Senin, 09 Agustus 2010

Pelangi Bercahaya Luka (nASKAH cERPEN)

Pelangi Bercahaya Luka
Oleh: Midun Aliassyah

“Maaf pemirsi. Apa benar ini rumah bapak Timbol?”
Di balik pintu sesosok manusia parubaya terkejut akan kedatangan seseorang yang tidak dikenalnya. Sesosok manusia parubaya ini bertubuh kurus, bermuka kumusan, keriput, dan model rambut awut-awutan yang megambarkan, inilah sosok pak Timbol. Ia berprofesi keseharianya sebagai tukang pengais sampah masyarakat sekitar kota Purwokerto.
Tak dinyana. Tak ada undangan, tak ada kaper putih masuk rumah: dipercayai sebagai tanda-tanda akan kedatangan tamu agung, jika ada kaper putih masuk ke rumah seseorang. Tapi tanda-tanda seperti itu tidak muncul di rumah pak Timbul, baik hari ini ataupun hari-hari sebelumnya.
Pak Timbol masih terpana dengan sosok orang dihadapannya. Sesosok yang bertamu ini lain dari pada orang-orang yang dikenal di desanya. Batin pak Timbol bicara, apa ini tamu agung atau seorang mandor yang mau menyita rumah saya. Tapi memangnya ini tanah siapa? Lhawong ini lho tanah warisan dari bebuyutku, bahkan tanah rumah ini sudah ada sertifikatnya. Wes gak mungkin, jangan berprasangka buruk ke orang lain. Huhh… pak Timbol menguatkan hatinya.
“Iya benar, ini rumah pak Timbol. Saya sendiri orangnya. Memangnya bapak ke sini ada maksud dan tujuan apa?” pak Timbol menjawab pertanyaan dari orang asing yang ada dihadapannya. Dan kemudian pak Timbol mempersilahkan masuk.
“Ohya Pak, mari silahkan duduk. Maaf rumahnya kotor.”
“Ohh, tidak usah Pak. Terimakasih. Berdiri saja gak apa-apa. Saya bertamu sebentar kok.” Sang tamu kemudian menjelaskan maksud kedatanganya ke rumah pak Timbol.
“Langsung saja Pak. Maksud dan tujuan saya bertamu ke rumah Bapak, mau menyampaikan bahwa nanti akan ada tamu orang kaya dan kru TV yang datang ke sini. Orang kaya itu akan tinggal di rumah bapak. Bapak mau kan rumahnya masuk TV?,” tamu berjas rapi yang datang dari Jakarta itu terus membujuk dan merayu Pak Timbol dengan iming-iming masuk TV.
“Tapi untuk apa tho Pak? Lhawong rumahku kayak gubug gini mau di masukkan TV. Ora salah to Pak??” Pak Timbol yang heran terus bertanya pada tamu yang tak dikenalnya itu.
“Nanti keluarga pak Timbol akan diliput, serta keseharian Bapak dan keluarganya seperti apa. Program ini bertujuan memberikan pengalaman berharga bagi orang-orang yang memiliki kelebihan materi. Diharapakan setelah mengikuti program ini, mereka merasakan bagaimana penderitaan atau keseharian dalam mencari nafkah orang-orang kecil seperti bapak.” Dirasa orang yang dibritahunya mangguk-mangguk yang berarti paham, ia melanjutkan penjelasannya lagi.
“Siapa tahu setelah mereka kembali, mereka bisa mengangkat nasib bapak menjadi lebih baik dari keadaan keluarga bapak sekarang ini. Dan biasanya mereka juga memberikan hadiah pada keluarga yang rumahnya mereka tempati untuk beberapa hari.” tamu itu memberikan penjelasan panjang lebar meskipun ternyata banyak kalimat yang tidak dimengerti orang yang dibritahunya. Walaupun sejak awal penjelasan tadi, pak Timbol mangguk-mangguk terus.
“Memangnya ndak ada rumah lain yang bisa ditempati selain rumah saya?”
“Menurut kami yang paling cocok ya rumah bapak Timbol ini. Sederhana, dan…. pokoknya yang paling cocok itu rumah bapak.”
“Memangnya siapa yang mau tinggal di sini pak?” istri pak Timbol yang sedari tadi mematung dan diam membisu di samping suaminya mulai ikut bicara.
Tamu itu mengeluarkan secarik kertas dan membacanya dihadapan pak Timbol dan istrinya.
“Namanya Dinda, mahasiswi, anak seorang konglomerat dari Jakarta.” Setelah itu sang tamu kembali memandang pak Timbol dan istrinya. “Bagaimana pak? Bapak setuju dan bersediakah rumah Bapak untuk ditempati?”
“Apa nanti dia mau tinggal sama kami Pak? Bapak lihat sendiri rumah kami ini ndak ada bagusnya. Malahan serba reot begini!”
“Justru itu yang kami cari Pak. Nanti juga ada uang dari kru TV buat bapak. Yaa, sekitar lima ratus ribuan lah. Kan lumayan bisa dibuat makan keluarga bapak dalam waktu satu bulan.” Tamu itu menunjukan lima jarinya dihadapan pak Timbol dan istrinya. Dan tanpa terduga wajah pak Timbol sumringah melihat acungan lima jari dihadapannya.
“Tapi yang dua ratus ribu buat ongkos saya pak?!” kembali dia melanjutkan.
“Udah pak terima aja, anggap aja ini rejeki nomplok buat keluarga kita.” Desak istrinya.
Atas desakkan istri dan tamunya pak Timbol mengangguk, yang berarti tanda bahwa pak Timbol menyetujuinya.
Tiba-tiba tamu berpakaian necis plus elegan itu, tapi ini menurut penilaian pandangan pak Timbul. Menyalami dan menyerahkan uang tiga ratus ribu, sebelum ia meninggalkan kecengangan dua orang suami istri yang ditamuinya.
####
Esok harinya datang beberapa orang yang salah satunya mengaku bernama Dinda. Pak Timbol, istri dan tiga anaknya menyambut mereka dengan mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki.
Orang-orang dari kru TV menjelaskan kepada pak Timbol, bahwa keluarga pak Timbol harus bersikap seperti hari-hari biasa. Bahkan mereka menyuruh pak Timbol memakai pakaian sederhana yang biasa ia kenaka kesehariannya di rumah ataupun sedang bekerja. Hal ini diharapkan supaya lebih memberikan kesan hidup susah di monitor layar telivisi pemirsa yang melihatnya.
Selama dua hari neng Dinda (sebutan panggilan untuk tamu agungnya ini) akan tinggal di rumah pak Timbol. Yakni dengan agenda mengikuti rutinitas keseharian keluarga pak Timbol ke manapun, baik membantu istrinya mencari sayur di kebon, atau mencari kerang di sungai, dan bahkan membantu pak Timbol mencari rosokan di tempat-tempat sampah untuk dijual.
Di hari pertama saat makan Dinda mulai menanyakan lauk pauk yang biasa mereka makan.
“Ini oseng-oseng apa Bu??” tanyanya sambil mengangkat piring seng yang berisi oseng-oseng yang kelihatan menjijikkan bagi orang awam.
“Wohhh, itu oseng-oseng uler jati Neng. Jangan dinilai dari luarnya lo Neng, rasanya itu gurih kayak daging ayam kampong loo….”
“Nggak, nggak, nggakkk…. Aku enggak mau ini Bu. Terimakasih!!!” tiba-tiba Dinda menjerit histeris.
“Tapi Neng, ndak ada lauk lain selain oseng-oseng uler jati itu?!”
“Aku enggak bisa makan ini Bu, ngelihat aja aku mau muntah.” Dinda terus merajuk, meski kamera TV menyorot tingkah dan perbincangan mereka berdua. Dan anak-anak pak Timbol yang ada disekeliling mereka berdua tertawa terbahak-bahak melihat tamunya gadis cantik yang menunjukkan gelagat jijiknya.
“Neng coba dulu, pasti nanti Neng suka setelah mencicipinya.” Pak Timbol ikut-ikutan membujuk tamunya untuk mencoba oseng-oseng uler jati yang sehari-harinya sudah biasa menjadi lauk-pauk keluaraganya. Lauk-pauk seperti ini sudah menjadi hal pokok bagi keluarga pak Timbol, jika tidak ada rejeki lebih atau makanan pemberian para tetangganya itulah menu santapan utama.
Dinda menggeleng kuat. Dan akhirnya istri pak Timbol dengan terpaksa membelikan dan menggorengkan telur untuk Dinda. Padahal realitanya keluarga pak Timbol sendiri, sangat-sangat jarang makan dengan menyantap telur ayam sebagai lauk-pauknya.
Saat hendak tidur pun timbul masalah baru. Yakni Dinda menjerit-jerit histeris kembali saat seekor cicak merayap di dinding kamar yang di tempatinya bersama dua anak pak Timbol yang sudah beranjak dewasa.
“Aaaaaaaaa, hhiiiii, ada Ciccaaakkkk!!!!!!!!”
Jeritan Dinda itu pun menyebabkan pak Timbol dan istrinya kaget dan bangun dari tidurnya. Dan kemudian pak Timbol datang membawa sapu lidi yang ada digenggamannya, dengan susah payah akhirnya pak Timbol bisa menjites cicak yang jatuh gelagapan di lantai tanah liat kamar tidur Dinda.
####
Waktu bergulir begitu cepat, sehingga waktu dua haripun tak terasa lama untuk dilampui. Saat hari terakhir Dinda di rumah pak Timbol, ia menyuruh beberapa tukang bangunan untuk membangun rumah pak Timbol agar lebih layak sebagai tempat tinggal. Tak lupa Dinda juga membelikan perabotan rumah, seperti televisi, kasur baru beserta seprainya, dan perabotan elektronik. Selain membangunkan rumah dan membelikan perabotan baru, Dinda juga memberikan sejumlah uang untuk keluarga pak Timbol guna dimanfaatkan sebagai pegangan keperluan lain hidup mereka.
Setelah sepeninggal Dinda serta kru TV menyelesaikan syutingnya dan selesainya pembangunan rumah baru pak Timbol, tersiarlah kabar bahwa keluarga pak Timbul sekarang telah menjadi OKB (Orang Kaya Baru) di desanya. Tentu saja hal ini membuat pak Timbol dan keluarganya bangga, setelah derajatnya sekarang dapat disetarakan dengan orang-orang kaya yang ada di desanya.
Perlahan, gaya hidup keluarga pak Timbul mulai berubah. Ia tak berprofesi sebagai pengais sampah lagi. Baju-baju mahal ia beli. Makan pun tak lauk uler jati lagi, telur dan daging ayam adalah pilihannya. Rumahnya sekarang kelihatan agak mewah dibandingkan rumah-rumah tetangga dekatnya yang kelihatan kucel dan semrawut.
####
Uang memang segalanya bagi manusia. Seperti arti pentingnya uang bagi keluarga pak Timbol ini. Lama-kelamaan uang pemberian Dinda habis digunakannya untuk kebetuhan hidup yang hanya bisa mencukupi selama empat bulan. Menyebabkan pak Timbol mulai menggasak satu persatu barang-barang elektronik yang dimilikinya, yang kemudian ia jual untuk menutupi keperluan pokok hidupnya sehari-hari. Tetapi uang hasil penjualan peralatan elektronikpun tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Akhirnya mereka kembali lagi mengkonsumsi makanan sederhana yang tersedia di sekitar mereka.
“Bu, hari ini kita cari rosok lagi yaa…” dengan tak keberdayaan lagi pak Timbol ngomong ke istrinya.
“Hehh, malu tho pak. Rumah kita sekarang kan sudah kelihatan mewah, tapi mengapa bapak masih cari rosokan di tempat sampah pembuangan itu. Apa kata tetangga nantinya???” jawab ketus istri pak Timbol yang kelihatan gengsinya.
“Lalu kita mau makan apa Bu sekarang?” protes pak Timbol.
“Yaa, Bapak cari kerja yang lebih bagus derajatnya dari pemulung. Yang pakai seragam, berdasi, kayak pak Jatmiko tetangga sebelah itu lo Pak. ”
“Kamu apa sudah sinteng tho Bu?? Lhawong pak Jatmiko iku seorang PNS masak dibandingkan dengan bapak.” dan pak Timbol menambahkan penjelasannya. “Lagian kayak aku ini mau ngelamar pekerjaan pakai apa? SD aja Bapak ndak lulus. Mbokya jangan mimpi tho Bu?”
Pak Timbol tersenyum sinis setelah menjawab permintaan istrinya yang gak masuk akal. Dan dengan manyunnya istri pak Timbol, setelah mendengar penjelasan suaminya mendengus kesal akan keadaan yang dialaminya.
“Gusti Allah kok ndak adil ya Pak?”
“Lho, lho, ibu kok ngomong seperti itu tho?! Ndak baik Bu. Nanti kita bisa-bisa kualat.” Pak Timbol tertegun mendengar ucapan istrinya. Baru kali ini pak Timbol mendengar istrinya berkata seperti itu.
“Kalau gitu, kenapa hidup kita susah terus pak? Baru kaya sebentar, ehh kehimpit miskin lagi! Kenapa hidup kita ndak kaya kayak neng Dinda itulo Pak? Hidup gak pakai susah-susah cari uang, dan selalu makan enak lagi.”
“Nyesel aku masuk TV sama neng Dinda!!!” pak Timbol cemberut, kesal, memikirkan tingkah istrinya yang berbeda dari pada hidup serba miskin dulu.
“Kok sekarang Bapak yang nyesel tho? Aneh Bapak iki.”
“Dulu sewaktu masih susah, Ibu ndak pernah ngeluh sama bapak, dan sama Gusti Allah. Tapi sekarang setelah ibu tahu hidupnya orang kaya seperti apa, Ibu jadi lain dan sangat-sangat berbeda tingkahnya!!”
“Maksud Bapak lain dan berbeda bagaimana??” Tanya ketus sang istri.
“Ibu sekarang suka mengeluh. Sekarang Ibu sudah ndak mau daun singkong lagi, padahal itu kan sayuran kesukaan kamu. Ndak mau cari uler jati lagi di kebonan buat lauk kita makan. Dan tentunya Ibu sekarang sudah ndak mau bantu-bantu bapak lagi mengais rejeki di tumpukan sampah.” Ungkap pak Timbol atas kekesalan berubahnya tingkah laku sang istri.
Tanpa sepemikiran istrinya, tiba-tiba pak Timbol sudah mempersiapkan peralatan mulungnya. Ia sudah memakai sepatu buntutnya, dan capil rompeng yang berbau tak sedap setelah selama empat bulan tidak pernah dikenakannya.
“Bapak ini apa ndak tahu tho? Orang sudah kaya kan ndak perlu mengais-ngais sampah lagi untuk nyari rejeki.”
“Memangnya Ibu orang kaya tho?”
Sungguh bukan istri pak Timbol, jika kalau tidak bisa menggedekan gengsinya kepada para tetangga. Dengan ngotot kalau sekarang dia menjadi orang kaya, istri pak Timbol mengukuhkan rasa gengsinya walaupun itu kepada suaminya sendiri.
“Kata ibu-ibu tetangga, kita sekarang menjadi orang kaya di desa kita pak. Bu RT juga bilang seperti itu, sewaktu ibu ketemu belanja di warung bu Diah kemarin.”
“Yaa sudah kalau Ibu merasa orang kaya. Pokoknya bapak siang ini mau berangkat nyari rosok. Titik!!”
“Lho nanti kalau orang desa tau Bapak nyari rosok lagi, bagaimana tanggapan mereka tentang kita Pak?” protes istri pak Timbol, tetap kukuh akan rasa gengsinya.
“Kalau gak nyari rosok, keluarga kita hari ini dan seterusnya mau makan apa Bu? Kasihan anak-anakmu itu sudah sejak kemarin kelaparan. ”
Istri pak Timbol tercengang mendengarkan penjelasan suaminya. Dan rasa iba kepada tiga anaknya yang sejak kemarin tidak makan tersirat di benak istri pak Timbol. Gara-gara ia tidak bisa lagi belanja kebutuhan sembako sejak dua hari kemarin, menyebabkan dapur tak mengepul seperti biasanya. Mau ngutang di warung bu Diah, ahhh lagi-lagi gengsi yang diutamakan.
Sedangkan pak Timbol meninggalkan istrinya yang menatap dirinya dengan melas, sepeninggal keberangkatanya mencari rosok. Dan dalam benak pak Timbol menyesal, bahwa semua ini program TV lah yang telah merusak kebahagian hidupnya dan keluarganya. Hidupnya yang dulu miskin dan sederhana selalu dipenuhi rasa syukur, dan waktu mereka dimanfaatkan untuk bekerja serta beribadah, tapi sekarang? Hal itu tidak ditemukan di hidupnya yang sekarang ini. TV telah meringkusnya dengan cepat tanpa jeda dan tiba-tiba saja. Memberikan kebahagiaan kepada insannya, tapi kebahagiaan itu hanya sementara dan tidak ada bekaspun yang menjadi cahaya bagi penikmatnya. Semua itu sebenarnya hanya tipuan dan omong kosong belaka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar