Minggu, 08 Agustus 2010

“ LOVE in PESANTREN ”

oleh: Midun Aliassyah*

Ayam bekisar jantan di sela-sela adzan subuh berkumandang dengan gaungnya, menggema kesepian dengan seruan Takbir terdengar dari Masjid Pesantren Al-Halim. Membuat suara terdengar indah, mendayu alunan gema Takbirnya, masuk kedalam celah-celah kecil pondokan santri.
Terlihat disalah satu kamar pojok, yang berukuran 3x4 meter berpenghuni tujuh manusia pengembala kitab kuning tiap harinya, masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah yang menemaninya menuju dunia maya.
“Bangun, bangun!! Subuh kang, subuh ….”
Anas membangunkan satu-persatu teman sekamarnya. Anas bisa dikatakan santri Alim, diantara keenam teman sekamarnya. Sikap kedewasaan dalam bertingkah laku, berpikir cerdas dan beramanah menyebabkan ia disegani santri-santri lainnya, karena kecerdasannya dalam menghafalkan kitab Im’riti dan Alfiyah dengan sempurna dibandingkan santri seumurannya, terlebih lagi melebihi kecerdasan santri seniornya.
Sosok Anas tidak hanya terkenal kecerdasannya dikalangan santri-santri putra, dikalangan santri putripun mengenalnya sebagai santri putra yang alim. Bahkan nama Anas juga sudah dikenal baik orang-orang Ndalem. Abah Yaipun mempercayai kecerdasannya, sehingga ia dipercayai untuk mentafsirkan kitab ilmu Fiqih kepada santri junior tiap seminggu dua kali.

♣ ♣
Air Gemericik terdengar suara dengan alunan nadanya. Molekul-molekul air terlihat akan sinarnya, bak mutiara intan di dasar Samudera Hindia. Penuh dengan kemilau cahya suci di raut wajah para santri, yang telah membasuh muka dengan air wudlunya.
Muadzin telah mengumandangkan ikhomah, pertanda rutinitas Sholat Subuh akan dilaksanakan. Kemudian terdengar suara sang Imam melantunkan surat Al-Fajar di rokaat pertama. Dibacakan Abah Yai dengan penuh khidmat, kefasehan tajwid dan lagunya, membuat hati para santri yang ada pada baris makmum terhenyak dari rasa kantuk yang masih melekat dari tidur malamnya.
Jama’ah subuh telah usai. Dari ufuk timur, sang Surya malu-malu menampakkan wujudnya, dengan sinar ultraviolet kehangatan yang akan siap menelanjangi semesta beserta isinya dari kegelapan malam yang mulai pudar kesunyiannya.
Semua santri putra dilarang meninggalkan masjid Al-Halim, karena Abah Yai akan memberikan Tauziyah subuh di serambi masjid. Tauziyah subuh diberikan tiap harinya, untuk mengawali serangkaian kegiatan mengaji kitab kuning di pesantren Al-Halim, baik yang dilakukan santri putra maupun santri putri dengan para ustad-ustadzahnya.
Tauziyah subuh, wajib diikuti semua santri. Bagi santri yang tidak mengikuti tauziyah subuh tanpa alasan yang jelas, akan dikenai sangsi. Hukuman ditentukan oleh pihak masing-masing pengurus asrama. Macam hukuman yang diberikan kepada santri, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Misalnya saja Hukuman yang diberikan pengurus asrama putra, terhadap santri yang tidak mengikuti tauziyah subuh. Santri diperkerjakan untuk membersihkan kamar mandi dengan menguras airnya dan membersihkan kamar mandi dari lumut, hingga kelihatan bersih dari kotoran. Sebaliknya, dilingkungan asrama santri putri, hukuman bisa berupa mencucikan piring – piring kotor seluruh santri putri yang berjumlah 90 orang dalam satu hari tiga kali makan.
Suasana masjid Al-Halim telah ramai dipadati para santri yang sudah siap untuk mendengarkan tauziyah yang diberikan Abah Yai kali ini. Subuh ini Abah akan menyampaikan tauziyahnya yang bertemakan tentang cinta, yaitu kisah kecintaan Rasulullah kepada istrinya Siti Khadijah, sama dengan kecintaan Rasulullah kepada agama Islam yang dibawanya dan para umat muslimnya.
Para santri dengan antusias mendengarkan perkataan yang keluar dari mulut sang kiai sepuh yang amat disegani, di kalangan pendiri pesantren salafiyah. Karena kelebihan yang ada pada Beliau sejak umur empat tahun, sudah mampu menghafalkan Ayat Al-Qur’an, mulai juz satu sampai lima, hingga menjelang umur sembilan tahun Beliau dapat menghafalkan 30 juz ayat suci Al-Qur’an dengan jumlah 114 surat yang tergolong Makiyah dan Madaniyah. Di usia tuanya yang menginjak angka 90 tahunan, penglihatan Beliau masih tajam, terbukti pada saat membacakan kitab kuning, Beliau membacanya tanpa menggunakan bantuan kaca mata, dan ada keistimewaan lagi pada diri Abah Yai, Beliau masih kelihatan segar bugar dan energik, walaupun keriputan mulai tampak di wajah Beliau.
Begitu Abah Yai usai menyampaikan tauziyahnya, Abah memberikan waktu para santrinya, untuk menyampaikan tanggapan dan sanggahan atas tauziyah yang Beliau sampaikan.

♥ ♥
Dialog Abah antar santri berjalan dengan baik. Serasa puas Dialog pagi ini, Abah memberikan kesempatan terakhir pertanyaan kepada santri putra.
Anas memberanikan diri untuk mengangkat tangan kanannya, agar ia dipanggil sebagai penanya penutup,pada kesempatan tauziyah pagi ini.
“Iya, nak Anas silahkan menyampaikan Tanggapannya.” Abah mempersilahkan Anas untuk mengutarakan pertanyaan.
“Assalamualaikum….” Anas mengawali dengan salam pembuka.
“Waalaikum Salam….” sahut para santri lainya.
“Abah, Saya mau Tanya” sapa Anas kepada Abah Yai. “Bagaimanakah Rasulullah begitu tega meninggalkan istri tercinta dan keluarganya, demi kepentingan perang yang biasanya memakan waktu berhari-hari, bahkan bisa saja 12 bulan lamanya dan nyawa sebagai taruhannya. Sedangkan kita lihat fenomena Rumah tangga yang terjadi sekarang ini atau bisa juga terjadi dijaman Rasulullah dulu. Misalnya seorang istri ditinggal suaminya pergi keladang rantauan, demi mencari nafkah keluarganya. Tiba-tiba pulang dari rantauan, sang suami mendapati istrinya selingkuh dan hamil diluar sepengetahuannya. Apakah Rasulullah dulunya tidak takut seperti kisah itu?”
Anas memberikan pertanyaan kepada Abah Yai begitu panjang dan mudah dipahami.
“He, Hem…. Sebelum saya memberikan jawaban atas pertanyaan nak Anas tadi, kira-kira adakah dari santri putri yang memberanikan diri untuk menjawab, karena pertanyaan ini berkaitan juga dengan kaum calon Istri.” Abah melemparkan pertanyaan kepada santri putri.
“Silahkan, kalau ada yang pengen mencoba menjawab.”
Belum ada satupun santri putri, yang memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan, yang ditawarkan Abah Yai.
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari salah satu santri putri.
“Assalamualaikum…. Abah saya akan mencoba menjawab pertanyaan santri putra tadi.” Seorang santri putri memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Anas.
Dalam dudukannya, Anas berkelana dalam ingatannya. Mencoba menebak siapakah santri putri yang bersuara lembut membuka salam itu? Mengingat dan mengingat. Nama-nama santri putri yang sudah dikenalnya dengan membandingkan suara lembut itu miliknya siapakah? “Apa mungkin itu mbak Rohmah, yang selalu membantu Mbok di dapur menyiapkan masakan untuk orang ndalem? Tapi gak sama dengan suara Mbak Rohmah, yang biasanya berbicara dengan suara keras. Ataukah Mbak I’is, tapi aku kenal suara Mbak I’is serak-serak basah pada saat ia jadi MC Muhadoroh kemarin!” Dalam hati Anas berbicara, tanpa mengeluarkan satu patah katapun dari mulutnya.
“Menurut pendapat saya, kenapa Rasulullah begitu tega meninggalkan Siti Khadijah istri tercintanya, demi perang? Karena ketika Rasulullah sebelum berangkat kemedan perang, Rasulullah berkeyakinan dengan sepenuh hati kepada istri tercintanya. Rassulullah meyakini Siti Khadijah tidak akan melakukan dan melanggar pesan larangan dari suami tercinta pada saat ditinggalkanya, yang disepakatinya sebelum Rasulullah berangkat ke medan perang. Khadijah sendiri mendukung dengan jiwa, harta dan cinta kasihnya disaat Rasulullah mendapat tantangan untuk perang melawan kaum Qurais. Jadi dalam sosok pemimpin pasukan perang sekaligus kepala rumah tangga yang dibinanya dengan Siti Khadijah, Rasulullah bersikap adil dalam menjalankan Hak dan Kewajibannya seorang suami dan juga adil memimpin umat muslim.” Pemaparan cukup cerdas, yang mencerminkan sosok pribadinya.
“Sungguh Cerdas, jawabanmu Ndok.” Puji Abah Yai.
Keheranan Anas makin memuncak, untuk mengetahui siapakah gadis yang berhati lembut dan perpikir cerdas itu?
Kemudian Abah menanyakan balik kepadanya, atas pemaparan yang disampaikan santri putri tadi.
“Gimana Nas…. Apakah sudah sesuai dengan jawaban yang enkau kehendaki?”
“Apa….” Anas tersentak kaget, Abah memanggil namanya, karena sekarang Fikiran Anas sedang bertanya-tanya kepada Gadis berhati lembut dan berpikiran cerdas itu. Huh… sungguh terpikat hatiku!!
“Iya, Abah…. Saya sangat setuju, dengan jawaban yang disampaikan Ukhti tadi.” Rasa kepuasan Anas, terhadap apa permasalahan yang ditanyakan ke Abah Yai.
Tetapi dalam lubuk Hati Anas yang paling dalam, masih ada rasa ketidak puasan untuk mengetahui siapakah Dia? Baru kali ini hati Anas di buat penasaran oleh seorang gadis berhati lembut dan berpikiran cerdas, yang masih belum dikenalnya, ia ingin tau siapakah nama gadis itu? Seperti apakah wajah ayu rupanya?
“Aatagfirullah Haladzim….” Anas berikhtifar, atas apa yang dipikirnya. Dalam hatinya berkata. “Ya Allah maafkanlah Hambamu atas apa yang hamba pikirkan sekarang ini. Tetapi hambamu memohon kepada Engkau, suatu saat pertemukanlah hambamu dengan dia. Yang akan bisa menghapus kegundahan hatiku sekarang ini.”

♥ ♥
Matahari begitu gagah berada ditengah titik pusat bumi perkasa menyinari Negeri Pertiwi tanpa rasa lelah dan malu di kelilingi awan-awan putih kecil yang selalu menemaninya. Panas teriknya menyebabkan manusia untuk enggan melihat dan menyentuh dengan kulit sawo matangnya.
Kompleks pesantren Al-Halim, terlihat sepi terlepas dari para satrinya. Disiang bolong seperti sekarang ini, kegiatan mengaji kitab kuning berhenti, untuk memberikan waktu istirahat bagi para santri melepas kecapekanya.
Anas kelihatan menyendiri di pojok serambi masjid Al-Halim. Ia sedang serius belajar mengkaji ilmu tafsir Hadits beserta terjemahannya. Waktu siang seperti ini, memang cocok bagi Anas untuk menghafalkan Hadits. Karena terhindar dari kebisingan para santri dalam proses mengaji kitab kuning.
Tiba-tiba Anas mendengarkan pembicaraan dua orang santri di depan tangga masjid, yang sedang Asyik membicarakan seorang santri putri, yang terdengar sampai ketelingga Anas, membuat konsentrusinya menghafalkan Ayat-ayat Hadist terganggu.
“Gus…. Siapa santri putri yang memberikan tanggapan atas pertanyaan kang Anas ajukan, Pada saat tauziyah subuh Abah Yai tadi?” Tanya penasaran Aris kepada agus.
“Oh… Ukhti Nur Aini maksud kamu ?” jawab Agus ke Aris.
“Jadi ukhti yang lembut dalam bertutur kata dan kecerdasannya dalam berfikir, namanya Nur Aini.” Sanggah Aris.
Di pojok serambi masjid, Hati Anas tersentak setelah mendengar nama indah “Nur Aini.” Nama seorang gadis tadi subuh yang membuat dirinya penasaran atas lemah lembutnya dalam berbicara dan cerdas dalam berpendapat.
“Ukhti Nur Aini, sangat disegani dan dihormati dikalangan santri putri. Ia sudah dikenal sebagia sosok santri yang cerdas dan berwawasan islam luas. Bahkan semua santri putripun menyayanginya karena atas kebaikan yang ia lakukan.”
“Kalau dikalangan santri putra, seperti kang Anaskah?” Tanya Aris, membandingkan sifat kebaikan Ukhti Nur Aini yang disamakan dengan sifat kang Anas.”
“Ya….. Betul……!!” Jelas Agus.
“Subhanallah, apakah benar gadis yang bernama Nur Aini memiliki hati selembutnya sutra?” Desah hati Anas dalam duduk penasarannya. Memikirkan sosok Nur Aini yang begitu baik dan sholehah yang membuat ia disayangi santri-santri putri lainnya. Walaupun Anas sendiri belum tau, seperti apakah gadis yang bernama Nur Aini?.
“Kang Anas…. Kang Anas disuruh ibu Nyai, untuk menjamu para tamu Abah dari luar kota, sekarang.” Teriak Ulil membangunkan Anas dari lamunannya.
“Oh…. Iya Lil, saya akan segera kesana.” Jawab Anas, dengan nada terpatah-patah.
Anas merapikan kitab-kitab Haditsnya, kemudian ia beranjak menuju pondokan untuk mengambil kopyah putih beserta baju kokonya.
Dengan sikap santunya, Anas masuk ndalem melewati pintu belakang, yang bersebelahan dengan pintu masuk keluarnya para santri putri yang ingin ke ruang Ndalem. Tanpa disengaja Anas melihat sosok seorang santri memakai kerudung Biru yang sedang asyik duduk di sebelah pintu kamar, memegang kitab Alfiyah dan membacanya dengan penuh keseriusan dalam memaknai kalimat demi kalimat.
“Oh… Nak Anas!! Saya tadi nyuruh Ulil memanggilkan Nak Anas untuk ngasihkan Teh ketamu-tamu di depan, kebetulan tamunya laki-laki semua. Gak mungkinkan, santri putri mau saya suruh!!” Jelas ibu Nyai, sesaat setelah kedatangan Anas.
“Tapi Tehnya belum dibuatkan. Saya panggilkan santri putri untuk membuatkannya.” Kemudian ibu Nyai memanggil salah satu nama santri putri.
“Nur…. Nur Aini, kesini bentar Ndhok!!. Teriak Ibu Nyai kesalah satu santrinya.
“Dhek… Dhek…” Hati Anas berdetak-detak, setelah mendengar ibu Nyai memanggil salah satu santri putri, dengan nama Nur Aini, membuat hatinya mendesir dan panas dingin badannya, akan tetapi sebentar lagi rasa penasaranya akan terobati . Dia akan tau wajah gadis yang membuat hatinya penasaran.
Wajah berparas cantik, dengan sorot matanya yang begitu indah dikelilingi bulu-bulu mata hitam. Berkerudung biru muda yang menutupi kecantikannya, membuat orang tak jemu memandanginya. Kesempurnaannya seperti bidadari-bidadari surga, yang diciri-cirikan dalam Al-Kitab.
“Ndok, tolong buatkan teh hangat untuk lima tamu Abah, dari luar kota.” Suruh ibu Nyai kepada Nur Aini.
“Iya, Nyai….” Nur Aini melangkah menuju dapur, untuk membuat lima gelas Teh.
Anas duduk dikursi meja makan, masih terpaku dengan apa yang dilihat dan dirasakannya sekarang ini.
“Nas, itu tehnya sudah dibuatkan, Sana antarkan! Kasihan tamunya menunggu.” Perintah Ibu Nyai kapada Anas.
Anas beranjak dari kursi, untuk menghampiri Nur Aini, yang sedang mengaduk-aduk air teh didalam gelas.
“Ini kang udah siap tehnya.” Suara lembut Nur Aini, terdengar jelas ditelinga Anas.
“Oh, iya Neng….!! Jawab Anas ke gadis ayu yang yang ada disampingnya, dengan jarak keduanya yang begitu dekat, membuat hati Anas berdetak - detak. Ia dapat mencium bau minyak kasturi, begitu harum seperti wajah cantik parasnya.,
Kemudian Anas, membawa nampan yang berisikan lima gelas teh hangat ke ruang tamu.
Selesai Anas, memberikan segelas teh kepara tamu. Anas mengizinkan diri untuk kembali kepondokan.

♥ ♥
Adzan dzuhur berkumandang tepat pukul 14.00. Barisan makmum depan mulai diisi satu persatu santri, yang akan mengikuti jama’ah sholah Dzuhur.
Di pojok kanan depan, terlihat kekhusyukan seorang santri yang sedang Alim dengan ikhtikafnya. Bermunajah kepada Ilahi.
“Ya, Allah…. Hari ini. Hari yang berbahagia dan berarti bagi Hambamu.” Do’a Anas kepada sang Khalid. “Engkau pertemukan HambaMu dengan seorang gadis, yang membuat terpaku hati, sehingga membuat hati ini menemukan suatu cahaya mata hati, yang selama ini hanya ada dalam pencarian semu.” Keluh Anas, dalam itikafnya kepada Sang Khalid, Maha Agung dan Maha Pemberi kebahagiaan bagi umat manusia.
Kemudian Anas duduk bersenandung di emperan pondokan. Bersenandung dalam bait – bait puisi yang tercurahkan dari dalam isi hati yang lagi dilanda kasmaran. Kata demi kata, tersusun membentuk barisan kata cinta indah, tertuang lewat tinta hitam Pilot yang mengapit diantara jari telunjuk dan ibunya.

“ Nur, yang Bercahaya….
Mata, yang Ayu….
Begitu mempesona cahya matamu
Terpancar dari aura wajah ayu, di balik kerudung biru
Tersipu hatiku, sekali memandangmu
Mungkinkah….
Bidadari – bidadari surga, mengelilingimu
Memberikan aroma wangi kasturi
Dibalik senyum dan kesholekahanmu???
Membuat benih – benih cinta
Ikut menyatu dalam aliran darah merahku
Ku bersukur dipertemukan olehNya
Sungguh agung kuasaMu
Kaya akan cinta dan kasih sayang yang Kau berikan.”


MOH. BADRUS SOLICHIN, (Sang Pemula, yang begitu takjub dengan Dunia Pena)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar