Senin, 09 Agustus 2010

REOREANTASI GURU TERHADAP PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

REOREANTASI GURU
TERHADAP PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI
Oleh: Midun Aliassyah

Era globalisasi telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan, yakni ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat. Dampak global ini berlangsung sangat cepat yang menuntut setiap kemampuan manusia unggul agar mampu mensiasati dan mengantisiapasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi sehingga suatu bangsa tidak akan ketinggalan. Globalisasi tidak hanya terjadi di bidang pengetahuan dan teknologi, namun juga terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, hankam, dan budaya. Penguasaan teknologi informasi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat yang akan memenangkan persaingan di kompetisi global. Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetetif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan.


Paradigma Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan suatu proses upaya pewarisan nilai-nilai yang sering disebut proses transformasi yang mencakup segala aspek sisi manusia. Kalau kita melihat secara fitrah manusia diciptakan dengan keadaan suci sehingga untuk mengembangkannya perlunya pendidikan, dengan mengenyam pendidikan setidaknya manusia bisa hidup lebih survive dalam menghadapi realitas kekinian. Sehingga pendidikan adalah usaha agar manusia dapat mengambangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran, baik itu melalui pendidikan formal, pendidikan informal, maupun non formal.
Pendidikan dasar merupakan pondasi untuk pendidikan selanjutnya dan pendidikan nasional. Untuk itu aset suatu bangsa tidak hanya terletak pada sumber daya alam yang melimpah, tetapi terletak pada sumber daya alam yang berkualitas. Sumber daya alam (SDA) yang berkualitas adalah sumber daya manusia, maka diperlukan peningkatan sumber daya manusia (SDM) sebagai kekayaan negara yang kekal, dan sebagai investasi untuk mencapai kemajuan bangsa. Tetapi melihat pada realitas pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan dasar, maka secara umum pendidikan Indonesia sekarang ini berkecenderungan pada ideologi pendidikan liberal. Hal tersebut terlihat dari beberapa faktor kebijakan yang relatif liberal terhadap kondisi pendidikan yang selama ini terjadi di negara Indonesia.

Pertama, pengacuan pendidikan lebih menitikberatkan pada penguasaan kompetensi, sedangkan kompetensi yang dimaksud selalu mengacu pada kebutuhan dunia kerja kapitalis. Dengan kata lain pendidikan pada akhirnya hanyalah menjadi sekrup kecil dari roda-roda kapitalisme. Seakan persepsi yang didesakkan pada peserta didik, dunia pendidikan, dan bahkan masyarakat luas adalah, “pendidikan untuk bekerja.” Jadi pembelajaran tidak banyak diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sebagai manusia secara utuh seperti untuk aktualisasi diri, sebagai manusia yang merdeka dan berdaulat dengan dirinya sendiri untuk berproses menjadi manusia. Kedua, pendidikan di Indonesia selama ini menitikberatkan proses pembelajaran pada peserta didik, sementara guru sekadar sebagai motivator, pengarah, bukan aktor utama dalam proses pembelajaran, bukan satu-satunya sumber pembelajaran. Yang dituju adalah aktualisasi diri siswa sepenuhnya. Hal ini artinya merombak tradisi pembelajaran yang telah mendarah daging selama ini di lembaga pendidikan, yakni guru adalah pusat pembelajaran di kelas, yang di-gugu lan ditiru (diiyakan petuahnya dan dianut keteladanannya). Kebijakan ini tidak serta merta menjadikan pembelajaran dan siswa dapat sepenuhnya mengaktualisasikan diri hingga berprestasi menggembirakan. Ketiga, desentralisasi pendidikan yang satu paket dengan otonomi daerah sebagai kebijakan yang dikeluarkan pascareformasi dengan agenda politik demokratisasi. Demokrasi sebagai anak dari liberalisme dalam konsepsi politik melahirkan kebijakan desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang juga berimbas dengan kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kewenangan untuk mengelola secara mandiri bagi daerah dan satuan pendidikan masing-masing. Kebijakan ini pada akhirnya menuai masalah, terutama ketika pemerintah ngotot memberlakukan ujian nasional (UN) dengan acuan standar nasional, padahal di sisi lain pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan kebebasan pada masing-masing daerah dan institusi pendidikan untuk memberikan proses pembelajaran optimal namun menyesuaikan dengan kemampuan dan lokal.

Konsepsi ideologis yang menghegemoni pemikiran dan kebijakan pendidikan pada akhirnya memberi warna cukup beragam untuk dunia pendidikan kita. Selayaknya dalam gerusan globalisasi dan kapitalisme sekarang ini semua stakeholder dunia pendidikan, terutama pemerintah dan Depdiknas (Departement Pendidikan Nasional) memiliki konsep yang jelas, tegas, dan kuat secara ideologis untuk menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang tepat, hingga tidak terlalu berisiko menimbulkan problem paradigmatik dan implementatif. Jika tidak, maka agaknya selamanya dunia pendidikan kita akan selalu disibukkan untuk mengatasi masalah-masalah yang sebetulnya tidak perlu terjadi jika pemerintah memiliki landasan ideologis pendidikan yang jelas dan sesuai dengan konteks ke Indonesiaan.

Reoreantasi Guru
Implementasi paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif, dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Sudah bukan saatnya lagi guru dipajang dalam “rumah kaca” yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang dianggap “tampil beda” dalam mengelola proses pembelajaran “kena semprit” dan dihambat kariernya.
Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas (pasal 40 ayat 2) secara tegas menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ini artinya, guru tidak lagi berperan sebagai “piranti negara” yang semata-mata mengabdi untuk kepentingan penguasa, tetapi sebagai “hamba kemanusiaan” yang mengabdikan diri untuk “memanusiakan” generasi bangsa secara “utuh” dan “paripurna” (cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual) sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya.
Made pidarta (2000) mengemukakan, bahwa kecenderungan peran guru pada masa mendatang adalah: mengidentifikasi sumber-sumber pendidikan di masyarakat, lebih banyak memberi layanan pendidikan dalam keluarga dan masyarakat, sebagai spesialis sumber-sumber pendidikan yang ada di masyarakat, sebagai konselor dan administrator kerjasama dengan masyarakat dan personalia lembaga pendidikan, sebagai orang tua siswa di sekolah yang bersama orang tua mendidik anak yang bersangkutan, mempergunakan wewenang yang sah sebagai alat pendidikan. Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi “agen perubahan” dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap responsif dan kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlangsung di sekitarnya. Guru - bersama stakeholder pendidikan yang lain - harus selalu menjadikan sekolah bagaikan “magnet” yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang “murah-meriah” di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.

Pendididkan di Era Globalisasi
Proses pendidikan meliputi banyak sekali segi, dan sebenarnya setiap kegiatan manusia mengandung unsur pendidikan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan meliputi sistem sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dua hal itu harus saling mendukung untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar perannya adalah pendidikan di lingkungan keluarga. Sebab di lingkungan keluarga manusia lahir dan tumbuh di masa yang paling menentukan bagi pembentukan kepribadiannya.
Hal ini terutama terasa dalam Era Globalisasi yang membuat setiap unsur masyarakat makin intensif hubungannya dengan unsur masyarakat lainnya, demikian pula dengan unsur masyarakat luar negeri. Hubungan itu dapat berupa kerjasama atau persaingan yang dalam Era Globalisasi makin intensif kondisinya. Akibatnya adalah bahwa tidak cukup hanya sebagian kecil masyarakat bermutu tinggi untuk mencapai kemajuan satu bangsa. Harus sebanyak mungkin warga masyarakat mempunyai mutu tinggi untuk dapat melakukan kerjasama dan persaingan bangsa. Hal ini menimbulkan tantangan yang amat berat, yaitu harus ada pendidikan yang besar kuantitasnya sehingga meliputi sebanyak mungkin warga masyarakat, maupun setinggi mungkin kualitasnya untuk seluruh pendidikan yang diselenggarakan. Hal ini merupakan tantangan besar untuk pengadaan dan penyediaan sumberdaya, baik sumberdaya manusia, sumberdaya uang maupun sumberdaya material. Dan karena sumberdaya pada dasarnya adalah langka, maka timbul tantangan kuat terhadap kemampuan manajemen pendidikan di satu pihak dan di pihak lain, dan adanya komitmen yang kuat pada kepemimpinan bangsa untuk pengadaan sumberdaya itu.
Kunci utama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu adalah Guru yang bermutu. Meskipun fasilitas pendidikan juga penting, namun manfaat sebenarnya dari kehadiran fasilitas ditentukan oleh guru yang bermutu. Oleh sebab itu harus selalu kita perhatikan segala segi yang berhubungan dengan pencapaian kondisi itu. Untuk itu harus ada sistem pendidikan guru yang tepat dan baik. Kedua, harus ada sistem penggajian guru yang memungkinkan seorang guru berkonsentrasi kepada pekerjaannya di satu sekolah tertentu. Ketiga, harus diciptakan status sosial guru yang menjadikan professi guru terpandang dan menarik dalam masyarakat. Ketiga hal ini pada waktu sekarang belum terpenuhi di Indonesia. Oleh sebab itu boleh dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih amat lemah.
Sejalan dengan itu perlu adanya peningkatan peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Bilamana guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.


Mengingat begitu pentingnya reoreantasi guru terhadap pendidikan di era globalisasi, maka dari itu guru diharapkan ikut ambil bagian dalam mempersiapkan peserta didik yang memiliki daya saing di masa depan. Dan untuk menjamin mutu kualitas dan kuantitas guru, sangat perlunya pengadaan penelitian tentang kualifikasi pendidikan sebagai dasar pembentukan kompetensi guru, baik yang berkaitan dengan kompetensi akademik maupun kompetensi professional yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Dengan demikian diharapkan dapat diprediksi kinerja dan pencapaian target pembelajaran yang dihasilkan oleh guru lebih maksimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar