ASPEK RELIGIUS PADA TOKOH UTAMA NOVEL
KETIKA CINTA BERTASBIH 1
Oleh Kelompok:
1.MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2.YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
3.ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
4.ARINI SUSANA (080210402031)
5.DIDIN DWI ERLIANI (080210402038)
6.NANI FARAH FASICA (080210402041)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil pekerjaan kreatif pengarang yang memuat cerita-cerita tentang kehidupan. Ada tiga macam jenis prosa yang di dalamnya terdapat peristiwa kehidupan yang dialami para tokohnya. Menurut Sudjiman (1998; 53), novel merupakan proses rekaan yang panjang, menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar belakang secara teratur. Novel yang baik tidak hanya dituntut untuk mudah dipahami dan menarik bagi pembacanya, tetapi juga harus mengandung nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang bermanfaat bagi pembacanya.
Novel merupakan perwujudan ide pengarang yang diungkapkan dalam bentuk karya sastra dengan menggunakan media bahasa. Pengarang menciptakan karya sastra tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.
Novel Ketika Cinta Bertasbih adalah salah satu karya seorang novelis muda, Haabiburrahman El-Shirazy. Ia lahir pada tanggal 30 September 1976 di Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus (MAPK), lulus pada tahun 1995. Setelah itu, ia melanjutkan pendidiknya ke Universitas Al-Azhar di Kario, dan selesai pada tahun 1999. Pada tahu 2001, ia menyelesaikan Postgraduate Diploma (Pgd.) S2 di Kairo, Mesir.
Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo. Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Novel Ketika Cinta Bertasbih ditulis di antara tahun 2005-2006 dan diterbitkan pada tahun 2007. Novel tersebut mengisahkan kehidupan Khairul Azzam, seorang mahasiswa Indonesia yang berjuang menggapai gelar Master di Universitas Al Azhar, Kairo. Tokoh Azzam digambarkan sebagai sosok yang menjalani hari-harinya dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Azzam selalu berusaha menjunjung tinggi ajaran islam dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di Kairo, Azzam tinggal di sebuah apartement sederhana dengan lima mahasiswa Al Azhar yang berasal dari Indonesia pula. Hari-hari Azzam sendiri selain disibukkan oleh aktivitas kampus, ia juga disibukkan sebagai profesi tambahannya menjadi penjual bakso dan tempe di kalangan mahasiswa Indonesia ataupun orang-orang KBRI.
2.Rumusan Masalah
Bagaimanakah analisis keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius?
Bagaimanakah nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih?
3.Tujuan Masalah
Mengetahui keterkaitan antara aspek psikologi sastra dengan aspek religius.
Mengetahui nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Pragmatik dan Nilai Religius dalam Karya Sastra
Pendekatan pragmatik memandang suatu karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan kepada pembacanya. Melalui teori tersebut, penikmat karya sastra dapat mengetahui ide atau maksud tertentu dari karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Analisis pragmatic dalam makalah ini difokuskan pada aspek religius.
Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusia memiliki sifat dan sikap religius.
Terdapat beberapa cerita yang dapat digunakan dalam menentukan kereligiusan seseorang. Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement).
a.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Seperti salat, puasa, zakat, bagi yang beragama islam (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14). Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77).
b.Keterlibatan ideological (ideological involvement)
Keterlibatan ideological (ideological involvement) adalah tingkatan sejauh mana orang menerima hal yang dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Seperti keyakinan adanya nabi, malaikat, surga, neraka, dan hari kiamat (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).
c.Keterlibatan intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual (intellectual involvement) adalah seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya dan seperapa jauh aktivitasnya dalam menambaha pengetahuan agamanya (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:14).
d.Keterlibatan eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental (experiental involvement), berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Keterlibatan ini berkaiyan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang (Ancok dan Suroso, 1994:78).
e.Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement)
Keterlibatan konsekuensial (consequential involvement) yaitu tingkatan yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotifasikan oleh ajaran agamanya. Apakah itu menerapkan ajaran agamanya di dalam kehidupan social (Glock dan Stark, dalam Ancok, 2002:15). Dalam kehidupan manusia, religiusitas seseorang dapat mencakup lima keterlibatan tersebut. Setiap orang memiliki keterlibatan religius yang berbeda-beda.
BAB III
PEMBAHASAN
1.Aspek Religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 (satu)
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada pembaca dan penilaian karya sastra ditantukan oleh pembaca selaku penyambut karya sastra. Pendekatan pragmatic berprinsip bahwa karya sastra yang baik adalah yang mengandung unsure dulce et utile (indah dan bermanfaat). Pendekatan ini menilai karya sastra menurut tingkat keberhasilan mencapai tujuan atau manfaat yang di peroleh pembaca. Analisis pragmatic dalam makalah ini dikhususkan pada aspek religius dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih 1.
Religius dan agama sangat erat kaitannya. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari segi agama yang nampak formal dan resmi (Mangunwijaya, 1982:11-12). Pada hakekatnya setiap manusia pasti merindukan dan mencintai Tuhannya. Setiap manusia juga ingin berbuat baik sesuai dengan hati nuraninya. Hal semacam itu membuktikan bahwa manusiamemiliki sifat dan sikap religius.
Glock dan Stark (dalam Ancok, 2002:14-15) mengungkapkan konsep-konsep religiusitas dalam lima keterlibatan yaitu keterlibatan ritual (ritual involvement), keterlibatan ideological (ideological involvement), keterlibatan intelektual (intellectual involvement), keterlibatan eksperiental (experiental involvement), dan keterlibatan konsekuensial (consequential involvement). Berikut hasil analisis .
1.Keterlibatan ritual (ritual involvement)
Keterlibatan ritual (ritual involvement) adalah tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya. Keterlibatan ritual meliputi perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang lain yang dilakukan seseorang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya (Ancok dan Suroso, 1994:77).
Perilaku pemujaan mengacu pada bentuk-bentuk ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek keagamaan (Ancok dan Suroso, 1994:77). Data dan analisis berikut menunjukkan adanya keterlibatan ritual ritual berupa perilaku pemujaan yang terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.
Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang: Allahuakbar! Allahuakbar! Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan siang di dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke perut siang. (KCB1:50)
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu-lampu jalan perpendaran Alexandria memperlihatkan sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. Kerlap-kerlip lampu kota yang mendapat julukan “Sang Pengantin Laut Medaterania” itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel. (KCB1:50-51)
Data tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan kepada Allah, diwujudkan dengan melaksanakan salat magrib. Setelah Azan magrib terdengar, Azzam menuju masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel yang Azam tempati untuk menginap. Pada data di atas disebutkan bahwa Azzam mengerjakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk menunaikan ibadah salat.
Hamid (1995:111) mengemukakan, sholat menurut ahli fiqih adalah tindak ibadah disertai bacaan doa-doa yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa pada hakekatnya salat menghadapkan jiwa kepada Allah dan dapat menumbuhkan rasa takut kepada Allah, serta mengakui kegungan dan kesempurnaan-Nya. Salat lima waktu sehari semalamadalah ibadah wajib bagi setiap individu umat Islam jika telah memenuhi beberapa persyaratannya dan mempunyai tempat teratas dalam deretan ibadah wajib, kareana mempunyai kedudukan yang istimewa dan tidak ada yang mampu menandinginya (Basri, 2004:82).
Sholat merupakan bentuk perilaku pemujaan pemujaan kepada Allah. Hal tersebut tampak pada bacaan-bacaan waktu salat. Pada bacaan takbir, kalimat Allahu Akbar berarti ‘Allah Maha Besar’, dan pada saat rukuk membaca tasbih yaitu Subhaana Rabbiyal ‘Adlimi wa bihamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung dan segala puji bagi-Nya’, kemudian bacaan iktidal ketika bangkit dari rukuk yaitu Sami’Allahu liman hamidah artinya ‘Allah mendengar pujian orang yang memuji kepada-Nya’ (MZ., 1993:21-24). Dilanjutkan dengan bacaan Rabbana wa lakal hamdu mil ussamaawaati wamil ul ardi wamil umaa syi’ta min syai’in ba’du, ‘Ya Tuhan kami, dan bagi-Mu lah segala puji langit dan bumi, dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki sesudah itu’, pemujaan tampak pula pada bacaan ketika sujud yaitu Subbhaana Rabbiyal A’laa wa bi hamdihi, ‘Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi dan segala puji bagi-Nya’ (Hamid, 1995:117).
Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.
Azzam bangun dua puluh menit sebelum azan subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan untuk buang hajat dan sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu, ia teringat belum salat Witir. Ia sempatkan untuk salat Witir tiga rakaat. Selesai shalat ia sempatkan untuk menyebut-nyebut ibu dan adik-adiknya dalam munajat.(KCB1:79)
Data tersebut mennunjukkan adanya bentuk perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam. Hal tersebut tampak pada saat Azzam melakukan wudhu sebelum menunaikan ibadah salat Witir.
Wudhu merupakan bentuk ritual yang dilakukan untuk menyucikan anggota tubuh dari kotoran-kotoran ringan dengan menggunakan air yang dapat menyucikan (MZ., 1993:10). Salat adalah ibadah menghadap kepada Allah, Dzat yang Maha Suci, maka apabila hendak mengerjakan salat harus dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun hadas besar yaitu dengan berwudhu terlebih dahulu.
Aspek keterlibatan ritual berupa perilaku pemujaan kepada Allah dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 juga nampak pada data berikut.
Orang-orang Mesir berdatangan. Ada dua puluhan orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang telah memutih sebagaian maju ke depan Shalat Subuh didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam larut dalam penghayatan.(KCB1:81)
Data tersebut menggambarkan tokoh Azzam melaksanakan salat subuh berjamaah di masjid. Salat subuh terdiri dari dua rakaat dan dikerjakan diantara waktu fajar thaghib sampai fajar shodiq. Pada data diatas disebutkan bahwa Azzam larut dalam bacaan surat yang di baca oleh imam. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam.
Berikut data yang menunjukkan adanaya perilaku pemujaan yang dilakukan oleh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1.
Azzam bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid sholat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar. Langsung ke tempat wudhu masjid.(KCB1:197)
Tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 digambarkan sebagai sosok yang sangat religius. Ia selalu berusaha menjunjung ringgi ajaran agamanya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada data di atas, Azzam sedang dalam perjalanan pulang setelah dari rumah sahabatnya dan setelah memesan daging pada penjual langganannya. Ia menyempatkan diri untuk menuju masjid di dekat pasar untuk menunaikan salat asar. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku pemujaan yang dialakukan oleh Azzam.
2.Keterlibatan Ideologikal (ideological involvement)
Keterlibatan Ideologikal yaitu sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatic di dalam agamanya masing-masing. Di dalam agama Islam keterlibatan ideoligikal menyangkut keyakinan tentang adanya kitab, nabi, malaikat, hari kiamat, surga dan neraka (Ancok: 14). Sedangkan di dalam novel Ketika Cinta Bertasbih (KCB) ini terdapat keterlibatan ideologikal keyakinan tentang adanya nabi dan keyakinan adanya kitab Allah yang terlintas dalam cerita kedua tokoh utama, yakni Azzam dan Ana. Hasil analisis dapat diketahui sebagai berikut.
Keyakinan Adanya Nabi
Keyakinan adanya nabi termasuk dalam keyakinan pandangan teologis agama Islam. Karena setiap muslim diwajibkan mempercayai nabi-nabi Allah. Seperti halnya keyakinan Azzam dalam novel KCB ini. Ia meyakini dengan sepenuh hati bahwa nabi dan kisahnya dulu benar-benar ada. Berikut pengakuan Azzam dalam cerita.
Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania itu. "Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" (KCB; 7)
Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam sebagai seorang muslim meyakini adanya nabi, tepatnya ia mengakui bahwa kisah nabi Musa dan nabi Khidir telah terabadikan dalam kitab Allah atau Al-Quran. Yakni kisah semasa hidup nabi Musa dan nabi Khidir yang begitu fenomenal terjadi di pantai laut Mediterian.
Selain pengakuan Azzam mengetahui cerita nabi Musa dan nabi Khidir, Azzam dalam cerita juga meyakini dan mengetahui cerita nabi Muhamad sebagai sosok suritauladan bagi umat Islam. Berikut data yang mendukung.
Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolah-olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw hafal tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran kepada sahabat -sahabatnya yang selalu haus hikmah dan Ilmu pengetahuan. (KCB; 46)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam seolah-olah dirinya mampu merasakan dan mengalami serta hadir dalam kehidupan Rasulullah di zaman kenabian. Bahkan Azzam merasa ia juga mampu menyaksikan Rasulullah Saw menerima ayat-ayat suci Al-Quran, mendengar suara Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw melakukan proses penghafalan ayat-ayat suci Al-Quran.
Nabi dan rasul adalah utusan Allah yang bertugas memberi petunjuk kepada manusia tentang kebenaran. Keyakinan kepada nabi dan rasul berarti mempercayai bahwa nabi dan rasul adalah manusia yang diutus dan ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya, untuk dijadikan pedoman hidup. Maka apa yang dilakukan Azzam dalam bertindak dan bersikap merupakan cerminan dari sifat nabi yang diyakininya. Tapi tidak lain halnya dengan Ana. Ana sebagai kaum perempuan juga ikut serta menerapkan sifat-sifat dan kesunahan sang nabinya di dalam bertindak dan bersikap. Berikut kutipan yang mendukung dalam cerita.
Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan (KCB; 100)
Data di atas menunjukkan bahwa Ana sebagai seorang perempuan di saat ditimang oleh seorang laki-laki soleh untuk dijadiakan istrinya. Sebenarnya dalam hati Ana ingin melengkapi kesunahannya di mata Allah, seperti apa yang dilakukan sang nabi Muhamad Saw. Ketika akan mempersunting sang istri yang akan dipilihnya menjadi pendamping hidup. Ana memutuskaan jawaban yang akan dipilihnya sesuai dengan keadaan dan kemantaban Ana sendiri kepada sang lelaki. Apakah laki-laki itu memang calon pemimpin baik bagi diri Ana dan keluarganya nanti, atau laki-laki itu memiliki keimanan yang sepadan atau sosok yang selama ini diimpikannya.
Keyakinan Adanya Kitab Allah
Di dalam rukan iman yang diyakini umat Islam selama ini terdapat enam rukun iman yang salah satunya meyakini adanya kitab-kitab Allah. Meyakini dengan sepenuh hati dan menjadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kitab yang dimaksud tersebut adalah kitab suci Al-Quran. Kitab yang dibawa oleh nabi terakhir, atau nabi Muhamad Saw yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan ajarannya kepada umatnya.
Seperti halnya umat nabi Muhamad yang digambarkan pada sosok Azzam dan Ana Alfatunisa dalam cerita novel KCB. Azzam dan Ana dalam novel digambarakan sebagai umat yang taat dan berpegang teguh pada Al-Quran. Berikut kutipan mendukung yang terdapat dalam cerita.
Orang Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacakan. Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam.. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan.
Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. 5Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan diri dengan rupa yang asli. QS.An-Najm:1-6. (KCB; 45)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam selama berada di tanah Nabi atau Mesir menganggap kebanyakan orang pribumi mampu dan paham secara baik memaknai ayat-ayat yang ada di dalam kitab suci Al-Quran. Azzam dalam hati dan pikirannya juga merasakan seolah-olah Tuhan yang menurunkan Al-Quran dan mengabarkan kepada Azzam, bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang diturunkan kepadanya.
Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran begitu besar juga tergambar di dalam novel KCB ini. Pengarang begitu piawai dalam mendeskripsikan keagungan Al-Quran dalam narasi novel. Keagungan yang terkandung dalam Al-Quran pasalnya memang sudah seharusnya umat muslim di bumi ini tahu akan keagungan dan keberkahan kitab suci itu bila dibaca ayat demi ayatnya oleh seseorang. Sedangkan dalam novel KCB ini pengarang mencoba menggambarkan kebesaran dan keberkahan Al-Quran jika dibaca seseorang, begitu nampak pada apa yang dialami oleh tokoh Azzam. Berikut kutipan cerita yang mendukung.
Apalagi jika ada order membuat bakso atau sate ayam dari bapak-bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh buku, termasuk buku muqarrar yang semestinya ia sentuh.. Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma sete-ngah halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa takzim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa. (KCB; 112)
Data di atas menunjukkan bahwa di mana Azzam mengalami kerinduan yang luar biasa terhadap Al-Quran. Bahwasannya Al-Quran tidak mungkin tidak akan tersentuh seharipun oleh Azzam. Ia merasa dalam kondisi dan sepenat apapun beban pikiran mendera, ia tidak akan jauh-jauh dari Al-Quran yang ia jadikan sebagai obatnya. Bahkan Azzam merasa dalam perjuangan beratnya di negeri rantauan (Mesir), Al-Quran adalah pelipur dan penguat jiwa Azzam.
3.Keterlibatan Intelektual (intellectual involvement)
Keterlibatan intelektual mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang memiki pengetahuan tentang ajara agama dan aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan ajaran agamanya (Ancok, 2002 : 14)
Pengetahuan tentang ajaran agama
Aspek keterlibatan intelektual ini berkaitan dengan pengetahuan atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya. Data dan analisis berikut menunjukka adanya aspek keterlibatan intelektual berupa pengetahuan mengenai hukum-hukum islam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
”Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran islam. Di antara ajaran islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan juga kesucian batin. Kenapa dalam buku-buku fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk islam senantiasa menjaga kesucian lahir dan batin. Diantara kesucian-kesucian yang dijaga oleh islam adalah kesucian hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak memperbolehkan ada persentuhan intim antara pria dan wanita kecuali itu adalah suami istri yang sah. Dan ciuman gaya prancis itu bagi saya sudah termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Yang dalam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami istri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian kaum pria dan kaum wanita”.(KCB : 119)
Berdasarkan data tersebut, dapat kita ketahui adanya keterlibatan intelektual pengetahuan tokoh Azzam mengenai hukum-hukum islam. Azzam menjelaskan kepada Eliana tentang thaharah yaitu kesucian. Kesucian antara pria da wanita. Azzam menjelaskan bagaimana islam menyuruh untuk senantiasa menjaga kesucian lahir maupun batin. Juga Azzam menjelaskan dalam islam tidak diperbolehka antara pria dan wanita melakukan persentuhan intim kecuali suami istri yang sah. Dan ciuman ala prancis menurut Azzam termasuk kategori sentuhan yang sangat intim. Hal itu menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai hukum-hukum islam.
Khairul Azzam menutup gorden jendela kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang jaraknya tak jauh dari hotel.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat ia menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “kalau dia benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat. Apa tidak tahu ini saatnya saatnya shalat”. Lirihnya menuju lift. (KCB : 51)
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam sangat tinggi. Azzam tidak memperdulikan telpon yang berbunyi karena dia ingin shalat di masjid. Azzam merasa panggilan Sang Pencipta lebih penting dari pada panggilan apapun. Azzam berpikir jika benar-benar perlu pastilah selesai shalat dia telpon lagi. Hal itu menunjukkan bahwa intelektual yang dimiliki Azzam tentang ajaran agama sangatlah tinggi.
Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa pengetahuan agama yang dimiliki oleh tokoh Azzam.
“Dhil, Fadhil, masalah yang kau hadapi itu masalah kecil. Tak usah kau besar-besarkan. Nanti semuanya akan baik-baik saja. Ini kebetulan aku baru saja membaca perkataan Imam Ibnu Athaillah yang sangat dahsyat tentang cinta. Dan perkataan beliau itu bisa jadi terapi yang tepat untuk penyakit cintamu. Ya, aku katakan apa yang kau simpan di hatimu itu adalah penyakit. Cinta sejati itu menyembuhkan tidak menyakitkan”.(KCB : 429)
Data tersebut menunjukkan bahwa Azzam memiliki pengetahuan agama. Azzam menjelaskan kepada Fadhil bahwa masalah yang dihadapi Fadhil adalah masalah yang kecil. Dan azzam mengatakan bahwa cinta yang dimiliki Fadhil adalah penyakit.
”pertama, rasa cinta kepada Allah yang luar biasa yang menggetarkan hatimu. Sehingga ketika yang ada di hatimu adalah Allah, yang lain dengan sendirinya menjadi kecil dan terusir. Kedua, rasa rindu kepada Allah yang dahsyat sampai hatimu merasa merana. Jika kau merasa merana karena rindu kepada Allah, kau tidak mungkin merana karena rindu kepada yang lain. Jika kau sibuk memikirkan Allah, kau tidak akan sibuk memikirkan yang lain”.(KCB : 429)
Data tersebut menunjukkan bahwa tokoh Azzam memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Azzam menjelaskan bahwa jika rasa cinta kepada Allah sangat besar, maka dengan sendirinya hal-hal lain akan terusir dan menjadi kecil.
Begitu juga dengan jika rasa rindu kepada Allah sangatlah besar, maka kita tidak mingkin merana jika rindu dengan yang lain. Hal ini merupakan aspek keterlibatan intelektual yang tampak pada pengetahuan agama tokoh Azzam dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Aktivitas Menambah Pengetahuan Ajaran Agama
Berikut ini data dan analisis yang menunjukkan adanya keterlibatan intelektual berupa aktivitas menambah pengetahuan ajaran agama dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Bakda shalat isya’ ia tetep di masjid untuk mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari dengan Adil Ramadhan. Malam itu ia mendapat pencerahan sangat berharga dari kitab Al Hikam tentang hal yang sangat penting baginya sebagai seorang penuntut ilmu. (KCB : 420)
Pada data tersebut tampak aktivitas tokoh Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya yaitu mengaji kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandari kepada Adil Ramadhan.
Malam itu Azzam khataman. Ia telah selesai belajar tiga puluh juz. Oleh Adil Ramadhan ia diberi sanad qira’ah Hafs sampai ke Rasulullah SAW. Ia sangat bangga memiliki sanad itu. “Sanad ini aku dapat dari guruku Syaikh Farhat Abdul Majid, beliau mendapatkannya dari Syaikh Mahmud Hushari, dan seterusnya sampai ke Rasulullah Saw. Jelas Adil pada Azzam. (KCB : 463)
Data berikut menunjukkan aktivitas Azzam dalam menambah pengetahuan agamanya. Azzam sudah selesai tiga puluh juz. Karena Azzam telah khatam maka ia diberi sanad qira’ah oleh Adil Ramadhan. Azzam sangat bangga memiliki sanad itu.
Aspek keterlibatan intelektual yang terwujud dengan adanya pengetahuan seseorang tentang ajaran agamanya dan aktivitas dalam menambah ajaran agamanya dapat memperdalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan.
4.Keterlibatan Eksperiental (experiental involvement)
Keterlibatan eksperiental berkaitan dengan pengalman-pengalaman unik dan spektakuler, perasan-perasaan. Sensasi-sensasi yang dialami oleh seorang tokoh dalam hal keagamaan (Ancok dan Suroso). Berikut data yang menunjukkan adanya keterlibatan eksperiental berupa pengalaman unik dan spektakuler, perasaan-perasan, persepsi-persepsi , sensasi-sensasi, dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
Perasan-Perasaan
Perasaan adalah rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi sesuatu. Data berikut menunjukkan adanya keterlibatan persaan-perasaan yang dialami oleh tokoh dalam KCB. Berikut kutipan dalam novel yang mendukung.
Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa dan mencium pasir-pasir pantai yang putih bersih. Terasa dami dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.” (KCB: 46).
Pada data di atas menunjukkan bahwa Azzam begitu terpesona akan keagungan kuasa Tuhan dalam menciptakan isi alam semesta ini. Ia Menyaksikan fenomena alam yang dahsyat itu azzam bertasbih, “subhanallah, msha suci Allah yyang menciptakan alam seindah ini.”
Sensasi-Sensasi yang Dialami Tokoh
Sensasi adalah rasa atau keadaan mental dan kesadaran yang ditimbulkan oleh rangsangan pancaindera; yang merangsang emosi (Rajasa, 2002:560). Data berikut menunjukkan adanya sensasi yang dialami oleh tokoh cerita dalam KCB.
Kali ini, ia shalat di imami oleh imam yang agaknya menganut mahzab imam Malik. Sebab sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh. (KCB : 221)
Azzam langsung sujud syukur. Berkali-kali Azzam mengumandangkan takbir. Sebuah senyum tersungging di bibir. Pikirannya langsung melayang ke Indonesia. Ke wajah ibunya, dan adik-adiknya tercinta. (KCB : 408)
Data di atas menunjukkan bahwa Azzam merasakan sesuatu hal yang ganjil, pada saat mengikuti salah jamaah sholat fardlu yang dipimpin seorang imam. Azzam merasa imam yang mengimaminya ini menganut mahzab imam Malik. Ia merasa kegajilan itu begitu nampak pada saat sang imam setelah takdir tidak meletakkan kedua tangannya seperti posisi tentara sedang siap dalam barisan. Bacaan Al-quran imam setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.
5.Keterlibatan Konsekuensial (cosequensial involvement)
Keterlibatan konsekuensial atau pengalaman mencakup sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya (Ancok,2002:15). Berikut adalah data-data yang menunjukkan adanya keterlibatan konsekuensisl dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.
“Pemuda bernama Khairul Azzam itu masih menatap kearah laut. Matahari masih satu jengkal diatas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, “ Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (KCB:50)
Pada data tersebut tampak adanya perilaku Khairul azzam ketika di kota Alexandria, ia sedang menatap kearah laut dan meninkmati pemandangan matahari tenggelam yang begitu luar biasa indah. Kemudian ia teringat pada sabda Nabi bahwa sesengguhnya Allah itu indah dan Allah itu mencintai keindahan.
“Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa datangnya azan yang memaggilnya itu lebih dahulu datangnya dari pada datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan yang dating lebih dulu. Ia harus mengutamakan undangan yang lebih dulu. Apalagi undangan yang lebih datang dulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (KCB:51)
Pada data diatas tampak bahwa Azzam lebih mementingkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia. Perilaku Azzam ini pada dasarnya dimotivasikan oleh isi dari QS. Al A’la (Yang Paling Tinggi) [87]:17 yang berbunyi, “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.
“Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian lahir dan kesucian batin…” (KCB:119)
Pada data tersebut jelas terungkap bahwa prinsip hidup Azzam didasarkan pada Islam. Dengan kata lain bahwa prinsip hidup yang merupakan pedoman dalam perilakunya dimotivasikan oleh ajaran Islam, yang salah satunya yaitu menjaga kesucian lahir dan kesucian batin.
“Ia begitu merasa kecil dan kerdil. Begitu tidak ada artinya. Ia baru merasa bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya. Manusia sama sekali tidak bisa sombong menentukan takdirnya. Kewenangan yang diberikan Tuhan untuk manusia hanyalah berikhtiar dan berusaha. Adapun takdir sepenuhnya adalah hak dan keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang berhak memutuskan segala-galanya. Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (KCB:384)
Data diatas menunjukkan perasaan Azzam yang merasa begitu kecil dan kerdil dan kerdil. Ia menyadari bahwa manusia tidak bisa menentukan takdirnya, manusia hanya diberikan kewenangan untuk berikhtiar dan berusaha, sedang yang berhak memutuskan segala-galanya adalah Allah SWT. Berdasarkan hal tersebut terungkap bahwa perasaan yang dirasakan oleh azzam dimotivasikan oleh QS. Saba’ (kaum saba’) [34]:26 yang berbunyi “Dan Dia-lah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”.
BAB IV
KESIMPULAN
Fenomena kereligiusan di dalam suatu karya sastra yang hadir dalam novel akan memiliki arti jika pembaca mampu memberikan interpretasi dan ini berarti ia memiliki bekal tentang nilai religius yang mewadai pengetahuan pembaca. Hal ini sebenarnya sesuai dengan kepiawaian pengarang menciptakan karya sastra yang tidak terlepas dari tujuannya untuk menyampaikan gagasan, perasaan dan pengalaman hidupnya kepada pembaca dengan harapan pembaca dapat terhibur dan memperoleh manfaat dari karyanya.
Begitu pula dalam novel fenomenal berjudul Ketika Cinta Bertasbih yang merupakan salah satu karya seorang novelis muda, yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Kenapa Ketika Cinta Bertasbih diangkat sebagai objek penilitian, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan manusia, di antaranya nilai religi, budaya dan cinta. Novel tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan perilaku mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Jalan cerita di dalamnya juga menarik, disertai dengan nilai-nilai keteladanan. Hal itu dapat member manfaat bagi para pembaca. Selain itu Habiburrahman El Shirazy menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Kairo.
Cerita dalam novel tersebut dapat terasa lebih nyata karena permasalahan-permasalahan yang ada dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dalam cerita novel Ketika Cinta Bertasbih ini, pengarang sangat piawai mengambarkan nilai-nilai religius dalam Islam. Hal ini tercermin dari sikap tokoh utama novel ini yang bernama Azzam dan Ana Alfatunisa. Perilaku Khairul Azzam yang dimotivasikan oleh agamanya yaitu Islam tampak ketika ia sedang bertutur, dalam tuturannya tersebut banyak mengandung kosa kata dalam bidang agama Islam, begitu pula sikap dan akhlak baik yang tercermin dari tokoh Ana. Mereka berdua sering mengucapkan lafadz Allah di dalam hidup kesehariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuat Nashori. 1994. Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
El Shirazy, Habiburrahman. 2008. Ketika Cinta Bertasbih. Jakarta: Republika.
Daryanto, S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.
Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Unej Press.
Ratna, Nyoman Khuta. 2006. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar