URIP NGURIP
Oleh: Midun Aliassyah
Bilamana impian adalah matahari? Kapan ia akan terbit menghampiri dan menyudahi keluh, kesah dan penderitaan tiada akhirnya ini! Harusnya ia sebongkah pijar mengiringi jalan hidup ini, cerah cahayanya sebinar mata menggantung harap. Tapi semua ini tak ada, tak nyala! Hanya takdir bisu penuh kilu ini yang melumatku tiada kasih dan haru, menyebabkan aku tetap tak berranjak, dan penuh belepotan di kubangan lumpur kesialan ini. Oh tidak Ya Tuhan….
”Titititit…tititit!!!” Jam beker karatan berbunyi tersendat-sendat di balik bantal kusam nan bau kecut, dengan bersarung angsa yang tak lagi ceria, satu betina dan tiga anak berrenang tanpa busana, di air tak berwarna. Bantal kusam yang tak lagi jelas identitasnya! Ya, karena sarung bantal itu sudah tak layak untuk menjadi landasan kepala, luntur dari kewajaran. Tapi di balik kekusamannya, tersimpan berjuta-juta impian. Impian yang selalu menjadi angan, tak kunjung tiba menghampiri sang pemimpi. Hanya bisa menemani tidur, dan selalu menjadi cahya terang dalam imajinasi pikiran.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi temeng persembunyian di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati. Hingga membuat orang lain tertarik akan keelokan yang dimilikinya, dan mengakibatkan buta atas apa yang harus dimiliki pribadi sendiri. Padahal hanya untuk sekedar memiliki dan menikmati!! Memiliki kemakmuran dan kelayakan hidup bagi makhluk bernyawa yang bersarang di dalamnya. Jelas-jelas mereka ditakdirkan memiliki kelebihan dari pada makhluk lainnya. Ia diberi akal, tetapi ia hanya bisa pintar dalam melipat gandakan jumlah keturunan, dengan semboyan “banyak anak banyak rejeki.” Bussettt, tapi kenyataannya sekarang sudah gak berlaku bang! Sekarang tu bukan jaman bemo lagi, tapi sudah jamannya busway gitu!! Trus, kemudian mereka tak mampu menyuapinya! Membuat Ia selalu menangis merintih dan kecewa. Karena Ia merasa diacuhkan oleh menungso yang hidup serba dengan ketololan, berkembang biak di dalam kelaknatan, dan tak merasa punya dosa atas apa yang dilakukan. Sungguh-sungguh biadab kau? ”Menungso,” lebih pantas menyebutnya.
”Habis manis sepah di buang.” Seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh Orang- yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, Negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan, tak lagi perawan, ternoda dari kelicikan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ia dibodohkan dari pengetahuan. Otak ditumpulkan, dimelaratkan! Cecungok-cecungok jadi budak. Budak yang tak terbayar jauh dari kebebasan. Menyebabkan Negeri mimpiku lemah tak berdaya, tak lagi berharap menggapai cita. Terpendam selama-lamanya di dalam angan dan asa.
Ya, beginilah!! Sungguh malang Negeri mimpiku. Cecungok-cecungoknya malas akan kemakmuran. Lumpuh memperdayakan sumber pangan. Buta akan kekayaan. ”Ya, beginilah!! Malang nasibku, seperti malangnya Negeri mimpiku.”
####
”Hidup.”
Apa makna itu sebenarnya? Sebuah anugerah yang tak terhinggakah? Ataukah sebuah kutukan takdir hidup, tak berarah, tak bertujuan yang menakdirkan aku seperti ini! Hidup yang hilang dari kebahagiaan, bermelodi penderitaan dan kegelisahan.
Waktu bergulir. Pagi menuju siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Seperti keadaanku sekarang ini, tak menentu! Tiap hari kutelusuri Ibu kota. Ku langkahi trotoar jalan. Ku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!” Ku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku Cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan Orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! Kurang ajar? Iya.,,
Memang benar, aku adalah orang yang terlaknat. Terlaknat dari orang-orang cendikiawan yang secara, pendidikan terpenuhi. Bisa makan tiga kali sehari, ada orang tua yang selalu mengasihi, meninabobokkan setiap hari, di didik mulai usia kecil hingga besar, mengenalkan Tuhannya, mendewasakan, serta memiliki cita-cita dan mimpi. ”Cita-cita dan mimpi??”
”Uppsss….!!!”
Tapi semua itu berbeda!! Semua itu tak terjadi di dalam peta hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang tua mengasihi dan menyayangi, semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara udara Yogyakarta dan melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Semenjak usia 14 tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealisku. Nyawa adalah tekadku. Tetapi walaupun begitu, aku adalah orang yang mempunyai impian. Impian yang hanya orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Dan akulah salah satu orang tertentu saja itu!!
####
”Rip, mau jadi apa kau nantinya?” tegur Cak To ketika masuk kontrakan reot Urip.
”Tiap hari kerjaannya tidur melulu!” Terlihat, Urip tidur terlentang di atas kasur tripleknya. Dengan kedua tangan tertindih, terlipat di bawah kepala, dan kaki berselonjor dengan malasnya.
”Belum waktunya dapat kerjaan Cak!!” jawab Urip sekenanya.
”Waktunya kapan? Bukannya kamu kemarin ke kota ngelamar kerjaan?”
”Hasilnya nihil!!” dengan santainya Urip menyalakan rokok kretek di depan Cak To, dengan asap mbako lenteng cap murahan.
”Terus, inikah contoh pemuda yang mempunyai mimpi seperti yang kau katakan kemarin?” marah Cak To. “Pekerjaannya hanya tidur, menganggur tiap harinya.”
”Dasar pemuda gelandangan, tak punya kerjaan. Terlaknat!!”
”Brukkkk!!!” Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To
meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. Seharusnya Orang yang tak bertanggung jawablah, yang pantas kau umpati!! ”Gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Perempuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi! Gelandangan kau suburi, hingga subur saat ini. Terlaknat! Kau sungguh penghianat!!”
” Tuhan …,” keluh Urip kepada Tuhannya.
“Aku ingin bermimpi. Aku ingin seperti burung, terbang bebas mengitari Negeri mimpi. Menyadarkan cecungok-cecungok yang tak tau diri. Aku ingin Negeri mimpiku seperti pelangi tempatnya para bidadari, selalu berwarna-warni memancarkan kemilau cahya keceriaan dan kedamaian. Aku ingin Negeri mimpiku kuat, kokoh berpondasi melambungkan cita-cita dan mimpi tinggi.” Urip terdiam dalam angan-angan yang selalu merisaukan dirinya.
####
”Maaf mas, di sini hanya membutuhkan karyawan yang minimal berijazah menengah atas, dan tentunya memiliki pengalaman dalam hal bekerja!!”
”Oh ya?” jawab Urip sinis. ”Tidak berartikah ijazah menengah pertama? ”Lihat mbak, aku memiliki nilai sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!!”
”Tapi Mas…,” sanggah pelayan toko.
Naiknya emosi Urip. ”Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?”
”Sretttt!!!” ditariknya kembali ijazah oleh Urip.
”Masya Allah,” sebut pelayan. ”Orang ini apa gak punya kesabaran ya? Amit-amit dehh…”
Dengan perasaan ngilu dan kecewa, keluarlah Urip dari toko ”Busana Bayi” itu.
”Dasar perempuan sekarang, cantik-cantik cerewet!” umpat kesal Urip.
”Mentang-mentang punya ijazah tinggi, semena-mena saja membuat persyaratan demi kualitas pelayan. Apalagi atas dasar untuk masa depan lah! Memang kurang ajar tu orang. Bisanya cuma semena-mena saja sama orang sepertiku. Cuiihhh….”
Lanjut omel Urip sambil jalan. ”Terus nantinya menjadi alasan sebagai tuntutan perkembangan dan kemajuan jaman, demi masa depan anak bangsa lah. Dan pastinya mereka akan mendiskriminasi orang-orang bawahan yang tak berpendidikan tinggi sepertiku!!” Dalam batinnya. ”Pasti ini pengaruh kebijakan Orang atasan, yang semena-mena saja mewajibkan belajar sembilan tahun. Menetapkan kebijakan tanpa menyadari keadaan sekitar! Beginilah sikap Orang-orang atasan, yang tak sudi melihat orang bawahan. Jika posisinya sudah di atas, yang bawah ditekan! Dan dampaknya ya, seperti aku ini. He..he..he..!!” tawa kecil Urip terhadap dirinya.
Menujulah Urip ke kontrakkannya. Yang sebetulnya kontrakkanya tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”
Udara panas, pengap, bau busuk sampah. Mau tidur siang-siang gini tak nyenyak, karena suara bising kendaraan yang melintas di atas atap kontrakkan Urip. Rebahan saja enaknya, sambil berandai-andai saja aku.…??? Tiba-tiba saja di kala Urip sedang nyantai-nyantainya terdengar suara teriakkan keras dari luar kontrakkan.
”Bang Urippp... keluar sekarang! Aku mau ngomong penting ma Abang!” teriakkan keras Narti dari depan pintu kontrakkan Urip. Dari dalam kontrakkan menyahut.
”Ya Neng, sayangku, cintaku!!” ”Kreekkk!!!” sambil melangkah Urip membukakan pintu.
”Sayang, sayang!! Ngaca dulu siapa Abang??”
”Gitu aja marah. Kalau marah kelihatan tuanya lo...!!” rayu Urip.
”Ada apa sa-yang….!! Eh, maksudku Neng Narti. Siang panas gini teriak-teriak manggilin Abang. Minta dikawinin ya??” Urip keluar kontrakan dengan wajah dan rambut awut-awutan.
”Heh, ngawur!!!” bentak Narti. ”Ini masalah serius Bang.”
”Gini Bang!!!” jelas Narti. ”Aku ke sini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum Abang bayar. Tiga bulan Bang!” Narti menodongkan tangannya di depan dada Urip.
”Waduhh!!!” Tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku. Cari kerjaan, tak ada yang mau menerimaku! Beginilah nasib gelandangan sejati. Selalu susah, gelisah, karena uang!! Uang untuk bayar kontrakkan dan beli makan.
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai dengan keadaannya sekarang ke Narti.
”Maaf Neng, bukannya abang tidak mau melunasi pembayaran sekarang! Tapi kondisi keuanganku sekarang tidak mendukung. Alias, tidak punya uang sama sekali! Sumpah Neng!!!” keluh Urip menaruh muka belas kasihan ke Narti.
Muka Narti memerah, setelah mendengar penjelasan Urip. ”Alasan saja kau Bang!! Tiap akhir bulan, hanya janji kosong yang kau bayarkan. Bulan pertama, Abang tak membayar karena belum dapat kerjaan. Bulan kedua, dengan alasan yang sama. Bulan ketiga, sekarang!!” memuncaknya amarah Narti. ”Abang tidak bisa membayar, karena beralasan belum dapat kerjaan! Iyakan??!!”
Urip hanya bisa diam mendengarkan marahan Narti.
”Mana janji Abang ke Narti? Kalau Abang akan cari kerjaan mapan. Cari uang sebanyak-banyaknya, untuk membelikan cincin berlian untuk Narti. Mana janji ngelamar Narti? Mana rasa cinta Abang ?!” dengan marah Narti menangis, meneteskan air mata kekecewaan.
”Aku benci Abang. Benci, benci!!!” dipukul-pukulinya dada Urip, dengan kedua tangan putih Narti.
Narti meninggalkan Urip dengan keterpanaan. Keterpanaan yang ia tinggal karena kekecewaannya atas kelakuan Urip. Kelakuan yang selama ini ia harapkan sebagai cinta sejatinya. Tapi, cinta itu hanya omong-kosong, tak berisi dan tak pula terjadi. Sungguh memudar begitu cepat rasa cinta tulus Narti kepada Urip. Pupus harapan dan tak lagi bisa ditegakkan. Begitu dalamnya cinta Narti, dan begitu pula kekecewaan Narti. Begitu dalam dan dalam, tak dapat terbayangkan! Membuat Narti berjanji pada dirinya, ia takkan memaafkan Urip! Tidak akan!! Tidak akan memaafkan dan meninggalkan cintanya untuk selama-lamanya. Sampai kapanpun!!
####
Esok harinya Urip mendatangi rumah Narti, anak pemilik kontrakan yang ditinggalinya, alias Cak To orang asli Surabaya. Ia ingin meminta maaf atas kelakuan yang diperbuatnya kemarin.
Sesampai di depan rumah, Urip ditanya Cak To atas maksud dan tujuan kedatangannya. Sedari tadi Cak To enak-enakan ngopi di emperan rumah.
Malu-malu Urip nyamperin dan bertanya kepada Cak To. Kira-kira kekasih Narti sedang di mana, dan bagaimana gerangan???
”Narti, aku jodohkan!!!”
Gubrakk… Apa? Tidak salah dengarkah daku? Narti mau dijodohkan. Dengan siapa? Tidak denganku kah!! Siapa yang merebut hati kekasihku, Narti. Siapa dia, Siapa?? Apakah dia pemuda mapan daripada aku? Tampan, kaya, punya kerjaan, banyak uang! Dan apakah dia sanggup membelikan cincin berlian, seperti apa yang aku janjikan kepada Narti?
”Kenapa Cak? Kenapa anak Cak tidak dinikahkan saja denganku??”
”Narti anakku, anak kandungku! Terserah aku, mau aku jodohkan dengan siapa? Yang penting tidak aku jodohkan dengan pemuda gelandangan, yang tak punya pekerjaan sepertimu!!” jawab ketus Cak To.
Setelah Urip mendengar penjelasan Cak To, ia meninggalkan halaman rumah Narti kekasihnya. Dengan perasaan kecewa tanpa daya. Hancur. Dan gagal sudah cinta dan impian Urip, untuk hidup abadi berdampingan bersama Narti di Negeri mimpinya.
Sementara, pada jeda yang di buat bisu oleh Urip, sewaktu langit meriah oleh benda-benda berpijar, dan ketika sebuah lagu sedu yang menyeret kembali ke masa lalu Urip bersama Narti. Tergambar wajah sang kekasih, malu-malu berrada dalam pelukan Urip. Kesunyian udara malam bergerak mendesaukan suara manja sang kekasih. Bulan melengkungkan senyum manisnya. Bersiaplah…. Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan mu, dan meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu.
”Aku tak tau dengan hidupku!! Hancur hidupku. Hancur harapanku. Begitu hancurnya, menjadi abu yang tak mungkin disatukan kembali.”
Upssss!!!!! Insting ku menjalar. Memutar memori, dari nol derajat ke batas normal Sembilan puluh derajat. Ada sesuatu, yang membuat ku tak sanggup melupakan dan memendamnya begitu saja. Tunggu dulu. Ada satu hal yang tidak bisa hancur begitu saja. Dan tidak bisa hancur, karena alasan di tinggalkan cinta Narti. Tak bisa. Tidak bisa hancur dalam hidupku!! Yaitu, Negeri mimpiku.
”Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya: melimpah ruah rempah-rempah. Ku angkat harkat martabatnya. Ku bebaskan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ku bidik cecungok-cecungoknya. Ku jabat gelandangan jadi menteri-menterinya. Merdekalah budaknya. Tegak berdiri kokoh dan berwibawa, di mata negara lain. Sungguh-sungguh impianku. Ku ingin mulai lagi dari lembaran baru dalam hidupku. Saatnya bangkit, berdiri, beranjak, berlari mengejar ketertinggalan waktu yang telah terbuang dengan sia-sia begitu saja. Dan akhirnya….
”Oh, begitu bangga aku menjadi Orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” Bangga Urip atas Negeri mimpinya. Mimpi yang hanya menjadi semu, dan tak beralur begitu saja dalam dirinya.
####
BIODATA PENULIS
Nama : Midun Aliassyah.
Tempat/ Tgl.Lahir : Nganjuk, 30 Agustus 1989
Status : Mahasiswa (Pndk. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Jember).
Alamat : Jln. Sumatra IV, No. 84, Sumbersari, Jember, Jawa Timur.
No. HP : 085730031156/ 081331468766
Blog/ e-mail : www.midun_aliassyah.blogspot.com/ cah_solih@ymail.com
Oleh: Midun Aliassyah
Bilamana impian adalah matahari? Kapan ia akan terbit menghampiri dan menyudahi keluh, kesah dan penderitaan tiada akhirnya ini! Harusnya ia sebongkah pijar mengiringi jalan hidup ini, cerah cahayanya sebinar mata menggantung harap. Tapi semua ini tak ada, tak nyala! Hanya takdir bisu penuh kilu ini yang melumatku tiada kasih dan haru, menyebabkan aku tetap tak berranjak, dan penuh belepotan di kubangan lumpur kesialan ini. Oh tidak Ya Tuhan….
”Titititit…tititit!!!” Jam beker karatan berbunyi tersendat-sendat di balik bantal kusam nan bau kecut, dengan bersarung angsa yang tak lagi ceria, satu betina dan tiga anak berrenang tanpa busana, di air tak berwarna. Bantal kusam yang tak lagi jelas identitasnya! Ya, karena sarung bantal itu sudah tak layak untuk menjadi landasan kepala, luntur dari kewajaran. Tapi di balik kekusamannya, tersimpan berjuta-juta impian. Impian yang selalu menjadi angan, tak kunjung tiba menghampiri sang pemimpi. Hanya bisa menemani tidur, dan selalu menjadi cahya terang dalam imajinasi pikiran.
Sumringah, udara pagi ini yang masih basah oleh bulu-bulu embun. Sang surya malu-malu menampakkan dirinya menyambut hangatnya kehidupan, tapi tak mampu menutupi auranya dibalik awan yang menjadi temeng persembunyian di kala malam. Kilau cahya violate menerawang cakrawala Pertiwi, yang begitu kaya akan sumber alam dan nabati. Hingga membuat orang lain tertarik akan keelokan yang dimilikinya, dan mengakibatkan buta atas apa yang harus dimiliki pribadi sendiri. Padahal hanya untuk sekedar memiliki dan menikmati!! Memiliki kemakmuran dan kelayakan hidup bagi makhluk bernyawa yang bersarang di dalamnya. Jelas-jelas mereka ditakdirkan memiliki kelebihan dari pada makhluk lainnya. Ia diberi akal, tetapi ia hanya bisa pintar dalam melipat gandakan jumlah keturunan, dengan semboyan “banyak anak banyak rejeki.” Bussettt, tapi kenyataannya sekarang sudah gak berlaku bang! Sekarang tu bukan jaman bemo lagi, tapi sudah jamannya busway gitu!! Trus, kemudian mereka tak mampu menyuapinya! Membuat Ia selalu menangis merintih dan kecewa. Karena Ia merasa diacuhkan oleh menungso yang hidup serba dengan ketololan, berkembang biak di dalam kelaknatan, dan tak merasa punya dosa atas apa yang dilakukan. Sungguh-sungguh biadab kau? ”Menungso,” lebih pantas menyebutnya.
”Habis manis sepah di buang.” Seperti inilah kondisi negeriku. Negeri mimpiku. Ditinggal begitu saja oleh Orang- yang tak bertanggung jawab. Tiga setengah abad sudah, Negeri impianku dirampas mahkotanya. Hilang dari kejayaan, tak lagi perawan, ternoda dari kelicikan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ia dibodohkan dari pengetahuan. Otak ditumpulkan, dimelaratkan! Cecungok-cecungok jadi budak. Budak yang tak terbayar jauh dari kebebasan. Menyebabkan Negeri mimpiku lemah tak berdaya, tak lagi berharap menggapai cita. Terpendam selama-lamanya di dalam angan dan asa.
Ya, beginilah!! Sungguh malang Negeri mimpiku. Cecungok-cecungoknya malas akan kemakmuran. Lumpuh memperdayakan sumber pangan. Buta akan kekayaan. ”Ya, beginilah!! Malang nasibku, seperti malangnya Negeri mimpiku.”
####
”Hidup.”
Apa makna itu sebenarnya? Sebuah anugerah yang tak terhinggakah? Ataukah sebuah kutukan takdir hidup, tak berarah, tak bertujuan yang menakdirkan aku seperti ini! Hidup yang hilang dari kebahagiaan, bermelodi penderitaan dan kegelisahan.
Waktu bergulir. Pagi menuju siang, siang menuju malam, dan menjadi hari. Seperti keadaanku sekarang ini, tak menentu! Tiap hari kutelusuri Ibu kota. Ku langkahi trotoar jalan. Ku masuki ruko-ruko yang bersegel di kacanya ”DIBUTUHKAN KARYAWAN!!” Ku terawang koran-koran, hingga ludes bagian kolom lowongan kerja. Tapi percuma, tak ada hasil yang seperti kuharapkan! Maklumlah, aku Cuma lulusan ijazah menengah pertama. Padahal dipersyaratan tak dibutuhkan, dan Orang-orang atasan juga sudah mewajibkan belajar sembilan tahun. Tapi hanya saja bagi anak-anak terpelajar. Sedangkan aku sendiri, bukan anak terpelajar! Kurang ajar? Iya.,,
Memang benar, aku adalah orang yang terlaknat. Terlaknat dari orang-orang cendikiawan yang secara, pendidikan terpenuhi. Bisa makan tiga kali sehari, ada orang tua yang selalu mengasihi, meninabobokkan setiap hari, di didik mulai usia kecil hingga besar, mengenalkan Tuhannya, mendewasakan, serta memiliki cita-cita dan mimpi. ”Cita-cita dan mimpi??”
”Uppsss….!!!”
Tapi semua itu berbeda!! Semua itu tak terjadi di dalam peta hidupku. Hidup sebatang kara, tak ada orang tua mengasihi dan menyayangi, semenjak musibah beruntun yang terjadi di bandara udara Yogyakarta dan melenyapkan semua keluargaku. Sungguh tragis, dan waktu itu pula rasanya aku ingin mati saja bersama mereka.
Semenjak usia 14 tahun hingga aku sekarang ini, aku hidup sebagai marabunta. Hidup di jalanan adalah hidupku. Tidak mengenal Tuhan adalah idealisku. Nyawa adalah tekadku. Tetapi walaupun begitu, aku adalah orang yang mempunyai impian. Impian yang hanya orang tertentu saja yang berani memimpikannya. Dan akulah salah satu orang tertentu saja itu!!
####
”Rip, mau jadi apa kau nantinya?” tegur Cak To ketika masuk kontrakan reot Urip.
”Tiap hari kerjaannya tidur melulu!” Terlihat, Urip tidur terlentang di atas kasur tripleknya. Dengan kedua tangan tertindih, terlipat di bawah kepala, dan kaki berselonjor dengan malasnya.
”Belum waktunya dapat kerjaan Cak!!” jawab Urip sekenanya.
”Waktunya kapan? Bukannya kamu kemarin ke kota ngelamar kerjaan?”
”Hasilnya nihil!!” dengan santainya Urip menyalakan rokok kretek di depan Cak To, dengan asap mbako lenteng cap murahan.
”Terus, inikah contoh pemuda yang mempunyai mimpi seperti yang kau katakan kemarin?” marah Cak To. “Pekerjaannya hanya tidur, menganggur tiap harinya.”
”Dasar pemuda gelandangan, tak punya kerjaan. Terlaknat!!”
”Brukkkk!!!” Dibantingnya pintu reot kontrakan Urip. Kemudian Cak To
meninggalkannya dengan amarah besar.
Memang salahku, aku jadi gelandangan? Tak seharusnya kau memarahi dan memakiku. Seharusnya Orang yang tak bertanggung jawablah, yang pantas kau umpati!! ”Gelandangan tak tau diri. Masuk negeriku tanpa permisi. Merampas harta yang kami miliki. Perempuan kami kau gagahi, laki-laki kau budaki. Kau bodohi negeri kami, tak lagi kami punya mimpi! Gelandangan kau suburi, hingga subur saat ini. Terlaknat! Kau sungguh penghianat!!”
” Tuhan …,” keluh Urip kepada Tuhannya.
“Aku ingin bermimpi. Aku ingin seperti burung, terbang bebas mengitari Negeri mimpi. Menyadarkan cecungok-cecungok yang tak tau diri. Aku ingin Negeri mimpiku seperti pelangi tempatnya para bidadari, selalu berwarna-warni memancarkan kemilau cahya keceriaan dan kedamaian. Aku ingin Negeri mimpiku kuat, kokoh berpondasi melambungkan cita-cita dan mimpi tinggi.” Urip terdiam dalam angan-angan yang selalu merisaukan dirinya.
####
”Maaf mas, di sini hanya membutuhkan karyawan yang minimal berijazah menengah atas, dan tentunya memiliki pengalaman dalam hal bekerja!!”
”Oh ya?” jawab Urip sinis. ”Tidak berartikah ijazah menengah pertama? ”Lihat mbak, aku memiliki nilai sembilan di mata pelajaran ilmu sosial dan PPKN!!”
”Tapi Mas…,” sanggah pelayan toko.
Naiknya emosi Urip. ”Apa ini kurang cukup untuk membuktikan, kalau aku ini berpendidikan dan berpengalaman?”
”Sretttt!!!” ditariknya kembali ijazah oleh Urip.
”Masya Allah,” sebut pelayan. ”Orang ini apa gak punya kesabaran ya? Amit-amit dehh…”
Dengan perasaan ngilu dan kecewa, keluarlah Urip dari toko ”Busana Bayi” itu.
”Dasar perempuan sekarang, cantik-cantik cerewet!” umpat kesal Urip.
”Mentang-mentang punya ijazah tinggi, semena-mena saja membuat persyaratan demi kualitas pelayan. Apalagi atas dasar untuk masa depan lah! Memang kurang ajar tu orang. Bisanya cuma semena-mena saja sama orang sepertiku. Cuiihhh….”
Lanjut omel Urip sambil jalan. ”Terus nantinya menjadi alasan sebagai tuntutan perkembangan dan kemajuan jaman, demi masa depan anak bangsa lah. Dan pastinya mereka akan mendiskriminasi orang-orang bawahan yang tak berpendidikan tinggi sepertiku!!” Dalam batinnya. ”Pasti ini pengaruh kebijakan Orang atasan, yang semena-mena saja mewajibkan belajar sembilan tahun. Menetapkan kebijakan tanpa menyadari keadaan sekitar! Beginilah sikap Orang-orang atasan, yang tak sudi melihat orang bawahan. Jika posisinya sudah di atas, yang bawah ditekan! Dan dampaknya ya, seperti aku ini. He..he..he..!!” tawa kecil Urip terhadap dirinya.
Menujulah Urip ke kontrakkannya. Yang sebetulnya kontrakkanya tak layak disebut kontrakkan dan disewakan. Karena dilihat dari tempatnya, berada di kolong jembatan layang. Bangunannya, beratap seng teyeng bekas buangan. Berdinding kardus mie rayapan. Berlantai tanah uraian sampah!! ”Hiii..., rumah tikus cocoknya.”
Udara panas, pengap, bau busuk sampah. Mau tidur siang-siang gini tak nyenyak, karena suara bising kendaraan yang melintas di atas atap kontrakkan Urip. Rebahan saja enaknya, sambil berandai-andai saja aku.…??? Tiba-tiba saja di kala Urip sedang nyantai-nyantainya terdengar suara teriakkan keras dari luar kontrakkan.
”Bang Urippp... keluar sekarang! Aku mau ngomong penting ma Abang!” teriakkan keras Narti dari depan pintu kontrakkan Urip. Dari dalam kontrakkan menyahut.
”Ya Neng, sayangku, cintaku!!” ”Kreekkk!!!” sambil melangkah Urip membukakan pintu.
”Sayang, sayang!! Ngaca dulu siapa Abang??”
”Gitu aja marah. Kalau marah kelihatan tuanya lo...!!” rayu Urip.
”Ada apa sa-yang….!! Eh, maksudku Neng Narti. Siang panas gini teriak-teriak manggilin Abang. Minta dikawinin ya??” Urip keluar kontrakan dengan wajah dan rambut awut-awutan.
”Heh, ngawur!!!” bentak Narti. ”Ini masalah serius Bang.”
”Gini Bang!!!” jelas Narti. ”Aku ke sini disuruh Babe untuk menagih uang kontrakan yang belum Abang bayar. Tiga bulan Bang!” Narti menodongkan tangannya di depan dada Urip.
”Waduhh!!!” Tiga bulan!! Segitu banyaknya! Pakai apa aku membayarnya! Sekarang gopekpun tak ada di kantongku. Cari kerjaan, tak ada yang mau menerimaku! Beginilah nasib gelandangan sejati. Selalu susah, gelisah, karena uang!! Uang untuk bayar kontrakkan dan beli makan.
Lalu, Urip memberanikan diri untuk berbicara jujur sesuai dengan keadaannya sekarang ke Narti.
”Maaf Neng, bukannya abang tidak mau melunasi pembayaran sekarang! Tapi kondisi keuanganku sekarang tidak mendukung. Alias, tidak punya uang sama sekali! Sumpah Neng!!!” keluh Urip menaruh muka belas kasihan ke Narti.
Muka Narti memerah, setelah mendengar penjelasan Urip. ”Alasan saja kau Bang!! Tiap akhir bulan, hanya janji kosong yang kau bayarkan. Bulan pertama, Abang tak membayar karena belum dapat kerjaan. Bulan kedua, dengan alasan yang sama. Bulan ketiga, sekarang!!” memuncaknya amarah Narti. ”Abang tidak bisa membayar, karena beralasan belum dapat kerjaan! Iyakan??!!”
Urip hanya bisa diam mendengarkan marahan Narti.
”Mana janji Abang ke Narti? Kalau Abang akan cari kerjaan mapan. Cari uang sebanyak-banyaknya, untuk membelikan cincin berlian untuk Narti. Mana janji ngelamar Narti? Mana rasa cinta Abang ?!” dengan marah Narti menangis, meneteskan air mata kekecewaan.
”Aku benci Abang. Benci, benci!!!” dipukul-pukulinya dada Urip, dengan kedua tangan putih Narti.
Narti meninggalkan Urip dengan keterpanaan. Keterpanaan yang ia tinggal karena kekecewaannya atas kelakuan Urip. Kelakuan yang selama ini ia harapkan sebagai cinta sejatinya. Tapi, cinta itu hanya omong-kosong, tak berisi dan tak pula terjadi. Sungguh memudar begitu cepat rasa cinta tulus Narti kepada Urip. Pupus harapan dan tak lagi bisa ditegakkan. Begitu dalamnya cinta Narti, dan begitu pula kekecewaan Narti. Begitu dalam dan dalam, tak dapat terbayangkan! Membuat Narti berjanji pada dirinya, ia takkan memaafkan Urip! Tidak akan!! Tidak akan memaafkan dan meninggalkan cintanya untuk selama-lamanya. Sampai kapanpun!!
####
Esok harinya Urip mendatangi rumah Narti, anak pemilik kontrakan yang ditinggalinya, alias Cak To orang asli Surabaya. Ia ingin meminta maaf atas kelakuan yang diperbuatnya kemarin.
Sesampai di depan rumah, Urip ditanya Cak To atas maksud dan tujuan kedatangannya. Sedari tadi Cak To enak-enakan ngopi di emperan rumah.
Malu-malu Urip nyamperin dan bertanya kepada Cak To. Kira-kira kekasih Narti sedang di mana, dan bagaimana gerangan???
”Narti, aku jodohkan!!!”
Gubrakk… Apa? Tidak salah dengarkah daku? Narti mau dijodohkan. Dengan siapa? Tidak denganku kah!! Siapa yang merebut hati kekasihku, Narti. Siapa dia, Siapa?? Apakah dia pemuda mapan daripada aku? Tampan, kaya, punya kerjaan, banyak uang! Dan apakah dia sanggup membelikan cincin berlian, seperti apa yang aku janjikan kepada Narti?
”Kenapa Cak? Kenapa anak Cak tidak dinikahkan saja denganku??”
”Narti anakku, anak kandungku! Terserah aku, mau aku jodohkan dengan siapa? Yang penting tidak aku jodohkan dengan pemuda gelandangan, yang tak punya pekerjaan sepertimu!!” jawab ketus Cak To.
Setelah Urip mendengar penjelasan Cak To, ia meninggalkan halaman rumah Narti kekasihnya. Dengan perasaan kecewa tanpa daya. Hancur. Dan gagal sudah cinta dan impian Urip, untuk hidup abadi berdampingan bersama Narti di Negeri mimpinya.
Sementara, pada jeda yang di buat bisu oleh Urip, sewaktu langit meriah oleh benda-benda berpijar, dan ketika sebuah lagu sedu yang menyeret kembali ke masa lalu Urip bersama Narti. Tergambar wajah sang kekasih, malu-malu berrada dalam pelukan Urip. Kesunyian udara malam bergerak mendesaukan suara manja sang kekasih. Bulan melengkungkan senyum manisnya. Bersiaplah…. Engkau akan mulai merengek kepada Tuhan mu, dan meminta sesuatu yang mungkin itu telah haram bagimu.
”Aku tak tau dengan hidupku!! Hancur hidupku. Hancur harapanku. Begitu hancurnya, menjadi abu yang tak mungkin disatukan kembali.”
Upssss!!!!! Insting ku menjalar. Memutar memori, dari nol derajat ke batas normal Sembilan puluh derajat. Ada sesuatu, yang membuat ku tak sanggup melupakan dan memendamnya begitu saja. Tunggu dulu. Ada satu hal yang tidak bisa hancur begitu saja. Dan tidak bisa hancur, karena alasan di tinggalkan cinta Narti. Tak bisa. Tidak bisa hancur dalam hidupku!! Yaitu, Negeri mimpiku.
”Akan kuwujudkan negeriku!!!” Ku bangun istana megah di dalamnya. Ku sunting bidadari pelangi untuk permaisuriku. Ku olah hasil buminya: melimpah ruah rempah-rempah. Ku angkat harkat martabatnya. Ku bebaskan dari orang-orang yang tak bertanggung jawab. Ku bidik cecungok-cecungoknya. Ku jabat gelandangan jadi menteri-menterinya. Merdekalah budaknya. Tegak berdiri kokoh dan berwibawa, di mata negara lain. Sungguh-sungguh impianku. Ku ingin mulai lagi dari lembaran baru dalam hidupku. Saatnya bangkit, berdiri, beranjak, berlari mengejar ketertinggalan waktu yang telah terbuang dengan sia-sia begitu saja. Dan akhirnya….
”Oh, begitu bangga aku menjadi Orang nomor satu. Bangga atas impianku!!” Bangga Urip atas Negeri mimpinya. Mimpi yang hanya menjadi semu, dan tak beralur begitu saja dalam dirinya.
####
BIODATA PENULIS
Nama : Midun Aliassyah.
Tempat/ Tgl.Lahir : Nganjuk, 30 Agustus 1989
Status : Mahasiswa (Pndk. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Jember).
Alamat : Jln. Sumatra IV, No. 84, Sumbersari, Jember, Jawa Timur.
No. HP : 085730031156/ 081331468766
Blog/ e-mail : www.midun_aliassyah.blogspot.com/ cah_solih@ymail.com
hmm, sepertinya punya bakat jadi penulis novel nih... :) sangat filmis ceritanya
BalasHapusAgenda Ibu RT: Wahhh, terimakasih banyak motivasinya. saya juga minta doanya semoga novel saya bisa ending cerita bulan depan. terimaksih....
BalasHapus