SASTRA-WANGI
TAK SELAMANYA WANGI:
DJENAR
MAESA AYU PADA CERPEN LINTAH
KAJIAN
FEMINIS MARXIS
- Latar Belakang: Sastra Wangi, Aura Terselubung
Sastra
wangi muncul mewarnai kesusastraan Indonesia awal 2000-an. Aliran
yang berciri khas penuh dengan ekspresi pengarang, bebas, dan terbuka
terutama dalam mengangkat hal yang tabu, yang awalnya tidak layak
diperbincangkan menjadi layak untuk dipublikasikan.1
Tentu saja yang paling dominan dalam sastra wangi adalah bidang
seksualitas, baik dari segi psikologis maupun sosiologis karena
sastra wangi mengandung unsur seksualitas yang frontal dan telanjang.
Para penulis sastra wangi didominasi oleh perempuan-perempuan urban,
sangat mencolok karena biasanya penulis sastra merupakan para lelaki.
Para penulis sastra wangi menyuguhkan kehidupan yang selalu terlihat
sebagai sisi gelap atau negatif dengan kemasan yang menarik dengan
berbagai sudut pandang. Sastra wangi banyak menimbulkan pro dan
kontra dari berbagai kaum karena membuat norma-norma yang sudah ada
terlihat menyimpang.
Adapun
penulis perempuan tergolong aliran sastra wangi diantaranya Ayu
Utami, Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu yang membawakan
seks dengan cara yang anggun.2
Kemunculan istilah sastra wangi yang sarat dengan kevulgaran, serupa
bacaan seks kelas rendah. Namun kenyataannya sebaliknya, sastra wangi
di luar dugaan, begitu sarat akan makna. Perempuan digambarkan dalam
lingkup patriarki yang kental. Sosok yang berusaha mendobrak
paradigma kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan kehidupan
melalui seksualitas. Penyampaian ini berada pada tataran sastra
serius. Sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan
sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para
perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon
berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.
Model
sastra feminis yang berkembang banyak dibilang pengamat sastra
Indonesia telah dimotori oleh Ayu Utami. Ditandai dengan novelnya
Saman yang memenangkan sayembara novel DKJ periode 1998, pasca itu
banyak bermunculan karya sastra yang gaya penulisan ataupun tema yang
diangkat tidak jauh-jauh dengan style Ayu Utami. Walaupun Menurut
Katrin Bandel, tidak ada usaha baru yang dilakukan oleh para penulis
wanita tersebut dalam mengusung tema feministik.3
Bahkan, ia meragukan alasan di balik reaksi pembaca terhadap karya
Ayu Utami: Apakah itu karena adanya tema radikal baru yang terdapat
di dalamnya? Atau karena karya sastra Indonesia sedang lapar akan
tema-tema yang berkaitan dengan seks? Bagaimana dengan karya-karya
klasik semacam Tjerita Njai Dasima-nya G.Francis dan Bumi
Manusia-nya Pramoedya yang jelasjelas memperlihatkan sikap kritik
terhadap pemerintah (kolonial) saat itu?
Karakteristik
karya yang diusung golongan sastra wangi begitu kuat dan mendominasi
pemberontakan kaum perempuan dari keterbelengguannya. Gaya penulisan
yang cenderung bebas, lebih bersifat pop culture dan untuk sebutan
sastra kanon, tampaknya sudah mulai ditinggalkan. Karya sastra yang
dihasilkan lebih bersifat komersil. Ada pengaruh penerbit untuk
menentukan bentuk maupun isi cerita. Kenyataan demikian ditandai
dengan gaya penulisan anti konvensional dan anti logosentris memiliki
tendensi “semi pop”, bahkan dinilai terlalu ambisius buat
mendobrak dominasi budaya patriarki. Tapi sayangnya banyak pengamat
sastra mengutarakan, bahwa alat dobrak yang diusung sastra wangi
hanya mengedepankan seksualitas semata.
Seperti
apa yang dikatakan Andi Budiman, seorang pengarang perempuan ingin
digolongkan sebagai sastra wangi asalkan sebuah karyanya dengan
berani melukiskan tubuh dan seksualitas perempuan, karya itu langsung
dipuji-puji sebagai cermin “perlawanan perempuan terhadap dominasi
laki-laki”.4
Akibatnya penulis perempuan yang tidak menulis dengan tema ini dan
gaya vulgar dituding tidak kritis terhadap patriarki, dengan demikian
karya mereka seolah tak pantas dibaca oleh perempuan. Namun walaupun
karya sastra wangi dikenal identik dengan mengusung tema
pemberontakan akan diskriminasi ruang yang dialami perempuan,
ternyata pakem itu tidak selamanya melekat dalam karya yang
dihasilkan. Seperti apa yang dituliskan Djenar Mahesa Ayu dalam
cerpennya yang berjudul Lintah.5
Dalam cerpen tersebut ada tokoh Ibu, Saya (seorang anak), dan juga
tokoh Lintah. Lintah ini diceritakan sebagai kekasih Ibu, mereka
sudah biasa memadu kasih, tinggal serumah ataupun berhubungan intim,
walaupun hubungan mereka belum disahkan di mata agama ataupun Negara.
Pada cerpen-cerpen lainnya Djenar biasa menceritakan sosok perempuan
tegar, kuat, dan ambisius dalam menghadapi realitas, namun di cerpen
Lintah ini Djenar melukiskan karakter perempuan yang lemah
akan didaya kelamin laki-laki. Bagaimana tokoh Ibu selalu bertekuk
lutut dengan apa yang dikatakan atau diperintahkan Lintah.
Apa
yang terkonstruksi dari tokoh Ibu dalam cerpen Lintah menurut
teori feminisme Marxis, bahwa perempuan distatuskan jatuh karena
adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan
produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri
berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian dari properti.6
Berdasarkan
pemaparan di atas, melalui paper ini peneliti akan mengkaji cerpen
Lintah karya Djenar Mahesa Ayu berlandasan teori feminis Marxis.
Bagaimana kajian ini merumuskan persoalan Djenar dalam karyanya yang
dikenal pengamat sastra Indonesia sebagai aliran sastra wangi yang
identik mengusung tema feminitas, namun melalui cerpen Lintah, Djenar
membuktikan tidak selamanya apa yang diamini pengamat sastra itu
suatu keidentikan yang mengarah kebenaran.
- LANDASAN TEORI
Pada
awalnya gerakan feminisme ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh
kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan,
dan politik khususnya terutama dalam masyarakat yang bersifat
patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris,
kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah,
sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya
Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat
dan ke seluruh dunia.
Aliran
feminsme sesuai perkembangannya semakin berkembang menjadi anak
cabang sesuai ideology yang diusungnya. Salah satu dari kesekian
banyak anak cabang alairan tersebut adalah aliran feminism Marxis.
Menurut Douglas Goodman (2011:37) aliran feminisme Marxis memandang
masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber
penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan
aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan
pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan
pertukaran (exchange). Goodman juga menyatakan bahwa laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian dari properti. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis
dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat
diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga
perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis
berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara
kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
1
Dikutip dari artikel “Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru
Sastra Indonesia” ditulis oleh Anja Pradnyaparamita. Universitas
Kristen Petra. Surabaya.
2
Agus Sulton. 2010.“Sastra Wangi Aroma Selakangan”.
(www.kompas.com/artikel-sastra)
diakses pada tanggal 14 Juni 2014.
3
Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2006), hlm. 5 dst.
4
Dikutip dari artikel “Ayu Utami: Tentang Iman dan Dosa”.
(http://www.dw.de/ayu-utami-tentang-iman-dan-dosa/a-16768358)
diakses pada tanggal 14 Juni 2014.
5
Djenar Mahesa Ayu. 2002. “Kumcer: Mereka Bilang Saya Monyet”.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar