IMPOTENSINYA
PETISI PEGIAT SASTRA TOLAK BUKU
33
TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH
TINJAUAN
IDEOLOGIS DAN ESTETIS
-->
- PENGANTAR
Semenjak
kemunculan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh dihadapan
pemerhati kesusastraan Indonesia, begitu banyak apresiasi dari mereka
baik berupa penilaian bernada dukungan ataupun penolakan. Pemerhati
yang merupakan akumulasi dari berbagai pegiat; pecinta sastra,
akademisi, kritikus, dan satrawan memberikan suatu pernyataan atau
komentar terhadap penilaian kemunculan buku tersebut yang dipandang
dari berbagai aspek. Dari aspek waktu kemunculan, judul buku, daftar
nama-nama sastrawannya, panitia penyelenggara, proses seleksi
nama-nama sastrawan yang digadang-gadang ‘paling berpengaruh’,
bahkan dugaan adanya sponsor terselubung di balik penerbitan buku
tersebut. Bisa dibilang kemunculan buku tersebut menuai banyak
kontroversi.
Dari
pemerhati tersebut tergolong menjadi dua belah pihak, bagaimana
terdapat pihak yang pro dengan kemunculan buku tersebut dan di lain
sisi muncul pihak kontra. Adapun pihak pro, pastinya mereka tidak
mempermasalahkan dengan kemunculannya atau mereka yang menjadi
kawanan seideologi dengan tim 8 yang tidak lain tim penggagas buku 33
Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.1
Sedangkan pihak kontra, pastinya pihak yang tidak setuju atau
menolak kemunculan buku tersebut. Salah satu pusaran polemik dari
pihak kontra terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh adalah munculnya nama Denny
JA dalam deretan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh. Denny JA, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik,
disejajarkan dengan nama-nama sastrawan besar seperti Chairil
Anwar, Pramoedya
Ananta Toer dan Ayu Utami.
Apabila
mencermati polemic yang ada, sebab pencatutan Denny JA-lah yang
menjadi polemic paling sater dari pihak kontra. Jika seseorang
melakukan pencarian dengan kata kunci ‘polemik buku 33 Tokoh
Sastra Indonesia Paling Berpengaruh melalui kolom pencarian
Google, pastinya banyak sekali situs-situs yang memberitakan polemic
tersebut dari sudut pandang penilaian orang yang berbeda-beda. Entah
keiukut sertaan mereka menanggapi polemic itu hanya sekedar
ikut-ikutan atau memang karena mereka paham dengan akar polemic
tersebut sehingga mereka memang layak untuk menyuarakan
ketidakterimaannya. Ketidakterimaan akan polemic itu, mereka suarakan
melalui jejaring social, blog, ataupun wawancara ekslusif oleh suatu
media massa. Adapun isi dari ketidakterimaan itu begitu beragam
komentarnya, bahkan tidak sedikit segala ungkapan cacian tercetus
dari otak yang mayoritas merupakan otak dari seorang akademisi yang
bisa dibilang melek akan teori sastra. Pada puncak dari aksi
ketidakterimaan dari pihak kontra ini, termaklumat didalam sebuah
petisi yang ditayangkan melalui situs change.org. Alasan mereka
membuat petisi tersebut adalah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia
Paling Berpengaruh dinilai telah mencederai integritas dan moral
para ahli sastra, sastrawan, dan masyarakat. Serta anggapan dari
mereka yang menilai buku tersebut menjadi preseden buruk karena
berpotensi membuat masyarakat tersesat pengetahuan atau bahkan
percaya pada klaim asertif serupa dalam tulisan-tulisan lain pada
masa mendatang.
Akan
tetapi, apabila dicermati semakin detail isi dari petisi yang
dikepalai oleh Irwan Bajang dan kemudian mengatas namakan pecinta
sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan
sastrawan. Serta, barangkali petisi yang digagas agar kelihatan lebih
meyakinkan Irwan Bajang mencatut pula nama-nama pengamat sastra
Indonesia yang namanya cukup populer di masyarakat sastra pada akhir
isi petisi.2
Isi dari petisi yang sempat dibacakan oleh para penggagas di kantor
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada hari Jumat, tanggal 17 Januari
2014, apabila dicermati dan dipahami lebih teliti dari kalimat demi
kalimat yang dituliskan terdapat kejanggalan yang patut untuk
dipertanyakan atau barangkali adanya revisi ulang. Pada intinya isi
petisi tertuliskan kalau pihak kontra ini menginginkan pembredelan
terhadap buku tersebut, akan tetapi ternyata penyampaian maksud
tersebut belum tersampaikan dengan akurat atau adanya ambiguitas
makna. Berikut kutipan isi dari petisi yang menuai keambiguitasian
makna.
Pertama, mendesak Kemendikbud untuk menentukan atau
menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut….
Kedua, mendesak Kemendikbud untuk memfasilitasi pengkajian
ulang isi buku tersebut….
Ketiga, mendesak Kemendikbud untuk mengambil langkah tegas
pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen,
sesuai prosedur hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan
adanya kesalahan fatal.
Keambiguan
terdapat pada kata yang ditulis dengan huruf miring. Entah perihal
keambiguan tersebut disadari tidaknya oleh penggagas, atau
jangan-jangan mereka menuliskan isi petisi tersebut sekedar
menuliskan dengan kata-kata tanpa memahami apa yang dituliskannya.
Dari keambiguan tersebut memperlihatkan bahwa petisi tesebut
seolah-olah dibuat penuh dengan keraguan atau sekedar gertakan semata
untuk menjahili Tim 8 yang begitu ambisius merintis buku tersebut.
Persoalan tersebut pula yang menimbulkan keraguaan terhadap keabsahan
petisi tersebut dibuat. Apalagi petisi tersebut dibuat untuk
ditunjukkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam
paper ini, akan menitik beratkan persoalan tersebut sebagai rumusan
masalah yang layak dikaji berdasarkan aspek ideologis dan juga
estetis yang terkandung didalam isi petisi tersebut maupun latar
belakang diterbitkannya.
- AMBIGUITAS MAKNA ISI PETISI: SEBAGAI PROSES KEHAMILAN ATAU MALAH IMPOTENSI?
Pada
era cyber seperti sekarang ini seringkali masyarakat memanfaatkan
petisi yang dimuat secara online untuk menyampaikan gugatannya
terhadap suatu persoalan kepada pemerintah di suatu Negara. Fenomena
seperti itu barangkali sudah menjadi suatu perihal lumrah dilakukan.
Di Indonesia pun petisi seringkali disuarakan, seperti halnya ketika
petisi yang dibuat oleh pegiat sastra Indonesia yang dimuat di situs
www.change.org di awal tahun
2014, petisi tersebut ditujukan kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional untuk menolak beredarnya buku 33 Tokoh
Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh.
Petisi
tersebut dipramotori oleh Irwan Bajang yang dikenal masyarakat sastra
sebagai salah satu dari sekian pegiat sastra yang ada di Yogyakarta.
Dalam isi dari petisinya, Iwan dan mengatasnamakan pecinta
sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan
sastrawan, mengajukan petisi yang pada intinya ia
menginginkan pemerintah untuk membredel beredarnya buku yang digagas
Tim 8 tersebut. Seolah-olah petisi tersebut dipublish diselimuti rasa
amarah dan geram terhadap apa yang dilakukan Tim 8 dan juga
beredarnya buku tersebut. Akan tetapi, apabila dicermati isi dari
tulisan petisinya dilihat dari segi pemaknaan yang ingin disampaikan,
terlihat jelas bahwa petisi tersebut masih ada
kejanggalan-kejanggalan yang sepatutnya perlu adanya susunan ulang
dari kata perkalimat yang dituliskan. Berikut isi dari petisi yang
terdiri dari tiga poin penting, dan melalui paper ini akan dikaji
secara mendalam dari aspek maknanya.
- Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
- Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Yang dimaksud sebagai pengujian validitas metode pemilihan di sana adalah pengujian terhadap ketepatan prinsip-prinsip metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
- Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, sesuai mekanisme dan prosedur yang ada, termasuk hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal metode pemilihan dan isi buku tersebut. 3
Berdasarkan
pembacaan pada isi petisi poin 1, menyiratkan pesan yang ingin
disampaikan, bahwa bihak pembuat petisi meminta pemerintah untuk
segera ikut campur atau mengambil tindakan terhadap beredarnya buku
33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Akan tetapi,
pada petisi poin 1 ini terdapat kejanggalan dari pilihan kata yang
dituliskan. Tepatnya pada kata menunda atau
menghentikan sementara, apabila dimaknai secara
gramatikal makna dari kata menunda adalah mengundur waktu
pelaksanaan. Berarti apakah Irwan Bajang dan komplotonnya
mengharapkan melalui petisi tersebut hanya sekedar berharap kepada
pemerintah untuk mengundur waktu pelaksaannya saja dari beredarnya
buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Padahal
apabila mesebandingkan dengan apa yang sudah disuarakan oleh Dwi
Cipta salah satu perintis petisi tersebut dalam wawancaranya dengan
wartawan situs portalkbr.com, Dwi mengungkapkan ia bersama
teman-teman akan meluncurkan petisi untuk memboikot buku itu. Berarti
apakah benar makna dari ‘memboikot’ tersebut dimaknai sebagai
menunda sementara?
Kemudian
pada poin ke 2 dari isi petisi, tertera kata ambigu; mengadakan
dan memfasilitasi. Dimana Irwan Bajang dan komplotannya
mengharap dari pemerintah untuk menyelenggarakan suatu pengkajian
ulang terhadap isi buku tersebut demi menguji validitasi metode untuk
menentukan 33 sastrawan paling berpengaruh. akan tetapi, dengan
adanya diksi mengadakan dan memfasilitasi dimaknai pihak pembuat
petisi ini ingin melakukan suatu pembredelan sebuah buku yang
pastinya aktivitas pembredelan tersebut identik dengan perbuatan yang
berapi-api sepertihalnya pahlawan yang ingin menghunus musuh dengan
ketajaman pisaunya. Tetapi apa yang dilakukan Irwan Bajang tidak
selayaknya seorang kesatria, walaupun ia memiliki sisi ambisinya
seorang ksatria dalam menumpas darah sang musuh, tapi di lain sisi ia
memiliki rasa belas kasihan atau ragu-ragu terhadap musuh yang ingin
dibunuh. Sehingga ia sempat memberikan tawaran kepada musuh ‘kau
kabur saja sebelum aku bunh!’. Entah Irwan Bajang menyadari
keambiguitasinya tersebut apa tidak. Tetapi yang jelas dari kalimat
isi petisi poin ke 2 tertera demikian.
Sedangkan
poin ke 3, keambiguitasian terlihat pada pilihan kata permanen
dan apabila. Bagaimana seharusnya di isi petisi poin ke
3 ini, seharusnya dimaksudkan dengan tegas menuntut pemerintah untuk
melakukan pengambilan tindakan pemboikotan perederan buku 33 Tokoh
Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh, akan tetapi apa yang
tertera dalam isi petisi pihak Irwan Bajang hanya memberikan
pemboikotan sementara terhadap buku tersebut. Apalagi di lain sisi
ternyata Irwan Bajang juga masih ragu dengan tuntutannya, hal
tersebut tersirat dari kata apabila berarti dari situ
dimaknai bahwa sebenarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling
Berpengaruh sebenarnya pembodohannya masih diragukan. Apakah buku
tersebut benar-benar melakukan pembodohan dan penghitaman terhadap
perkembangan kesusastraan Indonesia, apa tidak?
Dari
ketiga poin penting petisi tersebut, dapat dimaknai bahwa petisi
tersebut dibuat dengan penuh keraguan dan terlihat asal-asalan tanpa
adanya sebuah keabsahan materi seperti selayaknya sebuah petisi.
Memang apa yang ingin disuarakan Irwan Bajang beserta komplotannya
dalam petisi tersebut terlihat berapi-api, akan tetapi apabila
diibaratkan api yang dikobarkan bukan selayaknya api kesumat membara,
tetapi api sebuah lilin. Hal tersebut yang mengindikasikan bahwa
petisi untuk pemboikotan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling
Berpengaruh dimaknai sebagai suatu usaha impotensi. Dari luar
terlihat hasrat bercumbunya begitu membuncah gerah, tetapi ternyata
hasrat itu hanya sebuah luapan semata sebab hasrat telah dimatikan
dengan lemah syahwat.
- KESIMPULAN
Barangkali
apa yang dilakukan Irwan Bajang dan komplotannya dengan membuat
sebuah petisi terhadap pemboikotan beredarnya buku 33 Tokoh
Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh meniru gaya pemerintahan
orde baru. Dimana pemerintahan orde baru banyak melakukan pembredelan
atau pemboikotan terhadap sejumlah buku dan media massa karena
dianggap tidak sejalan dengan alur pemerintahan yang dicanangkan oleh
pemimpinnya pada masa itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan Irwan
Bajang dengan munculnya petisi tersebut seolah-olah bentuk dari
kegagalan sebuah usaha pemboikotan. Maklum saja apabila pihak yang
diboikot tenang-tenang saja menanggapi serangan petisi yang sampai
sekarang ini sudah ditanda tangani 1000 responden. Bahkan pihak yang
diboikot ini pun menilai kalau apa yang dilakukan Irwan Bajang dan
komplotannya sebuah keirian semata karena tidak mampu menghasilkan
karya.
DAFTAR REFERENSI
Bawono, Mamayu Hayuning. Buku-buku yang Sempat Dilarang.
(http://waroengbhatik.wordpress.com/2010/10/14/buku-buku-yang-sempat-dilarang/).
Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.
Bajang, Irwan, dkk. Petisi Pegiat Sastra Tolak Buku 33 Tokoh
Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh.
(http://www.change.org/id/petisi/petisi-terhadap-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh-susunan-jamal-d-rahman-dkk-mengajak-segenap-lapisan-masyarakat-indonesia-untuk-ikut-mendukung-petisi-ini-mendesak-kementerian-pendidikan-dan-kebudayaan-nasion).
Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.
Fawaid, Achmad. 2014. Paper: Kontiunitas dan Diskontuinitas
Kontroversi Buku 33 Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. prodi S2
Ilmu Sastra, FIB, UGM.
Laksana, A.S. 33 tokoh Sastra Sebuah Kejahatan.
(http://as-laksana.blogspot.com/2014/01/33-tokoh-sastra-sebuah-kejahatan.html).
Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.
1
Buku ini disusun oleh Tim 8 yang beranggotakan Jamal D. Rahman, Acep
Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni
Ariadinata, Maman S.Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.
2
Petisi Pegiat Sastra Tolak
Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang dimuat disitus
(http://www.change.org/id/petisi/ayo-tanda-tangani-petisi-terhadap-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/opinions)
Petisi ini dinahkodai oleh Irwan Bajang dan diakhir isi petisi juga
terpampang nama inisiator diantaranya Saut Situmorang, Dwicipta,
Eimond Esya, Faruk HT, Nuruddin Asyhadie,
Wahyu Adi Putra Ginting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar