Minggu, 19 Desember 2010

POTRET KREATIF IMAJINASI KARYA SASTRA AYU UTAMI

POTRET KREATIF IMAJINASI KARYA SASTRA AYU UTAMI


Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010

1.Lingkungan Sosial Ayu Utami
Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968. Ayu Utami merupakan anak bungsu dari lima bersaudara, pasangan dari Sutaryo dan Suhartinah yang berasal dari Yogyakarta. Sutaryo sebagai ayah Ayu Utami bekerja sebagai jaksa, ia cukup ketat dalam mendidik anaknya untuk disiplin dan bertanggung jawab. Dalam hal ini ia sangat perhitungan terhadap anak-anaknya. Kalau ia memberikan sesuatu, pasti ia akan meminta imbalan yang seimbang dalam bentuk prestasi. Sebaliknya Suhartinah, sebagai ibu Ayu Utami yang dulu pernah bekerja sebagai guru Matematika di sebuah SMP. Sosoknya dikenal tipe orang yang mencintai anak-anaknya tanpa batas. Baginya prestasi anak-anaknya bukanlah suatu hal yang teramat penting. Jika di lain pihak ayah Ayu Utami bisa kecewa sekali melihat anak-anaknya gagal meraih prestasi terbaik. Malah sebaliknya ia selalu siap menghibur jika anak-anaknya gagal. Kombinasi pola asuh orang tua Ayu Utami yang seperti inilah yang membuat Ayu Utami bisa tumbuh menjadi pribadi yang matang dan dewasa. Ayu Utami menghabiskan masa kecil di Bogor hingga tamat sekolah dasar. Kemudian ia melanjutkan SMP di Jakarta, dan SMU di Tarakanita Jakarta.
Semasa SMP dan SMU Ayu Utami melakukan pemberontakan pada orang tua yaitu dengan tidak mau membaca buku, dan tidak mau belajar. Pokoknya meremehkan orang dewasa, meminimalkan usahanya untuk belajar. Baginya membaca buku bisa mempengaruhi hidupnya, Ia mau tetap orisinil. Namun soal membaca, Ayu Utami masih menyisakan waktu untuk membaca Alkitab. Alkitab sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merupakan penganut Katolik yang mengagumi buku-buku hasil karya Michael Ondaatje dan Budi Darma. Alkitab adalah buku satu-
satunya yang ia baca mulai dari kecil sampai dewasa. Alasannya, Alkitab ditulis oleh orangbanyak dengan gaya masing-masing. Ada yang bebentuk puisi, buku, dan surat menyurat. Wajarlah kalau di dalam novel Saman, terdapat adanya petikan-petikan ayat Alkitab yang diselipkan dalam cerita. (http://www.yoogee.com)
Sejak kecil Ayu Utami gemar menulis. Ketika beranjak remaja, ia menulis beberapa cerita pendek yang kemudian dimuat di majalah ibukota. Namun, bukan berarti cita-cita Ayu Utami sejak kecil memang ingin menjadi penulis. Ayu Utami walaupun ia mempunyai bakat melukis. Ia sering memperoleh order melukis dari teman atau keluarganya. Bahkan impian banyak pelukis pernah menghampirinya, yakni tawaran dari pembimbing melukisnya untuk mengadakan pameran tunggal. Itulah sebabnya, setelah lulus dari SMU, Ayu Utami ingin melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB. Akan tetapi keinginan itu ditentang orang tua. Sebagai pelarian akhirnya Ayu Utami masuk ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI). Ayu Utami memilih UI karena tidak ingin memberatkan orang tuanya, selai lebih murah dibandingkan dengan kuliah di luar negeri, selain itu juga semua kakaknya kuliah di UI (http://www.yoogee.com). Saat masuk ke Fakultas Sastra itulah Ayu Utami seperti kehilangan arah. Kuliah ia jalani dengan malas. Ia lebih banyak bekerja di berbagai tempat daripada kuliah. Akan tetapi hal itu bukan merupakan pemberontakan. Ia merasa tidak adagunanya lulus tanpa pengalaman. Selain itu ia tidak ingin tergantung soal keuangan pada orang tuanya. Kuliah sambil bekerja yang dilakukan Ayu Utami juga mendobrak kebiasaan di keluarganya. Pada zaman kakak-kakaknya hal itu tidak bisa diterima oleh ayahnya. Sifat keras kepala dan kritis Ayu Utami yang membuat ayahnya mengalah. Pekerjaan sebagai purel hotel berbintang pernah ia jalani. Bahkan Ayu Utami pernah menjalani dunia model setelah menjadi finalis wajah Femina tahun 1990. Kemenangan cerpennya di majalah Humor menariknya menjadi wartawan di majalah Matra. Ia akhirnya pindah ke Forum Keadilan, dan D&R (http://www.yoogee.com).
Sejak bergabung dengan Forum Keadilan, jiwa aktivisnya tumbuh dan berkembang. Ia menentang pembredelan pers oleh pemerintah dan mengikuti pendidikan di Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Konsekwensinya ia akhirnya dipecat dari majalah Forum. Setelah itu ia sempat bergabung dengan majalah D&R, karena namanya sudah masuk black list, tidak boleh lagi tercantum disusunan redaksional media massa manapun. Di majalah ini ia hanya menjadi kontributor. Saat itu memang tidak ada lagi kemungkinan bagianya untuk menjadi wartawan secara terang-terangan. Ketika akhirnya ia menjadi aktivis, pihak keluarga sangat menentang. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat untuk menjadi aktivis niat utamnya adalah menjadi wartawan professional. Akan tetapi pada masa Orde Baru sekitar tahun 1993-1994, ia akhirnya terbawa arus menjadi aktivis yang memperjuangkan kebebasan pers.
Sewaktu menjadi aktivis, kedudukannya lebih sebagai kurir atau penghubung. Ia tersentuh sekali melihat teman-teman yang terlibat secara langsung di AliansiJurnalistik Indonesia (AJI). Mereka cukup lama hidup dalam persembunyian menghindar dari kejaran polisi. Biasanya ia bertugas menghubungi mereka untuk berbagai keperluan, seperti mengantar uang, pesangon, dan sebagainya. Dengan penampilannya ia bisa mengelabuhi pihak aparat, sehingga mereka sama sekali tidak curiga dengan kehadirannya. Karena untuk ukuran seorang aktivis sosok Ayu Utami cukup bersih dan rapi. Hasilnya sepak terjangnya sebagai aktivis memang tidak pernah tercium oleh pihak aparat (http:cyberman.cbn.net.id). Setelah melanglang ke majalah D&R selama setengah tahun dan di BBC selama beberapa bulan, akhirnya Ayu Utami menemukan tempat terakhirnya yaitu Komunitas Utan Kayu. Ia masih bisa mengembangkan sayap kewartawanannya sebagai Redaktur Jurnal Kebudayaan Kalam. Ia merasa bahagia, bergaul dengan berbagai kalangan yang dapat memperkaya wawasannya. Di sinilah Ayu Utami melahirkan Novel Saman, yang kemudian membuat heboh di tengah masa krisis moneter (http://www.yoogee.com).

2.Karya Sastra yang Dihasilkan Ayu Utami
Ayu Utami merupakan salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia. Hal ini terbukti bahwa karya Ayu Utami begitu fenomenal dan dianggap kepenulisannya membawa perubahan baru di dalam perkembangan sastra Indonesia. Selain dikenal akan karya-karya sastra yang dihasilkan, ia juga memiliki segudang pengalaman di dalam dunia jurnalistik Indonesia. Ayu Utami pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tapi sayangnya tidak lama kemudian sejumlah media masa mengalami penutupan. Diantaranya Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru. Ia juga ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan media masa pada masa itu. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan ia juga ikut gabung dalam Teater Utan Kayu. Novel Ayu Utami yang pertama kali terbit berjudul Saman, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 1998. Novel yang kedua berjudul Larung, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 2001. Novel keempat berjudul Bilangan Fu, diterbitkan KPG, Jakarta, tahun 2008, dan yang novel yang terbaru berjudul Manjali dan Cakrabirawa, diterbitkan .

Novel ini mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.
Dalam novel Saman sendiri, sebenarnya lebih sebagai akumulasi dari pengalaman Ayu Utami sebagai perempuan yang memiliki profesi sebagai wartawan dan aktivis. Ada dua hal yang ingin ia angkat di dalam novelnya, yaitu persoalan-persoalan jender dalam hal termasuk seks, dan juga persoalan-persoalan politik yang lebih umum. Ia hanya berusaha untuk jujur mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. Pada masa itu, masalah seks memang masih dianggap tabu untuk diangkat ke permukaan, termasuk dalam bentuk novel. Itulah sebabnya, ketika membuat novel Saman ia malah berpikir akan menerbitkannya sendiri, karena ia takut tidak ada penerbit yang berani menerbitkannya. Ternyata prediksinya salahnovel Saman malahmenjadi best seller. Ini merupakan satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah siap dengan hal-hal yang dianggap tabu, termasuk membicarakan seks secara terbuka (http:cyberman.cbn.net.id).
Pemaparan seks dalam Saman bukan membahas teknik persetubuhan, tetapi semata-mata mengajak pembaca untuk merenungkan kembali problematika seks yang dialami oleh pihak perempuan. Seperti isu keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah. Ayu Utami bukannya menganjurkan seks sebelum menikah, tetapi menghimbau pembaca untuk merenungkan kembali isu keperawanan tersebut, supaya menempatkan isu tersebut sewajarnya saja. Karena apabila perempuan begitu memuja keperawanan, maka ia sendiri yang akan rugi. Keperawanan hilang, ia merasa sudah tidak berarti lagi (http://www.qlen.hlc.unimelb.edu.au).
Dalam hal menjalin cinta dengan seseorang, Ayu Utami adalah wanita yang sangat realistis. Dalam arti, pada saat tertentu ia bisa sangat mengagumi kekasihnya dan bergantung kepadanya. Tetapi jika hubungan pada akhirnya memang harus berakhir, ia pun bisa melupakannya sama sekali. Inilah yang membuatnya tidak mengenal istilah patah hati dalam hidupnya. Sebab ia bisa berteman baik dengan mantan kekasihnya, tanpa ada lagi rasa cinta. Soal laki-laki, secara fisik Ayu Utami suka lelaki yang berbadan tegap dan rambutnya cepak. Entah kenapa seperti itu, sebetulnya ia sebal sekali dengan militerisme, tetapi soal laki-laki ia suka yang military look. Dari segi karakter, ia tidak terlalu tertarik dengan laki-laki yang bicaranya terlalu banyak dan suka pesta. Kalau sebatas teman ia senang sekali, tetapi bukan untuk menjadi pacar. Ia suka dengan laki-laki yang military look kemungkinankarena citra laki-laki gantengyang pertama kali ia lihat adalah Pierre Tendean, orang yang dikenal sebagai salah satu pahlawan revolusi. Seperti kita ketahui bagi orang-orang sebaya Ayu Utami, doktrin mengenai G 30 S/PKI itu kan demikian kuat. Proses pembentukannya sepertinya didoktrinasi oleh nila-nilai kepahlawanan seperti itu. Jadi, meskipun ketika beranjak dewasa apalagi setelah menjadi aktivis, ia benci sekali dengan tentara, tetapi soal laki-laki ia malah tertarik dengan mereka yang
bergaya militer (http:cyberman.cbn.net.id).
Ayu Utami tidak mau menikah, itu prinsip yang kini ia pegang. Dalam buku Si Parasit Lajang, ia menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang menurutnya penting yaitu menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun kita selalu mengucapkan bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu satu-satunya pilihan. Karena, kalau tidak menikah perempuan akan diejek sebagai perawan tua, dan sebagainya. Yang pada akhirnya, membuat si perempuan menjadi berada di bawah tekanan. Ia ingin menghimbau atau mengajak atau sebetulnya bertanya kepada orang lain, kenapa kita harus menikah. Ia menunjukkan tanpa menikah pun bisa bahagia. Di satu pihak ia juga ingin menyadarkan masyarakat akan dua hal. Pertama, bahwa dalam realitanya hubungan seks itu bukan hanya ada dalam pernikahan. Yang kedua, hubungan seks dalam pernikahan sendiri bukan berarti lebih baik dari hubungan seks di luar pernikahan. Dalam hal ini, Ayu Utami melihat masyarakat kita memang munafik. Mereka menganggap seolah-olah kalau sudah menikah itu segala sesuatu menjadi beres. Padahal, banyak sekali orang yang sudah menikah tetapi masih melakukan hubungan seks di luar pasangan sahnya. Dalam hal pernikahan, ia melihat banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan (http:cyberman.cbn.net.id).
Keputusan Ayu Utami untuk tidak menikah membuat keluarga, terutama ibu sempat merasa sedih. Sampai sekarang Ibu Ayu Utami tetap berharap suatu saat akan menikah. Sebaliknya, di luar pikirannya, Bapak Ayu Utami malah menerima keputusan ini dengan enteng. Ayu Utami juga tidak mempunyai keinginan untuk menjadi seorang ibu, menurutnya buat apa punya anak, penduduk Indonesia sekarang kan sudah padat sekali (http:cyberman.cbn.net.id).



LARUNG
Larung adalah novel kedua karya Ayu Utami yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Novel ini adalah kelanjutan dari Saman yang pada awalnya dua novel tersebut direncanakan sebagai buku berjudul Laila Tak Mampir di New York. Dalam proses pengerjaan, beberapa sub plot berkembang melampaui rencana. Pada akhirnya Saman dan Larung merupakan dwilogi yang berdiri sendiri. Pada buku ini bertambah lagi satu tokoh utama bernama Larung Lanang selain tokoh-tokoh sebelumnya Laila, Shakuntala, Saman dan Yasmin.
Pada novel ini, Ayu Utami mencerminkan ideologi dirinya pada salah satu tokoh yang bernama Tala, seperti yang tampak pada kutipan novel berikut ini:

“Di sini, di kota asing ini, malam hari ayahku mengikatku pada tempat tidur dan memberiku dua pelajaran tentang cinta. Inilah wewejangnya: Pertama. Hanya lelaki yang boleh menghampiri perempuan. Perempuan yang mengejar-ngejar lelaki pastilah sundal. Kedua. Perempuan akan memberiakn tubuhnya pada lelaki yang pantas, dan lelaki itu akan menghidupinya dengan hartanya. Itu dinamakan perkawinan. Kelak ketika dewasa, aku menganggap persundalan yang hipokrit (Larung, 120-121).”

Tala di usia remajanya melakukan sebuah perlawanan terhadap konstruk sosial yang memuliakan laki-laki untuk diberi keistimewaan oleh perempuan, sementara lelaki sendiri tidak pernah dipersoalkan keperjakaannya. Pemikiran ini berlanjut ketika Tala menginjak dewasa, dirinya diberi wejangan tentang keperawanan dan perkawinan oleh ayahnya.
Novel 'Larung' dimulai dengan pembaca diperkenalkan kepada watak Larung, seorang manusia dengan sejarah hitam, yang mencoba mengarungi hidupnya dengan segala-galanya yang membelenggu jiwanya. Kisah hidupnya penuh liku-liku, ditambah lagi dengan kehadiran neneknya, seorang "makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar kotoran dan kekejian." Larung mempunyai seorang nenek dengan kuasa mistik luar biasa. Beliau menganggap neneknyalah yang telah menyebabkan kematian ibunya. Kematian neneknya sendiri menjadi misteri. Ayu Utami membuka novel 'Larung' dengan kematian nenek Larung (yang dilakukan secara euthanasia oleh Larung sendiri). Dari awal pembukaan novel ini saja sudah mampu membuat pembaca mengamati tulisan Ayu dengan penuh minat. Pada 'Larung', Ayu lebih menitik beratkan kepada soal deskriptif yang lebih visual dan berani. Ada kalanya erotis yang nampak pada bagian berikut ini:

“Dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga selalau terlambat tertawa-kadang sama sekali tak paham apa yang kami luconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan postorgasme yang menyenangkan. (Larung, 132)”
Pastinya novel 'Larung' ini lebih sesuai untuk pembaca-pembaca dewasa yang matang. Pada novel ini, Ayu juga banyak menceritakan tentang politik melalui apa yang terpaksa dilalui oleh watak-wataknya. Ungkapan liku-liku sejarah Partai Komunis Indonesia, sampai pada penyerbuan pejabat Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri yang dikenal dengan Peristiwa 27 Juli 1996 ada disebutkan sekali. Sesekali juga disebut nama-nama pemikir kiri kontemporari seperti Gramsci dan Chomsky, selain haluan ideologi komunisme dan sosialisme. Sedangkan adegan di atas ranjang yang terdapat dalam novel ini diselang-selikan dengan tema politik juga sosio-politik. Pendekatan Ayu terhadap watak-watak yang mendukung semangat feminisme progresif seperti Yasmin, Shakuntala, dan nenek Larung juga amat menyegarkan. Begitulah tokoh-tokoh fiksi Ayu Utami. Sesungguhnya novel Larung adalah sebuah upaya artistik untuk mengejek lembaga agama dengan segala perangkat dan ajarannya. Maka eforia reformasi ini memang mempunyai peluang untuk menyampaikan pikiran seperti itu, dan Ayu Utami memanfaatkan momen ini.

Bilangan Fu
Novel Bilangan Fu menceritakan persahabatan antara Yuda, Parang Jati dan Marja. Mereka terlibat dalam pengalaman-pengalamn spiritual. Yuda seorang pemanjat tebing yang sering bersifat skeptis dan sinis, bersama kelompoknya ia membuka jalur pemanjatan baru di daerah Sewugunung, sekitar Yogyakarta.
Parang Jati merupakan tokoh yang berperan sebagi mahasiswa Geologi berjari dua belas yang tinggal di Sewugunung. Parang Jati dan Yuda bertemu ketika Yuda pergi ke rumh Fulan, salah satu temannya. Keduanya lalu bersahabat.
Parang Jati sangat menghormati alam. Ia mengkritik semua perilaku manusia yang merusak alam, karena itulah ia menjadi vegetarian. Ia juga tidak nsetuju dengan pemanjatan yang dilakukan Yuda yang dianggapnya merusak alam. Parang Jati sangat menghormati kehidupan dan kepercayaan masa lalu saat manusia hidup selarasa denfgan alam. Ia berani bersikap kritis terhadap agama-agama langit yang menentang berlanjutnya pemujaan-pemujaan terhadap alam. Bahkan kemudian, ia berniat membuat agama baru ”Kejawen Anyar” yang mengusung sikap spriritualisme kritis. Dari sikap Parang Jati tersebut, ia mendapatkan musuh. Pemuda yang tiga tahun lebih muda bernama Kupukupu dan berganti nama menjadi Farisi. Ia adalah saudara kandung Parang Jati, tapi tidak seberuntung Parang Jati yang diangkat anak oleh Suhubudi yang kaya raya. Farisi mengagungkan agamanya dan menolak pemberhalaan apa pun selain Tuhan. Lalu mencullah konflik-konflik di Sewugunung. Tewasnya seorang dukun klenik oleh anjing gila dan kemudian mayatnya hilang dari kubur, adanya perusahaan pertambangan yang ingin mengeksplorasi batu kapur Watugunung. Isu pembunuhan dukun santet oleh Ninja, juga konflik lokal antara kepolisian dan tentara.
Kehadiran Marja sebagai kekasih Yuda yang kemudian juga dekat Parang Jati menjadikan mereka terikat dalam cinta segitiga. Namun, cinta segitiga tidak menjadi sorotan utama dalam novel Bilangan Fu. Novel ini lebih menekankan pada konsep spiritualisme kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar