Minggu, 19 Desember 2010

ASPEK MULTIKULTURALISME DALAM FILM LASKAR PELANGI (PROSES TRANSFORMASI NOVEL KE DALAM FILM)

ASPEK MULTIKULTURALISME DALAM FILM LASKAR PELANGI (PROSES TRANSFORMASI NOVEL KE DALAM FILM)

Oleh Kelompok:

1.MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)
2.DEWI INDAH FITRIANA (080210402006)
3.YUAIDA DWI FATMAWATI (080210402017)
4.LUSI AGUSTINI D (080210402021)
5.ISTI AINURRAHMA (080210402022)
6.ACHMAD WAHYUDI (080210402023)
7.FERRY GUNAWAN (080210402027)
8.ARINI SUSANA (080210402031)
9.DIDIN DWI ERLIANI (080210402038)
10.INDRI (080210402042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realias sosial kemasyarakatan. Wellek (Suwardi Endraswara:2008) mengemukakan sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sedangkan karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang yang mampu menimbulkan imajinasi penikmat. Sebagai hasil imajinasi kreasi pengarang, karya sastra digali dari masalah-masalah kehidupan yang ada di lingkungan sekitar. Ketajaman daya pikir wawasan dan kepekaan daya imajinasi pengarang mempengaruhi kualitas dan daya estetik karya satra. Karya sastra adalah lukisan dan gambaran yang merupakan ungkapan segala aspek kehidupan yang fiktif maupun fakta.
Salah satu karya sastra yang difilmkan adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Era globalisasi ini menuntut adanya perubahan dalam segala bidang, salah studynya dalam bidang perfilman. Banyak karya sastra yang difilmkan tapi sedikit sekali karya sastra bertema pendidikan yang diperfilmkan. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara Indonesia juga dijadikan kebutuhan pokok riil pada setiap keberadaan manusia dimuka bumi ini, baik pendidikan formal maupun non formal. Banyak orang yang lapar akan hal itu, oleh karena itu mereka menonton film yang bertemakan pendidikan akantetapi baru sedikit jumlahnya yang bertemakan tentang pendidikan yang berakhir bahagia dan yang tidak bahagia. Walaupun tidak seperti film-film cinta yang banyak diproduksi, film yang bertemakan tentang pendidikan masih sangat jarang sekali jika kita bandingkan dengan film-film yang bertemakan cinta, hal tersebut banyak dipengaruhi oleh pasar perfilman Indonesia yang para penontonnya lebih suka menonton film yang bertemakan cinta ketimbang film pendidikan.
Film Laskar Pelangi merupakan suatu film yang menceritakan kepada kita mengenai suatu kehidupan, baik tentang sosial, budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Melalui film, pesan-pesan yang berhubungan dengan tema film dan segi kehidupan dapat dituturkan dengan bahasa audio visual yang menarik sesuai dengan sifat film yang berfungsi sebagai media hiburan, informasi, promosi maupun sarana pelepas emosi khalayak.

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah interaksi multikulturalitas antar tokoh yang terdapat dalam film Laskar Pelangi?
Bagaimanakah pesan nilai-nilai multikulturalitas dalam film Laskar Pelangi (solidaritas, moder nisasi)?
Bagaimanakah keterkaitan proses transformasi novel ke dalam film Laskar Pelangi?
Apakah manfaat pengembangan pembelajaran apresiasi sastra mengenai film Laskar Pelangi?

1.3 Manfaat Penilitian
Mengetahui interaksi multikulturalitas antar tokoh yang terdapat dalam film Laskar Pelangi.
Mengetahui pesan nilai-nilai multikulturalitas dalam film Laskar Pelangi (solidaritas, moder nisasi).
Mengetahui keterkaitan proses transformasi novel ke dalam film Laskar Pelangi.
Mengetahui manfaat pengembangan pembelajaran apresiasi sastra mengenai film Laskar Pelangi.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Dimensi Multikultural dalam Karya Sastra
Hakikat karya sastra multikultural, seperti yang dikemukakan Ratna (dalam artikel Ahmad Taufik: 263), merupakan karya sastra yang menghidupkan kembali sastra warna lokal, yang mencerminkan kebiasaan dalam hidup beragama, adat istiadat, dalam suatu etnik tertentu, dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang lain. Indonesia menurut Ratna (dalam artikel Ahmad Taufik: 263) merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat istiadat, dan pola-pola perilaku dan kebiasaan yang beragam. Oleh karena itu, karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural.
1.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Agama
Dimensi agama memiliki posisi urgens ketika fakta dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari wacana agama. Wacana agama bahkan menjadi wacana yang selalu menarik untuk dianalisis sekaligus diperdebatkan. Hal itu karena di dalam agama terdapat dua lapis yang sama-sama penting kedudukannya, yaitu lapis esensi yang memuat nilai-nilai fundamental dalam suatu agama dan lapis normatif yang berkaitan dengan refleksi normatif agama itu terhadap nilai fundamental yang dianut. Oleh karena itu, keyakinan dan upaya untuk merealisasikan aturan normatif agama menjadi isu yang selalu menggerakkan banyak orang, baik untuk menyetujui maupun menolaknya.
2.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal
Dalam dimensi etnisitas, wacana multikultural muncul berkaitan dengan proses interaksi yang melibatkan dua kelompok etnik atau lebih. Interaksi demikian mengidealkan terjadinya proses yang produktif dalam kehidupan kebangsaan. Keanekaragaman kelompok etnik, idealnya harus dapat dikelola dengan baik dalam bingkai masyarakat Indonesia yang multikultural. Dalam kerangka tersebut, toleransi dan solidaritas menjadi urgens untuk dikembangkan dalam konstruksi visional negara kebangsaan.
3.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Hubungan Antar Ras
Dimensi selanjutnya yang penting untuk dicermati adalah hubungan antar ras. Sebagai negara yang pernah mengalami proses kolonisasi, sangat memungkinkan terjadinya hubungan antarras, yakni ras Timur (berwarna) dan Barat (putih). Pola hubungan tersebut dapat saling menegasi atau sebaliknya, yakni saling membantu.
4.Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Gender
Wacana multikultural yang selanjutnya perlu dideskripsikan ialah berkaitan dengan pola hubungan antar gender. Dimensi itu perlu dianalisis karena dalam perkembangan sastra Indonesia wacana tersebut selalu mengemuka. Dalam konstruksi masyarakat multikultural seperti Indonesia, wacana itu penting untuk mendapat kajian yang memadai.

2.2 Proses Transformasi Novel ke dalam Film Laskar Pelangi
Transformasi dari novel ke dalam bentuk film bukanlah hal baru. Di Indonesia, setidaknya pada tahun 1951 proses transformasi dari novel ke film ini sudah dimulai yaitu ketika sutradara Huyung memfilmkan novel karya Armijn Pane yang berjudul Antara Bumi dan Langit. Namun, gaung dari fenomena transformasi dari novel ke film ini bisa dikatakan baru akhir-akhir ini saja mulai menggema ke berbagai kalangan masyarakat. Sebut saja novel Ayat-ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El Shirazy (Kang Abik) sebagai salah satu proses transformasi ke dalam film yang banyak menyedot perhatian masyarakat.
Perbedaan antara sebuah cerita dalam novel yang diangkat dalam film seringkali menimbulkan gambaran imajinasi pikiran saat membaca novel menjadi sebuah tuntutan atas visual yang tampak di layar film. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi pembaca saat membaca novel, maka akan merasa kecewa. Secara tidak langsung membandingkan Novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar. Tentu, pemindahan dari novel ke film akan memungkinkan terjadinya banyak perubahan. Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi kita secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda.
Durasi sebuah film sangatlah terbatas, berbeda dengan novel yang lebih leluasa mengeksplorasi cerita. Artinya, hal ini sangat memungkinkan tidak semua hal-hal yang ada di novel bisa dilihat dalam film. Tentunya, urutan adegan dalam novel sangat memungkinkan mengalami perubahan ataupun pemotongan ketika dialihkan ke film. Barangkali, sedikit berbeda jika dari novel diangkat ke dalam sinetron. Durasi sinetron yang umumnya berseri panjang tentu lebih leluasa memberi ruang untuk menerjemahkan cerita dari novel.
Paparan di atas bukan semata sebagai alat untuk memaklumi kenyataan banyak film yang tidak sebagus novelnya. Namun, setidaknya bisa kita jadikan bingkai berpikir realis karena pada kenyataannya antara novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Novel adalah kerja individu penulis, sementara film adalah kerja gotong royong yang melibatkan banyak orang dalam tim produksi tersebut.
Pembaca novel tentu sudah mempunyai ekspektasi tersendiri ketika hendak menyaksikan filmnya. Ekspektasi ini tentu antarindividu berbeda-beda. Bahkan, ada pembaca yang tidak mau melihat film yang diangkat dari novel karena khawatir kualitas filmnya tidak sebagus dengan novel. Khawatir apa yang sudah ada di benaknya tentang gambaran novel tidak ia temukan di film dan bisa-bisa mengubah persepsinya tentang novel yang sudah melekat di kepala. Sebaliknya, hal yang menjadi alasan mengapa banyak pembaca yang berbondong-bondong bahkan rela antre di bioskop adalah rasa penasaran untuk membuktikan atau menyamakan ekspektasi mereka antara novel dan filmnya. Misalnya saja bagaimana kondisi SD Muhammadyah yang begitu detail dideskripsikan Andrea Hirata dalam novel LP ketika divisualisasikan ke dalam film, dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal yang bisa jadi menyebabkan penyikapan berbeda para penulis novel terhadap hasil film yang diadaptasi dari novel karya mereka. Di atas, sudah saya paparkan beberapa penyebab mengapa Kang Abik kurang begitu puas dengan hasil film AAC. Sementara, kondisi LP memang berbeda dengan AAC, sehingga wajar jika Andrea merasa puas dengan hasil film LP. Pemilihan pemain-utamanya anggota Laskar Pelangi-langsung dilakukan di lokasi yang memang menjadi latar cerita sesungguhnya yaitu di Belitong. Hal ini tentu sangat banyak manfaatnya, selain aksen dialog yang memang sesuai dengan kondisi cerita, deskripsi Andrea yang sangat detail dalam novel LP memang mempermudah untuk memilih pemain yang benar-benar mendekati dengan karakter yang ada di novel. Selanjutnya tentang setting, kondisi ini juga sangat berbeda dengan kasus yang dialami AAC. LP lebih mudah untuk mencari lokasi pembuatan filmnya karena sampai kini daerah Belitong masih ada, meski Riri Reza sebagai sutradara mengakui banyak tantangan karena apa yang terjadi di novel yaitu kurun waktu 1970-an dengan kondisi sekarang banyak yang berubah.












BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Analisis Interaksi Multikulturalitas antar Tokoh yang Terdapat dalam Film Laskar Pelangi
a). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Agama
Di dalam cerita film Laskar Pelangi terdapat adanya pola hubungan antar penganut agama yang berbeda. Nilai toleransi dalam bersikap antar umat beragama ditunjukkan oleh A Kiong yang beragama Kong Ho Cu dengan ke Sembilan temannya yang beragama Islam. Tetapi hubungan perbedaan keyakinan yang terjalin di antara kesepuluh anak kecil ini terjalin dengan baik, tanpa adanya rasa diskriminasi dan pengucilan di pertemanan mereka.
Keberadaan A Kiong menjadi salah satu siswa di SD Muhammadiyah, merupakan salah bukti bahwa perbedaan agama yang ada di lingkungan masyarakat Belitong menunjukkan betapa toleransinya hubungan antar umat beragama, sehingga menghasilkan suatu pola hubungan multikultural di dalam dimensi agama.
Bahkan di akhir cerita film LP, A Kiong atau yang memiliki nama ber-ras Cina, Chau Chin Kiong ini, menjadi seorang mualaf setelah ia menikah dengan salah satu teman perempuan sepermainnanya sejak kecil atau Sahara Aulia Fadillah binti K.A. Muslim Ramdhani Fadillah. Bahkan setelah masuknya A Kiong menjadi umat muslim, ia rela menganti namanya yang melekat sejak lahir dengan nama Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman.

b). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Etnisitas dan Warna Lokal
Di dalam dimensi etnisitas, wacana multikultural muncul berkaitan dengan proses interaksi yang melibatkan dua kelompok etnik atau lebih. Sedangkan pola hubungan multikulturalitas yang terdapat dalam film LP ini dapat digambarkan, bahwa dalam masyarakat multikultural dapat terwujud proses interaksi yang damai dan toleran antar etnis yang ada. Hal ini terjadi dalam cerita, bahwa Chiong Si Ku atau sembahyang rebut setiap tahunnya diadakan oleh warga Tionghoa. Mereka merayakannya dengan warga sekitar atau warga lain yang berbeda agama. Biasanya mereka mengadakan aneka perlombaan dan hiburan yang boleh diikuti oleh semua warga, diantaranya lomba panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu. Dengan demikian kegiatan seperti ini dapat disebut sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampong Belitong; orang Tionghoa, Melayu, Pula bersarung dan warga Sawang berkumpul.
Hubungan keempat etnis tersebut menunjukkan proses sosial yang cukup toleran dan penuh kedamaian di dalam lingkungan bermasyarakat. Semua itu juga merupakan cerminan fakta masyarakat multikultural yang terjadi secara harmonis dan menyenangkan. Sehingga memunculkan rasa kebersamaan sebagai warga setanah air, berideologi sama, walaupun diantara keempatnya memiliki keimanan yang berbeda.

c). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Hubungan Antar Ras
Sebagai negara yang pernah mengalami proses kolonisasi, sangat memungkinkan terjadinya hubungan antar ras, yakni ras Timur (berwarna) dan Barat (putih). Pola hubungan tersebut dapat saling menegasi atau sebaliknya, yakni saling membantu.
Sedangkan dalam film LP dimensi hubungan antar ras begitu nampak dalam cerita, yaitu terjadi perbedaan dalam kesetaraan pola hidup dan jaminan antar ras warga asli Belitong dengan pegawai tambang PN Timah. Bahwasanya yang menikmati hasil tambang timah yang ada di tanah Belitong, kesemuanya hanya dirasakan oleh pegawai tinggi saja. Sedangkan warga Belitong asli yang hanya menjadi pegawai rendahan di penambangan tersebut hidupnya tidak mengalami kelayakan dalam sehari-harinya seperti orang-orang pegawai tinggi tambang PN timah yang berasal dari luar daerah bukan asli warga kelahiran tanah Belitong. Hal inilah yang menunjukkan perbedaan antar ras pendatang dengan warga asli begitu nampak terjadinya diskriminasi antar golongan yang tidak seimbang.
d). Wacana Multikulturalitas dalam Dimensi Gender
Di dalam film LP terdapat fenomena konstruksi hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Bahwasanya perempuan harus berani mengambil peran dengan cara memajukan diri sesuai dengan kehendak atau egonya. Dengan begitu perempuan dapat berbuat atau bertingkah bebas, asalkan masih dalam kaidah kewajaran sebagai diri perempuan.
Kebebasan perempuan itu ditunjukkan pada karakter tokoh Flo. Kebebasan yang nampak baik dari penampilan atau cara berpakaian maupun dalam pilihan jalan hidup yang ia pilih sesuai kehendak dan kemauannya. Padahal Flo di dalam cerita digambarkan sebagai anak perempuan dari seorang pegawai kaya dari salah satu pekerja di perusahaan timah Belitong.
Flo melakukan suatu pemberontakan di dalam jalan hidupnya bersama keluarganya. Ia memilih keluar dari sekolah negeri, dan memutuskan untuk bersekolah di SD Muhamadiyah yang dianggapan keluarganya sebagai sekolah yang tidak mencerminkan masa depan para siswanya. Flo juga memilih untuk berteman dengan kesepuluh anak Laskar Pelangi. Karena dengan jalan demikian Flo merasa dirinya terasa longgar dalam menjalani hidup, dan berkawan dengan teman-teman yang suka akan tantangan dan kekonyolan ide kreativitas yang dihasilkan.

2.Nilai-nilai Multikulturalitas dalam Film Laskar Pelangi (Toleransi, Moderenisasi, Solidaritas)
Pesan nilai-nilai multikulturalitas yang terdapat dalam film LP yaitu:
a). Nilai Toleransi
Toleransi merupakan suatu sikap menghargai atas perbedaan-perbedaan yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Nilai toleransi yang terdapat di dalam film LP adalah adanya toleransi antar umat beragama, budaya, adat istiadat yang terjadi di dalam masyarakat Belitong.
Nilai toleransi yang terdapat dalam film LP diantaranya adanya nilai toleransi dalam antar umat beragama yang terlihat dari penerimaan A Kiong yang beragama Kong Hu Cu dapat bersekolah di SD Muhammadiyah yang berlandaskan islami. Sedangkan nilai budaya begitu nampak dalam cerita LP, bahwasannya masyarakat Belitong yang bersuku Melayu asli begitu terbuka menerima budaya Tionghoa yang berkembang di daerah tersebut.

b). Nilai Moderenisasi
Moderenisasi merupakan suatu upaya meninggalkan ketradisionalan dalam pola hidup beralih menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Hal ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan hidup yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan dunia.
Nilai moderenisasi yang terlihat dalam cerita film LP nampak pada penggunaan alat hitung berupa kalkulator yang merupakan dampak dari pemanfaatan tekhnologi yang digunakan di dalam proses pembelajaran menghitung. Hal ini nampak dialami para siswa SD PN Timah pada saat mengikuti proses pembelajaran di kelas. Berbeda dengan SD Muhamadiyah yang masih menggunakan alat tradisional, yaitu menggunakan potongan lidi sebagai alat penghitung.
Tidak hanya itu, moderenisasi juga nampak pada penggunaan mesin-mesin canggih sebagai alat pendulang timah. Diantaranya pemakaian mesin diesel sebagai alat penyedot air tanah, serta pemanfaatan pembangkit listrik sebagai alat penerangan dan sumber tenaga untuk mengoperasikan mesin yang berkekuatan listrik.

d). Nilai Solidaritas
Rasa kebersamaan dan perasaan satu dengan yang lain merupakan wujud dari sikap solidaritas. Hal ini mampu terjalin jika saling adanya rasa memiliki satu dengan yang lain. Dalam film LP nilai solidaritas ini nampak dialami pada persahabatan kesepuluh anak Laskar Pelangi dalam keseharian mereka.
Sikap kesolidaritasan ini terjalin sangat kuat, mereka selalu bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Hal ini nampak pada saat salah satu dari mereka mengalami kesedihan karena ditinggal sang pujaan hati. Teman yang lain berusaha untuk menghiburnya dengan menyanyi dan menari bersama hingga rasa kesedihan itu benar-benar hilang. Selain itu rasa kesolidaritasan antar sekawan ini nampak pula pada ending cerita, ketika Lintang beberapa hari tidak kelihatan datang mengikuti kegiatan di sekolah. Sehingga menimbulkan rasa kehilangan yang sangat mendalam di lubuk hati kesembilan sahabat Laskar Pelangi dan rasa kehilangan ini juga dialami oleh guru kesayangan Lintang yakni Bu Muslimah.

3.3 Keterkaitan Proses Transformasi Novel ke dalam Film Laskar Pelangi
Transformasi dari novel LP ke dalam bentuk film banyak menimbulkan perasaan kecewa karena merasa apa yang dilihat di film tidaklah sama dengan apa yang dibaca di novelnya. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi saat membaca novel, maka pembaca akan merasa kecewa. Secara tidak langsung pembaca membandingkan novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar.
Pemindahan dari novel ke film memungkinkan terjadinya banyak perubahan. Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi seorang pembaca secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa titik kritis yang dilihat masyarakat adalah cerita di film yang tidak selengkap di novel, alur yang berubah, pesan yang kurang sampai, keindahan novel tidak terlihat dalam film, adanya tokoh dalam novel yang tidak semua muncul di film, dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat penikmat film merasa kecewa usai melihat film tersebut.
Di dalam transformasi novel LP pada dasarnya banyak hal yang berubah atau berbeda antara novel LP dan film LP, akan tetapi perbedaan-perbedaan itu menutupi kekurangan yang ada di film, dan hal ini jarang terjadi pada kasus transformasi novel ke film yang lain. Novel LP memiliki kelebihan utama pada teknik penceritaan yang berupa deskripsi detail baik dari segi karakter tokoh maupun setting, akan tetapi dari segi konflik dan pergulatan cerita bisa dikatakan kurang. Film LP terdapat beberapa tokoh baru yang muncul di film yang sebelumnya tidak ada di novel, misalnya tokoh Bakri yang merupakan guru SD Muhammadiyah dan juga Mahmud (diperankan Tora Sudiro). Kemunculan kedua tokoh tersebut tentu bukan tanpa maksud, saya melihatnya sebagai upaya untuk membuat cerita lebih hidup. Di film diceritakan Bakri mengundurkan diri sebagai guru di SD Muhammadiyah karena mendapat tawaran menjadi guru di sekolah Negeri 1 Bangka dan Mahmud jatuh hati pada ibu Muslimah.
Perbedaan lain selain pada tokoh, terjadi pula pada jalan cerita. Di novel, di ceritakan saat mengikuti karnaval peserta SD Muhammadiyah berjumlah 58 orang. Akan tetapi dalam film hanya berjumlah 8 orang. Setting dalam adegan karnaval belum optimal, padahal seharusnya bisa lebih dimaksimalkan untuk menyerupai cerita di novel. Reka kostum yang dipakai tim SD Muhammadyah saat karnaval masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan apa yang ada di novel. Begitu juga adegan tarian sewaktu anggota karnaval gatal-gatal akibat terkena getah buah aren, apa yang ada di film sangat belum maksimal. Padahal, justru hal itulah yang membuat tim SD Muhammadyah memenangkan karnaval. Tarian yang dihasilkan terlihat seolah-olah mengada-ngada dengan adanya ilustrasi suara dan gerakan-gerakan yang tidak sesuai dalam novel.
Terlihat juga pada tokoh Pak Harfan tidak diceritakan meninggal, tetapi di film diceritakan meninggal dengan tiba-tiba, sehingga Bu Mus begitu terpukul. Ada satu adegan mengharukan, ketika Bu Mus sempat mogok tidak mau mengajar, digambarkan bagaimana anggota LP tetap bersemangat belajar di sekolah dengan Lintang sebagai gurunya. Adegan ini tidak ada di novel, tetapi saat dimunculkan di film bisa dikatakan cukup berhasil mengaduk emosi penontonnya. Begitu juga adegan ketika Mahar menyayikan lagu Seroja sebagai backsound adegan Ikal jatuh cinta pada A Ling. Adegan yang ternyata cukup menyita perhatian penonton ini sebelumnya juga tidak ada di novel. Dalam novel hanya diceritakan bahwa Mahar mempunyai kelebihan dalam hal berkesenian dan ketika tampil di depan kelas menyayikan lagu Tenasse Waltz karya Anne Muray sambil memainkan alat musik ukulele.
Perubahan yang paling mencolok adalah pada saat adegan cerdas cermat. Perbedaan tidak saja terjadi pada perubahan tokoh yang ikut cerdas cermat, yang di novel semestinya adalah Sahara, akan tetapi di film justru Mahar. Ataupun di novel seharusnya regu SD Muhammadyah yang didebat oleh Drs. Zulfikar (diperankan Slamet Raharjo), tetapi di film justru SD Muhammadyah dibela oleh Bapak Mahmud, guru SD PN sebagai rival dalam cerdas cermat tersebut. Semua soal-soal yang diberikan pun tidak sesuai dengan yang ada di novel.
Pada satu sisi, film LP memang banyak memiliki kelebihan, pada sissi lain terdapat kakurangan dalam filmnya. Karena tidak semua adegan dalam novel dimunculkan dalam film, tentu saja hal ini bisa saja terjadi karena durasi film yang terbatas. Namun, semua sisi yang ada di novel pada dasarnya hendak ditampilkan dalam film, meskipun hanya sekilas. Misalnya saja tentang hilangnya Flo ataupun ekspedisi ke Pulau Lanun. Meski tidak lama, kedua adegan ini sempat ditampilkan. Kondisinya memang berbeda, misalnya pada sosok Mahar dan Flo yang gemar dengan dunia mistik, cerita itu dalam novel terjadi setelah mereka cukup dewasa, sementara secara garis besar cerita di flim terjadi dalam kurun waktu saat mereka masih di SD.


3.4 Manfaat Pengajaran Apresiasi Sastra Film Laskar Pelangi Bagi Pembaca
Pengalaman sastra mencakup dua hal, yakni pengalaman apresiatif dan pengalaman ekspresif. Pengalaman berarti jumlah keseluruhan sesuatu yang terjadi, yang menyenangkan dan kurang menyenangkan, yang diamati, yang dipikirkan, yang diprakasai, yang dikerjakan bersama-sama. Pengalaman menyebabkan manusia menjadi lebih arif, lebih mampu untuk mengatasi masalah-masalah yang pelik. Segala kegiatan yang berkaitan dengan sastra disebut pengalaman sastra. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan penikmatan, penghargaan, dan pengenalan secara mendalam terhadap pengalaman manusia yang indah disebut pengalaman apresiatif. Pengalaman sastra yang berkaitan dengan pengungkapan atau ekspresi diri manusia melalui sastra disebut pengalaman ekspresif (Ardiana dalam Aminuddin, 1990: 223).
a). Peningkatan kualitas kehidupan dan pembentukan watak positif,
Setelah melihat film karya Andrea Hirata yang berjudul LP, kita dapat memahami watak tokoh yang masing – masing mempunyai kualitas hidup yang pada zaman sekarang ini sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarakat perkotaan yang serbah canggih dan mewah.
b). Pengembangan Kepribadian
Dalam karya sastra yaitu LP yang berbentuk novel yang telah ditranformasikan dalam sebuah film, telah diceritakan banyak pembelajaran yang bisa di petik dalam setiap cuplikan film LP. Pada film tersebut diajarkan bagaimana berbagai ilmu pengetahuan tentang lingkup pendidikan dan ilmu agama yang dapat mengembangkan kepribadian kita sebagai pembaca.
c). Melatih Keterampilan Berbahasa
Sebagai seorang pendidik juga dapat memanfaatkan film LP sebagai salah satu bahan untuk kegiatan pembelajaran kepada peserta didik, contohnya:
Siswa mendiskusikan film LP karya Andrea Hirata untuk diapresiasi. Kegiatan siswa tersebut menggambarkan keterkaitan antara pengajaran apresiasi sastra dengan salah satu keterampilan berbahasa yaitu berbicara berbicara.


























BAB IV
KESIMPULAN

Proses transformasi dari novel ke film merupakan hal yang sudah biasa dilakukan dalam perfilman di indonesia. Dan seringkali menyebabkan reduksi terhadap gambaran imajinasi pembaca yang diubah menjadi lebih nyata atau visual. Seringkali gambaran imajinasi kita saat membaca novel menjadi sebuah tuntutan atas visual yang tampak di layar film. Jika visual yang tampak tidak sesuai dengan gambaran imajinasi kita saat membaca novel, maka kita akan merasa kecewa. Secara tidak langsung kita membandingkan Novel dengan film. Novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, penokohan, latar, alur, dan suasana sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Sementara, alat utama film adalah audio visual, suara dan gambar-gambar. Tentu, pemindahan dari novel ke film akan memungkinkan terjadinya banyak perubahan.
Teks atau kata-kata mampu membimbing imajinasi kita secara bebas, sedangkan visual memberikan bentuk ‘nyata’. Teks juga mampu menggambarkan secara detil suasana hati, sudut lokasi secara berurutan berikut kiasan-kiasannya, juga memaparkan latar belakang persoalan secara berkelindan. Namun visual, dengan sifatnya yang nyata, bukan berarti tidak mampu menggambarkan detil persoalan, suasana hati, dan latar belakang, akan tetapi tetap memiliki karakteristik yang berbeda. Laskar Pelangi (LP) karya Andrea Hirata adalah salah satu film yang diangkat dari sebuah novel.
Di dalam cerita film Laskar Pelangi terdapat Interaksi Multikulturalitas antar tokoh, nilai-nilai multikulturalitas (toleransi, moderenisasi, inklusivitas, solidaritas) yang dapat kita kaji sebagai bentuk apresiasi terhadap karya sastra. Manfaat yang diperoleh dari pengalaman apresiasi sastra antara lain: Peningkatan kualitas kehidupan dan pembentukan watak positif, pengembangan kepribadian, melatih keterampilan berbahasa.
DAFTAR RUJUKAN



Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress (Aggota IKAPI).
Herata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang.
Film Laskar Pelangi (Sutradara; Riri Raza).
http://bensuseno.wordpress.com/ Film Adaptasi Karya Sastra. Diakses pada 12/12/2010. http://kamajayadalamkata.multiply.com/journal/item/18/Film_Laskar_Pelangi_Transformasi_Kritis_dari_Novel_Best-seller. Diakses pada 12/12/2010.
http://laskarpelangithemovie.blogspot.com/2009/03/film-laskar-pelangi-diluncurkan-dalam.html. Diakses pada 12/12/2010.
http://nunulines.blogspot.com/2010/02/dari-novel-hinggap-ke-layarkaca.html.Diakses pada 12/12/2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar