I. Identitas Model
Peningkatan Kemampuan Berbicara-Menyimak dengan Metode DuNdongBerABe
II. Landasan Teori Model
Dalam interaksi sosial, setiap individu dituntut untuk terampil berkomunikasi. Sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial, setiap individu tentunya akan melakukan kegiatan komunikasi. Hal ini disebabkan komunikasi merupakan sarana untuk menyatakan pikiran, gagasan, ide, perasaan, dan pikiran yang ada dan terjadi dalam diri setiap individu. Alat yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa. Namun, bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok manusia yang hidup berdampingan di suatu tempat dan memiliki aturan bersama, yang disebut dengan masyarakat, adalah bahasa yang juga merupakan kesepakatan bersama. Bahasa yang dipakai di tempat tersebut dimengerti oleh setiap anggota masyarakat sehingga proses komunikasi bisa berlangsung lancar. Akan tetapi, kesepakatan bahasa yang dipakai tidak cukup untuk dijadikan syarat proses komunikasi yang baik. Masih terdapat syarat yang lain, yaitu dari individu yang melakukan komunikasi, yang disebut dengan komunikan.
Dua individu atau lebih yang terlibat dalam kegiatan komunikasi melakukan dua aktivitas secara bergantian, yaitu aktivitas berbicara dan menyimak. Pada suatu waktu, individu yang satu berbicara, sedangkan yang menjadi lawan bicaranya akan menyimak apa yang sedang dibicarakannya. Pada tahap berikutnya, terjadi alih kedudukan, yaitu pembicara akan menjadi penyimak sedangkan yang sebelumnya menjadi penyimak akan menjadi pembicara. Hal ini terjadi karena seseorang ingin dan juga akan merespon terhadap suatu bahan pembicaraan yang sedang didengarnya. Di sinilah terdapat syarat yang menjadi penentu keberhasilan komunikasi dengan tidak terjadi kesalahpahaman (miss comunication) antara kedua belah pihak seperti yang dikemukakan oleh Prijosaksono dan Sembel dalam Pageyasa (2004) , yaitu lima komponen dalam diri pembicara. Lima komponen ini terealisasi dalam ”Lima Hukum Komunikasi yang Efektif”, yaitu respect, empathy, audible, clarity, and humbel (REACH). Sikap hormat dan menghargai, empati, pesan dapat didengar dengan baik, kejelasan pesan, dan sikap rendah hati hanya mungkin dimiliki oleh komunikan yang ideal dan ahli.
Untuk itulah, demi mewujudkan peristiwa komunikasi yang mendekati ideal, dalam kurikulum pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, memuat keterampilan berbicara dan menyimak disamping dua keterampilan lain, yaitu keterampilan membaca dan menulis (PerMenDikNas No.22, 2006). Dalam komunikasi antara guru dengan siswa atau antarsiswa dalam proses belajar mengajar, keterampilan berbicara dan menyimak merupakan unsur yang penting. Melalui berbicara, guru atau murid menyampaikan informasi melalui suara dan bunyi bahasa, sedangkan dalam menyimak, siswa akan mendapat informasi melalui ucapan atau suara yang diterimanya dari guru atau rekannya (Tarigan, 1986:86).
Selama ini pengajaran keterampilan berbicara dan menyimak belum mendapatkan hasil yang maksimal seperti yang diharapkan. Para siswa belum sepenuhnya mempunyai kemampuan komunikatif. Mereka masih takut, malu, dan ragu ketika harus berbicara di depan umum dan menyampaikan gagasan-gagasannya. Penyebabnya karena metode yang digunakan oleh guru belum sepenuhnya disesuikan dengan situasi dan kondisi siswa serta kelas. Terdapat bermacam-macam metode yang telah digunakan oleh pengajar dalam mengajarkan keterampilan berbicara sekaligus keterampilan menyimak, di antaranya metode audiolingual, metode guru diam (silent way), dan belajar bahasa secara gotong royong (CLL) (Utari dan Nababan, 1993). Dari ketiga model tersebut memang diperkuat dengan teori-teori yang menekankan kebenaran dan keampuhan pemikirannya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa model-model tersebut mempunyai kelemahan. Selain masalah metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar