Senin, 07 Juli 2014

IMPOTENSINYA PETISI PEGIAT SASTRA TOLAK BUKU 33 TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH TINJAUAN IDEOLOGIS DAN ESTETIS

-->

IMPOTENSINYA PETISI PEGIAT SASTRA TOLAK BUKU
33 TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH


TINJAUAN IDEOLOGIS DAN ESTETIS



 
-->

  1. PENGANTAR
Semenjak kemunculan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh dihadapan pemerhati kesusastraan Indonesia, begitu banyak apresiasi dari mereka baik berupa penilaian bernada dukungan ataupun penolakan. Pemerhati yang merupakan akumulasi dari berbagai pegiat; pecinta sastra, akademisi, kritikus, dan satrawan memberikan suatu pernyataan atau komentar terhadap penilaian kemunculan buku tersebut yang dipandang dari berbagai aspek. Dari aspek waktu kemunculan, judul buku, daftar nama-nama sastrawannya, panitia penyelenggara, proses seleksi nama-nama sastrawan yang digadang-gadang ‘paling berpengaruh’, bahkan dugaan adanya sponsor terselubung di balik penerbitan buku tersebut. Bisa dibilang kemunculan buku tersebut menuai banyak kontroversi.
Dari pemerhati tersebut tergolong menjadi dua belah pihak, bagaimana terdapat pihak yang pro dengan kemunculan buku tersebut dan di lain sisi muncul pihak kontra. Adapun pihak pro, pastinya mereka tidak mempermasalahkan dengan kemunculannya atau mereka yang menjadi kawanan seideologi dengan tim 8 yang tidak lain tim penggagas buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.1 Sedangkan pihak kontra, pastinya pihak yang tidak setuju atau menolak kemunculan buku tersebut. Salah satu pusaran polemik dari pihak kontra terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh adalah munculnya nama Denny JA dalam deretan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Denny JA, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik, disejajarkan dengan nama-nama sastrawan besar seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami.
Apabila mencermati polemic yang ada, sebab pencatutan Denny JA-lah yang menjadi polemic paling sater dari pihak kontra. Jika seseorang melakukan pencarian dengan kata kunci ‘polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh melalui kolom pencarian Google, pastinya banyak sekali situs-situs yang memberitakan polemic tersebut dari sudut pandang penilaian orang yang berbeda-beda. Entah keiukut sertaan mereka menanggapi polemic itu hanya sekedar ikut-ikutan atau memang karena mereka paham dengan akar polemic tersebut sehingga mereka memang layak untuk menyuarakan ketidakterimaannya. Ketidakterimaan akan polemic itu, mereka suarakan melalui jejaring social, blog, ataupun wawancara ekslusif oleh suatu media massa. Adapun isi dari ketidakterimaan itu begitu beragam komentarnya, bahkan tidak sedikit segala ungkapan cacian tercetus dari otak yang mayoritas merupakan otak dari seorang akademisi yang bisa dibilang melek akan teori sastra. Pada puncak dari aksi ketidakterimaan dari pihak kontra ini, termaklumat didalam sebuah petisi yang ditayangkan melalui situs change.org. Alasan mereka membuat petisi tersebut adalah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dinilai telah mencederai integritas dan moral para ahli sastra, sastrawan, dan masyarakat. Serta anggapan dari mereka yang menilai buku tersebut menjadi preseden buruk karena berpotensi membuat masyarakat tersesat pengetahuan atau bahkan percaya pada klaim asertif serupa dalam tulisan-tulisan lain pada masa mendatang.
Akan tetapi, apabila dicermati semakin detail isi dari petisi yang dikepalai oleh Irwan Bajang dan kemudian mengatas namakan pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan sastrawan. Serta, barangkali petisi yang digagas agar kelihatan lebih meyakinkan Irwan Bajang mencatut pula nama-nama pengamat sastra Indonesia yang namanya cukup populer di masyarakat sastra pada akhir isi petisi.2 Isi dari petisi yang sempat dibacakan oleh para penggagas di kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada hari Jumat, tanggal 17 Januari 2014, apabila dicermati dan dipahami lebih teliti dari kalimat demi kalimat yang dituliskan terdapat kejanggalan yang patut untuk dipertanyakan atau barangkali adanya revisi ulang. Pada intinya isi petisi tertuliskan kalau pihak kontra ini menginginkan pembredelan terhadap buku tersebut, akan tetapi ternyata penyampaian maksud tersebut belum tersampaikan dengan akurat atau adanya ambiguitas makna. Berikut kutipan isi dari petisi yang menuai keambiguitasian makna.
Pertama, mendesak Kemendikbud untuk menentukan atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut….
Kedua, mendesak Kemendikbud untuk memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut….
Ketiga, mendesak Kemendikbud untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, sesuai prosedur hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal.

Keambiguan terdapat pada kata yang ditulis dengan huruf miring. Entah perihal keambiguan tersebut disadari tidaknya oleh penggagas, atau jangan-jangan mereka menuliskan isi petisi tersebut sekedar menuliskan dengan kata-kata tanpa memahami apa yang dituliskannya. Dari keambiguan tersebut memperlihatkan bahwa petisi tesebut seolah-olah dibuat penuh dengan keraguan atau sekedar gertakan semata untuk menjahili Tim 8 yang begitu ambisius merintis buku tersebut. Persoalan tersebut pula yang menimbulkan keraguaan terhadap keabsahan petisi tersebut dibuat. Apalagi petisi tersebut dibuat untuk ditunjukkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam paper ini, akan menitik beratkan persoalan tersebut sebagai rumusan masalah yang layak dikaji berdasarkan aspek ideologis dan juga estetis yang terkandung didalam isi petisi tersebut maupun latar belakang diterbitkannya.




  1. AMBIGUITAS MAKNA ISI PETISI: SEBAGAI PROSES KEHAMILAN ATAU MALAH IMPOTENSI?
Pada era cyber seperti sekarang ini seringkali masyarakat memanfaatkan petisi yang dimuat secara online untuk menyampaikan gugatannya terhadap suatu persoalan kepada pemerintah di suatu Negara. Fenomena seperti itu barangkali sudah menjadi suatu perihal lumrah dilakukan. Di Indonesia pun petisi seringkali disuarakan, seperti halnya ketika petisi yang dibuat oleh pegiat sastra Indonesia yang dimuat di situs www.change.org di awal tahun 2014, petisi tersebut ditujukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menolak beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh.
Petisi tersebut dipramotori oleh Irwan Bajang yang dikenal masyarakat sastra sebagai salah satu dari sekian pegiat sastra yang ada di Yogyakarta. Dalam isi dari petisinya, Iwan dan mengatasnamakan pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan sastrawan, mengajukan petisi yang pada intinya ia menginginkan pemerintah untuk membredel beredarnya buku yang digagas Tim 8 tersebut. Seolah-olah petisi tersebut dipublish diselimuti rasa amarah dan geram terhadap apa yang dilakukan Tim 8 dan juga beredarnya buku tersebut. Akan tetapi, apabila dicermati isi dari tulisan petisinya dilihat dari segi pemaknaan yang ingin disampaikan, terlihat jelas bahwa petisi tersebut masih ada kejanggalan-kejanggalan yang sepatutnya perlu adanya susunan ulang dari kata perkalimat yang dituliskan. Berikut isi dari petisi yang terdiri dari tiga poin penting, dan melalui paper ini akan dikaji secara mendalam dari aspek maknanya.
  1. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
  2. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Yang dimaksud sebagai pengujian validitas metode pemilihan di sana adalah pengujian terhadap ketepatan prinsip-prinsip metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
  3. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, sesuai mekanisme dan prosedur yang ada, termasuk hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal metode pemilihan dan isi buku tersebut. 3

Berdasarkan pembacaan pada isi petisi poin 1, menyiratkan pesan yang ingin disampaikan, bahwa bihak pembuat petisi meminta pemerintah untuk segera ikut campur atau mengambil tindakan terhadap beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Akan tetapi, pada petisi poin 1 ini terdapat kejanggalan dari pilihan kata yang dituliskan. Tepatnya pada kata menunda atau menghentikan sementara, apabila dimaknai secara gramatikal makna dari kata menunda adalah mengundur waktu pelaksanaan. Berarti apakah Irwan Bajang dan komplotonnya mengharapkan melalui petisi tersebut hanya sekedar berharap kepada pemerintah untuk mengundur waktu pelaksaannya saja dari beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Padahal apabila mesebandingkan dengan apa yang sudah disuarakan oleh Dwi Cipta salah satu perintis petisi tersebut dalam wawancaranya dengan wartawan situs portalkbr.com, Dwi mengungkapkan ia bersama teman-teman akan meluncurkan petisi untuk memboikot buku itu. Berarti apakah benar makna dari ‘memboikot’ tersebut dimaknai sebagai menunda sementara?
Kemudian pada poin ke 2 dari isi petisi, tertera kata ambigu; mengadakan dan memfasilitasi. Dimana Irwan Bajang dan komplotannya mengharap dari pemerintah untuk menyelenggarakan suatu pengkajian ulang terhadap isi buku tersebut demi menguji validitasi metode untuk menentukan 33 sastrawan paling berpengaruh. akan tetapi, dengan adanya diksi mengadakan dan memfasilitasi dimaknai pihak pembuat petisi ini ingin melakukan suatu pembredelan sebuah buku yang pastinya aktivitas pembredelan tersebut identik dengan perbuatan yang berapi-api sepertihalnya pahlawan yang ingin menghunus musuh dengan ketajaman pisaunya. Tetapi apa yang dilakukan Irwan Bajang tidak selayaknya seorang kesatria, walaupun ia memiliki sisi ambisinya seorang ksatria dalam menumpas darah sang musuh, tapi di lain sisi ia memiliki rasa belas kasihan atau ragu-ragu terhadap musuh yang ingin dibunuh. Sehingga ia sempat memberikan tawaran kepada musuh ‘kau kabur saja sebelum aku bunh!’. Entah Irwan Bajang menyadari keambiguitasinya tersebut apa tidak. Tetapi yang jelas dari kalimat isi petisi poin ke 2 tertera demikian.
Sedangkan poin ke 3, keambiguitasian terlihat pada pilihan kata permanen dan apabila. Bagaimana seharusnya di isi petisi poin ke 3 ini, seharusnya dimaksudkan dengan tegas menuntut pemerintah untuk melakukan pengambilan tindakan pemboikotan perederan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh, akan tetapi apa yang tertera dalam isi petisi pihak Irwan Bajang hanya memberikan pemboikotan sementara terhadap buku tersebut. Apalagi di lain sisi ternyata Irwan Bajang juga masih ragu dengan tuntutannya, hal tersebut tersirat dari kata apabila berarti dari situ dimaknai bahwa sebenarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh sebenarnya pembodohannya masih diragukan. Apakah buku tersebut benar-benar melakukan pembodohan dan penghitaman terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia, apa tidak?
Dari ketiga poin penting petisi tersebut, dapat dimaknai bahwa petisi tersebut dibuat dengan penuh keraguan dan terlihat asal-asalan tanpa adanya sebuah keabsahan materi seperti selayaknya sebuah petisi. Memang apa yang ingin disuarakan Irwan Bajang beserta komplotannya dalam petisi tersebut terlihat berapi-api, akan tetapi apabila diibaratkan api yang dikobarkan bukan selayaknya api kesumat membara, tetapi api sebuah lilin. Hal tersebut yang mengindikasikan bahwa petisi untuk pemboikotan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh dimaknai sebagai suatu usaha impotensi. Dari luar terlihat hasrat bercumbunya begitu membuncah gerah, tetapi ternyata hasrat itu hanya sebuah luapan semata sebab hasrat telah dimatikan dengan lemah syahwat.

  1. KESIMPULAN
Barangkali apa yang dilakukan Irwan Bajang dan komplotannya dengan membuat sebuah petisi terhadap pemboikotan beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh meniru gaya pemerintahan orde baru. Dimana pemerintahan orde baru banyak melakukan pembredelan atau pemboikotan terhadap sejumlah buku dan media massa karena dianggap tidak sejalan dengan alur pemerintahan yang dicanangkan oleh pemimpinnya pada masa itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan Irwan Bajang dengan munculnya petisi tersebut seolah-olah bentuk dari kegagalan sebuah usaha pemboikotan. Maklum saja apabila pihak yang diboikot tenang-tenang saja menanggapi serangan petisi yang sampai sekarang ini sudah ditanda tangani 1000 responden. Bahkan pihak yang diboikot ini pun menilai kalau apa yang dilakukan Irwan Bajang dan komplotannya sebuah keirian semata karena tidak mampu menghasilkan karya.

DAFTAR REFERENSI

Bawono, Mamayu Hayuning. Buku-buku yang Sempat Dilarang. (http://waroengbhatik.wordpress.com/2010/10/14/buku-buku-yang-sempat-dilarang/). Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.



Fawaid, Achmad. 2014. Paper: Kontiunitas dan Diskontuinitas Kontroversi Buku 33 Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. prodi S2 Ilmu Sastra, FIB, UGM.

Laksana, A.S. 33 tokoh Sastra Sebuah Kejahatan. (http://as-laksana.blogspot.com/2014/01/33-tokoh-sastra-sebuah-kejahatan.html). Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.



1 Buku ini disusun oleh Tim 8 yang beranggotakan Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S.Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.

2 Petisi Pegiat Sastra Tolak Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang dimuat disitus (http://www.change.org/id/petisi/ayo-tanda-tangani-petisi-terhadap-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/opinions) Petisi ini dinahkodai oleh Irwan Bajang dan diakhir isi petisi juga terpampang nama inisiator diantaranya Saut Situmorang, Dwicipta, Eimond Esya, Faruk HT, Nuruddin Asyhadie, Wahyu Adi Putra Ginting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar