Senin, 07 Juli 2014

SASTRA-WANGI TAK SELAMANYA WANGI: DJENAR MAESA AYU PADA CERPEN LINTAH, KAJIAN FEMINIS MARXIS


SASTRA-WANGI TAK SELAMANYA WANGI:
DJENAR MAESA AYU PADA CERPEN LINTAH


KAJIAN FEMINIS MARXIS 



 
  1. Latar Belakang: Sastra Wangi, Aura Terselubung
Sastra wangi muncul mewarnai kesusastraan Indonesia awal 2000-an. Aliran yang berciri khas penuh dengan ekspresi pengarang, bebas, dan terbuka terutama dalam mengangkat hal yang tabu, yang awalnya tidak layak diperbincangkan menjadi layak untuk dipublikasikan.1 Tentu saja yang paling dominan dalam sastra wangi adalah bidang seksualitas, baik dari segi psikologis maupun sosiologis karena sastra wangi mengandung unsur seksualitas yang frontal dan telanjang. Para penulis sastra wangi didominasi oleh perempuan-perempuan urban, sangat mencolok karena biasanya penulis sastra merupakan para lelaki. Para penulis sastra wangi menyuguhkan kehidupan yang selalu terlihat sebagai sisi gelap atau negatif dengan kemasan yang menarik dengan berbagai sudut pandang. Sastra wangi banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kaum karena membuat norma-norma yang sudah ada terlihat menyimpang.
Adapun penulis perempuan tergolong aliran sastra wangi diantaranya Ayu Utami, Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu yang membawakan seks dengan cara yang anggun.2 Kemunculan istilah sastra wangi yang sarat dengan kevulgaran, serupa bacaan seks kelas rendah. Namun kenyataannya sebaliknya, sastra wangi di luar dugaan, begitu sarat akan makna. Perempuan digambarkan dalam lingkup patriarki yang kental. Sosok yang berusaha mendobrak paradigma kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan kehidupan melalui seksualitas. Penyampaian ini berada pada tataran sastra serius. Sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.
Model sastra feminis yang berkembang banyak dibilang pengamat sastra Indonesia telah dimotori oleh Ayu Utami. Ditandai dengan novelnya Saman yang memenangkan sayembara novel DKJ periode 1998, pasca itu banyak bermunculan karya sastra yang gaya penulisan ataupun tema yang diangkat tidak jauh-jauh dengan style Ayu Utami. Walaupun Menurut Katrin Bandel, tidak ada usaha baru yang dilakukan oleh para penulis wanita tersebut dalam mengusung tema feministik.3 Bahkan, ia meragukan alasan di balik reaksi pembaca terhadap karya Ayu Utami: Apakah itu karena adanya tema radikal baru yang terdapat di dalamnya? Atau karena karya sastra Indonesia sedang lapar akan tema-tema yang berkaitan dengan seks? Bagaimana dengan karya-karya klasik semacam Tjerita Njai Dasima-nya G.Francis dan Bumi Manusia-nya Pramoedya yang jelasjelas memperlihatkan sikap kritik terhadap pemerintah (kolonial) saat itu?
Karakteristik karya yang diusung golongan sastra wangi begitu kuat dan mendominasi pemberontakan kaum perempuan dari keterbelengguannya. Gaya penulisan yang cenderung bebas, lebih bersifat pop culture dan untuk sebutan sastra kanon, tampaknya sudah mulai ditinggalkan. Karya sastra yang dihasilkan lebih bersifat komersil. Ada pengaruh penerbit untuk menentukan bentuk maupun isi cerita. Kenyataan demikian ditandai dengan gaya penulisan anti konvensional dan anti logosentris memiliki tendensi “semi pop”, bahkan dinilai terlalu ambisius buat mendobrak dominasi budaya patriarki. Tapi sayangnya banyak pengamat sastra mengutarakan, bahwa alat dobrak yang diusung sastra wangi hanya mengedepankan seksualitas semata.
Seperti apa yang dikatakan Andi Budiman, seorang pengarang perempuan ingin digolongkan sebagai sastra wangi asalkan sebuah karyanya dengan berani melukiskan tubuh dan seksualitas perempuan, karya itu langsung dipuji-puji sebagai cermin “perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki”.4 Akibatnya penulis perempuan yang tidak menulis dengan tema ini dan gaya vulgar dituding tidak kritis terhadap patriarki, dengan demikian karya mereka seolah tak pantas dibaca oleh perempuan. Namun walaupun karya sastra wangi dikenal identik dengan mengusung tema pemberontakan akan diskriminasi ruang yang dialami perempuan, ternyata pakem itu tidak selamanya melekat dalam karya yang dihasilkan. Seperti apa yang dituliskan Djenar Mahesa Ayu dalam cerpennya yang berjudul Lintah.5 Dalam cerpen tersebut ada tokoh Ibu, Saya (seorang anak), dan juga tokoh Lintah. Lintah ini diceritakan sebagai kekasih Ibu, mereka sudah biasa memadu kasih, tinggal serumah ataupun berhubungan intim, walaupun hubungan mereka belum disahkan di mata agama ataupun Negara. Pada cerpen-cerpen lainnya Djenar biasa menceritakan sosok perempuan tegar, kuat, dan ambisius dalam menghadapi realitas, namun di cerpen Lintah ini Djenar melukiskan karakter perempuan yang lemah akan didaya kelamin laki-laki. Bagaimana tokoh Ibu selalu bertekuk lutut dengan apa yang dikatakan atau diperintahkan Lintah.
Apa yang terkonstruksi dari tokoh Ibu dalam cerpen Lintah menurut teori feminisme Marxis, bahwa perempuan distatuskan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti.6
Berdasarkan pemaparan di atas, melalui paper ini peneliti akan mengkaji cerpen Lintah karya Djenar Mahesa Ayu berlandasan teori feminis Marxis. Bagaimana kajian ini merumuskan persoalan Djenar dalam karyanya yang dikenal pengamat sastra Indonesia sebagai aliran sastra wangi yang identik mengusung tema feminitas, namun melalui cerpen Lintah, Djenar membuktikan tidak selamanya apa yang diamini pengamat sastra itu suatu keidentikan yang mengarah kebenaran.
  1. LANDASAN TEORI
Pada awalnya gerakan feminisme ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Aliran feminsme sesuai perkembangannya semakin berkembang menjadi anak cabang sesuai ideology yang diusungnya. Salah satu dari kesekian banyak anak cabang alairan tersebut adalah aliran feminism Marxis. Menurut Douglas Goodman (2011:37) aliran feminisme Marxis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Goodman juga menyatakan bahwa laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

1 Dikutip dari artikel “Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru Sastra Indonesia” ditulis oleh Anja Pradnyaparamita. Universitas Kristen Petra. Surabaya.

2 Agus Sulton. 2010.“Sastra Wangi Aroma Selakangan”. (www.kompas.com/artikel-sastra) diakses pada tanggal 14 Juni 2014.

3 Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 5 dst.

4 Dikutip dari artikel “Ayu Utami: Tentang Iman dan Dosa”. (http://www.dw.de/ayu-utami-tentang-iman-dan-dosa/a-16768358) diakses pada tanggal 14 Juni 2014.

5 Djenar Mahesa Ayu. 2002. “Kumcer: Mereka Bilang Saya Monyet”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

6 George Ritzer dan Douglas Goodman. 2011. “Teori Sosiologi”. Bantul : Kreasi Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar