dan membelajarkan. Tanpa pengunjung, Museum tidak ada kehidupan. Tidak ada pundi_pundi untuk merevitalisasi benda_benda yang dimuseumkan. Solusinya, perlu kiranya pengelola Museum untuk berkorelasi dengan Anak Muda.                                                                                             Menjalin kerjasama yang samasama diuntungkan. Kerjasama yang jauh dari aspek kapitalis, tetapi menghadirkan pembelajaran yang berkarakter nasionalis bagi Anak Muda. 

Pencanagan program pengenalan Museum ke sekolah. Secara suka rela pengelola/pemerhati Museum mendatangi sekolah untuk mengenalkan dan membelajarkan langsung benda_benda yang dimuseumkan. Sehingga diharapkan siswa memiliki ketertarikan dan keingintahuan untuk berkunjung ke Museum. Seperti di Yogyakarta yang memiliki berpuluhpuluh Museum. Namun sayangnya, bila disurve hanya beberapa siswa yang tahu nama dan keberadaan Museum dikotanya. Penyebabnya minimnya publikasi. Adanya publikasi langsung ke lapangan, dapat menanamkan rasa cinta dan kepeduliaan siswa terhadap Museum. Bila sudah cinta, dijamin tidak ada lagi stereotip Museum sebagai bangunan angker, seram, kumuh atau gaptek.

Menjadikan Museum sebagai sarana pendidikan bangsa. Museum di Perancis, tidak sekedar menjadi tempat mengabadikan benda bersejerah. Tempat siswa untuk mengenal lebih dekat dan riil bagaiman proses sejarah bangsanya serta benda peninggalannya. Bilamana hal ini diterapkan di Indonesia, misalnya dengan mengaitkan program kunjungan Museum dalam kurikulum pembelajaran. Menjadikan pembelajaran sejarah tidak sekedar belajar teori, namun praktik langsung dengan mengunjungi benda purbakala di Museum pastinya menjadi pengalaman berarti. Dalam repertoar siswa yang namanya 
study tour bukan lagi hurahura di pantai, melainkan Museum destinasi tepatnya. Bila terealisasi, misi besar Museum Indonesia di bidang pemeliharaan, riset, edukasi dan rekreasi tidak sekedar menjadi buah tulisan. 


Museum selayaknya kafetaria. Tempat belajar mengenal benda purbakala selayaknya tempat mengenal sajian menu makanan eropa. Tempat menyimak cerita bersejarah selayaknya tempat mendengarkan irama music. Tempat merenungkan kerja kerasnya pejuang bangsa sebagaimana menggalaukan cita_cita yang diimpikan. Tempat untuk mengenang nama_nama leluhur sebagaimana mengenang kembali, “Hari Museum Internasional 2015”.

Sejarah pengetahuanku, Museum di hatiku…… :)