Senin, 09 Agustus 2010

TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR

TINDAK BAHASA DARI SUDUT PENDENGAR

1.Pengertian
Tindak bahasa dari sudut pendengar adalah bagaimana nilai ilokusi (nilai tindak bahasa yang diidentifikasi dengan kalimat pelaku yang eksplisit), itu ditangkap atau difahami oleh lawan bicara. Di dalam satu wacana peran pembicara dan pendengar itu saling berganti dan seorang pembicara dapat menjadi pendengar dan sebaliknya. Pemikiran Searle ialah bahwa tujuan-tujuan pembicara sukar diteliti, sedang interpretasi lawan bicara tampak dari reaksi-reaksi yang diberikan pada ucapan-ucapan pembicara.
Searle tidak menerima konsep tindak lokusi yang digantinya dengan tindak proposisi, hal inilah yang mendasari Searle dalam memberi makna pada ucapan atau kalimat. Pergantian istilah ini digunakan untuk member makna yang lebih luas kepada tindak proposisi, yakni yang mencakup rujukan pada sesuatu dan juga yang membentuk pada predikasi (pengungkapan tentang perbuatan, keadaan atau hal dalam proposisi ). Menurut Searle, suatu ujaran terdiri dari dua bagian, yakni: a). suatu proposisi mencakup penunjuk fungsi ujaran yang merupakan nilai ilokusi. Penunjuk terdiri atas: urutan kata, tekanan, intonasi, tanda baca, nada, dan kata kerja perlakuan (performatives). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa proposisi menurut Searle adalah suatu pengungkapan tujuan sebagaimana dipahami oleh pendengar.
Searle telah meneliti bagaimana pendengar menginterpretasi kalimat-kalimat perlakuan pembicara, kususnya kalimat-kalimat langsung. Misalnnya:

1.“Apakah kamu dapat mengangkat koper ini?”(merujuk pada mampu atau tidak mampu pendengar melakukan permintaan itu)
2.“Apa anda akan mengangkat koper ini?” (merujuk pada perilaku pendengar pada waktu mendatang)
3. “Saya ingin kau angkatkan koper ini.”(merujuk pada keinginan pembicara kepada pendengar)
4. “Apa mau mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada kesediaan pendengar)
5. “Kalau kau angkat koper ini, saya dapat duduk.” (merujuk pada alasan permintaan kepada pendengar)
6.”Apa boleh saya minta anda untuk mengangkatkan koper ini?” (merujuk pada sikap pembicara terhadap pendengar yang terlihat dari bentuk yang dinilai sopan)

Tindak bahasa ilokusi membuahkan bentuk-bentuk yang mencerminkan keinginan dan sikap pembicara terhadap pendengar, sedangkan tindak perlokusi mencerminkan reaksi dari atau efek ujaranya pada pendengar. Seandainya seorang pembicara mengucapkan suatu ujaran atau kalimat ia mengungkapkan efek ilukusi pada pendengar, dan ia mencapai efek ini dia menyebabkan pendengar mengenal tujuan ini. Menggunakan pengetahuan aturan-aturan yang mendasari kalimat itu.

2.Relevansi Tindak Bahasa dengan Pengajaran Bahasa
Pengajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan komunikatif. Pendekatan komunikatif berasal dari tulisan Hymes (1972), yang pertama merumuskan definisi kemampuan komunikatif (communicative competence) sebagai kemampuan berkomunikasi dengan sesama manusia. Proses berkomunikasi tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk bahasa bukan hanya makna kalimat yang tersirat (ilokusi), tetapi juga makna yang tersulubung dalam suatu tindak bahasa, yakni apa yang menjadi akibat atau efek yang ditimbulkan oleh seorang pembicara pada lawan bicaranya (perlokusi).
Ditinjau dari pihak pembicara terjadi tindak bahasa ilokusi yakni: mengatakan sesuatu dalam arti “berkata”. Dengan mengucapkan tindak bahasa ilokusi, seorang pembicara mengungkapkan suatu nilai ilokusi setiap. Wacana antara dua pihak selalu bermaksud untuk mencapai tujuan dari pihak pembicara dan suatu efek pada pihak pendengar. Tujuan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa yang dirumuskan sebagai “berkomunikasi secara wajar”. Untuk mencapai tujuan ini, ada beberapa faktor yang menentukan apakah tindak bahasa ilokusi yang di ucapkan oleh pembicara itu wajar dan dapat diterima oleh lawan bicaranya atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah;
1)Siapa-siapa yang mengambil bagian dalam suatu wacana itu? Teman dengan teman , ayah dengan ibu, ayah dengan anak, guru dengan muridnya, kepala kantor dengan bawahannya, dokter dengan pasiennya, dan sebagainya.
2)Apa waktu wacana itu terjadi? Pagi hari, siang, sore, malam hari? Waktu kerja atau waktu senggang?
3)Apa tempat wacana itu? Di sekolah, di pasar, di rumah, di tempat ibadah, dan sebagainya.
4)Apa topik yang digunakan pada pembicara? Mengenai hal-hal yang serius , ringan, basa-basi, keagamaan, ilmiah, nasehat, dan sebagainya.
5)Apa jalur yang digunakan para pembicara? Ragam formal atau informal, tatap muka atau melalui telepon, lisan atau tulisan, bahasa daerah, nasianal, asing, rahasia (kode), dan sebagainya.
Suatu tindak bahasa dapat dikatakan wajar, apabila memperhatikan konteks atau situasi tertentu yang terdapat dalam 5 faktor di atas. Kecuali bentuk yang wajar,suatu bentuk kalimat tanya dapat mempunyai nilai lokusi atau perintah, suatu kalimat pernyataan dapat mempunyai nilai ilokusi suatu pentanyaan atau perintah, dan sebagainya. Prinsip-prinsip yang telah di jelaskan di atas harus diterapkan dalam menyajikan penggunaan bahasa untuk berkomunikasi lisan atau tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar