POTRET PERMASALAHAN SOSIAL DALAM CERPEN URIP NGURIP KARYA MIDUN ALIASSYAH: TINJAUAN KRITIK SASTRA
(Disusun Sebagai Pengganti Ujian Akhir Semester Kritik Sastra)
Oleh:
MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Membaca cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah, yang dimuat di koran harian Radar Jember (Jawa Pos) edisi hari Minggu tanggal 13 Juni tahun 2010, seakan kita membaca wajah ekologis Indonesia serta masalah-masalah yang terdapat di dalamnya. Inilah yang coba dibeberkan pengarang kepada masyarakat (pembaca). Sehingga mereka mau mengintrospeksi diri mereka untuk selanjutnya diharapkan mereka bisa melakukan sesuatu hal untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut. Di dalam cerpen Urip Ngurip menyajikan masalah-masalah pelik tanpa disertai penyelesaian atas masalah-masalah sosial yang terjadi. Banyak masalah yang muncul akibat ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah terhadap permasalahan sosial. Mengakibatkan permasalahan soaial ini berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar yang menurun karena mereka kehilangan mata pencahariannya.
Permasalahan sosial ini kemudian menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Sementara itu pihak pemerintah kurang peduli pada nasib. Pengrusakan dan penghancuran lingkungan pada zaman lampau membawa akibat-akibat yang panjang pada kehidupan masa kini. Semua dicoba ditransformasikan ke dalam kisah-kisah kehidupan yang dikaitkan dengan ekspresi menyimpan kegelisahan yang kuat melihat kurang responsifnya pemerintah terhadap berbagai macam pengrusakan lingkungan.
Cerpen Urip Ngurip menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda yang menemui berbagai macam kepincangan dalam masyarakat yang berdampak bagi kelangsungan hidupnya. Masalah-masalah kemiskinan; keadilan; pengangguran; disorganisasi keluarga; pelanggaran tata tertib lalu lintas; kepadatan penduduk; polusi dan kebijakan pemerintah terhadap nasib rakyatnya diangkat Midun Aliassyah dalam cerpennya. Midun Aliassya juga mencoba mengungkapkan fakta berdasarkan pengamatan dan perenungannya terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Masalah-masalah sosial yang ia temui ia renungkan kemudian diolah, dengan imajinasinya ia tuangkan ke dalam sebuah cerpen.
Midun Aliassya melahirkan karya-karyanya karena ingin menunjukkan kepincangan-kepincangan sosial dan kesalahan-kesalahan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Midun Aliassya sendiri sebagai anggota masyarakat yang selalu merasa terlibat. Idealisme dan pandangan Midun Aliassya akan berpengaruh dalam menanggapi masalah-masalah sosial yang disajikannya dalam sebuah cerpen. Secara tidak langsung Midun Aliassya akan mengungkapkan pendapat dan sikapnya atas masalah-masalah sosial yang terjadi dalam cerpennya tersebut. Masalah-masalah sosial yang disajikan Midun Aliassya atas fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat ke dalam cerpenya secara otomatis membuat cerpen tersebut mengandung kritik sosial yang ingin ia sampaikan kepada masyarakat agar mereka lebih peka terhadap lingkungan sosialnya.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan kritik permasalahan sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah?
Bagaimana pengaruh permasalahan sosial yang ada terhadap pola kehidupan tokoh utama?
1.3 Manfaat Penelitian
Mengetahui permasalahan kritik sosial apa saja yang terdapat dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah.
Mengetahui pengaruh permasalahan sosial yang ada terhadap pola kehidupan tokoh utama.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Hakikat Kritik Permasalahan Sosial dalam Cerpen
Kata ‘kritik’ yang lazim kita pergunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani krinein yang berarti ‘mengamati, membandingkan dan menimbang’. Dan kritik itu sendiri dapat didefinisikan sebagai pengamatan yang diteliti, perbandingan yang adil terhadap baik-buruknya kualitas nilai suatu kebenaran sesuatu (Tarigan,1985:187-188).
Sedangkan menurut KBBI (Alwi,2001:601) kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut bila dihubungkan dengan kritik terhadap suatu karya sastra ,kritik adalah tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu karya sastra yang disertai uraian-uraian dan perbandingan-perbandingan tentang baik buruk hasil karya sastra tersebut. Kata sosial menurut KBBI (Alwi,2001:1085) adalah berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dari definisi ‘kritik’ dan ‘sosial’ tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial adalah tanggapan terhadap karya sastra yang berhubungan dengan masyarakat atau kepentingan umum yang disertai uraian-uraian dan perbandingan tentang baik buruk karya sastra tersebut.
Ajib Rosidi dalam Tarigan (1985:175), mengatakan bahwa bentuk cerpen merupakan bentuk karya sastra yang digemari dalam dunia kesusastraan setelah perang dunia kedua. Bentuk ini tidak saja digemari pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali menki dilahirkan dalam dalam sebuah roman, tetapi juga didiskusikan oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen.
Cerpen atau cerita pendek sebagai salah satu prosa fiksi merupakan hasil pengungkapan pengalaman kehidupan sastrawan yang bersumber dari realitas-realitas objektif yang ada dilingkungan sosial. Banyaknya permasalahan pokok yang diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya menunjukkan betapa jelinya ia memotret berbagai gejolak yang ada di sekelilingnya. Pembaca yang kritis tentu tidak hanya memilih bacaan sastra yang murah, tetapi benar-benar memilih buku-buku yang dapat menambah wawasan hidupnya.
Karya sastra lahir tidak bisa lepas dari masyarakat karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat. Seperti apapun bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial (Glickberg dalam Endraswara. 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Pengarang melalui karyanya bermaksud memperluas, memperdalam dan memperjernih penghayatan pembaca terhadap salah satu sisi kehidupan yang disajikan. Kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat terdiri dari berbagai macam permasalahan.
Endraswara (2008) mengatakan bahwa sosiologi sastra merupakan penelitian yang terfokus pada masalah manusia, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan dan intuisi. Dari pendapat ini tampak bahwa perjuangan panjang manusia akan selalu mewarnai teks sastra. Tentu saja masalah-masalah yang disajikan seorang pengarang itu mengandung kritik yang ingin ia sampaikan kepada pembacanya, atas apa yang ia lihat dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat menghayati kehidupan dengan lebih baik, diharapkan pula pembaca dapat mengendalikan kehidupannya dan kehidupan kemasyarakatannya.
2.2 Jenis-Jenis Permasalahan Sosial
Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud masalah sosial adalah gejala-gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan. Permasalahan sosial juga sebagai segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang yang berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.
Soekanto (2002:365-394) mengemukakan kepincangan-kepincangan yang dianggap sebagai problema sosial oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut, akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya, misalnya:
a)Kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
b)Keadilan. Keadilan diartikan sebagai orang-orang yang berperikelakuan dengan tidak melawan norma-norma hukum yang ada dan mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
c)Permasalahan kependudukan yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah demografi, antara lain; bagimana menyebarkan penduduk secara merata dan bagaimana mengusahakan penurunan angka kelahiran.
d)Masalah lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup berhubungan dengan hal-hal atau apa-apa yang berada disekitar manusia, baik sebagai individu maupun dalam pergaulan hidup.
2.3 Faktor Penyebab Munculnya Permasalahan Sosial
Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial (Soekanto 2002:360). Faktor yang melatarbelakangi munculnya masalah sosial yang timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yaitu:
a)Faktor ekonomis. Problema-problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain kemiskinan, -pengangguran, dan sebagainya. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat pada jaman modern yang serba canggih.
b)Faktor biologis. Penyakit baik itu jasmani maupun cacat fisik merupakan contoh masalah sosial yang bersumber dari faktor biologis.
c)Faktor Psikologis. Dari faktor psikologis muncul persoalan seperti penyakit syaraf (neurosis), bunuh diri, disorganisasi jiwa dan seterusnya.
d)Faktor kebudayaan. Persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik rasikal dan keagamaan bersumber pada faktor kebudayaan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kritik Permasalahan Sosial yang Terjadi di dalam Cerpen Urip Ngurip Karya Midun Aliassyah
Cerpen Urip Ngurip sekilas menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda pengaguran, yang selama dia menjalani hidupnya menemui berbagai macam permasalahan sosial yang begitu pelik. Permasalahan-permasalahan sosial yang disajikan Midun Aliassyah di dalam cerpennya merupakan salah satu usahanya memberikan kritikan berdasarkan fenomena sosial yang pernah ditemuinya di dalam masyarakat.
Fenomena permasalahan sosial yang pernah dilihat pengarang itulah dituangkan ke dalam bentuk tulisan berupa cerita pendek. Untuk mengetahui lebih lanjut permasalahan sosial yang terjadi di dalam cerpen Urip Ngurip, berikut hasil analisis yang dilakukan peniliti.
a)Permasalahan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah pelik yang pada umumnya dijadikan sebagai pangkal dari suatu masalah, bahkan tak jarang dijadikan alasan dalam melakukan tindak kejahatan. Kritik atas kemiskinan ini terlihat dalam cerpen Urip Ngurip sebagai berikut.
Pola hidup yang dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari atau hidup susah dialami oleh tokoh Urip. Perjuanganya untuk memenuhi kehidupannya sangat begitu sulit dan tak bisa ia jalani. Dalam kesehariannya ia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang berada di lingkungan kumuh di bawah kolong jembatan. Sebetulnya secara wajar kontrakan yang ditempati Urip tidak sangatlah layak untuk disebut kontrakan. Karena kondisinya yang begitu lusuh, kumuh dan jauh dari kelayakan. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Sampailah Urip di kontrakkannya. Sebetulnya kontrakkan yang ia tempati, tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”
Hidup pas-pasan sebagai seorang pengelandang yang tidak memiliki keluarga merupakan hal yang biasa dialami Urip. Ia sejak usia 14 tahun sudah terpisah dengan keluarganya. Ia hanya hidup sendiri di jalanan, mengais-ngais sampah untuk makan. Hal ini disebabkan karena keluarga Urip meninggal dunia atas musibah jatuhnya pesawat di Jogjakarta, hingga satu keluarganyapun tak tersisa. Menyebabkan Urip mencari jalan hidupnya sendiri sesuai apa dan yang ingin ia kehendaki. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Tapi semua itu berbeda!! Semua itu tak terjadi di dalam peta jalan hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang tua mengasihi dan menyayangi. Semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara udara Yogyakarta, hingga melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Akhirnya semenjak usia 14 tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku. Nyawa adalah tekadku.
Walaupun hidup Urip mengalami kesusahan, untuk makan sesuap nasipun terasa sulit, ia mencoba mengadu nasibnya untuk melamar pekerjaan di ibu kota yang hanya bermodalkan selembaran ijazah SMP. Hal ini ia lakukan untuk merubah jalan hidupnya sebagai orang miskin. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Waktu bergulir. Pagi menuju siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Seperti keadaanku sekarang ini, tak menentu! Kosong. Tiap hari kutelusuri Ibu kota dan melangkahi trotoar jalan. Aku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!” Aku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku cuma berijazah lulusan menengah pertama. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan Orang-orang atasan terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! Kurang ajar? Iya.,,
Permasalahan kemiskinan yang dialami Urip di atas menunjukkan, bahwa ternyata di lingkungan ibu kota begitu sangatlah sulit untuk mempertahankan hidup yang layak. Jika ingin hidup ini sebanding dengan orang-orang lain sangatlah membutuhkan usaha keras demi mempertahankan kesejahteraan dan kelayakan. Dan untuk mempertahankan semua itu derajat dan status sosial seseorang sangatlah menentukan. Jika tidak memiliki status sosial yang baik, maka tempat-tempat kumuh dan ketidakbiadan yang harus diterima. Hingga bisa benar-benar disebut sebagai status kaum rendah atau miskin. Kritik ini ditujukan kepada tokoh utama dalam cerpen Urip Ngurip. Kemiskinan yang dialami tokoh utama tersebut hendaknya menjadi motivasi untuk meningkatkan kesejahteraannya agar bisa hidup layak.
b)Permasalahan Keadilan
Kesenjangan sosial yang terjadi membuat adanya rasa ketidakadilan sosial adanya jarak antara si kaya dan si miskin. Fasilitas yang mudah bagi mereka yang berharta akan menimbulkan rasa iri bagi orang lain yang tidak bisa mendapatkannya, apalagi jika jarak antara mereka diikuti rasa lebih dari si kaya yang berharta.
Perbedaan kelas sosial seseorang kadang menimbulkan adanya perbedaan perlakuan dalam masyarakat. Pihak atasan yang merasa berkuasa dapat bertindak semau mereka karena menganggap anak buahnya menduduki kelas di bawah mereka dan bisa diperlakukan seenaknya tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Hal ini juga dialami oleh tokoh Urip. dimana ia sewaktu mencari pekerjaan sangatlah sulit. Ia diberlakukan tidak adil dan dilecehkan semena-menanya oleh orang yang memiliki status sosial dan pendidikan yang lebih baik daripada dirinya. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
”Maaf mas, di sini hanya membutuhkan karyawan yang minimal berijazah menengah atas, dan tentunya memiliki pengalaman dalam hal bekerja!!”
”Oh ya?” jawab Urip sinis. ”Tidak berartikah ijazah menengah pertama?”
Telunjuk Urip menunjuk pada dua angka yang ada di selebaran kertas kusam. Dan dua angka itu kelihatan berbobot dari pada angka-angka yang lainnya.”Lihat mbak, aku memiliki nilai sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!!” Urip melantangkan suaranya ketika menyebut angka sembilan untuk dua mata pelajaran itu.
”Tapi Mas…,” sanggah pelayan. Terlihat pada wajah menor sang pelayan, yang tebal oleh balutan kosmetik sekarang tak nampakkan lagi aura ke cantikannya. Alias takut dengan kelantangan Urip.
”Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” Naiknya emosi Urip.
Kritik terhadap permasalahan keadilan di atas menunjukkan betapa sulitnya orang yang mencari pekerjaan di ibu kota. Dengan segala persyaratan yang mengikat dan mengharuskan memiliki ijasah setingkat SMA dan setidaknya juga memiliki pengalaman bekerja sebelum ia akan menggeluti dunia pekerjaannya. Di dalam kondisi negeri yang seperti ini memanglah boleh-boleh saja mempersaratkan berbagai perihal untuk mengetes calon pekerja. Tetapi selayaknya hal itu juga disepadankan dengan kondisi negeri, dan keadaan status kemajuan pemikiran dan pergaulan masyarakatnya. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan pengaguran yang ada di negiri ini dari tahun ke tahun semakin bertambah. Karena ketidakbijakan pemerintah dan birokrat pemerintah yang tidak mampu mengedepankan rakyatnya terutama bagi rakyat kelas bawah. Jika demikian sudah selayaknya pemerintah memperbaruhi realita yang ada dengan pemenataan kembali kebijakan-kebijakn yang salah dan menyeleweng.
c)Permasalahan Kependudukan
Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu masalah kependudukan di Indonesia. Urbanisasi yang dilakukan penduduk dengan harapan taraf hidupnya akan lebih baik di kota, membuat jumlah penduduk kota meningkat. Jakarta adalah kota yang banyak menjadi tempat impian banyak orang untuk menyandarkan hidupnya. Kepadatan penduduk ibu kota seperti Jakarta dan Surabaya bisa dilihat dari makin ramainya pemakai jalan raya, baik mereka yang menggunakan mobil pribadi ataupun mereka yang naik kendaraan umum sampai berdesak-desakan dan bergelantungan.
Di dalam cerpen Urip Ngurip ini permasalahan kependudukan sagatlah nampak atas apa yang dialami tokoh Urip di dalam kehidupannya sebagai warga yang tinggal di ibu kota. Kehidupan dan status kependudukan Urip sebagai sebagian masyarakat yang hidupnya selalu diselimuti kemiskinan dan kesusahan merupakan salah satu cerminan dampak dari keadaan penataan kependudukan di lingkungan ibu kota sangatlah tidak adanya suatu keadilan dan kesejahteraan. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Udara panas, pengap, bau busuk sampah: itulah bau yang dihirup Urip sehari-hari. Jika berada di dalam ruang, terdengar suara bising kendaraan yang seolah-olah melintas di atas atap kontrakkan. Ya beginilah, sudah takdir suratan….
d)Permasalahan Lingkungan Hidup
Permasalahan lingkungan yang dicoba diangkat dalam cerpen Urip Ngurip ini merupakan sebuah refleksi ungkapan kritik sosial terhadap kondisi lingkungan sosial hidup masyarakat pinggiran. Dalam hal ini pengarang mencoba menggambarkan kondisi yang sebenarnya terhadap lingkungan hidup masyarakat pinggiran. Terlihat dalam cerpen bahwa tokoh Urip bertempat tinggal di bawah kolom jembatan gantung yang ada di salah satu sudut kota. Betapa lingkungan hidup Urip sebenarnya tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal manusia. Untuk lebih jelasnya berikut kutipan cerita yang mendukung:
Urip berlalu sambil jalan, tanpa menoleh fenomena riuh yang terjadi di sisi kanan ataupun di sisi kirinya. Padahal takdir alam yang terjadi di siang panas kota Pahlawan sungguh menarik perhatian, untuk disimak dan dilihat dalam kaca mata pengamat.
Kutipan di atas menceritakan suasana keriuhan di siang hari kota Pahlawan. Yang penuh fenomena manusia yang sedang beraktivitas menjalankan hidupnya. Tetapi tidak hanya itu, fenomena lingkungan hidup yang dialami tokoh Urip dalam cerpen Urip Ngurip juga nampak dalam keseharian hidup Urip di kontrakannya. Berikut kutipan cerita yang mendukung:
Sampailah Urip di kontrakkannya. Sebetulnya kontrakkan yang ia tempati, tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari posisi bangunan berdiri dan lingkungannya, berada tepat di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”
Kritik terhadap permasalahan lingkungan hidup di atas menunjukkan bahwa kondisi lingkungan ada di perkotaan tidaklah alami lagi. Udara, air, pepohonan sudah tercemar dan mati karena banyaknya polusi. Polusi yang ada di daerah perkotaan ini disebabkan adanya asap, baik asap kendaraan, asap pabrik ataupun asap rokok. Asap hasil pembakaran, berupa zat karbon dioksida merupakan gas yang berbahaya bagi pernafasan. Nafas akan terasa terganggu dengan menghirup gas tersebut.
Apalagi kalau berada di dalam bus angkutan umum yang ada di perkotaan yang penuh sesak, masih ada juga yang merokok, akan terasa menyiksa sekali bagi mereka yang tidak tahan asap. Ironis memang, sebenarnya para perokok itu tahu kalau merokok dapat membahayakan kesehatan jantung dan pemerintah serta perusahaan rokok tersebut sudah memperingatkan namun mereka masih saja mengkonsumsinya sehingga menjadi suatu kebutuhan. Asap dari pabrik juga berbahaya bagi kesehatan dan bisa merusak lapisan ozon yang melindungi bumi. Untuk itu pemerintah telah membuat kebijakan agar setiap pabrik yang menghasilkan asap untuk mengatasi polusi udara dengan proses penyaringan terlebih dahulu.
BAB IV
KESIMPULAN
Simpulan dari hasil kritik permasalahan sosial dalam cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah dapat diketahui, bahwa problematika sosial yang terjadi di dalam masyarakat, memang sangatlah tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut. Beserta permasalahan-permasalahan yang terdapat di dalamnya. Inilah yang coba dibeberkan pengarang kepada masyarakat (pembaca). Hingga peniliti menemukan gejala itu secara kongkrit seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas.
Gejala-gejala sosial yang terjadi baik dari permasalahan kemiskinan, permasalahan keadilan, permasalahan kependudukan dan permasalahan lingkungan hidup. Akan tetapi ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga hal itulah yang menjadi pekerjaan utama bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan sosial yang ada, sehingga masyarakat benar-benar merasa nyaman, tentran, aman dan sejahtera di dalam bermasyarakat baik dengan sesama ataupun dengan lingkungannya. Jika hal ini sudah terwujud, maka terciptalah kedamaian dan tidak adanya lagi keluh resah masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Aliassyah, Midun. 2010. Urip Ngurip (Cerpen). Jember: Radar Jember (Jawa Pos).
Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta: Depdikbud.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
http://assyita.blogspot.com/ Kritik Sastra Novel “Dilatasi Memori” Karya: Ari Nur Utami. (Diakses pada tanggal 30 Desember 2010)
SINOPSI CERPEN URIP NGURIP
Cerpen Urip Ngurip karya Midun Aliassyah yang dimuat di Radar Jember (Jawa Pos), pada edisi hari Minggu tanggal 13 Juni tahun 2010 sekilas menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda pengaguran, yang selama dia menjalani hidupnya menemui berbagai macam permasalahan sosial yang begitu pelik. Urip merupakan nama tokoh sentral dalam cerpen tersebut.
Kehidupan Urip yang penuh dengan kesusahan dan kepelikan merupakan salah satu cerminan kondisi masyarakata bersetatus sosial rendah yang mencoba hidup di daerah perkotaan. Kesehariannya ia hanya makan tidur, tanpa menjalankan aktivitas yang berarti seperti para pemuda pada umumnya. Ia tinggal disebuah kontrakan, yang sebetulnya kontrakan itu tidaklah layak disebut kontrakan. Karena dari kondisi fisiknya tidaklah memenuhi syarat sebagai tempat tinggal manusia, melainkan sangatlah layak sebagai tempat binatang liyar seperti tikus dan kucing. Dan keberadaan bangunan itu berdiri, berada tepat di bawah kolong jembatan layang. Tapi apalah daya jika uang tak menjangkau, pastilah keadaan seperti ini sudah sangatlah layak untuk dijadikan tempat berteduh dari terik panas sinar matahari dan kucuran air hujan.
Walaupun kehidupan Urip seperti itu, ia memiliki suatu impian yang besar. Bisa dibilang hanya orang-orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Yakni Urip mempunyai impian untuk membangun negeri impiannya dari keterpurukan dan keterlaknatan yang mendera. Ia ingin mencoba membangunkan kembali gairah negeri dan manusianya untuk kembali berjaya, kokoh bersanding dengan negara-negar maju lainnya. Bahkan ia juga mempunyai impian untuk mempersunting Narti anak dari seorang pemilik kontrakan yang ia tempati untuk dijadikan istrinya. Tapi pada akhirnya impian itu hanya sebatas impian saja. Tak berwujud dan hanya ada dalam bayang-bayang pikir semu Urip.
Tuhan, menghadiahkan kehidupan begitu menakjubkan. Bermain, memainkan, dimainkan, dan permainan, saling menyinergikan menjadi peristiwa.....
Jumat, 28 Januari 2011
Beberapa Catatan untuk Urip Ngurip karya Midun Aliassyah (Kritik Cerpen)
Beberapa Catatan untuk Urip Ngurip karya Midun Aliassyah
Oleh: Muntijo
Dalam penciptaan sebuah karya sastra seorang sastrawan tidak pernah dalam kondisi/situasi yang kosong secara politik, sosial, budaya bahkan ideologi. Hal ini terjadi karena karya sastra merupakan hasil curahan keindahan yang dihasilkan oleh sastrawan, dan seorang sastrawan adalah manusia yang hidup di arena politik dalam arti luas, lingkungan sosial dan budaya tertentu bahkan memiliki kecenderungan ideologi tertentu pula. Karena karya sastra (cerpen) adalah curahan keindahan maka setiap kata dan gaya bahasa maupun gaya penceritaan dan gaya pencitraan dipilah dan dipilih untuk mewakili dan menggambarkan keindahan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, cerpen Urip Ngurip karya Mas Midun Aliassyah yang dimuat Radar Jember, Minggu 13 Juni 2010 patut diberi beberapa catatan. Karena karya sastra sangat dipengaruhi oleh sastrawannya, maka terlebih dahulu akan ditunjukkan latar belakang Mas Midun Dia berasal dari Nganjuk. Jadi jelas orang Jawa dan mampu berbahasa Jawa. Penguasaannya terhadap bahasa Jawa tampak pada Urip Ngurip ini, untuk lebih jelasnya dibahas dibagian belakang. Dia adalah mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang lebih dikenal sebagai penyair daripada sebagai seorang cerpenis (puisi-puisinya dimuat erje, 20/5/10) sehingga pengaruh gaya bahasa puisi tampak jelas pada (khususnya bagian pertama) cerpen Urip Ngurip.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi tameng persembunyiann di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala pertiwi…
Penggunaan gaya bahasa bermajas yang lebih sering digunakan dalam puisi menambah unsur keindahan cerpen ini. Namun, dalam memilih kata, Mas Midun kurang jelai (padahal dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) sehingga juga memengaruhi kenyamanan pembaca dalam menikmati cerpennya. Hal ini tampak pada bagian kedua Urip Ngurip,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama.
Apa yang dimaksud dengan lulusan ijazah? Mungkin lebih baik jika ditulis ‘aku cuma memiliki ijazah menengah pertama’ atau ‘aku cuma lulusan sekolah menengah pertama’ bukankah menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Kekurangtepatan yang lain, ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealisku’ Mungkin yang dimaksud adalah ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku’. Makna dari idealis dan idealisme jauh berbeda. Idealisme adalah pahamnya, sedangkan idealis adalah orang yang menganut paham tersebut.
Dari unsur intrinsik yang lain, yaitu masalah sudut pandang pengarang. Dalam membuat prosa (cerpen ataupun novel) ada beberapa cara penceritaan oleh pengarang diantaranya: orang petama pelaku utama, pengarang menyebut tokoh utama dalam prosanya dengan menggunakan kata ganti ‘aku’; orang kedua, pengarang ikut terlibat dalam cerita namun sebagai orang kedua, jadi tokoh utama disebut ‘kamu’; orang ketiga serba tahu, pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, namun mengetahui segala yang terjadi bahkan alam pikiran tokoh dalam cerita. Pengarang menggunakan kata ganti ‘dia’ atau nama tokoh secara langsung.
Dalam Urip Ngurip, terjadi kerancuan sudut pandang yang diambil oleh Mas Midun. Dia mencampuradukkan antara sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini tampak hampir pada setiap plot (bagian cerpen yang dibedakan oleh latar tempat dan situasi) khususnya pada tiga plot terakhir dari cerpen yang terdiri dari lima plot ini.
Brukk!! Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. (plot ketiga)
Pada paragraf pertama, pengarang menggunakan kata ganti nama ‘Urip’ dan kata ganti orang ketiga ‘-nya’ untuk menyebut tokoh utama. Hal ini menunjukkan posisi pengarang sebagai orang ketiga serba tahu. Namun, paragraf selanjutnya pengarang menggunakan kata ganti ‘aku’ untuk menyebut tokoh utama (Urip). Hal ini berarti sudut pandang pengarang telah berpindah menjadi orang pertama pelaku utama.
Pencampuradukan sudut pandang pengarang seperti itu juga terpadapat pada plot keempat,
“Waduh!!!” tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku.
Bandingkan dengan,
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai denan keadaannya sekarang ke Narti.
Begitu juga dengan plot yang terakhir,
“Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya…
“Oh, begitu bangga aku menjadi orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” bangga Urip atas negeri mimpinya…
Dalam plot yang keempat ini jelas terlihat. Padahal sama-sama menjelaskan kalimat langsung yang diucapkan oleh tokoh Urip, tapi sudut pandang yang digunakan berbeda.
Konstruksi Sosial dan Ideologis (keagamaan)
Usaha Mas Midun mengostruksikan Urip sebagai kaum yang termarginalkan, maupun konstruksi sosial cerpen Urip Ngurip secara keseluruhan tidak kuat (tidak jelas). Di satu sisi Urip Ngurip menggambarkan kehidupan Ibukota,
Tiap hari kutelusuri Ibuk kota. Ku langkahi trotoar jalan…(plot pertama)
Menujulah Urip ke kontrakannya. Yang sebetulnya kontrakannya tak layak disebut kontrakan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan…(plot keempat)
Penggambaran kehidupan ibukota juga tampak pada penggunaan kata-kata yang dipilih, diantaranya, sekarang sudah gak berlaku, bang!; juga dalam ucapan tokoh Narti, “gini Bang!!” Jelas Narti, “aku kesini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum abang bayar…” penggunaan ‘abang’ dan ‘babe’ merupakan usaha untuk menggambarkan bahwa kehidupan itu terjadi di Jakarta karena disanalah diksi (pilihan kata) semacam itu digunakan masyarakat. Namun, hal ini tidak sejalan sebangun dengan pernyataan dalam cerpen Urip Ngurip, Cak To orang asli Surabaya. Orang yang berasalh dari Surabaya dipanggil ‘babe’ oleh anaknya?, juga ucapan Cak To, “Tiap hari kerjanya tidur melulu” penggunaan kata ‘babe’ dan ‘melulu’ melemahkan usaha mengonstruksikan Cak To sebagai orang asli Surabaya.
Di samping itu, Mas Midun banyak menggunakan kata bahasa Jawa dalam Urip Ngurip antara lain: menungso, berselonjor, teyeng (berkarat) pada frase seng teyeng, emperan, mbako lenteng dan reot. Interferensi (masuknya) bahasa Jawa dalam cerpen ini, seperti telah disebut diatas, karena Mas Midun orang Jawa sehingga bahasa Jawa adalah bahasa Ibu baginyua. Namun, interferensi ini melemahkan usaha untuk mengonstruksikan lingkungsn sosial ibukota dalam cerpen Urip Ngurip.
Selain dari penggunaan diksi yang campur-aduk, usaha pengonstruksian kehidupan Urip bertentangan antara satu bagian dengan bagian lain. Bahkan dalam satu paragraf, satu kalimat tidak mendukung (menguatkan) kalimat yang lain, justru melemahkannya.
Dalam plot pertama, paragraf ketujuh,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal di persyaratan tak dibutuhkan, dan orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! …
Urip mengaku sebagai orang yang tak terpelajar karena tidak menempuh wajib belajar sembilan tahun yang diwajibkan oleh orang-orang atasan. Sudah dikatan sendiri bahawa wajib belajar sembilan tahun, Urip memiliki ijazah sekolah menengah pertama, berarti dia telah menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, enam tahun di SD dan tiga tahu di SMP. Pernyataan ketidakterpelajaran dirinya dibantah sendiri oleh Urip pada plot keempat dalam percakapannya dengan pelayan “Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” sangat bertentangan dengan pernyataan bukan anak terpelajar! Seperti telah disebutkan di atas tadi.
Pertentangan antar bagian dan pelemahan konstruksi yang dibangun dalam Urip Ngurip yang lain terjadi dalam pengonstruksian religiusitas yang dimiliki tokoh Urip.
…Tidak mengenal Tuhan adalah idealis(me)ku… pada bagian ini tokoh Urip digambarkan sebagai seseorang yang tidak mengenal tuhan apalagi memiliki tuhan.
Pernyataan ini bertentangan dengan beberapa kalimat lain dalam cerpen Urip Ngurip, diantaranya pada kalimat terakhir paragraf pertama, oh tidak Ya Tuhan… Bagian lain yang menyatakan Urip bertuhan adalah,
“Tuhan…” keluh Urip kepada Tuhannya. Sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya Urip mengenal Tuhan atau tidak?
Nasionalisme
Disamping ketidakjelasan usaha penceritaan dan pencitraan dalam cerpen Urip Ngurip, sebenarnya ada tema besar yang di usung oleh Mas Midun dalam cerpen ini, yaitu rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini ditampakkan pada kecintaan Urip kepada Negeri Mimpinya,
Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati…
Urip marah kepada orang yang telah menjajah negerinya (Indonesia)
“Habis manis sepah dibuang” seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh orang –yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan,…
“gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Peremapuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi… terlaknat! …”
Tidak hanya itu, kecintaan terhadap negeri ini sebenarnya tercermin dari usahnya menggambarkan tokoh Urip, warga negara yang masih belum ‘merdeka’ di era yang merdeka. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme mau menggambarkan dan menyuarakan keadaan sosial masyarakat negeri ini yang masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Muntijo, Mahasisawa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
Alamat rumah,
Pelosok Jember, Dusun Mangaran desa Sukamakmur kecamatan Ajung.
Telp. 085336117036
Oleh: Muntijo
Dalam penciptaan sebuah karya sastra seorang sastrawan tidak pernah dalam kondisi/situasi yang kosong secara politik, sosial, budaya bahkan ideologi. Hal ini terjadi karena karya sastra merupakan hasil curahan keindahan yang dihasilkan oleh sastrawan, dan seorang sastrawan adalah manusia yang hidup di arena politik dalam arti luas, lingkungan sosial dan budaya tertentu bahkan memiliki kecenderungan ideologi tertentu pula. Karena karya sastra (cerpen) adalah curahan keindahan maka setiap kata dan gaya bahasa maupun gaya penceritaan dan gaya pencitraan dipilah dan dipilih untuk mewakili dan menggambarkan keindahan tersebut.
Berdasarkan hal di atas, cerpen Urip Ngurip karya Mas Midun Aliassyah yang dimuat Radar Jember, Minggu 13 Juni 2010 patut diberi beberapa catatan. Karena karya sastra sangat dipengaruhi oleh sastrawannya, maka terlebih dahulu akan ditunjukkan latar belakang Mas Midun Dia berasal dari Nganjuk. Jadi jelas orang Jawa dan mampu berbahasa Jawa. Penguasaannya terhadap bahasa Jawa tampak pada Urip Ngurip ini, untuk lebih jelasnya dibahas dibagian belakang. Dia adalah mahasiswa Universitas Jember (Unej) yang lebih dikenal sebagai penyair daripada sebagai seorang cerpenis (puisi-puisinya dimuat erje, 20/5/10) sehingga pengaruh gaya bahasa puisi tampak jelas pada (khususnya bagian pertama) cerpen Urip Ngurip.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi tameng persembunyiann di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala pertiwi…
Penggunaan gaya bahasa bermajas yang lebih sering digunakan dalam puisi menambah unsur keindahan cerpen ini. Namun, dalam memilih kata, Mas Midun kurang jelai (padahal dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) sehingga juga memengaruhi kenyamanan pembaca dalam menikmati cerpennya. Hal ini tampak pada bagian kedua Urip Ngurip,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama.
Apa yang dimaksud dengan lulusan ijazah? Mungkin lebih baik jika ditulis ‘aku cuma memiliki ijazah menengah pertama’ atau ‘aku cuma lulusan sekolah menengah pertama’ bukankah menjadi lebih mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Kekurangtepatan yang lain, ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealisku’ Mungkin yang dimaksud adalah ‘tidak mengenal Tuhan adalah idealismeku’. Makna dari idealis dan idealisme jauh berbeda. Idealisme adalah pahamnya, sedangkan idealis adalah orang yang menganut paham tersebut.
Dari unsur intrinsik yang lain, yaitu masalah sudut pandang pengarang. Dalam membuat prosa (cerpen ataupun novel) ada beberapa cara penceritaan oleh pengarang diantaranya: orang petama pelaku utama, pengarang menyebut tokoh utama dalam prosanya dengan menggunakan kata ganti ‘aku’; orang kedua, pengarang ikut terlibat dalam cerita namun sebagai orang kedua, jadi tokoh utama disebut ‘kamu’; orang ketiga serba tahu, pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita, namun mengetahui segala yang terjadi bahkan alam pikiran tokoh dalam cerita. Pengarang menggunakan kata ganti ‘dia’ atau nama tokoh secara langsung.
Dalam Urip Ngurip, terjadi kerancuan sudut pandang yang diambil oleh Mas Midun. Dia mencampuradukkan antara sudut pandang orang pertama pelaku utama dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini tampak hampir pada setiap plot (bagian cerpen yang dibedakan oleh latar tempat dan situasi) khususnya pada tiga plot terakhir dari cerpen yang terdiri dari lima plot ini.
Brukk!! Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. (plot ketiga)
Pada paragraf pertama, pengarang menggunakan kata ganti nama ‘Urip’ dan kata ganti orang ketiga ‘-nya’ untuk menyebut tokoh utama. Hal ini menunjukkan posisi pengarang sebagai orang ketiga serba tahu. Namun, paragraf selanjutnya pengarang menggunakan kata ganti ‘aku’ untuk menyebut tokoh utama (Urip). Hal ini berarti sudut pandang pengarang telah berpindah menjadi orang pertama pelaku utama.
Pencampuradukan sudut pandang pengarang seperti itu juga terpadapat pada plot keempat,
“Waduh!!!” tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku.
Bandingkan dengan,
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai denan keadaannya sekarang ke Narti.
Begitu juga dengan plot yang terakhir,
“Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya…
“Oh, begitu bangga aku menjadi orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” bangga Urip atas negeri mimpinya…
Dalam plot yang keempat ini jelas terlihat. Padahal sama-sama menjelaskan kalimat langsung yang diucapkan oleh tokoh Urip, tapi sudut pandang yang digunakan berbeda.
Konstruksi Sosial dan Ideologis (keagamaan)
Usaha Mas Midun mengostruksikan Urip sebagai kaum yang termarginalkan, maupun konstruksi sosial cerpen Urip Ngurip secara keseluruhan tidak kuat (tidak jelas). Di satu sisi Urip Ngurip menggambarkan kehidupan Ibukota,
Tiap hari kutelusuri Ibuk kota. Ku langkahi trotoar jalan…(plot pertama)
Menujulah Urip ke kontrakannya. Yang sebetulnya kontrakannya tak layak disebut kontrakan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan…(plot keempat)
Penggambaran kehidupan ibukota juga tampak pada penggunaan kata-kata yang dipilih, diantaranya, sekarang sudah gak berlaku, bang!; juga dalam ucapan tokoh Narti, “gini Bang!!” Jelas Narti, “aku kesini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum abang bayar…” penggunaan ‘abang’ dan ‘babe’ merupakan usaha untuk menggambarkan bahwa kehidupan itu terjadi di Jakarta karena disanalah diksi (pilihan kata) semacam itu digunakan masyarakat. Namun, hal ini tidak sejalan sebangun dengan pernyataan dalam cerpen Urip Ngurip, Cak To orang asli Surabaya. Orang yang berasalh dari Surabaya dipanggil ‘babe’ oleh anaknya?, juga ucapan Cak To, “Tiap hari kerjanya tidur melulu” penggunaan kata ‘babe’ dan ‘melulu’ melemahkan usaha mengonstruksikan Cak To sebagai orang asli Surabaya.
Di samping itu, Mas Midun banyak menggunakan kata bahasa Jawa dalam Urip Ngurip antara lain: menungso, berselonjor, teyeng (berkarat) pada frase seng teyeng, emperan, mbako lenteng dan reot. Interferensi (masuknya) bahasa Jawa dalam cerpen ini, seperti telah disebut diatas, karena Mas Midun orang Jawa sehingga bahasa Jawa adalah bahasa Ibu baginyua. Namun, interferensi ini melemahkan usaha untuk mengonstruksikan lingkungsn sosial ibukota dalam cerpen Urip Ngurip.
Selain dari penggunaan diksi yang campur-aduk, usaha pengonstruksian kehidupan Urip bertentangan antara satu bagian dengan bagian lain. Bahkan dalam satu paragraf, satu kalimat tidak mendukung (menguatkan) kalimat yang lain, justru melemahkannya.
Dalam plot pertama, paragraf ketujuh,
…Maklumlah, aku cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal di persyaratan tak dibutuhkan, dan orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! …
Urip mengaku sebagai orang yang tak terpelajar karena tidak menempuh wajib belajar sembilan tahun yang diwajibkan oleh orang-orang atasan. Sudah dikatan sendiri bahawa wajib belajar sembilan tahun, Urip memiliki ijazah sekolah menengah pertama, berarti dia telah menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, enam tahun di SD dan tiga tahu di SMP. Pernyataan ketidakterpelajaran dirinya dibantah sendiri oleh Urip pada plot keempat dalam percakapannya dengan pelayan “Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?” sangat bertentangan dengan pernyataan bukan anak terpelajar! Seperti telah disebutkan di atas tadi.
Pertentangan antar bagian dan pelemahan konstruksi yang dibangun dalam Urip Ngurip yang lain terjadi dalam pengonstruksian religiusitas yang dimiliki tokoh Urip.
…Tidak mengenal Tuhan adalah idealis(me)ku… pada bagian ini tokoh Urip digambarkan sebagai seseorang yang tidak mengenal tuhan apalagi memiliki tuhan.
Pernyataan ini bertentangan dengan beberapa kalimat lain dalam cerpen Urip Ngurip, diantaranya pada kalimat terakhir paragraf pertama, oh tidak Ya Tuhan… Bagian lain yang menyatakan Urip bertuhan adalah,
“Tuhan…” keluh Urip kepada Tuhannya. Sehingga muncul pertanyaan, sebenarnya Urip mengenal Tuhan atau tidak?
Nasionalisme
Disamping ketidakjelasan usaha penceritaan dan pencitraan dalam cerpen Urip Ngurip, sebenarnya ada tema besar yang di usung oleh Mas Midun dalam cerpen ini, yaitu rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini ditampakkan pada kecintaan Urip kepada Negeri Mimpinya,
Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati…
Urip marah kepada orang yang telah menjajah negerinya (Indonesia)
“Habis manis sepah dibuang” seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh orang –yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan,…
“gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Peremapuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi… terlaknat! …”
Tidak hanya itu, kecintaan terhadap negeri ini sebenarnya tercermin dari usahnya menggambarkan tokoh Urip, warga negara yang masih belum ‘merdeka’ di era yang merdeka. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme mau menggambarkan dan menyuarakan keadaan sosial masyarakat negeri ini yang masih jauh dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Muntijo, Mahasisawa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
Alamat rumah,
Pelosok Jember, Dusun Mangaran desa Sukamakmur kecamatan Ajung.
Telp. 085336117036
Selasa, 25 Januari 2011
PENAFSIRAN ASPEK LEKSIKAL, KONTEKSTUAL DAN INFERENSI DALAM LIRIK LAGU KERONCONG ALUN-ALUN NGANJUK KARYA NOVITA ANGGRAINI (TINJAUAN ILMU WACANA)
PENAFSIRAN ASPEK LEKSIKAL, KONTEKSTUAL DAN INFERENSI DALAM LIRIK LAGU KERONCONG ALUN-ALUN NGANJUK KARYA NOVITA ANGGRAINI (TINJAUAN ILMU WACANA)
Oleh:
MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
1. Hakikat Wacana
` Kridalaksana (2001) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hirearki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Leech (1974) di dalam Yuwono (2005) wacana dapat diklasifikasikan atas: wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato wacana fatis apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media masa wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan, seperti wacana puisi dan lagu wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau rekreasi dari mitra tutur atau pembaca. Wacana yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah lirik lagu Camelia karya Ebiet G Ade yang dikategorikan sebagai wacana estetik.
2. Sejarah Musik Keroncong
Sekitar tahun 1930, di koya Surakarta sudah banyak bermunculan jenis musik orkes keroncong. Orkes yang disebut keroncong harus memenuhi syarat baku ialah memiliki biola, seruling, gitar, stringbas dan dilengkapi pula oleh alat-alat tiup. Nama-nama orkestra keroncong pada jaman itu antara lain Monte Carlo, Sinar Bulan yang akhirnya pecah menjadi dua. Dan selanjutnya lahir pula orkes bernama Sinar Muda dan orkes Bunga Mawar. Di Surakarta pertama-tama dikenalkan gaya baru dalam tabuhan yang berkendangan mempergunakan cello yang dipetik. Hasil dari kendangan tersebut menghidupkan warna musiknya menjadi lebih segar. Keroncong jaman dulu tidak memerlukan seorang dirigen sebagai pembimbing langsung pemain orkestra. Hal ini serasi dengan orkestra gamelan yang melibatkan puluhan yaga.
Menurut penuturan Gesang, keroncong adalah musik kebersamaan tetapi meminta mutu perorangan. Menurut pengamatan para tokoh musik sebelum jaman Jepang apa-apa yang dinamakan langgam itu pada mulanya adalah lagu keroncong atau yang dimainkan dengan gaya roffel berupa adaptasi dan sering kali ada adaptasi dari lagu-lagu jazz yang diperoleh dari cara mendengarkan dan menghafal lagu-lagu dari film-film Amerika atau dari piringan hitam (Sumarlam, 2004:113)
3. Mengapa Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini Dijadikan Obyek Analisis Wacana Makalah Ini?
Ada beberapa alasan mengapa lagu Alun-Alun Nganjuk diplih sebagai objek dalam analisis wacana di makalah ini. Salah satu hal yang menjadi alasan adalah latar belakang lagu ini dan latar belakang penyanyinya yang berasal dari kabupaten Nganjuk. Sedangkan peniliti sendiri juga berasal dari kabupaten yang sama dari asal muasal lagu dan penyanyi lagu Alun-Alun Nganjuk. Selain alasan itu, lagu ini bisa dibilang sangatlah fenomenal di sekitar kalangan masyarakat Nganjuk maupun kota-kota lain yang ada di Jawa Timur.
Lagu Alun-Alun Nganjuk ini dinyanyikan oleh salah seorang penyanyi jebolan KDI 5 (Kontes Dangdut TPI). Tapi sebelumnya sosok penyanyi juga sudah dikenal oleh masyarakat Nganjuk sebagai penyanyi orkes panggilan. Eksistensi Novita Anggraini di blantika musik Indonesia selama kurang lebih lima tahunan ini menjadi evidensi bahwa dia adalah musisi baru yang layak diperhitungkan yang dan dihargai. Melalui lagu Alun-Alun Nganjuk yang begitu fenomenal dan monumental di hati masyarakat. Lagu cinta ini menjadi akrab di telinga masyarakat karena seringnya diperdengarkan oleh penyanyi sendiri ataupun dinyanyikan oleh penyanyi lain, bahkan lagu ini begitu populer dinyanyikan pengamen-pengamen jalanan. Hanya dalam waktu singkat setelah perilisan, lagu ini langsung meledak di pasaran. Alun-Alun Nganjuk memiliki syair yang sangat indah dengan diksi kejawen yang mudah diterima di telinga. Namun mengandung makna atau pengertian yang dalam. Sampai saat ini, setelah hampir lima tahun perilisan, lagu Alun-Alun Nganjuk masih sering terdengar di media. Karena alasan-alasan tersebut, lagu Alun-Alun Nganjuk dipilih peniliti sebagai objek kajian wacana dalam makalah ini.
4. Biografi Novita Anggraini
Novita Anggraini yang lebih akrab dipanggil Vita adalah jawara di ajang Kontes Dangdut TPI (KDI) 5 tahun 2008. Gadis kelahiran Nganjuk, 10 November 1987 ini adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Darmoko dan Wiwik. Vita dan keluarganya berdomisili di Nganjuk dengan alamat Gugus wilis III, Jarakan, Kramat, Nganjuk. mereka (keluarga vita) hidup dengan kesederhanaan. Darmoko adalah seorang PNS di dinas pariwisata di Surabaya. Sedangkan Wiwik, ibu vita hanya ibu rumah tangga. keduanya dikaruniai anak lima orang. Tiga wanita dan dua laki laki. Sebelum Vita dikenal masyarakat luas setelah menjadi jawara KDI 5, ia sebelumnya sudah merilis beberapa album keroncong. Diantaranya Trisna kutha bayu I dan album kedua berjudul Trisna kutha bayu II. Ia juga sempat merilis album campursari bertitel TRESNO KUTO BAYU.
Novita Anggraini sebagai juara pertama KDI 5 mendapat hadiah sebesar Rp150 juta, penyanyi yang mengidolakan Iis Dahlia ini berkeinginan untuk memiliki album solo dangdut yang diramu dengan hip hop. Catatan perjalanan Vita dalam mengikuti audisi KDI 5 dapat diketahui sebagai berikut:
Jalan panjangnya di KDI 5 dimulai dari audisi yang diikutinya di Surabaya.
Datang ke kontes KDI 5 dengan membawa modal berupa prosentase SMS di Gerbang KDI sebanyak 35,73%.
Kelebihan Vita antara lain tampil memukau di atas panggung, pribadi yang lucu, dan menggemaskan.
Pemerintah Kabupaten Nganjuk telah berkoar di depan semua rakyatnya untuk mengirimkan dukungan SMS untuk Vita.
Karakter suara sinden Vita yang kuat bisa membawanya menjadi penyanyi dangdut terkenal.
5. Penafsiran Aspek Leksikal, Kontekstual dan Inferensi dalam Lirik Lagu Keroncong Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini (Tinjauan Ilmu Wacana)
A. Analisis Aspek Leksikal
Aspek leksikal atau kohesi leksikal adalah hubungan antar unsur dalam wacana secara sistematis (Sumarlam, 2009:35). Kohesi leksikal dalam wacana ada enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas-bawah), (5) antonimi (lawan kata), (6) ekuivalensi (kesepadanan).
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini semua aspek leksikal digunakan oleh pencipta lagu untuk menghasilkan lirik lagu sebagai sebuah wacana yang padu. Pemakaian kohesi leksikal dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tampak dalam penjelasan berikut ini.
1) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam, 2009:35). Unsur yang mengalami pengulangan pasti menjadi perhatian penuh bagi penciptanya. Macam-macam repetisi antara lain:
a) Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
b) Repetisi Tautotes
Repetisi tautoes adalah pengulangan satuan lingual atau kata hingga beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
c) Repetisi Anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya (Sumarlam, 2009:36). Repetisi anafora dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan lagu di atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan kata kowe pada baris keempat dan kelima. Repetisi semacam ini dimanfatkan oleh pencipta lagu untuk menyampaikan maksud bahwa kowe (tokoh pertama dalam lagu ini) sangat mencintai seseorang yang ditunjukan dengan kata kowe atau ‘kamu’.
d) Repetisi Epistrofa
Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata, frasa pada akhir baris atau akhir kalimat. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
e) Repetisi Simploke
Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat seara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
f) Repetisi Mesodiplosis
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat seara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini ditemukan repetisi tersebut.
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan lagu di atas terjadi repetisi mesodiplosis berupa pengulangan kata kowe pada baris keempat dan kelima.
g) Repetisi Epanalepsis
Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual yang kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat yang merupakan pengulangan kata atau frasa pertama. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
h) Repetisi Anadiplosis
Repetisi anadiplosis pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kaliamat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris atau kaliamat berikutnya. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
i) Pengulangan Jumlah Suku Kata
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak terdapat pengulangan jumlah suku kata dalam baris-baris liriknya bila kita mengamati dengan teliti.
2) Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memilki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama (Gorys Keraf, 2005:34).Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer dalam Sumarlam, 2009:39). Kepaduan wacana didukung oleh sinonimi yang merupakan salah satu aspek leksikal. Fungsi sinonimi adalah menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana.
Sinonimi dapat dibedakan menjadi lima berdasarkan wujud satuan lingualnya, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini terdapat tiga bentuk sinonimi yaitu sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat), sinonimi kata dengan kata dan sinonimi kata dengan frasa. Sinonimi tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
a) Sinonimi Morfem (Bebas) dengan Morfem (Terikat)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Pada kutipan di atas morfem bebas aku bersinonim dengan morfem (terikat) –ku dalam atiku.
b) Sinonimi Kata dengan Kata
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Tampak pada kutipan (6) dan (7) di atas yaitu sinonimi kata dengan kata yaitu kata goleki dengan kata nggoleki yang memiliki arti mencari. Kedua kata tersebut memiliki makna sepadan.
c) Sinonimi Klausa dengan Kata
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan (3) diatas, terdapat sinonimi antara klausa dengan kata yaitu klausa nggugah kangene ati dengan kata tak kangeni pada kutipan (5) yang keduanya memiliki makna yang sepadan yaitu ‘merindukan’.
d) Sinonimi Kata dengan Krasa
Ning alun-alun goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Kepaduan wacana tersebut didukung oleh aspek leksikal berupa sinonimi antara kata goleki ‘mencari’ pada baris ke-6dengan frasa tak ubengi ‘mengelilingi’ pada baris ke-7.
3) Antonimi (Oposisi Makna)
Antonimi dapat diartikan sebagai satuan lingual yang maknanya beralawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Berdasarkan sifatnya oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu :
a) Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
b) Oposisi Kutub
Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
c) Oposisi Hubungan
Oposisi Hubungan adalah oposisi makna uyang bersifat saling melengkapi. Karena bersifat saling melengkapai maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya; atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain (Sumarlam, 2009: 41-42). Kutipan kata yang mengandung oposisi hubungan dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut.
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Pada data diatas terdapat oposisi hubungan antara kata alun-alun ‘tempat wisata’ pada kutipan (6) dengan kata Terminal stasiun ‘tempat berhintannya bus dan kreta api’ pada kutipan (7). Kata alun-alun kehadirannya akan lebih bermakna apabila ada Terminal stasiun dan sebaliknya sebagai tempat penantian sang kekasih pergi.
d) Oposisi Hirarkial
Oposisi Hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan dan sejenisnya. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
e) Oposisi Majemuk
Oposisi Majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
4) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi adalah semacam relasi antara kata yang berwujud atas-bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Gorys Keraf, 2005:38). Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahas (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau lingual berhiponim itu disebut “hipernim” atau “superordinat” (Sumaralam, 2009:45). Penggunaan hiponimi dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Midero sajagad raya (9)
‘berkelilinglah sejagad raya’
Kalingana wukir lan samudra (10)
‘terhalang gunung dan lautan’
Lha kae lintange mlaku (6)
‘lha itu bintangnya berjalan’.
Pada kutipan lirik diatas, yang merupakan hipernim atau super ordinatnya adalah jagad raya ‘alam semesta’. Sementara itu yang termasuk dalam alam semesta sebagai hiponimnya adalah wukir ‘gunung’, samudra ‘samudra’ dan lintang ‘bintang’.
5) Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma (Sumarlam, 2009:46). Kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini terdapat dua morfem asal yang memiliki ekuivalensi dengan kata bentukan yang telah mengalami proses afiksasi. Penjabaran ekuivalensi pada lagu tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
a. Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
b. Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Pada data (a) hubungan makna antara kata wengi kutha dengan angin wates semua dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu suasana. Demikian pula pada data (b) yaitu hubungan makna antara kata alun-alun ‘manis’ dan lampu alun-alun yang mempunyai kata dasar alun-alun.
B. Analisis Aspek Kontekstual
Analisis kontekstual adalah analisis wacana dengan bertumpu pada teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya.baik konteks situasi maupun konteks cultural. Pemahaman konteks-konteks tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :
1) Penafsiran Personal
Berkaitan dengan siapa yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Halliday dan Hasan (1992:16) menyebut penutur dan mitra tutur atau partisipan dengan istilah “pelibat wacana”. pelibat wacana biasanya menunjuk pada orang-orang yang berperan dalam wacana, kedudukannya, jenis hubungan perannya, ciri fisik dan non-fisik, serta emosi penutur dan mitra tutur.
Untuk mengetahui pelibat wacana dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini, mari kita simak kutipan berikut:
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Berdasarkan referensi pronomina persona mudah diketahui bahwa pelibat wacana dalam lagu tersebut adalah persona pertama tunggal aku ‘aku, saya’ dan pronomina persona kedua tunggal -mu ‘dirimu’. Unsur (seseorang atau nama orang) yang diacu oleh pronominal persona aku ‘aku’ tidak dapat ditemukan di dalam lagu tersebut karena sifat acuannya yang eksoforis. Sementara itu, unsur yang diacu oleh pronomina persona -mu ‘dirimu’pada kutipan di atas dapat ditemukan lagi di dalam bait selanjutnya karena sifat acuan yang endoforis. Pertanyaan yang muncul sebenarnya siapakah sesungguhnya aku ‘saya’ dan siapakah -mu ‘dirimu’ dalam lagu tersebut?
Aku sebagai penafsiran personal dalam lagu tersebut setidak-tidaknya mempunyai beberapa tafsiran yakni :
a. Pengarang lagu itu sendiri
b.Orang yang khusus menyanyikan lagu itu untuk dipopulerkan
c.Siapa saja yang membaca lirik lagu atau sengaja menyanyikan lagu tersebut.
d.seorang lelaki atau perempuan yang sedang dimabuk asmara.
Sedangkan -mu ‘dirimu’ atau adalah penafsiran terhadap pelibat wacana yang bisa ditafsirkan sebagai :
a. Ditujukan untuk seseorang yang dikasihi sang pengarang.
b. Kata sapaan dari seorang lelaki untuk kekasihnya atau sebaliknya.
c. Siapa saja yang menjadi pujaan hati atau orang yang didambakan.
2) Penafsiran Lokasional
Berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Berdasarkan perangkat benda yang menjadi konteksnya kita dapat menafsirkan tempat terjadinya suatu situasi pada tuturan dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut :
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Pronominal demonstrative seperti kutha Nganjuk dan alun-alun, terminal stasiun merupakan tempat yang mengacu secara eksplisit (bisa saja tidak benar-benar dialami oleh pengarang saat menceritakan lagi tersebut) sehingga tidak ditemukan suatu situasi atau tempat karenanya sulit ditafsirkan.
3) Penafsiran Temporal
Berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya situasi (peristiwa, keadaan, proses) dapat terlihat dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut:
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Pronomina demonstrative waktu Mecak’e endahing wengi ‘ketika keindahan malam datang’ mengacu pada Sumilir angin wates itu ditafsirkan bahwa mungkin sang pengarang mengarang lagu itu terinspirasi ketika malam datang dan saat yang tepat untuk berkasih mesra oleh sepasang kekasih adalah ketika malam datang.
4) Penafsiran Analogi
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan ) sebuah wacana. Dan dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini penafsiran analogi ditemukan dalam wacana sebagai berikut:
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Dari penganalogian Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3) ditafsirkan bahwa semilirnya angin malam mengingatkan rasa rindu yang membuncah saat ditinggal sang kekasih. Sehingga dari analogi sebab akibat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud dari lirik lagu tersebut adalah lagu dari seorang pria atau perempuan yang sedang merindukan sang kekasih pujaan hatinya.
C. Analisis Aspek Inferensi
Adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/ pendengar/ mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/ penulis/ penutur).
Inferensi dapat diambil dari sebuah tuturan bergantung pada konteks yang menyertainya. Terdapat empat macam konteks yaitu: konteks fisik, konteks epistemis, konteks linguistic, dan konteks sosial.
1) Inferensi Fisik
Inferensi fisik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Dari data di atas menunjukkan bahwa adanya konteks fisik yakni bahwa kerinduan sang kekasih begitu dinanti-nanti di saat malam tiba di kota Nganjuk.
2) Inferensi Epistemis
Inferensi epistemis yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan konteks tersebut.
3) Inferensi Linguistik
Inferensi linguistik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
4) Inferensi Sosial
Inferensi linguistik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Dari data di atas dapat diketahui bahwa adanya inferensi sosial yang terjadi antara dua sang kekasih yang sedang dilanda kerinduan. Karena sudah beberapa lama berpisah tanpa bertemu kembali. Namun rasa kerinduan itu tak memudar sedikitpun, hingga ia sanggup menanti sang kekasih walaupun ia akan datang bertahun-tahun lamannya.
6. Kesimpulan
Dari proses analisis data yang telah dilakuakan, telah ditemukan simpulan terhadap analisis wacana lirik Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini berdasarkan dari tiga aspek yang terdapat di dalam kajian wacana, yakni aspek leksikal, kontekstual dan aspek inferensi.
Ketiga aspek di atas secara umum dapat diketahui bahwa ketiga aspek tersebut digunakan oleh pencipta lagu Alun-Alun Nganjuk untuk menghasilkan lirik lagu sebagai sebuah wacana yang padu. Bahkan aspek tersebut memiliki nilai yang sepesifik di setiap bait-bait lirik lagu Alun-Alun Nganjuk karya Novita Anggraini. Bahkan ketiga aspek tersebut saling dominan menjadi tumpuan terbentuknya keindahan makna lirik lagu yang diciptakan pengarang, sehingga menghasilkan lirik lagu yang sangat menyentuh jiwa seseorang yang sedang ditinggal sang kekasih.
Begitu populernya lagu ini dikalangan masyarakat, bisa diakibatkan pengarang lagu yang begitu piawai dalam memilih diksi yang pas dan konteks yang menyentuh jika seseorang akan rindu kepada kekasihnya. Sehingga lagu ini begitu mudah diterima masyarakat luas.
Daftar Rujukan
Anggraini, Novita. 2005. Alun-Alun Nganjuk (Video Clip). Ndaru Breng: Nganjuk.
Kartomihardjo, Soeseno. 1992. Analisis Wacana dan Penerapannya (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). SKIP: Malang.
Sumarlam. 2009. Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Sumarlam, dkk. 2004. Analisis Wacana, Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, dan Novel Drama. Bandung : Pakar Raya.
http://awan80.blogspot.com/analisis wacana lagu camelia karya ebiet g ade kajian tekstual dan konteks situasi.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
http://iphototv.blogspot.com/2008/08/pemenang-kdi-5-novita-anggraeni-vita.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
http://istana-musik.blogspot.com/2009/01/kumpulan-lagu-lagu-vita-kdi.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
Lampiran Lirik Lagu:
ALUN-ALUN NGANJUK
Karya, Vita Anggraini
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Oleh:
MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
1. Hakikat Wacana
` Kridalaksana (2001) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hirearki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Leech (1974) di dalam Yuwono (2005) wacana dapat diklasifikasikan atas: wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato wacana fatis apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media masa wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan, seperti wacana puisi dan lagu wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau rekreasi dari mitra tutur atau pembaca. Wacana yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah lirik lagu Camelia karya Ebiet G Ade yang dikategorikan sebagai wacana estetik.
2. Sejarah Musik Keroncong
Sekitar tahun 1930, di koya Surakarta sudah banyak bermunculan jenis musik orkes keroncong. Orkes yang disebut keroncong harus memenuhi syarat baku ialah memiliki biola, seruling, gitar, stringbas dan dilengkapi pula oleh alat-alat tiup. Nama-nama orkestra keroncong pada jaman itu antara lain Monte Carlo, Sinar Bulan yang akhirnya pecah menjadi dua. Dan selanjutnya lahir pula orkes bernama Sinar Muda dan orkes Bunga Mawar. Di Surakarta pertama-tama dikenalkan gaya baru dalam tabuhan yang berkendangan mempergunakan cello yang dipetik. Hasil dari kendangan tersebut menghidupkan warna musiknya menjadi lebih segar. Keroncong jaman dulu tidak memerlukan seorang dirigen sebagai pembimbing langsung pemain orkestra. Hal ini serasi dengan orkestra gamelan yang melibatkan puluhan yaga.
Menurut penuturan Gesang, keroncong adalah musik kebersamaan tetapi meminta mutu perorangan. Menurut pengamatan para tokoh musik sebelum jaman Jepang apa-apa yang dinamakan langgam itu pada mulanya adalah lagu keroncong atau yang dimainkan dengan gaya roffel berupa adaptasi dan sering kali ada adaptasi dari lagu-lagu jazz yang diperoleh dari cara mendengarkan dan menghafal lagu-lagu dari film-film Amerika atau dari piringan hitam (Sumarlam, 2004:113)
3. Mengapa Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini Dijadikan Obyek Analisis Wacana Makalah Ini?
Ada beberapa alasan mengapa lagu Alun-Alun Nganjuk diplih sebagai objek dalam analisis wacana di makalah ini. Salah satu hal yang menjadi alasan adalah latar belakang lagu ini dan latar belakang penyanyinya yang berasal dari kabupaten Nganjuk. Sedangkan peniliti sendiri juga berasal dari kabupaten yang sama dari asal muasal lagu dan penyanyi lagu Alun-Alun Nganjuk. Selain alasan itu, lagu ini bisa dibilang sangatlah fenomenal di sekitar kalangan masyarakat Nganjuk maupun kota-kota lain yang ada di Jawa Timur.
Lagu Alun-Alun Nganjuk ini dinyanyikan oleh salah seorang penyanyi jebolan KDI 5 (Kontes Dangdut TPI). Tapi sebelumnya sosok penyanyi juga sudah dikenal oleh masyarakat Nganjuk sebagai penyanyi orkes panggilan. Eksistensi Novita Anggraini di blantika musik Indonesia selama kurang lebih lima tahunan ini menjadi evidensi bahwa dia adalah musisi baru yang layak diperhitungkan yang dan dihargai. Melalui lagu Alun-Alun Nganjuk yang begitu fenomenal dan monumental di hati masyarakat. Lagu cinta ini menjadi akrab di telinga masyarakat karena seringnya diperdengarkan oleh penyanyi sendiri ataupun dinyanyikan oleh penyanyi lain, bahkan lagu ini begitu populer dinyanyikan pengamen-pengamen jalanan. Hanya dalam waktu singkat setelah perilisan, lagu ini langsung meledak di pasaran. Alun-Alun Nganjuk memiliki syair yang sangat indah dengan diksi kejawen yang mudah diterima di telinga. Namun mengandung makna atau pengertian yang dalam. Sampai saat ini, setelah hampir lima tahun perilisan, lagu Alun-Alun Nganjuk masih sering terdengar di media. Karena alasan-alasan tersebut, lagu Alun-Alun Nganjuk dipilih peniliti sebagai objek kajian wacana dalam makalah ini.
4. Biografi Novita Anggraini
Novita Anggraini yang lebih akrab dipanggil Vita adalah jawara di ajang Kontes Dangdut TPI (KDI) 5 tahun 2008. Gadis kelahiran Nganjuk, 10 November 1987 ini adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Darmoko dan Wiwik. Vita dan keluarganya berdomisili di Nganjuk dengan alamat Gugus wilis III, Jarakan, Kramat, Nganjuk. mereka (keluarga vita) hidup dengan kesederhanaan. Darmoko adalah seorang PNS di dinas pariwisata di Surabaya. Sedangkan Wiwik, ibu vita hanya ibu rumah tangga. keduanya dikaruniai anak lima orang. Tiga wanita dan dua laki laki. Sebelum Vita dikenal masyarakat luas setelah menjadi jawara KDI 5, ia sebelumnya sudah merilis beberapa album keroncong. Diantaranya Trisna kutha bayu I dan album kedua berjudul Trisna kutha bayu II. Ia juga sempat merilis album campursari bertitel TRESNO KUTO BAYU.
Novita Anggraini sebagai juara pertama KDI 5 mendapat hadiah sebesar Rp150 juta, penyanyi yang mengidolakan Iis Dahlia ini berkeinginan untuk memiliki album solo dangdut yang diramu dengan hip hop. Catatan perjalanan Vita dalam mengikuti audisi KDI 5 dapat diketahui sebagai berikut:
Jalan panjangnya di KDI 5 dimulai dari audisi yang diikutinya di Surabaya.
Datang ke kontes KDI 5 dengan membawa modal berupa prosentase SMS di Gerbang KDI sebanyak 35,73%.
Kelebihan Vita antara lain tampil memukau di atas panggung, pribadi yang lucu, dan menggemaskan.
Pemerintah Kabupaten Nganjuk telah berkoar di depan semua rakyatnya untuk mengirimkan dukungan SMS untuk Vita.
Karakter suara sinden Vita yang kuat bisa membawanya menjadi penyanyi dangdut terkenal.
5. Penafsiran Aspek Leksikal, Kontekstual dan Inferensi dalam Lirik Lagu Keroncong Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini (Tinjauan Ilmu Wacana)
A. Analisis Aspek Leksikal
Aspek leksikal atau kohesi leksikal adalah hubungan antar unsur dalam wacana secara sistematis (Sumarlam, 2009:35). Kohesi leksikal dalam wacana ada enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas-bawah), (5) antonimi (lawan kata), (6) ekuivalensi (kesepadanan).
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini semua aspek leksikal digunakan oleh pencipta lagu untuk menghasilkan lirik lagu sebagai sebuah wacana yang padu. Pemakaian kohesi leksikal dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tampak dalam penjelasan berikut ini.
1) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam, 2009:35). Unsur yang mengalami pengulangan pasti menjadi perhatian penuh bagi penciptanya. Macam-macam repetisi antara lain:
a) Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
b) Repetisi Tautotes
Repetisi tautoes adalah pengulangan satuan lingual atau kata hingga beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
c) Repetisi Anafora
Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya (Sumarlam, 2009:36). Repetisi anafora dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan lagu di atas terjadi repetisi anafora berupa pengulangan kata kowe pada baris keempat dan kelima. Repetisi semacam ini dimanfatkan oleh pencipta lagu untuk menyampaikan maksud bahwa kowe (tokoh pertama dalam lagu ini) sangat mencintai seseorang yang ditunjukan dengan kata kowe atau ‘kamu’.
d) Repetisi Epistrofa
Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata, frasa pada akhir baris atau akhir kalimat. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
e) Repetisi Simploke
Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat seara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
f) Repetisi Mesodiplosis
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat seara berturut-turut. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini ditemukan repetisi tersebut.
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan lagu di atas terjadi repetisi mesodiplosis berupa pengulangan kata kowe pada baris keempat dan kelima.
g) Repetisi Epanalepsis
Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual yang kata atau frasa terakhir dari baris atau kalimat yang merupakan pengulangan kata atau frasa pertama. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
h) Repetisi Anadiplosis
Repetisi anadiplosis pengulangan kata atau frasa terakhir dari baris atau kaliamat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris atau kaliamat berikutnya. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan repetisi tersebut.
i) Pengulangan Jumlah Suku Kata
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak terdapat pengulangan jumlah suku kata dalam baris-baris liriknya bila kita mengamati dengan teliti.
2) Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memilki makna yang sama, atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama (Gorys Keraf, 2005:34).Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer dalam Sumarlam, 2009:39). Kepaduan wacana didukung oleh sinonimi yang merupakan salah satu aspek leksikal. Fungsi sinonimi adalah menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana.
Sinonimi dapat dibedakan menjadi lima berdasarkan wujud satuan lingualnya, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
Di dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini terdapat tiga bentuk sinonimi yaitu sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat), sinonimi kata dengan kata dan sinonimi kata dengan frasa. Sinonimi tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
a) Sinonimi Morfem (Bebas) dengan Morfem (Terikat)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Pada kutipan di atas morfem bebas aku bersinonim dengan morfem (terikat) –ku dalam atiku.
b) Sinonimi Kata dengan Kata
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Tampak pada kutipan (6) dan (7) di atas yaitu sinonimi kata dengan kata yaitu kata goleki dengan kata nggoleki yang memiliki arti mencari. Kedua kata tersebut memiliki makna sepadan.
c) Sinonimi Klausa dengan Kata
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Pada kutipan (3) diatas, terdapat sinonimi antara klausa dengan kata yaitu klausa nggugah kangene ati dengan kata tak kangeni pada kutipan (5) yang keduanya memiliki makna yang sepadan yaitu ‘merindukan’.
d) Sinonimi Kata dengan Krasa
Ning alun-alun goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Kepaduan wacana tersebut didukung oleh aspek leksikal berupa sinonimi antara kata goleki ‘mencari’ pada baris ke-6dengan frasa tak ubengi ‘mengelilingi’ pada baris ke-7.
3) Antonimi (Oposisi Makna)
Antonimi dapat diartikan sebagai satuan lingual yang maknanya beralawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Berdasarkan sifatnya oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu :
a) Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
b) Oposisi Kutub
Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
c) Oposisi Hubungan
Oposisi Hubungan adalah oposisi makna uyang bersifat saling melengkapi. Karena bersifat saling melengkapai maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya; atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain (Sumarlam, 2009: 41-42). Kutipan kata yang mengandung oposisi hubungan dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut.
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Pada data diatas terdapat oposisi hubungan antara kata alun-alun ‘tempat wisata’ pada kutipan (6) dengan kata Terminal stasiun ‘tempat berhintannya bus dan kreta api’ pada kutipan (7). Kata alun-alun kehadirannya akan lebih bermakna apabila ada Terminal stasiun dan sebaliknya sebagai tempat penantian sang kekasih pergi.
d) Oposisi Hirarkial
Oposisi Hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan dan sejenisnya. Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
e) Oposisi Majemuk
Oposisi Majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan oposisi tersebut.
4) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi adalah semacam relasi antara kata yang berwujud atas-bawah, atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Gorys Keraf, 2005:38). Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahas (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau lingual berhiponim itu disebut “hipernim” atau “superordinat” (Sumaralam, 2009:45). Penggunaan hiponimi dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
Midero sajagad raya (9)
‘berkelilinglah sejagad raya’
Kalingana wukir lan samudra (10)
‘terhalang gunung dan lautan’
Lha kae lintange mlaku (6)
‘lha itu bintangnya berjalan’.
Pada kutipan lirik diatas, yang merupakan hipernim atau super ordinatnya adalah jagad raya ‘alam semesta’. Sementara itu yang termasuk dalam alam semesta sebagai hiponimnya adalah wukir ‘gunung’, samudra ‘samudra’ dan lintang ‘bintang’.
5) Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma (Sumarlam, 2009:46). Kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini terdapat dua morfem asal yang memiliki ekuivalensi dengan kata bentukan yang telah mengalami proses afiksasi. Penjabaran ekuivalensi pada lagu tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
a. Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
b. Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Pada data (a) hubungan makna antara kata wengi kutha dengan angin wates semua dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu suasana. Demikian pula pada data (b) yaitu hubungan makna antara kata alun-alun ‘manis’ dan lampu alun-alun yang mempunyai kata dasar alun-alun.
B. Analisis Aspek Kontekstual
Analisis kontekstual adalah analisis wacana dengan bertumpu pada teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya.baik konteks situasi maupun konteks cultural. Pemahaman konteks-konteks tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :
1) Penafsiran Personal
Berkaitan dengan siapa yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Halliday dan Hasan (1992:16) menyebut penutur dan mitra tutur atau partisipan dengan istilah “pelibat wacana”. pelibat wacana biasanya menunjuk pada orang-orang yang berperan dalam wacana, kedudukannya, jenis hubungan perannya, ciri fisik dan non-fisik, serta emosi penutur dan mitra tutur.
Untuk mengetahui pelibat wacana dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini, mari kita simak kutipan berikut:
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Berdasarkan referensi pronomina persona mudah diketahui bahwa pelibat wacana dalam lagu tersebut adalah persona pertama tunggal aku ‘aku, saya’ dan pronomina persona kedua tunggal -mu ‘dirimu’. Unsur (seseorang atau nama orang) yang diacu oleh pronominal persona aku ‘aku’ tidak dapat ditemukan di dalam lagu tersebut karena sifat acuannya yang eksoforis. Sementara itu, unsur yang diacu oleh pronomina persona -mu ‘dirimu’pada kutipan di atas dapat ditemukan lagi di dalam bait selanjutnya karena sifat acuan yang endoforis. Pertanyaan yang muncul sebenarnya siapakah sesungguhnya aku ‘saya’ dan siapakah -mu ‘dirimu’ dalam lagu tersebut?
Aku sebagai penafsiran personal dalam lagu tersebut setidak-tidaknya mempunyai beberapa tafsiran yakni :
a. Pengarang lagu itu sendiri
b.Orang yang khusus menyanyikan lagu itu untuk dipopulerkan
c.Siapa saja yang membaca lirik lagu atau sengaja menyanyikan lagu tersebut.
d.seorang lelaki atau perempuan yang sedang dimabuk asmara.
Sedangkan -mu ‘dirimu’ atau adalah penafsiran terhadap pelibat wacana yang bisa ditafsirkan sebagai :
a. Ditujukan untuk seseorang yang dikasihi sang pengarang.
b. Kata sapaan dari seorang lelaki untuk kekasihnya atau sebaliknya.
c. Siapa saja yang menjadi pujaan hati atau orang yang didambakan.
2) Penafsiran Lokasional
Berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Berdasarkan perangkat benda yang menjadi konteksnya kita dapat menafsirkan tempat terjadinya suatu situasi pada tuturan dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut :
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Pronominal demonstrative seperti kutha Nganjuk dan alun-alun, terminal stasiun merupakan tempat yang mengacu secara eksplisit (bisa saja tidak benar-benar dialami oleh pengarang saat menceritakan lagi tersebut) sehingga tidak ditemukan suatu situasi atau tempat karenanya sulit ditafsirkan.
3) Penafsiran Temporal
Berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya situasi (peristiwa, keadaan, proses) dapat terlihat dalam lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini sebagai berikut:
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Pronomina demonstrative waktu Mecak’e endahing wengi ‘ketika keindahan malam datang’ mengacu pada Sumilir angin wates itu ditafsirkan bahwa mungkin sang pengarang mengarang lagu itu terinspirasi ketika malam datang dan saat yang tepat untuk berkasih mesra oleh sepasang kekasih adalah ketika malam datang.
4) Penafsiran Analogi
Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan ) sebuah wacana. Dan dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini penafsiran analogi ditemukan dalam wacana sebagai berikut:
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Dari penganalogian Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3) ditafsirkan bahwa semilirnya angin malam mengingatkan rasa rindu yang membuncah saat ditinggal sang kekasih. Sehingga dari analogi sebab akibat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud dari lirik lagu tersebut adalah lagu dari seorang pria atau perempuan yang sedang merindukan sang kekasih pujaan hatinya.
C. Analisis Aspek Inferensi
Adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/ pendengar/ mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/ penulis/ penutur).
Inferensi dapat diambil dari sebuah tuturan bergantung pada konteks yang menyertainya. Terdapat empat macam konteks yaitu: konteks fisik, konteks epistemis, konteks linguistic, dan konteks sosial.
1) Inferensi Fisik
Inferensi fisik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Dari data di atas menunjukkan bahwa adanya konteks fisik yakni bahwa kerinduan sang kekasih begitu dinanti-nanti di saat malam tiba di kota Nganjuk.
2) Inferensi Epistemis
Inferensi epistemis yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini tidak ditemukan konteks tersebut.
3) Inferensi Linguistik
Inferensi linguistik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
4) Inferensi Sosial
Inferensi linguistik yang terdapat di dalam lirik lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini dapat diketahui sebagai berikut:
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Dari data di atas dapat diketahui bahwa adanya inferensi sosial yang terjadi antara dua sang kekasih yang sedang dilanda kerinduan. Karena sudah beberapa lama berpisah tanpa bertemu kembali. Namun rasa kerinduan itu tak memudar sedikitpun, hingga ia sanggup menanti sang kekasih walaupun ia akan datang bertahun-tahun lamannya.
6. Kesimpulan
Dari proses analisis data yang telah dilakuakan, telah ditemukan simpulan terhadap analisis wacana lirik Lagu Alun-Alun Nganjuk Karya Novita Anggraini berdasarkan dari tiga aspek yang terdapat di dalam kajian wacana, yakni aspek leksikal, kontekstual dan aspek inferensi.
Ketiga aspek di atas secara umum dapat diketahui bahwa ketiga aspek tersebut digunakan oleh pencipta lagu Alun-Alun Nganjuk untuk menghasilkan lirik lagu sebagai sebuah wacana yang padu. Bahkan aspek tersebut memiliki nilai yang sepesifik di setiap bait-bait lirik lagu Alun-Alun Nganjuk karya Novita Anggraini. Bahkan ketiga aspek tersebut saling dominan menjadi tumpuan terbentuknya keindahan makna lirik lagu yang diciptakan pengarang, sehingga menghasilkan lirik lagu yang sangat menyentuh jiwa seseorang yang sedang ditinggal sang kekasih.
Begitu populernya lagu ini dikalangan masyarakat, bisa diakibatkan pengarang lagu yang begitu piawai dalam memilih diksi yang pas dan konteks yang menyentuh jika seseorang akan rindu kepada kekasihnya. Sehingga lagu ini begitu mudah diterima masyarakat luas.
Daftar Rujukan
Anggraini, Novita. 2005. Alun-Alun Nganjuk (Video Clip). Ndaru Breng: Nganjuk.
Kartomihardjo, Soeseno. 1992. Analisis Wacana dan Penerapannya (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). SKIP: Malang.
Sumarlam. 2009. Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
Sumarlam, dkk. 2004. Analisis Wacana, Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, dan Novel Drama. Bandung : Pakar Raya.
http://awan80.blogspot.com/analisis wacana lagu camelia karya ebiet g ade kajian tekstual dan konteks situasi.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
http://iphototv.blogspot.com/2008/08/pemenang-kdi-5-novita-anggraeni-vita.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
http://istana-musik.blogspot.com/2009/01/kumpulan-lagu-lagu-vita-kdi.html. (Diakses pada tanggal 5 Desember 2010)
Lampiran Lirik Lagu:
ALUN-ALUN NGANJUK
Karya, Vita Anggraini
Lunga tak anti-anti kapan nggonmu bali (1)
(Ketika kamu berpergian aku bertanya kapan kamu kembali)
Mecak’e endahing wengi kutha Nganjuk iki (2)
(Suasana keindahan malam di kota Nganjuk ini)
Sumilir angin wates nggugah kangene ati (3)
(Hingga hembusan angin malam menggugah rindu di hati)
Apo kowe ora ngerteni (4)
(Apa kamu tidak menungguku)
Kowe tak kangeni (5)
(Padahal kamu aku rindukan)
Ning alun-alun tak goleki (6)
(Aku mencarimu di alun-alun)
Terminal stasiun tak ubengi (7)
(Bahkan aku mengelilingi terminal dan stasiun)
Senajan setahun tak enteni (8)
(Walaupun satu tahun pasti aku tunggu)
Tresnamu sing tak gondheli (9)
(Rasa sayangmu yang aku harapkan)
Lali tenan to dhik nggonmu janji-janji (10)
(Apa kamu lupa sungguhan dik, dengan janji-janjimu)
Disekseni lampu alun-alun iki (11)
(Lampu alun-alun menjadi saksinya)
Lali tenan to dhik karo aku iki (12)
(Apa kamu lupa sungguhan dik dengan aku ini)
Ning terminal stasiun nggonku nggoleki (13)
(Di terminal dan stasiunlah aku mencarimu)
Minggu, 02 Januari 2011
Sabtu, 01 Januari 2011
Analisis Bahasa Alay: Aspek Semantik
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Bahasa Alay
Alay adalah singkatan dari Anak layangan, Alah Lebay, Anak Layu, atau Anak Kelayapan yang sering dihubungkan dengan anak JARPUL (Jarang Pulang). Tapi yang paling santer adalah anak layangan. Istilah ini untuk menggambarkan anak yg sok keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secara umum. Konon asal usulnya, Alay diartikan "anak kampung", karena anak kampung rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap dikarenakan sering bermain layangan.
Pengertian Alay menurut beberapa ahli :
a. Koentjara Ningrat
"Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakaian, sekaligus meningkatkan kenarsisan yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya. Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar"
b. Selo Soemardjan
Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu.
Ciri-ciri penganut bahasa Alay :
1. Suka memakai tulisan atau teks yang GedE keCiL-gEdEkeciL
2. Sok bergaya Emo atau Harajuku tapi ketika ditanya asalmulanya, mereka tidak tahu sama sekali
3. Jika mengirim sms atau komentar mereka memakai bahasa yang aneh seperti, "aQuWh, maNi3eZz.."
4. Gaya rambut anak laki-lakinya banyak meniru gaya-gaya anak band.
5. Kurus kerempeng, suka memegang rambut dan bermuka bokat
6. Suka bergerombol dan membuat onar
7. Bergaya sok kaya, imut, cantik, keren, gaul, sok techno, padahal ketika ditanya kode HTML mereka tidak tahu sama sekali.
9. Mereka menyukai lagu-lagu barat, akan tetapi tidak tahu lagu barat yang sedang nge-trend saat ini. Mereka hanya tahu lagu barat dari jaman eighty dan ninety saja.
2. Bentuk dan Contoh Penggunaan Bahasa Alay
Bahasa Alay, atau yang biasa disebut sebagai bahasa “anak layangan“, merupakan bahasa anak muda masa kini. Sebenarnya penggunaan kata anak muda dirasa kurang pas, karena penggunaan bahasa Alay ini marak dipopulerkan oleh anak-anak ABG (anak baru gede) seumuran SMP, maupun SMU.
Anak ABG selalu berhasil menciptakan sebuah image baru mengenai dirinya walaupun hal tersebut banyak menabrak rambu-rambu yang telah ada. Tidak terkecuali dengan bahasa Alay ini, yang menggabungkan huruf dengan angka, memperpanjang atau memperpendek pemakaian huruf atau memvariasi huruf besar dan kecil dalam membentuk sebuah kata dan kalimat. Contoh penggunaan bahasa tersebut seperti pemakaian huruf-huruf kapital pada sebuah kata dan kalimat, “QmO dLaM iDopQhO”, penggantian beberapa karakter huruf seperti "g" diganti dengan "9", penggantian penggunaan kata "tempat" dengan "t4" dan masih banyak lagi bentuk-bentuk yang menyalahi aturan penulisan, seperti contoh-contoh di bawah ini:
• q tWo……………… (aku tau……)
• qMo mANk cLiD wAd cYanK m qHo…………. (kamu memang sulit buat sayang sama aku…)
• tPhE qMo pLu tHwO„„„ (tapi kamu perlu tau….)
• mY LuPi”………… (my love, cintaku, lupi lupi di kuping gue kedengerannya kayak permen yupi)
• aLwaYs 4’U…………… (always for you, cuman buat kamu)
• cO’nA cMa qMo YaNk Co WaD qHo cYuM………… (soalnya cuma kamu yang cowo buat aku senyum -oke ni si ophi jelas jelas tidak mengikuti kaidah yang benar dalam membuat struktur kalimat)
• k’tHwA„„„„„„„„„„ (ketawa…)
• n cNeNk…………….. (dan senang)
• tHanKz b’4„„„„„„ (thanks before, terimakasih sebelumnya)
• yOz aLaWAiCe d bEzT……………. (you always the best, kamu selalu yang terbaik -ALAWAICE? WTF?)
• iN meYe heArD„„„„„„, (in my heart, dalam hatiku -btw MEYE? APA ITU HAHA)
• tHo_tHo………….. (dadah -ini dadah doang ribet banget nulisnya)
satu lagi..
3. I’m ReGrEeEeeEEeeEet nOw……………. (aku menyesal sekarang)
4. naFaZ„„„„„„„„„, (napas)
bNcHi qOh nGmBAnK………………. (benci aku ngambang)
hOeKkkKKk…………….. (sound effect muntah, HOEEEKK -tuh kan muntah HAHA)
.
5. nPhA jDe gnE??????????????? (mengapa jadi begini?)
i dOn’t LiKe tHaT………….. (I don’t like that, aku tidak suka itu)
qOh g Mo iDoP dLAM kmNfqAn………. (aku ga mau hidup dalam kemunafikan -WUESSS angin berhembus)
6. tHiZ iZ buLLsHiT!!!!!!!!!!! (this is bullshit!, ini semua omong kosong!!! -penuh amarah membara)
7. sHiT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!!!!!!!!!!!!!!! (shit!!!!!! TA* )
8. SADAM WITHOUT WORD!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (sadam without word, sadam tanpa kata -WTF tiba tiba bawa sadam? ato DIAM maksudnya? oh diam deh kayaknya)
9. HAifTf……………… (huff)
10. satu lagi deh…
11. TaKe mE 2 yOuR hEaRtZzz?????????????????? (take me to your heart, bawa aku ke dalam hatimu)
12. cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……. (sayang kamu tuh sakitnya…)
13. m_tHa apOn YoH……………… (minta ampun ya…)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo………. (aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu…)
14. bUD„„„„„„„„„, (but, tetapi…)
hUhuHuHfTFTf………….. .. (huft huft -ehem ophi centil deh)
cIa” adJA………………… (sia sia aja -CIA? yang di amerika?)
15. shIt???????????? (TA*??????)
maYbe??????????????? (maybe, mungkin?????)
16. ckIdDDdddDDDd„„„„„„, „„„„„„„„„„„„„ „„ (SAKIIIIIIT! -ini ngomong sakit doang kayak suara ban ngerem ehm)
pGEn qOh tO bLanK…………………….. (pengen aku tuh bilang)
U bLOkE mY hEaLtH!!!!!!!!!!!!!!!! (you bloke my health, kamu cowo kesehatanku, atau kamu merusak kesehatanku? -HAHAHAHAHA YOU BROKE MY HEART KOK JADI YOU BLOKE MY HEALTH? jauh gitu artinyaaaa! LOL)
17. i tHinK…………….. (aku pikir…)
it’Z DISGUSTING vOiCE……………….. (itu suara menjijkan -ga nyambung)
anDeE…………………. (andaiii…)
adJA g2 dRe wAL…………….. (aja gitu dari awal)
qTaH gAg mKeN dIEM”aN gNe tOh???!?@??@?@??@@?@? (kita ga makin diem di
3. Makna Bahasa Alay
Sebenarnya, makna bahasa Alay sama seperti bahasa Indonesia pada umunya, karena bahasa Alay juga menggunakan tuturan bahasa Indonesia dan terkadang ditambah dengan bahasa asing dan bahasa gaul. Akan tetapi karena bentuk tulisan bahasa Alay melanggar kaidah-kaidah konvensi penulisan bahasa pada umumnya, maka makna bahasa Alay sulit dipahami, bahkan terkadang menimbulkan makna yang ambigu. Akhirnya bahasa Alay menyebabkan kesalahpahaman sehingga makna yang sebenarnya ingin disampaikan tidak dapat ditangkap oleh reseptor (penerima). Akibat buruk lainnya, misalnya terjadinya fitnah dan penyebaran kabar bohong, pencemaran nama baik sehingga dapat dikenakan tuntutan secara hukum. Beberapa kasus tuntutan hukum telah terjadi seiring dengan penggunaan pesan singkat yang berkembang di masyarakat Indonesia sebagai salah satu akibat penggunaan pesan singkat sebagai alat komunikasi. ]
1. Pengertian Bahasa Alay
Alay adalah singkatan dari Anak layangan, Alah Lebay, Anak Layu, atau Anak Kelayapan yang sering dihubungkan dengan anak JARPUL (Jarang Pulang). Tapi yang paling santer adalah anak layangan. Istilah ini untuk menggambarkan anak yg sok keren, secara fashion, karya (musik) maupun kelakuan secara umum. Konon asal usulnya, Alay diartikan "anak kampung", karena anak kampung rata-rata berambut merah dan berkulit sawo gelap dikarenakan sering bermain layangan.
Pengertian Alay menurut beberapa ahli :
a. Koentjara Ningrat
"Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakaian, sekaligus meningkatkan kenarsisan yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya. Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar"
b. Selo Soemardjan
Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu.
Ciri-ciri penganut bahasa Alay :
1. Suka memakai tulisan atau teks yang GedE keCiL-gEdEkeciL
2. Sok bergaya Emo atau Harajuku tapi ketika ditanya asalmulanya, mereka tidak tahu sama sekali
3. Jika mengirim sms atau komentar mereka memakai bahasa yang aneh seperti, "aQuWh, maNi3eZz.."
4. Gaya rambut anak laki-lakinya banyak meniru gaya-gaya anak band.
5. Kurus kerempeng, suka memegang rambut dan bermuka bokat
6. Suka bergerombol dan membuat onar
7. Bergaya sok kaya, imut, cantik, keren, gaul, sok techno, padahal ketika ditanya kode HTML mereka tidak tahu sama sekali.
9. Mereka menyukai lagu-lagu barat, akan tetapi tidak tahu lagu barat yang sedang nge-trend saat ini. Mereka hanya tahu lagu barat dari jaman eighty dan ninety saja.
2. Bentuk dan Contoh Penggunaan Bahasa Alay
Bahasa Alay, atau yang biasa disebut sebagai bahasa “anak layangan“, merupakan bahasa anak muda masa kini. Sebenarnya penggunaan kata anak muda dirasa kurang pas, karena penggunaan bahasa Alay ini marak dipopulerkan oleh anak-anak ABG (anak baru gede) seumuran SMP, maupun SMU.
Anak ABG selalu berhasil menciptakan sebuah image baru mengenai dirinya walaupun hal tersebut banyak menabrak rambu-rambu yang telah ada. Tidak terkecuali dengan bahasa Alay ini, yang menggabungkan huruf dengan angka, memperpanjang atau memperpendek pemakaian huruf atau memvariasi huruf besar dan kecil dalam membentuk sebuah kata dan kalimat. Contoh penggunaan bahasa tersebut seperti pemakaian huruf-huruf kapital pada sebuah kata dan kalimat, “QmO dLaM iDopQhO”, penggantian beberapa karakter huruf seperti "g" diganti dengan "9", penggantian penggunaan kata "tempat" dengan "t4" dan masih banyak lagi bentuk-bentuk yang menyalahi aturan penulisan, seperti contoh-contoh di bawah ini:
• q tWo……………… (aku tau……)
• qMo mANk cLiD wAd cYanK m qHo…………. (kamu memang sulit buat sayang sama aku…)
• tPhE qMo pLu tHwO„„„ (tapi kamu perlu tau….)
• mY LuPi”………… (my love, cintaku, lupi lupi di kuping gue kedengerannya kayak permen yupi)
• aLwaYs 4’U…………… (always for you, cuman buat kamu)
• cO’nA cMa qMo YaNk Co WaD qHo cYuM………… (soalnya cuma kamu yang cowo buat aku senyum -oke ni si ophi jelas jelas tidak mengikuti kaidah yang benar dalam membuat struktur kalimat)
• k’tHwA„„„„„„„„„„ (ketawa…)
• n cNeNk…………….. (dan senang)
• tHanKz b’4„„„„„„ (thanks before, terimakasih sebelumnya)
• yOz aLaWAiCe d bEzT……………. (you always the best, kamu selalu yang terbaik -ALAWAICE? WTF?)
• iN meYe heArD„„„„„„, (in my heart, dalam hatiku -btw MEYE? APA ITU HAHA)
• tHo_tHo………….. (dadah -ini dadah doang ribet banget nulisnya)
satu lagi..
3. I’m ReGrEeEeeEEeeEet nOw……………. (aku menyesal sekarang)
4. naFaZ„„„„„„„„„, (napas)
bNcHi qOh nGmBAnK………………. (benci aku ngambang)
hOeKkkKKk…………….. (sound effect muntah, HOEEEKK -tuh kan muntah HAHA)
.
5. nPhA jDe gnE??????????????? (mengapa jadi begini?)
i dOn’t LiKe tHaT………….. (I don’t like that, aku tidak suka itu)
qOh g Mo iDoP dLAM kmNfqAn………. (aku ga mau hidup dalam kemunafikan -WUESSS angin berhembus)
6. tHiZ iZ buLLsHiT!!!!!!!!!!! (this is bullshit!, ini semua omong kosong!!! -penuh amarah membara)
7. sHiT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! !!!!!!!!!!!!!!!! (shit!!!!!! TA* )
8. SADAM WITHOUT WORD!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (sadam without word, sadam tanpa kata -WTF tiba tiba bawa sadam? ato DIAM maksudnya? oh diam deh kayaknya)
9. HAifTf……………… (huff)
10. satu lagi deh…
11. TaKe mE 2 yOuR hEaRtZzz?????????????????? (take me to your heart, bawa aku ke dalam hatimu)
12. cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……. (sayang kamu tuh sakitnya…)
13. m_tHa apOn YoH……………… (minta ampun ya…)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo………. (aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu…)
14. bUD„„„„„„„„„, (but, tetapi…)
hUhuHuHfTFTf………….. .. (huft huft -ehem ophi centil deh)
cIa” adJA………………… (sia sia aja -CIA? yang di amerika?)
15. shIt???????????? (TA*??????)
maYbe??????????????? (maybe, mungkin?????)
16. ckIdDDdddDDDd„„„„„„, „„„„„„„„„„„„„ „„ (SAKIIIIIIT! -ini ngomong sakit doang kayak suara ban ngerem ehm)
pGEn qOh tO bLanK…………………….. (pengen aku tuh bilang)
U bLOkE mY hEaLtH!!!!!!!!!!!!!!!! (you bloke my health, kamu cowo kesehatanku, atau kamu merusak kesehatanku? -HAHAHAHAHA YOU BROKE MY HEART KOK JADI YOU BLOKE MY HEALTH? jauh gitu artinyaaaa! LOL)
17. i tHinK…………….. (aku pikir…)
it’Z DISGUSTING vOiCE……………….. (itu suara menjijkan -ga nyambung)
anDeE…………………. (andaiii…)
adJA g2 dRe wAL…………….. (aja gitu dari awal)
qTaH gAg mKeN dIEM”aN gNe tOh???!?@??@?@??@@?@? (kita ga makin diem di
3. Makna Bahasa Alay
Sebenarnya, makna bahasa Alay sama seperti bahasa Indonesia pada umunya, karena bahasa Alay juga menggunakan tuturan bahasa Indonesia dan terkadang ditambah dengan bahasa asing dan bahasa gaul. Akan tetapi karena bentuk tulisan bahasa Alay melanggar kaidah-kaidah konvensi penulisan bahasa pada umumnya, maka makna bahasa Alay sulit dipahami, bahkan terkadang menimbulkan makna yang ambigu. Akhirnya bahasa Alay menyebabkan kesalahpahaman sehingga makna yang sebenarnya ingin disampaikan tidak dapat ditangkap oleh reseptor (penerima). Akibat buruk lainnya, misalnya terjadinya fitnah dan penyebaran kabar bohong, pencemaran nama baik sehingga dapat dikenakan tuntutan secara hukum. Beberapa kasus tuntutan hukum telah terjadi seiring dengan penggunaan pesan singkat yang berkembang di masyarakat Indonesia sebagai salah satu akibat penggunaan pesan singkat sebagai alat komunikasi. ]
Langganan:
Postingan (Atom)