Minggu, 08 Agustus 2010

“Bahasa Iklan: Efek persuasif Iklan, Terhadap Budaya Konsumsi Masyarakat”

Oleh; Moh. Badrus Solichin.

Iklan adalah suatu penawaran sebuah produk barang atau jasa dari sebuah perusahaan (penyaji iklan), yang ditawarkan kepada masyarakat lewat media massa dengan menggunakan bahasa persuasive dan komunikatif, yang dapat mempengaruhi dan mengubah budaya konsumsi masyarakat terhadap pola hidupnya.
Di dalam dunia pemasaran kita kenal iklan sebagai salah satu sarana utama untuk mempromosikan atau memperkenalkan sebuah produk baru kepada masyarakat, baik melalui radio, koran, reklame maupun televisi yang sehari–hari menjadi konsumsi hiburan utama masyarakat, yang dengan setia mereka selalu mengikuti sajian–sajian televisi yang sebenarnya tayangan tersebut mengandung unsur–unsur penipuan, pembodohan secara tidak langsung. Tetapi dengan senangya mereka menikmati penipuan di balik layar itu. Iklan di televisi lebih dominan bermunculan keberadaanya di bandingkan acara inti yang di sajikan televisi, misalnya saja iklan sabun mandi yang bermunculan di sela–sela seriusnya acara sinetron dengan seenaknya sendiri tiba–tiba memotong alur tayangan sinetron tanpa ada izin dulu ke penonton. Kemudian dengan durasi satu menit beralih ke iklan politik, dengan PD-nya para politikus mengungkapkan janji – janji palsunya di depan kalayak umum. Kebanyakan semua jenis iklan dalam mempromosikan produknya mengandalkan kekuatan utama yaitu Bahasa, baik mengandung unsur persuasif maupun komunikatif. Kedua unsur bahasa itu digunakan sebagai alat mengkomunikasikan tujuan – tujuan iklan yang akan ditawarkan kepada masyarakat, yaitu melalui olah bahasa dan permainan bahasa persuasive, provokatif lewat kata – kata dan membentuk kalimat advertising yang dapat berefek terhadap pola pikir dan budaya konsumsi masyarakat.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer (mana suka), yang digunakan oleh sekelompok social untuk berkomunikasi dengan orang lain, bekerja sama dan untuk mengidentifikasikan diri. (Anita W)
Samsuri mengatakan, Bila orang asing berbicara dengan kita dengan menggunakan bahasanya yang tidak kita pahami, maka pertama–tama bahasanya akan kita dengar berbagai bunyi yang berselang–seling dan rumit sekali untuk kita pahami maknanya. Dan apabila sedikit demi sedikit kita sering mengenalnya, maka bunyi–bunyi itu akan makin jelas dan dengan secara tidak langsung kita akan tau makna bunyi tersebut. Sebaliknya bahasa iklan juga mengalami proses komunikasi seperti itu, semakin sering kita dengar, lihat bahasa sebuah iklan , maka semakin pula terpengaruh dan penasaran dengan iklan yang ditawarkan. Didalam bahasa iklan tidak akan terasa bermakna apa–apa, apabila bahasa yang digunakan tidak sepersuasif dan sekomunikatif mungkin, meskipun memanfaatkan citraan visual, desain gambar, musik yang indah dan canggih. Dikatakan oleh Daniel Dakhidae (1997), bahwa pemakai bahasa akan memilih jenis kata–kata tertentu di dalam berkomunikasi dengan orang lain. Di dalam pemakaian kata, kadang – kadang bisa menunjukan identitas si pemakai bahasa itu, apa tujuan dan maksud pemakai bahasa itu. Kemudian Arifin menjelaskan, bahasa yang digunakan dalam iklan tidak sama dengan bahasa yang di gunakan orang dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal sehari – hari, dapat diciri –cirikan bahasa iklan: (1) bahasa iklan lebih singkat, padat dan menarik, (2) bersifat komersial, (3) bersifat persuasif. (1983; 1)
Dalam dunia advertising, iklan dikenal sebagai kegiatan promosi barang atau jasa melalui media massa.Dan di kalangan praktisi bisnis, iklan difungsikan sebagai perangsang sekaligus pembentuk perilaku konsumen. Di sini iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi untuk menginterpretasikan kualitas produk barang atau jasa, yang di sesuaikan dengan selera masyarakat. Dengan kata lain sebenarnya tujuan iklan adalah (1) untuk menarik perhatian calon konsumen, (2) untuk menjaga atau memelihara (brand image), agar terpatri dalam benak masyarakat, (3) mampu mengiringi citraan tersebut hingga menjadi perilaku konsumen. (Yuliyati)
Mari kita cermati bahasa iklan berikut:
1. “simPATI, Satu Untuk 1001 Keinginan.”
2. “NGGAK USAH MIKIR????
PAKE XL PASTI TERMURAH.”
3. “Kartu AS, Sekarang Isi Ulangnya Makin Murah!!!”
Kita analisis bahasa iklan yang di gunakan tiga iklan vocher telpon di atas. Iklan (1) memanfaatkan bahasa persuasif yang penuh dengan imajinasi, yaitu memberikan kemudahan bagi penelepon dengan hanya meggunakan satu kartu telpon, pengguna dapat mudah menelepon lebih dari satu keinginan berkomunikasi kesesama penelepon lainya. Iklan (2), memanfaatkan bahasa persuasif dan komunikasi efektif, yaitu iklan tersebut meyakinkan kepada pengguna kartu XL, kalau telpon dengan menggunakan kartu XL pasti biaya telpon lebih murah tanpa harus berpikir panjang biaya yang akan dikeluarkan per-detik dan menitnya saat proses telpon berlangsung. Demikian pula dengan iklan ke (3), bahasa persuasif dimanfaatkan untuk pengguna pelanggan kartu AS, mulai sekarang pengisian pulsa prabayar lebih murah dari harga sebelumnya.
Penyaji iklan pada umumnya memanfaatkan bahasa persuasif dalam mempromosikan sebuah iklan, kebanyakan bahasa yang digunakan bersifat tidak langsung. Karena jika menggunakan persuasif langsung (ungkapan), maka bahasa tersebut tidak akan efektif dalam mempengaruhi konsumen. Dengan kata lain, iklan pada dasarnya mempunyai tujuan tersembunyi di dalam proses mempromosikan sebuah produknya.
Persuasif sendiri berakar dari orientasi dua nilai, yaitu salah-benar dan baik–buruk. Sedangkan orienatasi nilai sendiri tergantung pada kata dan rasa, karena unsur perasaan dan nilai kata sangat mempengaruhi makna sebuah kata. Dari tiga contoh iklan diatas tadi, penyaji iklan disamping menggunakan bahasa persuasif dan komunikatif, secara tidak langsung penyaji juga memanfaatkan citraan didalam menginterpretasikan sebuah iklan. Karena citraan tersebut memberikan dampak keberhasilan tujuan iklan dipromosikan. Citraan memiliki peran sentral dalam membangun makna iklan agar lebih mendalam arti pemaknaanya bagi konsumen. Selain berfungsi mengembangkan pikiran konsumen, citraan juga dapat menjadikan konsumen seolah – olah merasakan, dan timbulah hasrat untuk mencoba dan mengalaminya. Sehingga penyimak iklan akan terhanyut dan terbawa nafsunya untuk mecoba. Pencitraan dalam iklan pada umumnya menggunakan pembuktian-pembuktian terbalik melalui metafora, yaitu symbol akan melekat kuat – kuat di benak penyimak dan dari situlah timbulah brand image. Fungsi iklan sebagai pemelihara citra atau pembentukan brand image, berdampak sangat besar terhadap cara berpikir masyarakat, selanjutnya berproses mengubah perilaku dan membentuk gaya hidup dan akhirnya akan membentuk budaya konsumsi didalam masyarakat.
Iklan mencitrakan produk yang disimulasi, artinya citraan dalam iklan tidak merujuk kearah realita kenyataan social didalam pola hidup masyarakat, tetapi mengarah keaspek memanipulasi konsumen, yaitu dengan dibujuknya konsumen untuk meniru, dari tiruan kepalsuan. Iklan adalah sebuah permainan, permainan isyarat atau kode yang berefek besar terhadap para calon konsumen, baik konsumen yang memiliki status sosial tinggi maupun konsumen yang memiliki status rendah. Abdul Chaer membagi status sosial didalam masyarakat berdasarkan dua segi, yaitu; (1) status sosial ditinjau dari segi kebangsaan: Priyayi, Wong cilik, dan kaum buruh. Yang ke (2), status sosial yang dapat ditinjau dari segi kedudukan sosial: Pendidikan, ekonomi. (2004; 39)
Barang atau jasa yang ada didalm masyarakat memiliki nilai strata kedudukan tersendiri, yaitu merk barang yang memiliki nilai harga tinggi (mahal) dipasaran, maka kedudukanya lebih tinggi, dibandingkan dengan merk barang yang memiliki nilai harga rendah (murah) dipasaran, yakni memiliki kedudukan lebih rendah. Misalnya saja, merk mobil BMW memiliki nilai status harga lebih tinggi, dibandingkan merk mobil Kijang yang memiliki nilai status dibawah merk BMW, walaupun keduanya sama–sama memiliki roda empat. Artinya setiap benda juga memiliki nilai status didalam sosial masyarakat, dan tentu pula memberikan status tersendiri pada pemakainya. Dengan demikin dapat dikatakan bahwa budaya konsumen adalah budaya yang memandang dunia materi dan benda–benda sebagai penentu sosial (alias Matrealisme), dan juga dapat dikatakan kesuksesan, kemuliaan dan identitas seseorang dapat diukur dan dilihat dengan sebidang materi atau kekayaan semata. Kebutuhan hidup individu sendiri dikendalikan oleh logika hasrat dan social. Akibatnya masyarakat berlomba–lomba untuk memenuhi nafsu, yang tak terpuaskan dengan mengkonsumsi ataupun memiliki barang lebih dari satu keinginan, yang dapat menyebabkan manusia kehilangan identitas dirinya dan hidup tanpa memedulikan kehidupan orang yang kurang berkecukupan dalam memmenuhi kebutuhanya sehari – hari.
Gambaran budaya konsumen tersebut nampaknya sudah melekat dengan budaya konsumsi masyarakat. Di Negara Indonesia sendiri budaya konsumen seperti itu sudah membudaya di linkungan social masyaraka, baik di masyarakat bersetatus tinggi maupun bersetatus rendah, dan itu sudah merupakan suatu hal yang dianggap biasa di masyarakat. Dan dari budaya tersebut menimbulkan dua dampak positif dan negative baik dari segi ekonomi, social maupun budaya bangsa. Dampak positif misalnya perkembangan teknologi semakin pesat, maraknya pembangunan perumahan elit, dan munculnya beton–beton bertingkat di perkotaan. Dan dilain sisi positif juga munculnya dampak negatif, yaitu timbulnya gaya hidup yang kebarat-baratan, serba glamour dan budaya konsumtif yang sudah melekat di masyarakat dan timbulnya kejahaatan yang dilakukan orang berekonomi kelas bawah, karena akibat rasa iri dengan kekayaan materi yang dimiliki orang berekonomi lebih.
Kondisi budaya konsumsi masyarakat yang seperti itu, perlu dipikir dan direnungkan dengan sungguh-sungguh oleh seluruh elemen bangsa ini, baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Dan peran utama Pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini, Pemerintah perlu menata ulang kebijakan-kebijakan dari awal, terhadap tatanan perekonomian, social, pendidikan dan khususnya politik yang diterapkan Negara Indonesia demi kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa. Sedangkan peran masyarakat sebagai penggerak kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah, harus memiliki nilai kesadaran yang tinggi dalam menjaga dan melestarikan budaya asli Indonesia serta menanamkan nilai-nilai pancasila dalam bermasyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar