Senin, 09 Agustus 2010

RENTAK EKSOTIS BUDAYA TAYUB TERHADAP MINAT PILIHAN HIBURAN MASYARAKAT DI DESA NGRAJEK KABUPATEN NGANJUK




RENTAK EKSOTIS BUDAYA TAYUB TERHADAP MINAT PILIHAN HIBURAN MASYARAKAT DI DESA NGRAJEK KABUPATEN NGANJUK

(Sebagai Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Folklor)

Oleh:

MOH. BADRUS SOLICHIN (080210402002)


PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2010





BAB I
PENDAHULUAN


1.Latar Belakang Masalah

Budaya merupakan ciri khas suatu daerah, akan tetapi setelah adanya globalisasi budaya daerah semakin terpuruk, masyarakat semakin buta dengan kebudayaannya sendiri,masyarakat malah memilih budaya barat yang dianggap modern dan melupakan budaya lokal, maka sewajarnya jika adanya globalisasi ini menimbulkan pro dan kontra, di satu sisi orang berpedapat bahwa globalisasi akan menghancurkan budaya lokal, pihak lain menganggap globalisasi sebagai upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang. Maka dari itu, seharusnya masyarakat mampu mengikuti perkembangan globalisasi dengan menyaring budaya barat yang masuk di Indonesia yang harus disesuaikan dengan budaya lokal dan pastinya tetap melestarikan budaya daerah.
Tayub merupakan salah satu akulturasi kebudayaan Jawa timur dan Jawa tengah, yang merupakan seni pertunjukan tradisional sebagai sarana untuk pemahaman diri dan juga mewadahi berbagai ungkapan perasaan yang datang baik dari seniman maupun penonton. Hal inilah yang membuat seni pertunjukan tradisional dapat menjadi sarana melepas ketegangan dari perasaan tertekan yang dialami oleh pribadi masyarakat.
Tayub sudah sangat terkenal dikalangan orang jawa pada masa dulu, akan tetapi budaya tayub sekarang ini hanya dikenal oleh orang pinggiran desa, untuk melestarikan budaya ini orang desa biasanya mempertontonkan dalam acara tasyakuran atau selamatan (sebutan pesta pernikahan atau khitanan di jawa), oleh karena maka sangat penting mengangkat tema ini, dengan tujuan awal memperkenalkan dan berusaha memunculkan kembali ke permukaan budaya tayub. Sebagai upaya dalam melestarikan kebudayaan daerah.
Seni budaya tayub yang berkembang di wilayah kabupaten Nganjuk, sebenarnya tak ubahnya seperti tradisi budaya yang berkembang di wilayah-wilayah lain. Seperti budaya tayub yang juga berkembang di masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti halnya tari cokek, yang dikenal dalam kebudayaan masyarakat Betawi.

2.Rumusan Masalah
Bagaimanakah perkembangan seni tayub di desa Ngrajek kabupaten Nganjuk?
Bagaimanakah pengaruh seni tayub terhadap masyarakat di desa Ngrajek kabupaten Nganjuk?
Bagaimanakah nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni tayub?

3.Tujuan Penulisan
Mengetahui perkembangan seni tayub di Desa Ngrajek Kabupaten Nganjuk.
Mengetahui pengaruh seni tayub terhadap pola kehidupan masyarakat di desa Ngrajek kabupaten Nganjuk.
Mengetahui nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni tayub.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sejarah Seni Budaya Tayub di Desa Ngrajek Kabupaten Nganjuk

Kabupaten Nganjuk merupakan kabupaten kecil yang berada di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan kabupaten Bojonegoro disebelah utara, kabupaten Madiun disebelah barat, disebelah timur kabupaten Jombang dan disebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Kediri. Nganjuk dahulunya dikenal dengan nama Anjuk Ladang, yang dalam bahasa berarti kemenangan. Nganjuk berada di lintasi jalur utama Surabaya-Yogyakarta, serta menjadi persimpangan dengan jalur menuju Kediri.
Nganjuk terletak di dataran rendah lereng gunung Wilis, yang mengakibatkan kabupaten Nganjuk dikenal sangat berangin dan sering disebut dengan julukan kota angin. Dan di kabupaten inilah terletak sebuah padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian tayub, yang lebih jelasnya berada di desa Ngrajek, kecamatan Tanjunganom.
Desa Ngrajek, kecamatan Tanjunganom, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, merupakan daerah pedesaan yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang teguh adat istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat mencintai kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa seni yang sangat kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah dengan orang lain. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali bersifat individualis, bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali siapa yang menjadi tetangganya.
Setiap harinya para warga di desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di kabupayen Nganjuk. Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan juga dari masyarakat kota lain yang datang, dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda para waranggono ( disebut; penari, ronggeng, tandak, kledek, taledek, ledek) yang sudah menjadi agenda tahunan di kabupaten Nganjuk.
Bentuk kesenian tayub konon berasal dari pusat-pusat kerajaan Jawa zaman dahulu. Pada hakekatnya merupakan bagian dari rangkaian upacara keselamatan atau syukuran bagi para pimpinan pemerintahan yang akan mengemban jabatan baru, misalnya dalam rangka jumenengan (wisuda), pemberangkatan panglima ke medan perang, dan lain-lain.
Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis. Dalam pelaksanaannya para tamu mendapat persembahan sampur dari waranggono. Tamu itupun kemudian menari berpasangan dengan ledhek, seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending yang dipesan.
Namun menjadi penari tayub tidak semudah yang dibayangkan orang awam. Berbagai ritual supranatural harus dijalankan. Upacara yang mengharuskan para calon penari mengikat janji dengan alam gaib. Namun, terkadang himpitan ekonomi membuat para calon penari tak peduli bahkan mungkin tak mengerti akan semua ucap sumpah yang mereka lantunkan lewat mantra dan gerak tari persembahan buat para arwah. Ritual yang harus dijalani para calon penari tayub adalah prosesi Gembayangan. Masyarakat setempat menyebutnya "wisuda waranggono." Acara yang bermakna serupa dengan pemberiaan lisensi ini dilaksanakan setiap Jumat Pahing, bulan Zulhijah, atau biasa disebut Bulan Besar dalam penanggalan Jawa.
Tahap pertama prosesi ini adalah amek tirto atau pengambilan air suci di Air Terjun Sedudo, sekitar 30 kilometer arah selatan Ngrajek. Untuk boleh menjalani tahap ini, para calon waranggono harus mampu menari minimal 10 gending tarian. Pada tahapan ini, mereka dipapah menemui Juru Kunci Sedudo untuk menyerahkan sesajen sekaligus meminta restu.
Setelah restu diyakini sudah didapat, mereka harus menari di dalam air terjun berketinggian 137 meter ini sebagai tanda penghormatan. Kemudian, barulah pengambilan air suci dilaksanakan melalui perantara Sedudo. Selanjutnya, air yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang disebut klenteng tadi diserahkan kepada sesepuh seni tayub untuk dipercikkan ke kepala mereka. Sejak saat itu, para gadis tadi resmi menjadi waranggono.
Keesokan pagi, para waranggano junior bersiap diri untuk naik ke atas panggung. Namun, terlebih dahulu mereka harus meminta restu ke sebuah sumur keramat bernama Punden Mbah Ageng. Agar tampil sukses di pementasan perdana, mereka juga mempersembahkan sesajen dan membakar dupa dipimpin seorang juru kunci. Sambil menaburi kembang, sang "mbah" berkomat-komit seakan berkomunikasi dengan "alam" lain. Sumur ini memang dipercaya membawa berkah. Sebab konon, 68 tahun silam, dua orang dara sembuh dari sakitnya dan mendadak lihai menari setelah mendapat percikan air dari tempat ini.
Siang pun tiba, waktu buat para waranggono bersolek. Setelah hampir dua jam, dandanan menor bak penari lenong pun rampung, untuk ditampilkan di depan para penonton. Saat itulah, para penari harus bermental kuat untuk menampik tawaran usil para hidung belang.

2.2 Anggapan Seni Budaya Tayub Melanggar Norma Agama

Dalam Theater in Southeast Asia, JR Brandon menuturkan pernyataan bahwa Islam tidak membenarkan adanya figur dalam keseniannya. Pemikiran ini ditetapkan juga dalam seni pertunjukan. Akibatnya, daerah-daerah yang mempunyai identitas Islam yang kuat biasanya tidak memiliki seni pertunjukan yang profesional. Secara implisit hal ini berarti bahwa daerah-daerah tersebut tidak membantu tumbuhnya seni pertunjukan tradisional tertentu, yang ditolak oleh ajaran religi yang dianutnya. Kebenaran atas pernyataan Brandon ini sekiranya perlu untuk dibuktikan. Sebab, masih ada ronggeng dan dombret yang tumbuh di dalam kebudayaan dengan identitas Islam yang kuat, misalnya masyarakat Betawi yang secara geografis dekat juga dengan masyarakat Sunda. Tentunya, hal ini tidak terkait dengan faktor kepemilikan atas kesenian tersebut, yang kebanyakan dipegang oleh orang Islam yang tidak taat pada prinsip-prinsip Islam (abangan).
Konteks dari pernyataan Brandon tersebut dapat ditemui dalam kesenian tayub. Di mana tayub memang tumbuh berkembang pada daerah yang tidak memiliki identitas Islam yang kuat. Di Jawa Timur, perkembangannya pesat pada wilayah Tuban, Bojonegoro, sisi selatan di Lamongan, Surabaya, dan di pinggiran Kabupaten Pasuruan sampai Malang, dan daerah barat di kabupaten Nganjuk, Tulungagung, dan Madiun.
Sikap menolak ini seringkali juga diwujudkan dengan bentuk menjauhi pelaku dan seniman yang terlibat di dalamnya. Alasan dosa merupakan dogma dan titik mati atas suatu aksi atau gerak. Hal ini didasarkan pemahaman akan teks dan konteks ajaran agama. Akibatnya, seperti tidak ada kebenaran dan kemaslahatan pada setiap gerak yang mengandung dosa. Bahkan, yang ada hanyalah mudaratnya. Dalam tayub, gerak dan aksi itu, menurut Soegio Pranoto, adalah suwelan dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, hakikat suwelan atau saweran adalah pemberian uang kepada waranggana oleh seseorang setelah ngibing.
Adanya penolakan atas proses pemberian suwelan atau saweran ini sedikit demi sedikit membawa perubahan. Suwelan kini telah diatur cara pemberiannya melalui seorang pramugari atau orang yang mengatur jalannya tayub dan biasanya saweran diselipkan di balik sampur waranggana, tepatnya di atas bahu. Bahkan, di Malang, sejak tahun 1976, oleh Samad Heriyanto diusulkan untuk pemakaian baju bagi para waranggana saat ngibing. Sementara minuman keras dalam tayub, menurut Soegio Pranoto, pada awalnya difungsikan sebagai penghormatan kepada tuan rumah, pemuka desa, dan para undangan. Bila minuman yang ditawarkan oleh waranggana kepada tuan rumah diminum, itu tandanya pengunjung pertunjukan tayub juga boleh meminum minumannya.
Fungsi lainnya, dengan minuman ini diharapkan bisa membantu sugesti dan kepercayaan diri seseorang untuk ngibing. Namun, pada era 1970-an, menurut Samad Heriyanto, tayub mulai dijajah oleh minuman keras. Minuman sekarang bukan lagi berada di dalam lingkaran area tayub dan sudah beraneka macam merek yang disediakan.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Ahmad Musta’in Syafi’i, M.ag menegaskan Ini adalah kesalahan agamawan di Indonesia. Dengan hanya berbasis pada fikih, mereka cukup memandang gerak dan aksi untuk menghukumi. Dan, hukumannya hanya ada halal dan haram. Pada kelompok tertentu bisa sampai menghilangkannya. Musta’in-dosen pada Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (Ikaha) menyayangkan dianutnya fungsi hakim ini daripada peran sebagai pendidik. Konteks kesenian, terutama seni pedesaan, memiliki hakikat sebagai ekspresi dan semangat untuk dekat dengan kepercayaannya. Bentuknya bisa dengan tari, ritual seperti bersih desa atau keyakinan pada danyang (penunggu). Seharusnya, pendekatan awal yang digunakan ada pada sisi akidah (teologi); biarkan seni tayub berkembang, ambil positifnya lalu masuki dan arahkan.


BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Pengaruh dan Perkembangan Seni Budaya Tayub di dalam Masyarakat Desa Ngrajek Kabupaten Nganjuk

Kesenian atau kebudayaan dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu unsur yang tidak biasa dipisahkan satu sama lain. Karena dengan kebudayaan atau kesenian tersebut kehidupan manusia tidak terlihat monoton. Begitu juga dengan kabupaten Nganjuk yang dahulu sempat masyhur dengan kesenian tayubnya. Tetapi bagaimanakah pandangan banyak kalangan tentang kesenian tayub tersebut?
Para masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan salah mereka jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan karena, para tamu atau para penikmat seni tayub seringkali menikmatinya dengan mabuk-mabukan serta tidak jarang mereka melecehkan para waranggono yang sedang menari di atas panggung. Terlebih-lebih dalam pandangan kaum muslim.
Salah satu alasan masyarakat memandang negatif dalam kesenian tayub yaitu terdapat aksi saweran dan meminum-minuman yang memabukkan (alkohol). Padahal, saweran sebenarnya adalah pemberian uang kepada waranggono oleh seseorang setelah menari bersama. Pemberian atau saweran ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih kepada waranggono atas kesempatan untuk menari bersamanya. Nilai dan jumlah saweran tidak ditentukan, tergantung kemampuan si penyawer. Namun, cara pemberiannya yang dilakukan saat saweran itulah yang dipandang negatif oleh halayak umum. Saweran biasanya diberikan dengan cara diselipkan pada dada waranggono. Bisa pada bagian luar, atau bahkan juga ada yang menyelipkannya lebih dari itu. Tentunya, pemberi saweran memiliki niat yang negatif terhadap para waranggono.
Di desa Ngrajek sendiri sudah didirikan organisasi yang dapat memayungi kesenian tayub demi memperbaiki citra seni tayub. Di dalam organisasi tersebut, selain diberikan pelajaran beragam gerak tari, para waranggono juga diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub.
Sebenarnya banyak gadis di desa Ngrajek yang ingin ikut bergabung dalam kesenian tayub sebagai waranggono. Para gadis desa tersebut sangat tertarik dengan kesenian tayub, selain karena ingin melestarikan dan mengembalikan kejayaan seni tayub seperti dahulu, mereka juga sangat tertarik dengan hasil yang akan mereka peroleh kelak jika mereka telah manggung atau pentas. Dalam sekali pentas para waranggono bisa mendapatkan honor hingga ratusan ribu rupiah, itupun belum termasuk uang hasil saweran para tamu yang menikmati tarian dari para waranggono.
Akan tetapi sekarang ini banyak orang tua dari mereka yang melarang anak gadisnya yang ingin menjadi waranggono. Pasalnya para orang tua takut, dikarenakan kesenian tayub banyak dikenal masyarakat sebagai kesenian yang jauh dari kebaikan. Sehingga para gadis mengurungkan niatnya untuk menjadi waranggono dalam kesenian tayub. Sehinga berakibat mundurnya kesenian tayub karena semakin tahun jumlah waranggono semakin berkurang.

3.2 Nilai-nilai Budaya yang Terkandung dalam Seni Budaya Tayub

Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam seni tayub dapat di lihat dari beberapa aspek berikut ini:
a)Pembawaan yang Ditampilkan dari Sang Waranggono
Seorang waranggono tampil dengan kostum yang kontras sebatas dada dihiasi make up yang medhok-merok (serba menor), bau parfum yang menyengat hidung, berkebayak, bersanggul, memakai selendang dan jarik. Kemudian berlenggang-lenggok di atas gelaran tikar yang merupakan ciri khas seni panggung pertunjukan tayub.
Hakikatnya dalam tarian tradisional, setiap gerakan diartikan sebagai tanda implementasi dari penghormatan mereka kepada sang Pencipta. Sehingga setiap gerakan dipercayai memiliki nilai magis. Selain itu, tarian tradisional juga mengandung berbagai nilai dan pesan yang berharga. Karena itu, tarian tradisional masih sering dibutuhkan terutama dalam upacara-upacara adat.

b)Penggunaan Susuk Sebagai Daya Magis
Konon, para wanita penari tayub atau sang waranggono menggunakan medium ataupun cara-cara mistis, seperti penggunaan susuk sebagai alat daya pikat dalam menarik para audiens atau penonton. Terlebih, para audiens-nya adalah kaum lak-laki.

c)Ciuman Sayang dari Sang Waranggono
Perempuan penari tayub atau waranggono sampai sekarang masih dipercaya memiliki daya magis. Yang menjadi mitos kuat, yaitu jika seorang bayi yang dicium sang waranggono yang sedang pentas, dipercayai jika sang bayi dalam keadaan sakit maka akan segera sembuh dari penyakitnya.
Ciuman dari sang waranggono, juga dipercayai akan berdampak baik bagi sang bayi. Ia akan memiliki pamor kecantikan, atau kelak si bayi yang memperoleh cium sayang dari penari tayub akan mendapatkan jalan hidup yang mujur.

d)Hentakan Bunyi Tabuhan
Bunyi hentakan yang dihasilakan dari alat-alat musik seni tayub dinilai mengandung nilai kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni, yaitu kemampuan sebagai penabuh gamelan (pengrawit). Kesamaan ini akan melahirkan keselaras-serasian tayub sebagai suatu bentuk tarian; hentakan kaki yang sesuai dengan bunyi kendang, lambaian tangan seirama gambang, atau lenggok kepala pada tiap pukulan gongnya, dimaknai secara luas sebagai bentuk ikatan silaturahmi.

e)Ajakan Joget dari Sang Waranggono
Ajakan joget dari sang waranggono ini disimbolkan dengan peletakan selendang pada leher penonton laki-laki. Para lelaki yang telah diikat dengan seledang pada lehernya tidak dapat menolak ajakan si penari. Atas jasanya, kemudian para penari tayub akan mendapatkan uang atau sawer. Semakin banyak sawer yang diberikan, maka si waranggono semakin lama berjogetnya.

f)Pemberian Saweran
Saweran adalah pemberian uang kepada waranggana oleh seseorang penonton setelah ngibing (menari) bersama. Ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih atas kesempatan untuk ngibing bersamanya.
Nilai dan jumlah saweran ini tidak ditentukan, tergantung kemampuan. Namun, cara pemberiannya yang unik yakni saweran biasanya diselipkan pada belahan payudara waranggana. Bisa pada bagian luar atau juga ada yang diselipkan lebih dalam lagi pada sisi-sisi payudara. Tentunya, pemberi saweran memiliki niat yang negatif terhadap para waranggono.

g)Alat-Alat Gamelan dan Syair-Syair yang Bermakna Nasehat-Nasehat Bijak
Satu unit musik gamelan Jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan angklung yang digunakan dalam mengiringi tari tayub, di simbolkan sebagai alat musik sakral dan kaya akan makna. Dalam masyarakat Jawa, pembuatan dan perawatan unit gamelan itu selalu menjadi ritual yang disakralkan. Misalnya, dimensi mistis ini telah terwakili oleh tradisi Sekaten di keraton Yogyakarta.
Selain itu, para penari tayub biasanya juga mendendangkan lagu-lagu ataupun syair-syair Jawa, yaitu yang dipercayai sebagai gurindam yang berisi nasehat-nasehat bijak, seperi nasehat untuk membina rumah tangga dengan baik atau nasehat baik lainnya. 

h)Keyakinan Memanfaatkan Sesajian dalam Prosesi Seni Tayub
Dengan iringan gamelan yang mengalun, sang ledhek (penyanyi) mulai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang. Ada suasana sakral di setiap alunan lagu yang dibawakannya. Di tengah asap dupa yang membubung dengan segenap uba rapenya atau semacam ayam panggang, keris, onggokan pisang, ketupat, dan beras putih, sang ledhek tak henti-hentinya mengucapkan mantra sambil menyebar beras putih ke segala penjuru sebagai tulak balak. Berikut mantra yang diucapkan sang kledek:
“…ana sengkala saka kulon tinulak bali mangulon. Sing nulak balak Raja Iman Slamet …” (ada musibah dari barat ditolak kembali ke barat. Yang menolak Raja Iman Selamat) ….” Byur!
Demikian seterusnya higga tujuh kali sesuai dengan arah yang disebutkan. Prosesi ini dilakukan setelah sang ledhek selesai mengucapkan mantra dalam bentuk tembang.
i)Keyakinan Seni Tayub Sebagai Seremoni Nazar
Konon, dulu seni tayub hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar bagi warga desa yang kebetulan punya uni atau nazar. Masyarakat Ngrajek meyakini adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, dampaknya ada anggota keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah fatal yang lain.
Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah kru tayub untuk menolak musibah yang bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada nenek moyangnya atas niat dan maksudnya yang telah terkabul. Konon, dipercayai mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek atau penyanyi itulah yang sanggup meredam segala musibah, dan juga sebagai pertanda bahwa nazar telah dilaksanakan. Mereka yakin, musibah tidak akan muncul lagi sekaligus sang empunya nazar terhindari dari segala petaka.

BAB IV
KESIMPULAN

Sebagai negara besar, Indonesia banyak memiliki berbagai macam kekayaan budaya dan seni tradisional yang diantaranya adalah seni budaya tayub yang ada di desa Ngrajek, kecamatan Tanjung Anom, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Budaya ini merupakan harta karun yang tak ternilai harganya dan tidak akan habis digali, dan akan sangat rugi bila kita mengabaikan warisan yang sangat berharga ini.
Tayub adalah salah satu seni pertunjukan rakyat Jawa yang berwujud tari berpasangan antara waranggono (penari) dengan pengibing (penyawer). Budaya tayub sudah ada sejak lama di daerah Ngrajek, dan prosesi seni tayub ini biasanya dilakukan jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan dari kota lain, dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di desa Ngrajek.
Tayub juga disebut sebagai tari pergaulan, tetapi dalam perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis. Dalam pelaksanaannya para tamu mendapat persembahan sampur dari waranggono. Tamu itupun kemudian menari berpasangan dengan waranggono, seirama dengan iringan gamelan, sesuai dengan gending yang dipesan.
Menjadi penari tayub atau waranggono tak semudah yang dibayangkan orang awam. Berbagai ritual supranatural harus dijalankan. Upacara yang mengharuskan para calon penari mengikat janji dengan alam gaib. Namun, terkadang himpitan ekonomi membuat para calon penari tak peduli bahkan mungkin tak mengerti akan semua ucap sumpah yang mereka lantunkan lewat mantra dan gerak tari persembahan buat para arwah. Tetapi sebenarnya ritual seperti itu dilakukan untuk menghormati atau persembahan kepada Sang Leluhur.
Tetapi untuk sekarang ini, masyarakat enggan terhadap budaya tayub. Karena mereka mengagap bahwa tarian tayub sama saja dengan tarian erotis atau tarian mesum. Perbuatan menjahuinya masyarakat terhadap budaya tayub tersebut berakibat buruk terhadap perkembangan dan pelestarian seni budaya tayub. Akibatnya bisa saja, lima tahun ke depan seni budaya tayub tidak bisa ditemui lagi di desa Ngrajek, atau dengan kata lain seni budaya tayub akan mengalami kepunahan.


DAFTAR RUJUKAN


Dandang, Ahmad Dahlan. 2006. Tayub Pati dan ledeknya. Jakarta: PT Intimedi.
Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Sukatman. 2009. Teka-Teki Jawa Sebagai Tradisi Lisan Dunia. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Sukatman. 2010. Gunung Jamur Dipa, Kajian Mitos dalam Tradisi Lisan. Jember.
Ervita, Aris. 2005. Skripsi: Konstruksi Sosial Masyarakat Ngrajek Terhadap
Provesi Ledhek. FKIP Sosiologi. Universitas Surabaya.
Sari, Linda. 2009. Skripsi: Gunung Bromo dan Keunikan Masyarakat Tengger Sebagai Obyek Wisata di Jawa Timur. Fakultas Sastra. Universitas Sumatra Utara.
Galamedia. Tayub Menarik Generasi Muda. (http://www.klik-galamedia.com). Diakses pada tanggal 31 Mei 2010.
Kompasiana. Artikel: Tayub Tarian Magis. (http://www.kompas.com). Diakses pada tanggal 31 Mei 2010.
Liputan6 On Line. Artikel: Rentak Eksotis Penari Tayub. (http://www.liputan6.com). Diakses pada tanggal 31 Mei 2010.
Pemkab Nganjuk. Kesenian Tayub Kabupaten Nganjuk. (http://www.pemkab-nganjuk.com). Diakses pada tanggal 31 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar